Sekarang Hana tahu dengan siapa dirinya berhadapan. Hana juga jadi tahu alasan kenapa raut muka semua orang mendadak berubah jadi tegang dan takut. Ibarat dalam sebuah game perang, orang yang ia hadapi adalah raja terakhir. Pak Robert, orang yang jadi puncak rantai makanan di PT. CAKRA.
“Saya Robert yang punya kantor ini.”
Ludah Hana mendadak terasa menggumpal. Sedikit takut tapi sama sekali ia tak gentar. Ia anak Pak Hartono pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta. Buat apa takut sama orang yang bisnisnya saja tak banyak orang kenal.
“Oh… bagus dong kalau bapak datang sendiri.” Hana meringis, bangkit dari kursinya dengan santai menjulurkan telapak tangannya. “Kenalin, saya Hana. Anak dari Pak Hartono. Orang nomor satu pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta,” tukas Hana penuh percaya diri.
Satu hal yang gagal orang tua ajarkan pada Hana. Percaya diri dan sopan santun adalah dua hal berbeda. Hana kelewat tidak sopan, lebih-lebih lagi Hana lah yang butuh pekerjaan di kantor Pak Robert.
“Cihhhh… “ Alis Pak Robert naik satu, bibirnya tersenyum miring. Ia menepis punggung tangan Hana. Pak Robert tanpa perasaan mengabaikan telapak tangan Hana yang menunggu sambutan darinya begitu saja.
“Saya sudah tahu kamu. Saya nggak perlu kenalan lagi sama kamu.” Pria berwajah bersih nan rapi yang baru datang berbalik badan. “Mau kamu anak Pak Hartono. Mau kamu anak presiden. Mau kamu anak Perdana Menteri. Saya nggak butuh orang yang nggak punya sopan santun. Saya nggak butuh kamu.Masih banyak kok orang yang mau kerja di kantor saya. Jadipergilah!”
“Eh…. “ Mata Hana melotot bingung. Menatap Om Lukman yang cuma bisa geleng-geleng kepala. “Gu-gue salah apa?” tanya Hana dalam hati. Hanya bisa berdiri mematung bingung. Berakhir menatap telapak tangannya yang masih terbuka hampa.
Sementara Pak Robert sudah melenggang pergi meninggalkan ruang tengah. Berjalan tanpa ragu dengan tubuh tegapnya seperti prajurit perang ke arah sebuah ruangan dekat ruang Om Lukman. Sekilas mengamati semua anak buahnya yang sibuk dengan layar monitornya sebelum tubuhnya hilang ditelan pintu masuk ruangan kerjanya.
“Kamu harusnya bisa lebih sopan, Han.” Om Lukman berdiri dengan raut kecewa di wajahnya. “Mau setinggi apa pun juga posisimu, mau kamu anak siapa pun. Kamu yang butuh pekerjaan ini.” Om Lukman berbalik badan bersiap angkat kaki. “Pak Robert orang yang susah dibujuk kalau sudah kecewa sama orang.”
Mulut Hana menganga gagap. Ia ingin menjelaskan posisinya tapi dalam posisi seperti ini rasanya mustahil.
“Bukan aku tak mau membantumu. Tapi kamu sendiri yang sudah membuat Pak Robert kesal.” Langkah kaki pertama Om Lukman meninggalkan Hana. “Sekarang bertanggung jawablah sendiri sama apa yang sudah kamu perbuat.”
“SHHHH…. !!!” Hana berdesih kesal sekaligus bingung. Kedua telapak tangannya meraup wajah diiringi helaan napas panjang. “Hah… ayolah !! kenapa orang-orang di kantor ini nggak ada yang asik sih. Bisa-bisa aku darah tinggi kalau sampai terkurung di tempat ini setiap hari!” teriak protes Hana dalam hati.
“Trus sekarang urusan Pak Robert yang ngambek aku juga gitu yang harus tangung jawab? Dasar orang tua! Nggak bisa banget diajak santai. Kenapa sih harus formal banget?”
Hana melirik ke arah Pak Agus, tapi laki-laki itu justru buang muka dan melenggang pergi begitu saja. Semua orang di kantor ini mengacuhkan Hana. Semua tanpa kecuali, mereka semua seolah tak menganggap ada Hana yang berdiri di hadapan mereka.
