“Si-siap. Sa-saya akan usahakan Pak,” jawab Hana gelagapan pasrah tak bisa mendebat lagi. Benar apa kata para karyawan di luar sana tadi. Sudah bagus Pak Robert tidak memenggal kepala Hana gara-gara kejadian tadi. Sudah bagus juga Hana masih diberi maaf dengan syarat yang tidak terlalu sulit.
Cuma perlu memutus urat malu dan mencoreng wajah jadi bahan ledekan belasan karyawan di depan.
“Itu aturan wajib, Han.” Suara Pak Robert yang berat menegas. “Tidak ada tawar menawar di sini. Masa’ seorang anak semata wayang Pak Hartono nggak mampu beli rok? Kamu beli lah dulu kalau nggak punya sambil saya siapkan seragammu.”
Hana manggut-manggut. Ia baru tahu kalau setelan batik warna merah bercorak emas dan rok panjang belahan tinggi yang karyawan pakai di depan tadi adalah seragam kantor.
“Emmm… Tapi kalau saya pakai rok mini dulu boleh nggak, Pak?” tanya Hana. “Habis saya punyanya rok pendek-pendek di rumah.”
Sekejap setelah kalimat Hana meluncur mendadak wajah Pak Robert memerah. Buru-buru ia buang muka menyembunyikan wajahnya dari Hana. Sekian lama tak menyentuh perempuan sejak kisah asmara dengan istrinya bubar, otak keranjang Pak Robert tiba-tiba muncul. Saking hausnya dengan tubuh perempuan, Pak Robert langsung bisa membayangkan betapa seksinya Hana mengenakan rok mini.
‘Brakkkk…. !!!’ Kesal Pak Robert menggebrak meja. Suara keras yang timbul sampai membuat Hana ini melonjak kaget.
“HANA… !!” bentaknya diiringi mata melotot. “Jangan samakan kantor saya sama tempat esek-esek ya! Kamu lihat sendiri semua karyawan saya. Emang ada yang pakai rok mini? NGGAK ADA! NGERTI!”
“Loh kok bapak jadi ngegas lagi gitu ngomongnya?” Hana mengernyitkan dahi bingung. “Saya kan cuma tanya. Lagian di kantor ini emang nggak ada yang pakai rok pendek sih.” Hana tersenyum miring. “Tapi kalau belahan roknya sampai setengah paha ya sama aja bohong,” tandasnya sambil mengangkat bahu.
“Oh jadi kamu nggak suka sama aturan kantor ini?” Mendadak nada bicara Pak Robert melandai.
“Loh saya nggak bilang nggak suka, Pak Robert. Saya cuma bilang, apa bedanya pakai rok mini sama pakai rok yang belahannya tinggi? Toh sama-sama keliatan kan ujung-ujungnya.”
“Yaudah kalau begitu kamu boleh pergi kok.” Pak Robert menyeringai licik.
“Hah ??” Hana terperangah bingung. “Kok?”
“Iya… !! Nih, bawa lagi semua berkas-berkasmu!” Pak Robert melempar kertas-kertas berisi berkas lamaran kerja milik Hana ke hadapannya. Sudah bagus tidak dilempar ke muka Hana langsung. “Saya capek urusan sama orang yang dikit-dikit protes. Dikit-dikit membandingkan. Dikit-dikit tidak terima. Egois kamu tuh, Han.”
“Loh kok jadi saya yang egois? Kan bapak yang bikin aturan. Bapak dong harusnya yang egois bukan saya. Kenapa malah jadi saya yang egois?” debat Hana tidak terima.
“Ya karena pakai rok seragam itu aturan kantor dari dulu. Eh… Hana Nadia yang terhormat putri Bapak Hartono Santoso, dari dulu juga nggak ada karyawan baru yang protes sama perkara rok. Semua orang mau kok. Kamu berhak protes soal rok kalau kamu tuh aslinya cowo. Paham?!” Pak Robert tampak makin kesal.
“Loh enggak. Gini loh Pak Robert,” sahut Hana tak mau kalah diiringi senyum memincing, menyepelekan. “Saya nggak protes soal seragam. Itu dulu yang harus Pak Robert pahami. Saya cuma bingung, apa bedanya rok panjang belahan sama rok pendek? Nggak ada, Pak!”
