Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka.
“Semua harus selesai hari ini. Harus.”
Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah.
Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.
Ia yakin seratus perse
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Knalpot bis antar kota dalam provinsi terbatuk-batuk mengepulkan asap hitam pekat sepanjang aspal panas yang digilas keenam rodanya. Di dalam bis ekonomi yang AC nya bocor tersebut, duduk perempuan yang sedari tadi hanya diam memeluk tas ranselnya. Hari ini jadi hari paling sial untuk Hana. Gadis dua puluh tahun sekarang harus terima kalau ke mana-mana akan diantar angkutaan umum. Mobil pribadi kesayangannya jadi barang mahal terakhir yang dijual kedua orang tuanya setelah banyak barang lain, termasuk surat rumah yang digadaikan.“Bapak berat harus bilang ini sama kamu, Han. Tapi di umur bapak yang sudah tua ini, bapak nggak punya pilihan lain selain bergantung sama kamu. Kamu anak bapak satu-satunya bapak minta maaf kalau tidak bisa bertahan lama. Usaha taksi bapak bangkrut. Semuanya pakai kendaraan online sekarang.”Dua belas hari sudah kalimat itu keluar dari mulut Bapak Hana. Bukan waktu yang sebentar, Hana berharap waktu bisa membuatnya lupa. Kenyataan berkata lain, Hana m
Sekarang Hana tahu dengan siapa dirinya berhadapan. Hana juga jadi tahu alasan kenapa raut muka semua orang mendadak berubah jadi tegang dan takut. Ibarat dalam sebuah game perang, orang yang ia hadapi adalah raja terakhir. Pak Robert, orang yang jadi puncak rantai makanan di PT. CAKRA.“Saya Robert yang punya kantor ini.”Ludah Hana mendadak terasa menggumpal. Sedikit takut tapi sama sekali ia tak gentar. Ia anak Pak Hartono pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta. Buat apa takut sama orang yang bisnisnya saja tak banyak orang kenal. “Oh… bagus dong kalau bapak datang sendiri.” Hana meringis, bangkit dari kursinya dengan santai menjulurkan telapak tangannya. “Kenalin, saya Hana. Anak dari Pak Hartono. Orang nomor satu pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta,” tukas Hana penuh percaya diri.Satu hal yang gagal orang tua ajarkan pada Hana. Percaya diri dan sopan santun adalah dua hal berbeda. Hana kelewat tidak sopan, lebih-lebih lagi Hana lah yang butuh pekerjaan di kantor Pak
“Si-siap. Sa-saya akan usahakan Pak,” jawab Hana gelagapan pasrah tak bisa mendebat lagi. Benar apa kata para karyawan di luar sana tadi. Sudah bagus Pak Robert tidak memenggal kepala Hana gara-gara kejadian tadi. Sudah bagus juga Hana masih diberi maaf dengan syarat yang tidak terlalu sulit.Cuma perlu memutus urat malu dan mencoreng wajah jadi bahan ledekan belasan karyawan di depan.“Itu aturan wajib, Han.” Suara Pak Robert yang berat menegas. “Tidak ada tawar menawar di sini. Masa’ seorang anak semata wayang Pak Hartono nggak mampu beli rok? Kamu beli lah dulu kalau nggak punya sambil saya siapkan seragammu.”Hana manggut-manggut. Ia baru tahu kalau setelan batik warna merah bercorak emas dan rok panjang belahan tinggi yang karyawan pakai di depan tadi adalah seragam kantor.“Emmm… Tapi kalau saya pakai rok mini dulu boleh nggak, Pak?” tanya Hana. “Habis saya punyanya rok pendek-pendek di rumah.”Sekejap setelah kalimat Hana meluncur mendadak wajah Pak Robert memerah. Buru-b
Tengah malam hanya tinggal beberapa menit lagi saat Arya membopong tubuh Hana sempoyongan melewati beberapa orang. Sempat saling sengol dengan pengunjung lain tapi bukan masalah serius. Siapa juga yang tak kenal Arya di tempat ini? Seseorang yang hampir tak pernah absen dari tempat ini tiap malam. Satu diskotik hampir kenal semua dengan Arya, termasuk semua staff dan karyawannya. Maka dengan gampang juga Arya membawa tubuh Hana naik ke lantai dua. Selain lantai satu yang jadi bar sekaligus diskotik, lantai dua ruko di Mangga Lima ini ikut disulap jadi petak-petak kamar ilegal. Sang pemilik diskotik yang sekaligus Om-nya Arya pintar melihat peluang. Petak-petak kamar disewakan khusus bagi pengunjung diskotik yang kebanyakan berakhir di cinta sat
‘Kringggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak lebar, dering alarm mengagetkannya. Kesadaran Hana mendadak langsung bisa terkumpu, tangannya bergerak sembarangan mencari ponsel di antara, bantal, tas dan barang-barangnya yang berantakan di atas ranjang. “MAMPUS… !!!” teriak Hana panik melompat turun dari ranjangnya. Sudah pukul setengah tujuh pagi dan Hana baru bangun. Sementara jam kantor sudah dimulai jam 7 pagi, itu pun kalau Pak Robert tidak datang lebih pagi. Kalau datang lebih pagi, tamat sudah riwayat Hana. “Ehhh… ??” Dingin udara pagi terasa aneh, baru saat tungkai kakinya menyen
‘Srrrkkkkk…. !!!’ Pintu masuk berbahan kaca setebal setengah senti didorong kasar Hana. Suara dasar pintu yang menggaruk lantai kasar membuat belasan karyawan di lantai satu menoleh serampak ke arah Hana. Ada yang mengintip dari balik monitor, ada yang sampai terang-terangan berdiri dari kursinya. “Woy karyawan baru!! Pelan-pelan dong kalau buka pintu. Emang situ mampu ganti kalau pecah?? Pak Hartono kan udah bangkrut… !!” Suara menyakitkan datang dari arah gerombolan petak-petak karyawan. Disusul suara ‘huuu… ‘ panjang dibumbui sorakan-sorakan umpatan olok-olokan. 
“Kenapa melongo??” “Ehhh… “ Pertanyaan Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “SAYA TANYA KENAPA NGELAMUN?! DENGER NGGAK SIH!!” Wajah Pak Robert yang sebelumnya sudah melunak mendadak geram lagi. “APA JANGAN-JANGAN PERMINTAANKU TERDENGAR ANEH BUAT KAMU?!” Posisinya Hana sedang berdiri. Kepalanya lebih tinggi dari Pak Robet yang duduk di kursi. Meski lebih tinggi mata Pak Robert yang melotot menyurutkan nyali Hana. Seperti biang kesalahan, Hana jadi bingung serba salah. “Engg-enggak kok, Pak.” “K