Meski sesekali Hana tahu mereka mencuri-curi pandang dari balik layar monitor ke arahnya.
“APA KALIAN LIAT-LIAT… !!!”
##
Lima belas menit kurang lebih Hana habiskan hanya duduk di ruang tunggu. Bingung sendiri harus berbuat apa. Hanya memandangi hilir mudik orang keluar masuk lewat pintu dengan berkas di tangan mereka.
Beda dengan Hana yang masih belum tahu apa yang akan ia lakukan. Mau pulang, tapi Hana belum merampungkan tugasnya jadi karyawan di tempat ini seperti mandat Sang Bapak. Mau co minta maaf ke Pak Robert tapi Hana benar-benar sudah enggan berhadapan dengan pria menyebalkan satu itu.
Jadilah lima belas menitnya berakhir sia-sia. Cuma diam di kursi menatap ke luar pintu kaca sambil memainkan ujung ibu jari kaki di dalam sepatunya.
“Bapak minta tolong kamu mau ya kerja sama Pak Robert. Dia bos yang baik kok. Dulu dia belajar bangun bisnis sama bapak juga.”
Kalimat Sang Bapak kembali terngiang-ngiang di dalam kepala Hana. Lagi-lagi tanpa sadar Hana berdesis kesal.
“Baik apanya, Pak? Masa’ cowo kayak gitu dibilang baik?” gerutu Hana dalam hati. Bagaimana ia tak merasa kesal, jelas-jelas Hana sudah berbaik hati mau mengajaknya berjabat tangan lebih dulu. Tapi apa balasannya? Dia malah menepis tangan Hana, menolak dengan kasar.
Pak Robert membuang niat baik Hana begitu saja seperti sampah.
“Karena kamu anak satu-satunya bapak jadi cuma kamu yang bisa bapak andalkan, Han. Kamu harus bisa mengangkat kembali bisnis bapak. Salah satu caranya kamu harus banyak belajar sama Pak Robert dengan jadi anak buahnya.”
Ludah Hana menggumpal sebesar biji salak. Terpaksa ia telan bulat-bulat demi menyeka kerongkongannya yang mendadak tercekat. Lagi dan lagi, Hana tak punya pilihan lain.
“Baiklah… “ Gadis berwajah cantik dengan bola mata biru dan rambut panjangnya yang dicat pirang pelan-pelan bangkit dari kursinya. Momen di mana belasan pasang mata dari balik monitor makin banyak yang mencuri pandang ke arahnya.
Tekad Hana sudah bulat. Ia harus menakhlukkan Pak Robert bagaimana pun caranya.
‘Kleekkkk… ‘
Gagang pintu berputar, kepala Hana melongak melihat ke dalam ruangan. Laki-laki itu masih duduk di depan sana. Duduk bersandar di kursi empuknya berwarna merah mawar, sibuk memeriksa dokumen di tangannya.
“Pak Robert,” panggil Hana.
Sementara yang dipanggil tetap bungkam. Pura-pura tak melihat Hana, Matanya tetap fokus bergerak ke kanan kiri membaca dokumen tebal di tangannya.
“Hufttt… “ Sejenak Hana menghela napas panjang, menahan kesal yang sudah menumpuk di dadanya lagi sebelum memaksakan senyum di bibirnya. Hana melangkah beberapa langkah lebih dekat sambil sedikit membungkukkan tubuhnya lantas memanggil namanya lagi.
“Pak Robert…. ” Hana sudah menurunkan nada bicaranya ke titik yang paling lembut. Belum pernah Hana memanggil siapa pun selembut nama Pak Robert barusan. Kali ini Hana benar-benar bertekad ingin meminta maaf. Apa pun caranya.
Untungnya, dewi fortuna berpihak pada Hana. Kali kedua Hana mencoba, Pak Robert akhirnya mau mengangkat wajahnya, menoleh ke arah Hana tapi dengan wajah terlipat.
“Nggak pernah diajari sopan santun ya sama Pak Hartono?!” ketus Pak Robert. Kalimatnya tajamnya langsung menusuk persis di hati Hana.
“Eh ??”