“Loh kok jadi kamu yang ajarin saya?” Pak Robert memotong. Tubuh pria yang usiaya terpaut jauh dari Hana itu bangkit dari kursi, melotot dengan telunjuk menunjuk-nunjuk muka Hana “Saya ini bos kamu loh. Jangan seenaknya kamu ngomong. Atau kalau enggak, udah kamu pergi aja! Nggak usah kerja sama saya!”
Suasana mendadak hening, Hana dan Pak Robert sama-sama terdiam. Dada Pak Robert memompa cepat, menunjukkan betapa besar emosi yang ia kerahkan hanya untuk berhadapan dengan calon anak buah barunya yang kurang ajar.
Sedangkan Hana di tempat duduknya hanya bisa menelan ludah dengan pupil mata yang bergetar nanar. Satu yang baru Hana pelajari hari ini, ia tak bisa semena-mena di tempat kerja. Tempat ini bak dunia baru untuk Hana di mana perintah Pak Robert adalah absolut. Tak terbantahkan atau ia harus angkat kaki dari tempat ini.
“Ba-baiklah, Pak.” Kepala Hana tertunduk lesu. Suara lemasnya menyudahi hening. “Saya akan pakai rok panjang besok.”
“Nah gitu dong…” Pak Robert melemparkan tubuhnya kembali duduk di atas singgasana kursi empuknya. “Gila ya. Ngomong sama kamu tuh emang harus pakai emosi kayak gini terus ya? Pantes Pak Hartono darah tinggi sekarang.”
Mendengar nama Bapak tersayangnya disebut, Hana jelas tidak terima. “Maksud Bapak apa?!” Wajahnya terangkat, menantang balik Pak Robert. “Saya cuma mau kerja di sini. Jangan bawa-bawa keluarga saya ya. Apalagi Bapak dan Ibu saya. Kalau tidak…”
Ancaman Hana terhenti di tengah jalan. Telunjuknya sudah mengacung menunjuk wajah Pak Robert kurang ajar. Namun di penghujung kalimat, Hana baru sadar.
“Kalai tidak?” Pak Robert tersenyum miring menyepelekan Hana. “Apa? Hah? Kalau tidak apa?” Bukannya takut, Pak Robert justru melipat tangan di dada dengan santai. “Apa? Kamu mau ngancem saya? Silakan.”
Hana masih terdiam, lemas telunjuknya merosot turun. Ia baru sadar posisinya sekarang. Hana cuma seorang bawahan Pak Robert. Di dalam kandang macan inis, statusnya sebagai anak Pak Hartono pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta tidak ada harganya.
“Kenapa diam?” tukas Pak Robert meledek Hana balik. “Ayo ancam saya. Ke mana Hana yang pemberani itu. Hah ?!”
Tenggorokan Hana tercekat. Telunjuknya yang tadi mengacung sekarang bersama sembilan jari lain hanya bisa meremas telapak tangan meluapkan kekesalannya. Di tempat ini Pak Robert jauh di atas angin. Hana bukan siapa-siapa.
Hana baru mengangkat wajahnya saat terasa telunjuk Pak Robert menarik dagunya ke atas. Mata coklat yang dingin, hidung mancung dengan tulang yang tegas juga jambang lebattumbuh di garis rahang dan dagu. Jarak wajah Hana yang pasrah dan Pak Robert yang killer hanya tinggal setengah jengkal.
“Jangan macam-macam sama saya kalau kamu masih mau hidup.” Suara pria di depan Hana pelan namun tegas bernada intimidasi. “Saya tahu semua tentang kamu, Han. Kamu bukan anak kecil lagi dan jangan berharap aku akan memperlakukanmu spesial di tempat ini. Paham?”
Hana tak bisa mengangguk, tak bisa menggeleng juga. Tangan Pak Robert mencengkeram dagunya kuat-kuat hingga Hana gemetaran dengan napas memburu minta dilepaskan.
“Sekarang kamu pulang. Aku sudah muak lihat wajahmu. Besok, kamu harus datang lebih pagi dariku. Atau jika tidak…” Pak Robert sengaja menjeda kalimatnya. Seolah ingin menunjukkan cara mengancam orang lain yang benar untuk Hana.
“Kau akan tahu sendiri akibatnya. Jangan harap bisa menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Paham?!”
