“Iya itu loh… “ Pak Robert mempertegas. “Kamu gimana sih?! Masa yang pake rok malah nggak kerasa? Aneh banget.”
Hana yang baru sadar buru-buru merapatkan nampan kecil yang ia gunakan untuk membawa kopi turun ke bawah. Menutupi rok mininya yang ternyata sudah robek setengah jengkal. Robekan kecil yang semula memang ada sejak rok masih baru memanjang sampai hampir mencapai celana dalam Hana.
“Ihhhh…. Pak Robert mata keranjang ya!!” Hana melotot, wajahnya memerah padam, malu setengah mati. “Kalau udah tahu sobek ya jangan dilihatin terus dong, Pak. Aduh-aduh-aduh…. Gimana dong, Pak?”
“Loh siapa yang mata keranjang?&ldqu
“Sllurrrpp….. Ahh….. “ Pak Robert kembali menandaskan satu seruputan lagi ditutup dengan ‘Ah… ‘ panjang nan nikmat. Hana sampai detik ini masih belum juga mengerti apa enaknya minuman yang lebih dominan dengan rasa pahit satu itu. Ia lebih panik dengan kabar kalau harus ikut makan siang bersama klien dengan posisi pakaian seperti ini. Kemeja putih yang sekarang beraroma sangit khas dapur, rok mini yang robek terpaksa harus ditutup dengan kemeja Pak Robert. Hana tak bisa membayangkan ikut makan siang dengan pakaian terburuk yang pernah ia kenakan. “Sudah. Tidak penting dari mana saya tahu.” Pak Robert berdiri dari si
“Hahaha…. Ayolah, Han. Kamu kan tenaga baru di perusahaan saya. Harusnya orang baru tuh masih semangat kalau dikasih lemburan. Bonusnya gede loh.” “Nggak!” ketus Hana. “Pak Robert aja lembur sendiri sana,” balas Hana disusul tawa terkekeh. Untuk pertama kali sepanjang 2 hari berjalan dengan peperanga akhirnya mereka berdua bisa tertawa bersama. Meski tertawa, tapi Hana serius soal lembur. Hana ogah lembur. Lagian Hana juga tidak terlalu butuh uang. Cuma kerja seperlunya juga sudah cukup. Nggak harus repot-repot sampai lembur. “Kita
“Pak Robert apa-apaan sih??!” Kemarahan lah yang akhirnya menguasai Hana. Kasar ia merebut ponselnya dari tangan Pak Robert. Hana berharap yang barusan itu Pak Robert hanya bercanda. Tapi Hana sudah salah besar, layar ponselnya sudah ditutup. Tak ada lagi panggilan Arya, yang tampak hanya wallpaper lock screen dirinya dengan Arya saat pertama kali ke bioskop menonton film berdua. “Duhhh… udah ditutup lagi.” Hana panik, mimik mukanya cemas. Berusaha menghubungi kembali nomor Arya tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. “Tuh kan… Pacar saya jadi marah, Pak. Pak Robert ini apa-apaan sih?!”
Baru kali ini Hana merasakan rasanya semesta tidak berpihak padanya. Sudah harus ketemu sama Bos macam Pak Robert. Belum lagi insiden menyebalkan selama dua hari berturut-turut. Ditambah lagi kejadian di dapur dengan OB mesum, Hana sungguh merasa lelah. Dunia ini benar-benar tidak adil. Lebih tidak adil lagi karena perlakuan Pak Robert tadi. Rasa nyeri dan sesak di dada sampai tembus punggung. Ayolah, ke mana perginya semua keadilan di dunia ini? Kenapa tidak ada satu pun yang tersisa untuk Hana. Hana sudah mencoba protes pada Pak Robert. Jelas-jelas Pak Robert salah, merebut ponsel dan mematikan telepon itu hak asasi manusianya Hana. Memang dia bos di tempat ini, t
Percakapan yang awalnya Hana mau untuk mencairkan suasana nyatanya tak ada gunanya. Sepanjang perjalanan, dua jam lebih Hana dan Pak Robert habiskan dalam diam. Hanya lagu pengiring bertema rock alternatif yang terdengar sepanjang jalan. Lagu-lagu yang terlalu tua untuk telinga Hana tapi lagu yang tak pernah menua di telinga Pak Robert. Memang sejauh itu perbedaan usia mereka. Hana terpaksa mengusir kegabutannya dengan terus menatap keluar. Membayangkan sedang memacu motor dengan kecepatan penuh seperti yang ia lakukan dengan Juple tadi pagi. Atau Hana membayangkan bisa pindah ke mobil lain yang lebih terlihat asyik daripada di mobil Pak Robert yang lebih mirip ruang ujian. &ldqu
Hana sudah tidak peduli lagi dengan segala omelan yang menyusul kalimatnya tadi. Langkah kakinya bak derap satu kompi tentara berangkat tugas. Tegas tak terhentikan, gesit menaiki tangga ke lantai dua tempat kamar tidurnya berada. Persetan dengan mandi atau ritual bersih-bersih badan lainnya, Hana bisa melakukannya nanti. Sekarang ada satu hal yang harus ia urusi. Ada satu hal mendesak yang harus segera ia selesaikan. ‘Tuttt…. Tutt… Trruuttttt…. ‘ Berdering, tanda nomor yang sedang Hana hubungi masih aktif. Tapi justru fakta itu yang membuat Hana c
Detik itu juga Hana berharap ia sudah tertidur beberapa menit yang lalu. Berharap apa yang ia dengar keluar dari mulut Arya barusan hanya mimpi buruk karena lelahnya menghadapi dunia kerja yang baru. Napas Hana tersengal, hidungnya mampet. Tangisnya belum juga reda, dan sialnya lagi. Ternyata harapannya omong kosong. Malam ini Hana belum tertidur dan semua kalimat Arya tadi adalah kenyataan. “Pu-putus?” Tangis Hana menjelma jadi rintihan. Wajah cantiknya basah, kulit kuning langsatnya memerah padam. Harusnya Hana turun ke bawah untuk membersihkan tubuhnya dilanjutkan dengan makan malam. Harusnya Hana bisa tidur nyenyak mengingat
Hana sebenarnya masih sangat marah dengan Pak Robert. Marah parah sampai rasanya ingin mencakar-cakar wajah bosnya satu itu. Gara-gara Pak Robert, hubungan yang sudah Hana bangun 3 tahun lebih lamanya dengan Arya akhirnya hancur begitu saja. Menyebalkan, memuakkan, lebih mengganjal di hati lagi karena kenyataannya sekarang Hana justru berakhir duduk di bangku sebelah Pak Robert. “Wah gila sih. Aku tuh udah mikir kalau bisnis kita gagal loh kemarin. Makanya wajahku keliatan cemberut kan pas pulang. Itu tuh karena Nyonya Elsa nggak mau tanda tangan kontrak kita, Han. Kamu ngerti kan? Ini tuh kalau sampai goals, bisnis kita bisa makin berkembang pesat,” tutur Pak Robert sambil menyetir dengan penuh antusias.&n