Hana kikuk sekaligus bingung. Sorot matanya menatap Pak Robert dan pintu masuk bergantian. Hana tidak tahu kesalahan apalagi yang ia perbuat. Ia sudah menurunkan nada bicaranya sepelan mungkin. Bahkan saat berjalan tadi Hana juga sudah sedikit membungkukkan tubuhnya. Tapi masih saja salah di mata Pak Robert.
“Saya tanya! Kamu nggak diajarin sopan santun ya sama Pak Hartono?!! Nada bicara Pak Robert meninggi sampai-sampai menciutkan nyali Hana.
Perempuan yang tadinya congkak sekarang hanya bisa tertunduk lesu bingung tak sadar apa kesalahan yang sudah ia perbuat. Ruangan Pak Robert terasa berbeda dengan ruang tamu tadi. Di ruangan yang hanya 3x4 meter ini, Hana seperti masuk ke dalam kandang singa lapar.
“Shhhhh…. Susah ngajarin bocah kemarin sore.” Pak Robert bangkit dari kursinya, melempar dokumen yang ada di tangannya ke atas meja setengah dibanting. “Kalau mau masuk ruangan orang itu ketuk pintu dulu. Kalau kamu diperbolehkan masuk, baru kamu masuk. Ngerti?!”
Hana cuma bisa mengangguk-angguk ketakutan.
“Ulangi!” ketus Pak Robert sambil menunjuk pintu keluar.
Dengan hati yang dongkol dan rasa terpaksa Hana berbalik badan, berjalan gontai keluar melewati pintu yang dia sendiri tutup.
Di belakang suara-suara tidak mengenakkan mulai terdengar di antara tawa-tawa tertahan. Cibiran, ledekan, olokan dari belasan karyawan tetap lain ditujukan pada Hana. Tentu saja dengan suara bisik-bisik samar dan wajah-wajah pengecut yang sembunyi di balik layar monitor.
“Dasar anak baru. Belum tahu aja dia se-killer apa bos kita.”
“Sudah untung tidak dipenggal kepalanya. Udah duduknya pake angkat satu kaki. Nggak sopan banget.”
“Iya ih. Mentang-mentang anak Pak Hartono. Eh… emang kamu kenal sama Hartono-Hartono itu?”
“Kagak… kalau di kampung gue sih Hartono tukang tambal ban. Pak Tono.”
“Hahaha….”
“Eh-eh-eh.. lihat, buka pintu aja masih perlu diajarin.”
“Iya malu-maluin banget asli. Perasaan dulu gue pas ngelamar jadi karyawan nggak gitu-gitu amat.”
“Iya kan dia orang kaya.”
“Heleh, paling juga kaya gadungan. Ngakunya doang kaya. Noh liat kelakuannya udah norak. Kampungan!”
“Hahahahaa….. “
Hana yang sebenarnya kesal tak bisa berbuat apa-apa selain memejamkan mata dan berusaha mengabaikan semua suara itu. Mau bagaimana juga meski mereka bicara dengan suara pelan Hana tetap saja bisa mendengar cibiran mereka. Tapi Hana sudah bertekad minta maaf pada Pak Robert. Cuma dengan cara menuruti semua permintaan bos sialan satu itu yang bisa Hana lakukan.
“Demi Bapak,” gumam Hana dalam hati membulatkan tekad sembari memasang senyum terbaik yang bisa ia guratkan di bibir.
‘Tok… Tokkk… Tokkkk….. !!!’
“Siapa?” Suara dari dalam terdengar keras.
“Ha-Hana, Pak.”
Jawaban Hana yang gelagapan ketakutan mengundang tawa dari para karyawan lagi.
“Ya masuk!”
Untuk ke sekian kalinya Hana memutar gagang pintu ruangan kerja Pak Robert. Hana muncul dari balik papan kayu tebal berhias ukiran sulur mawar dengan kepala membungkuk sopan dan bibir yang masih tersenyum lebar.
“See ??” Pak Robert membuka kedua lengannya. “Kalau kamu sopan begini kan enak? Saya juga bisa dengan welcome menerima kamu. Nggak kayak tadi. Kampungan!” umpatan terakhir sebelum Pak Robert kembali duduk di kursi singgasananya.
Hana sebenarnya masih tidak terima dengan kata kampungan yang keluar dari mulut Pak Robert tadi. Mau bagaimana pun juga, dulu Pak Robert kan anak buah Pak Hartono. Kenapa jadi sekarang dia yang menyebut Hana kampungan?