##
Kilapan cahaya lampu sorot warna warni menari-nari berseliweran di atas lantai dansa. Warna-warna yang saling berkejaran, hinggap mencetak di tubuh puluhan muda-mudi menari di atas lantai dansa. Di tengah-tengah mereka ada satu wajah yang kegirangan bukan kepalang.
Siapa lagi kalau bukan Hana. Perempuan anak semata wayang Pak Hartono akhirnya bisa menghirup udara bebas setelah seharian jadi panci tekanan berisi air panas berhadapan bos barunya.
‘ROBERT ANJ1NGGG…. !!!” teriak Hana yang tak lama kemudian suaranya lenyap digusur pacah tawa Arya di depannya.
Alunan musik DJ menggema memenuhi lantai satu ruko di daerah Mangga Lima yang disulap jadi diskotik. Tempat paling pas meluapkan semua kesal Hana seharian. Berteriak selepas yang ia mau. Mengumpat dan memaki Pak Robert tanpa ada orang yang tahu.
“BUKA MULUTNMU SAYANG… !!! BUKA MULUTMU... !!”
Arya mengantar sebotol anggur ke arah mulut Hana. Bukannya menolak, Hana yang sudah biasa minum minuman beralkohol justru membuka mulutnya lebar-lebar. Wajah Hana tengadah, sedikit membungkukkan tubuhnya. Hana digelonggong anggur, sembari menari-nari bergoyang mengikuti irama cepat musik disko air ungu kemerahan meluncur bebas masuk melewati teggorokan.
Hampir habis setengah botol, Hana minum anggur seperti minum air mineral. Memang betul, inilah yang Hana cari. Ia ingin bebas. Ia ingin menikmati malam yang bebas di tengah semua tekanan di hidupnya. Persetan mau habis berapa botol, persetan bagaimana hari esok, kalau bisa Hana ingin kiamat datang besok saja agar ia tak perlu bertemu Pak Robert.
“BAJ1NGAN EMANG. PAK ROBERT BAJ1NGANN… !!!”
Melihat kekasihnya mulai teler akal busuk Arya mulai muncul. Momen yang sangat pas, Arya belum semabuk Hana karena dia yang memegang kendali botol anggur. Sudah satu jam lebih Hana dan Arya ada di atas lantai dansa.
Sudah botol ketiga dan rata-rata habis mengisi lambung Hana. Bukan tanpa maksud, Arya ingin menadapatkan keuntungan lebih dari sang kekasih daripada cuma menemaninya di lantai dansa.
Sekarang waktu yang tepat. Cara Hana menari sudah tidak aturan. Cara Hana berdiri sudah sempoyongan dan kata apa yang keluar dari mulut Hana sudah hampir tak dikenali. Sekarang lah saat yang paling tepat. Saat untuk Arya menggagahi Hana seperti yang sudah ia rencanakan.
Bersambung….
Tengah malam hanya tinggal beberapa menit lagi saat Arya membopong tubuh Hana sempoyongan melewati beberapa orang. Sempat saling sengol dengan pengunjung lain tapi bukan masalah serius. Siapa juga yang tak kenal Arya di tempat ini? Seseorang yang hampir tak pernah absen dari tempat ini tiap malam. Satu diskotik hampir kenal semua dengan Arya, termasuk semua staff dan karyawannya. Maka dengan gampang juga Arya membawa tubuh Hana naik ke lantai dua. Selain lantai satu yang jadi bar sekaligus diskotik, lantai dua ruko di Mangga Lima ini ikut disulap jadi petak-petak kamar ilegal. Sang pemilik diskotik yang sekaligus Om-nya Arya pintar melihat peluang. Petak-petak kamar disewakan khusus bagi pengunjung diskotik yang kebanyakan berakhir di cinta sat
‘Kringggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak lebar, dering alarm mengagetkannya. Kesadaran Hana mendadak langsung bisa terkumpu, tangannya bergerak sembarangan mencari ponsel di antara, bantal, tas dan barang-barangnya yang berantakan di atas ranjang. “MAMPUS… !!!” teriak Hana panik melompat turun dari ranjangnya. Sudah pukul setengah tujuh pagi dan Hana baru bangun. Sementara jam kantor sudah dimulai jam 7 pagi, itu pun kalau Pak Robert tidak datang lebih pagi. Kalau datang lebih pagi, tamat sudah riwayat Hana. “Ehhh… ??” Dingin udara pagi terasa aneh, baru saat tungkai kakinya menyen
‘Srrrkkkkk…. !!!’ Pintu masuk berbahan kaca setebal setengah senti didorong kasar Hana. Suara dasar pintu yang menggaruk lantai kasar membuat belasan karyawan di lantai satu menoleh serampak ke arah Hana. Ada yang mengintip dari balik monitor, ada yang sampai terang-terangan berdiri dari kursinya. “Woy karyawan baru!! Pelan-pelan dong kalau buka pintu. Emang situ mampu ganti kalau pecah?? Pak Hartono kan udah bangkrut… !!” Suara menyakitkan datang dari arah gerombolan petak-petak karyawan. Disusul suara ‘huuu… ‘ panjang dibumbui sorakan-sorakan umpatan olok-olokan. 
