“Sllurrrpp….. Ahh….. “
Pak Robert kembali menandaskan satu seruputan lagi ditutup dengan ‘Ah… ‘ panjang nan nikmat. Hana sampai detik ini masih belum juga mengerti apa enaknya minuman yang lebih dominan dengan rasa pahit satu itu. Ia lebih panik dengan kabar kalau harus ikut makan siang bersama klien dengan posisi pakaian seperti ini.
Kemeja putih yang sekarang beraroma sangit khas dapur, rok mini yang robek terpaksa harus ditutup dengan kemeja Pak Robert. Hana tak bisa membayangkan ikut makan siang dengan pakaian terburuk yang pernah ia kenakan.
“Sudah. Tidak penting dari mana saya tahu.” Pak Robert berdiri dari si
“Hahaha…. Ayolah, Han. Kamu kan tenaga baru di perusahaan saya. Harusnya orang baru tuh masih semangat kalau dikasih lemburan. Bonusnya gede loh.” “Nggak!” ketus Hana. “Pak Robert aja lembur sendiri sana,” balas Hana disusul tawa terkekeh. Untuk pertama kali sepanjang 2 hari berjalan dengan peperanga akhirnya mereka berdua bisa tertawa bersama. Meski tertawa, tapi Hana serius soal lembur. Hana ogah lembur. Lagian Hana juga tidak terlalu butuh uang. Cuma kerja seperlunya juga sudah cukup. Nggak harus repot-repot sampai lembur. “Kita
“Pak Robert apa-apaan sih??!” Kemarahan lah yang akhirnya menguasai Hana. Kasar ia merebut ponselnya dari tangan Pak Robert. Hana berharap yang barusan itu Pak Robert hanya bercanda. Tapi Hana sudah salah besar, layar ponselnya sudah ditutup. Tak ada lagi panggilan Arya, yang tampak hanya wallpaper lock screen dirinya dengan Arya saat pertama kali ke bioskop menonton film berdua. “Duhhh… udah ditutup lagi.” Hana panik, mimik mukanya cemas. Berusaha menghubungi kembali nomor Arya tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. “Tuh kan… Pacar saya jadi marah, Pak. Pak Robert ini apa-apaan sih?!”
Baru kali ini Hana merasakan rasanya semesta tidak berpihak padanya. Sudah harus ketemu sama Bos macam Pak Robert. Belum lagi insiden menyebalkan selama dua hari berturut-turut. Ditambah lagi kejadian di dapur dengan OB mesum, Hana sungguh merasa lelah. Dunia ini benar-benar tidak adil. Lebih tidak adil lagi karena perlakuan Pak Robert tadi. Rasa nyeri dan sesak di dada sampai tembus punggung. Ayolah, ke mana perginya semua keadilan di dunia ini? Kenapa tidak ada satu pun yang tersisa untuk Hana. Hana sudah mencoba protes pada Pak Robert. Jelas-jelas Pak Robert salah, merebut ponsel dan mematikan telepon itu hak asasi manusianya Hana. Memang dia bos di tempat ini, t
Percakapan yang awalnya Hana mau untuk mencairkan suasana nyatanya tak ada gunanya. Sepanjang perjalanan, dua jam lebih Hana dan Pak Robert habiskan dalam diam. Hanya lagu pengiring bertema rock alternatif yang terdengar sepanjang jalan. Lagu-lagu yang terlalu tua untuk telinga Hana tapi lagu yang tak pernah menua di telinga Pak Robert. Memang sejauh itu perbedaan usia mereka. Hana terpaksa mengusir kegabutannya dengan terus menatap keluar. Membayangkan sedang memacu motor dengan kecepatan penuh seperti yang ia lakukan dengan Juple tadi pagi. Atau Hana membayangkan bisa pindah ke mobil lain yang lebih terlihat asyik daripada di mobil Pak Robert yang lebih mirip ruang ujian. &ldqu
Hana sudah tidak peduli lagi dengan segala omelan yang menyusul kalimatnya tadi. Langkah kakinya bak derap satu kompi tentara berangkat tugas. Tegas tak terhentikan, gesit menaiki tangga ke lantai dua tempat kamar tidurnya berada. Persetan dengan mandi atau ritual bersih-bersih badan lainnya, Hana bisa melakukannya nanti. Sekarang ada satu hal yang harus ia urusi. Ada satu hal mendesak yang harus segera ia selesaikan. ‘Tuttt…. Tutt… Trruuttttt…. ‘ Berdering, tanda nomor yang sedang Hana hubungi masih aktif. Tapi justru fakta itu yang membuat Hana c
Detik itu juga Hana berharap ia sudah tertidur beberapa menit yang lalu. Berharap apa yang ia dengar keluar dari mulut Arya barusan hanya mimpi buruk karena lelahnya menghadapi dunia kerja yang baru. Napas Hana tersengal, hidungnya mampet. Tangisnya belum juga reda, dan sialnya lagi. Ternyata harapannya omong kosong. Malam ini Hana belum tertidur dan semua kalimat Arya tadi adalah kenyataan. “Pu-putus?” Tangis Hana menjelma jadi rintihan. Wajah cantiknya basah, kulit kuning langsatnya memerah padam. Harusnya Hana turun ke bawah untuk membersihkan tubuhnya dilanjutkan dengan makan malam. Harusnya Hana bisa tidur nyenyak mengingat
Hana sebenarnya masih sangat marah dengan Pak Robert. Marah parah sampai rasanya ingin mencakar-cakar wajah bosnya satu itu. Gara-gara Pak Robert, hubungan yang sudah Hana bangun 3 tahun lebih lamanya dengan Arya akhirnya hancur begitu saja. Menyebalkan, memuakkan, lebih mengganjal di hati lagi karena kenyataannya sekarang Hana justru berakhir duduk di bangku sebelah Pak Robert. “Wah gila sih. Aku tuh udah mikir kalau bisnis kita gagal loh kemarin. Makanya wajahku keliatan cemberut kan pas pulang. Itu tuh karena Nyonya Elsa nggak mau tanda tangan kontrak kita, Han. Kamu ngerti kan? Ini tuh kalau sampai goals, bisnis kita bisa makin berkembang pesat,” tutur Pak Robert sambil menyetir dengan penuh antusias.&n
“Oh ayolah Nyonya Elsa… “ Pak Robert yang tak mau membawa kekakuan ini lebih lama mengambil alih pembicaraan. Mendekat menjajari Nyonya Elsa dengan sepasang aslis bergerak naik turun memberi kode-kode rahasia. “Kita ke sini kan mau bahas pekerjaan. Betul ??” “Alah…. Kamu ini ada-ada saja, Robert.” Pak Robert mendelik panik “Mau bahas urusan pribadi sesekali juga nggak papa loh.” Ganti Hana ikut mendelik. Kata pribadi barusan jangan-jangan merujuk padanya. Tapi Hana merasa tidak ada hubungan spesial apa pun dengan Pak Robert. Jangankan menaruh hati, mana sudi Hana ja
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y