“Silakan duduk, Han.”
Satu undangan yang membuncahkan rasa bahagia di hati Hana. Akhirnya setelah dipermalukan dan dicibir karyawan-karyawan di luar, Hana bisa mendapatkan kembali hati Pak Robert. Nggak masalah deh kalau harus dikata kampungan juga. Yang penting Hana dapat pekerjaan ini demi Bapaknya.
“Eitsss… Eits… Eitsss… NO!” Baru juga ramah, Pak Robert kembali memelototi Hana. “Siapa yang suruh kakimu naik satu?”
“Eh…” Hana menundukkan wajah. Kakinya seperti remot otomatis, tahu-tahu sudah naik berpangku pada satu kakinya yang lain. “Hehehe… ma-maaf, Pak.” Hana menurunkan kakinya jadi rapat satu sama lain. “Ke-kebiasaan. Hehehe… tapi nanti akan saya ingat-ingat kok.”
Hana masih bisa melihat wajah kesal Pak Robert. Tulang rahangnya bergerak-gerak, Hana yakin Pak Robert sedang menggigit gemas giginya sendiri menahan kesal.
“Jangan pernah lakuin itu di depan saya lagi. Atau terpaksa saya usir kamu selamanya. Paham?!”
‘Glekkk…’
“Pa-paham, Pak.” Hana pasrah.
“Satu lagi.” Pak Robert melanjutkan kalimatnya. “Saya mau mulai besok dan seterusnya kamu nggak boleh pakai celana. Di kantor ini semua orang pakai rok. Termasuk kamu.”
“Hah ??!” Hana terbelalak terperangah. “Tapi, Pak…”
“Nggak ada tapi-tapi. Kalau masih mau pakai celana, silakan cari kantor lain!”
Sialnya, Pak Robert tidak tahu kalau Hana hampir tak punya rok di lemarinya. Hanya ada 2 lembar, itu pun keduanya setinggi paha.
Bersambung….
“Si-siap. Sa-saya akan usahakan Pak,” jawab Hana gelagapan pasrah tak bisa mendebat lagi. Benar apa kata para karyawan di luar sana tadi. Sudah bagus Pak Robert tidak memenggal kepala Hana gara-gara kejadian tadi. Sudah bagus juga Hana masih diberi maaf dengan syarat yang tidak terlalu sulit.Cuma perlu memutus urat malu dan mencoreng wajah jadi bahan ledekan belasan karyawan di depan.“Itu aturan wajib, Han.” Suara Pak Robert yang berat menegas. “Tidak ada tawar menawar di sini. Masa’ seorang anak semata wayang Pak Hartono nggak mampu beli rok? Kamu beli lah dulu kalau nggak punya sambil saya siapkan seragammu.”Hana manggut-manggut. Ia baru tahu kalau setelan batik warna merah bercorak emas dan rok panjang belahan tinggi yang karyawan pakai di depan tadi adalah seragam kantor.“Emmm… Tapi kalau saya pakai rok mini dulu boleh nggak, Pak?” tanya Hana. “Habis saya punyanya rok pendek-pendek di rumah.”Sekejap setelah kalimat Hana meluncur mendadak wajah Pak Robert memerah. Buru-b
Tengah malam hanya tinggal beberapa menit lagi saat Arya membopong tubuh Hana sempoyongan melewati beberapa orang. Sempat saling sengol dengan pengunjung lain tapi bukan masalah serius. Siapa juga yang tak kenal Arya di tempat ini? Seseorang yang hampir tak pernah absen dari tempat ini tiap malam. Satu diskotik hampir kenal semua dengan Arya, termasuk semua staff dan karyawannya. Maka dengan gampang juga Arya membawa tubuh Hana naik ke lantai dua. Selain lantai satu yang jadi bar sekaligus diskotik, lantai dua ruko di Mangga Lima ini ikut disulap jadi petak-petak kamar ilegal. Sang pemilik diskotik yang sekaligus Om-nya Arya pintar melihat peluang. Petak-petak kamar disewakan khusus bagi pengunjung diskotik yang kebanyakan berakhir di cinta sat