“Kenapa melongo??” “Ehhh… “ Pertanyaan Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “SAYA TANYA KENAPA NGELAMUN?! DENGER NGGAK SIH!!” Wajah Pak Robert yang sebelumnya sudah melunak mendadak geram lagi. “APA JANGAN-JANGAN PERMINTAANKU TERDENGAR ANEH BUAT KAMU?!” Posisinya Hana sedang berdiri. Kepalanya lebih tinggi dari Pak Robet yang duduk di kursi. Meski lebih tinggi mata Pak Robert yang melotot menyurutkan nyali Hana. Seperti biang kesalahan, Hana jadi bingung serba salah. “Engg-enggak kok, Pak.” “K
‘Tokk-Tok-Tok…. !!!’ Pak Robert yang sebelumya sudah kembali sibuk mengecek ulang dokumennya satu persatu setelah diacak-acak Hana mengangkat kepala. Perhatiannya yang tadinya terkunci di lembar-lembar perjanjian terpaksa harus buyar. “Ya siapa??” tanya Pak Robert sembari melipat sedikit ujung dokumen untuk memisahkan lembar mana yang sudah ia periksa dan mana yang belum. “Hana, Pak.” Suara centil Hana terdengar dari balik pintu. “Hufttt…. “ Pak Robert membuang napas cepat.&nb
Mau tidak mau Hana terpaksa harus putar balik ke dapur. Keluar ruangan Pak Robert dengan wajah tertekuk. Lagi dan lagi, sedih, takut bercampur marah membawa Hana ke dalam lorong gelap yang panjang bernama pasrah. “Kenapa sih nggak ada yang ngerti gue? Gue kan udah berusaha bikin kopi buat dia.” Telunjuk Hana menyeka air yang menggantung di kelopak matanya. Bukan cuma niat baik Hana yang terbuang Pak Robert begitu saja. Bukan cuma usaha susah payah Hana membuatkan kopi. Tapi juga kopi pertama yang ia buat dengan penuh dedikasi dan usaha keras. “Ishhh… dikira gampang apa bikin kopi? Hah? Coba dia sendiri
“Pllakkkkk…. !!!” Krisna tak pernah menyangka sekelebat bayangan yang ditangkap anak matanya adalah tangan Hana yang melayang. Belum ada sedetik setelah kata ‘paha’ meluncur dari mulutnya Hana langsung mendaratkan tamparan. Telak mendarat di pipi Krisna sampai lehernya berputar dan telinganya berdesing panjang. “BAJINGAN LO YA!!” Krisna masih mendengar suara umpatan Hana di antara suara desing di telinganya. “EMANG LO KIRA GUE CEWEK APAAN, HAH?! LO CUMA OB DI SINI NGERTI NGGAK!! LO BUKAN LEVELNYA GUE!” Tangan Hana terangkat lgi, mengam
“Iya itu loh… “ Pak Robert mempertegas. “Kamu gimana sih?! Masa yang pake rok malah nggak kerasa? Aneh banget.” Hana yang baru sadar buru-buru merapatkan nampan kecil yang ia gunakan untuk membawa kopi turun ke bawah. Menutupi rok mininya yang ternyata sudah robek setengah jengkal. Robekan kecil yang semula memang ada sejak rok masih baru memanjang sampai hampir mencapai celana dalam Hana. “Ihhhh…. Pak Robert mata keranjang ya!!” Hana melotot, wajahnya memerah padam, malu setengah mati. “Kalau udah tahu sobek ya jangan dilihatin terus dong, Pak. Aduh-aduh-aduh…. Gimana dong, Pak?” “Loh siapa yang mata keranjang?&ldqu
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y