“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan.
“Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….”
“Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me
“Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Knalpot bis antar kota dalam provinsi terbatuk-batuk mengepulkan asap hitam pekat sepanjang aspal panas yang digilas keenam rodanya. Di dalam bis ekonomi yang AC nya bocor tersebut, duduk perempuan yang sedari tadi hanya diam memeluk tas ranselnya. Hari ini jadi hari paling sial untuk Hana. Gadis dua puluh tahun sekarang harus terima kalau ke mana-mana akan diantar angkutaan umum. Mobil pribadi kesayangannya jadi barang mahal terakhir yang dijual kedua orang tuanya setelah banyak barang lain, termasuk surat rumah yang digadaikan.“Bapak berat harus bilang ini sama kamu, Han. Tapi di umur bapak yang sudah tua ini, bapak nggak punya pilihan lain selain bergantung sama kamu. Kamu anak bapak satu-satunya bapak minta maaf kalau tidak bisa bertahan lama. Usaha taksi bapak bangkrut. Semuanya pakai kendaraan online sekarang.”Dua belas hari sudah kalimat itu keluar dari mulut Bapak Hana. Bukan waktu yang sebentar, Hana berharap waktu bisa membuatnya lupa. Kenyataan berkata lain, Hana m
Sekarang Hana tahu dengan siapa dirinya berhadapan. Hana juga jadi tahu alasan kenapa raut muka semua orang mendadak berubah jadi tegang dan takut. Ibarat dalam sebuah game perang, orang yang ia hadapi adalah raja terakhir. Pak Robert, orang yang jadi puncak rantai makanan di PT. CAKRA.“Saya Robert yang punya kantor ini.”Ludah Hana mendadak terasa menggumpal. Sedikit takut tapi sama sekali ia tak gentar. Ia anak Pak Hartono pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta. Buat apa takut sama orang yang bisnisnya saja tak banyak orang kenal. “Oh… bagus dong kalau bapak datang sendiri.” Hana meringis, bangkit dari kursinya dengan santai menjulurkan telapak tangannya. “Kenalin, saya Hana. Anak dari Pak Hartono. Orang nomor satu pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta,” tukas Hana penuh percaya diri.Satu hal yang gagal orang tua ajarkan pada Hana. Percaya diri dan sopan santun adalah dua hal berbeda. Hana kelewat tidak sopan, lebih-lebih lagi Hana lah yang butuh pekerjaan di kantor Pak
“Si-siap. Sa-saya akan usahakan Pak,” jawab Hana gelagapan pasrah tak bisa mendebat lagi. Benar apa kata para karyawan di luar sana tadi. Sudah bagus Pak Robert tidak memenggal kepala Hana gara-gara kejadian tadi. Sudah bagus juga Hana masih diberi maaf dengan syarat yang tidak terlalu sulit.Cuma perlu memutus urat malu dan mencoreng wajah jadi bahan ledekan belasan karyawan di depan.“Itu aturan wajib, Han.” Suara Pak Robert yang berat menegas. “Tidak ada tawar menawar di sini. Masa’ seorang anak semata wayang Pak Hartono nggak mampu beli rok? Kamu beli lah dulu kalau nggak punya sambil saya siapkan seragammu.”Hana manggut-manggut. Ia baru tahu kalau setelan batik warna merah bercorak emas dan rok panjang belahan tinggi yang karyawan pakai di depan tadi adalah seragam kantor.“Emmm… Tapi kalau saya pakai rok mini dulu boleh nggak, Pak?” tanya Hana. “Habis saya punyanya rok pendek-pendek di rumah.”Sekejap setelah kalimat Hana meluncur mendadak wajah Pak Robert memerah. Buru-b
Tengah malam hanya tinggal beberapa menit lagi saat Arya membopong tubuh Hana sempoyongan melewati beberapa orang. Sempat saling sengol dengan pengunjung lain tapi bukan masalah serius. Siapa juga yang tak kenal Arya di tempat ini? Seseorang yang hampir tak pernah absen dari tempat ini tiap malam. Satu diskotik hampir kenal semua dengan Arya, termasuk semua staff dan karyawannya. Maka dengan gampang juga Arya membawa tubuh Hana naik ke lantai dua. Selain lantai satu yang jadi bar sekaligus diskotik, lantai dua ruko di Mangga Lima ini ikut disulap jadi petak-petak kamar ilegal. Sang pemilik diskotik yang sekaligus Om-nya Arya pintar melihat peluang. Petak-petak kamar disewakan khusus bagi pengunjung diskotik yang kebanyakan berakhir di cinta sat