‘Kringggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak lebar, dering alarm mengagetkannya. Kesadaran Hana mendadak langsung bisa terkumpu, tangannya bergerak sembarangan mencari ponsel di antara, bantal, tas dan barang-barangnya yang berantakan di atas ranjang. “MAMPUS… !!!” teriak Hana panik melompat turun dari ranjangnya. Sudah pukul setengah tujuh pagi dan Hana baru bangun. Sementara jam kantor sudah dimulai jam 7 pagi, itu pun kalau Pak Robert tidak datang lebih pagi. Kalau datang lebih pagi, tamat sudah riwayat Hana. “Ehhh… ??” Dingin udara pagi terasa aneh, baru saat tungkai kakinya menyen
‘Srrrkkkkk…. !!!’ Pintu masuk berbahan kaca setebal setengah senti didorong kasar Hana. Suara dasar pintu yang menggaruk lantai kasar membuat belasan karyawan di lantai satu menoleh serampak ke arah Hana. Ada yang mengintip dari balik monitor, ada yang sampai terang-terangan berdiri dari kursinya. “Woy karyawan baru!! Pelan-pelan dong kalau buka pintu. Emang situ mampu ganti kalau pecah?? Pak Hartono kan udah bangkrut… !!” Suara menyakitkan datang dari arah gerombolan petak-petak karyawan. Disusul suara ‘huuu… ‘ panjang dibumbui sorakan-sorakan umpatan olok-olokan. 
“Kenapa melongo??” “Ehhh… “ Pertanyaan Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “SAYA TANYA KENAPA NGELAMUN?! DENGER NGGAK SIH!!” Wajah Pak Robert yang sebelumnya sudah melunak mendadak geram lagi. “APA JANGAN-JANGAN PERMINTAANKU TERDENGAR ANEH BUAT KAMU?!” Posisinya Hana sedang berdiri. Kepalanya lebih tinggi dari Pak Robet yang duduk di kursi. Meski lebih tinggi mata Pak Robert yang melotot menyurutkan nyali Hana. Seperti biang kesalahan, Hana jadi bingung serba salah. “Engg-enggak kok, Pak.” “K
‘Tokk-Tok-Tok…. !!!’ Pak Robert yang sebelumya sudah kembali sibuk mengecek ulang dokumennya satu persatu setelah diacak-acak Hana mengangkat kepala. Perhatiannya yang tadinya terkunci di lembar-lembar perjanjian terpaksa harus buyar. “Ya siapa??” tanya Pak Robert sembari melipat sedikit ujung dokumen untuk memisahkan lembar mana yang sudah ia periksa dan mana yang belum. “Hana, Pak.” Suara centil Hana terdengar dari balik pintu. “Hufttt…. “ Pak Robert membuang napas cepat.&nb
Mau tidak mau Hana terpaksa harus putar balik ke dapur. Keluar ruangan Pak Robert dengan wajah tertekuk. Lagi dan lagi, sedih, takut bercampur marah membawa Hana ke dalam lorong gelap yang panjang bernama pasrah. “Kenapa sih nggak ada yang ngerti gue? Gue kan udah berusaha bikin kopi buat dia.” Telunjuk Hana menyeka air yang menggantung di kelopak matanya. Bukan cuma niat baik Hana yang terbuang Pak Robert begitu saja. Bukan cuma usaha susah payah Hana membuatkan kopi. Tapi juga kopi pertama yang ia buat dengan penuh dedikasi dan usaha keras. “Ishhh… dikira gampang apa bikin kopi? Hah? Coba dia sendiri
“Pllakkkkk…. !!!” Krisna tak pernah menyangka sekelebat bayangan yang ditangkap anak matanya adalah tangan Hana yang melayang. Belum ada sedetik setelah kata ‘paha’ meluncur dari mulutnya Hana langsung mendaratkan tamparan. Telak mendarat di pipi Krisna sampai lehernya berputar dan telinganya berdesing panjang. “BAJINGAN LO YA!!” Krisna masih mendengar suara umpatan Hana di antara suara desing di telinganya. “EMANG LO KIRA GUE CEWEK APAAN, HAH?! LO CUMA OB DI SINI NGERTI NGGAK!! LO BUKAN LEVELNYA GUE!” Tangan Hana terangkat lgi, mengam