Tengah malam hanya tinggal beberapa menit lagi saat Arya membopong tubuh Hana sempoyongan melewati beberapa orang. Sempat saling sengol dengan pengunjung lain tapi bukan masalah serius. Siapa juga yang tak kenal Arya di tempat ini? Seseorang yang hampir tak pernah absen dari tempat ini tiap malam. Satu diskotik hampir kenal semua dengan Arya, termasuk semua staff dan karyawannya.
Maka dengan gampang juga Arya membawa tubuh Hana naik ke lantai dua. Selain lantai satu yang jadi bar sekaligus diskotik, lantai dua ruko di Mangga Lima ini ikut disulap jadi petak-petak kamar ilegal.
Sang pemilik diskotik yang sekaligus Om-nya Arya pintar melihat peluang. Petak-petak kamar disewakan khusus bagi pengunjung diskotik yang kebanyakan berakhir di cinta satu malam atau one night stand bersama perempuan-perempuan penghibur.
“Eh… Bang Arya.” Laki-laki yang sering Juple terlonjak kaget dari kursi yang diduduki. Gelagapan menurunkan kakinya dari atas meja sampai gelas anggurnya yang masih terisi setengah berombak hampir tumpah. “Ma-mau kamar, Bang? Hehehe…”
Arya melotot, jelas dia mau kamar. Buat apalagi naik ke lantai dua kalau bukan untuk mencari kamar kosong.
Juple makin serba salah dipelototi Arya. Juple takut Arya melapor sama Om Firman kalau Juple kerjanya hanya mabuk-mabuk.
“Kamar berapa yang kosong??” Suara Arya pelan namun berat.
“Enggg… Enggg… Enggg…. Ka-kamar 2 ta.. tap… tapi… “
“BURUAN KAMAR BERAPA YANG KOSONG… !!!” bentak Arya. Pelan-pelan alkohol yang masuk ke dalam lambung membuat kepalanya berat. Apalagi sambil membopong tubuh Hana sampai lantai.
“Lantai dua, Bang. Lantai duaa…. “ jawab Juple ketakutan. “Tapi bekas diapakai orang. Sudah aku bersihan. Ta—”
‘SRAKKKK…. !!!’ Arya meremas kerah kaos Juple sampai kepalanya terhuyung ke depan dan kalimatnya terpotong.
“EH… LO JANGAN MACEM-MACEM SAMA GUE YA… !!” Mata Arya merah, suaranta menyalak galak. Aroma alkohol tercium pekat keluar dari dalam mulutnya. “GUE MAUNYA KAMAR YANG BARU, BANGS4T!! LO NGGAK DENGER APA GUE BILANG TADI SORE? HAH!!”
“I-Iya, Bang. Iya… “ Gemetaran tangan Juple menggapai salah satu kunci di antara banyak kunci lain di atas meja. “I-Ini, Bang.” Susah payah Juple menelan ludah dalam posisi jakunnya tertekan kepal tangan Arya. Tubuh Arya yang jauh lebih besar tak sebanding dengan Juple yang cungkring menyisakan tulang.
“Nomor lima?” Arya menyeringai. “Belum ada yang pake?”
Keringat dingin meluncur dari dahi bersama gelengan kepala Juple. “Sumpah demi Nyi Roro Kidul belum ada yang pake kok, Bang.”
‘BRUAKKK…. !!!’
Remasan tangan Arya yang dari tadi menahan tubuh cungkring dilepaskan. Juple ganti terlempar ke belakang sampai tubuhnya mendarat kasar kembali di atas kursi.
“Arghhh…. “ Juple mengerang kesakitan. Meringis menahan nyeri di pinggangnya saat menghantam sandaran kursi kayu yang keras.
Sementara sang pelaku sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Juple. Ia terus berjalan tanpa rasa bersalah, tak terbesit sedikit pun untuk meminta maaf. Arya raja di tempat ini. Tak ada yang berani lawan Arya. Selain karena Om Firman, siapa juga yang mau cari gara-gara sama pria bertubuh dipenuhi otot-otot besar? Tak ada.
Lain cerita dengan Hana. Bodohnya Hana yang masih belum ia sadari sampai detik ini adalah ia merasa menang sudah menakhlukkan hati Arya. Hana bangga sekali punya cowo yang mau meratukan dirinya sebaik Arya.
Saking bodohnya, Hana sampai tak sadar hidupnya tengah digerogoti pelan-pelan oleh Arya. Setelah satu tahun yang lalu menyerahkan keperawanannya, Hana semakin lepas kendali. Apa saja yang Arya mau, Hana pasti kasih.
Hana dan Arya merasa sudah jadi pasangan paling cocok satu sama lain. Merasa bisa saling isi kelemahan dan kekurangan. Sudah merasa paling berjodoh. Padahal semua itu bisa lenyap dengan sangat gampang. Perubahan drastis akan terjadi dampak dari kebangkrutan perusahaan Hartono di mana itu artinya, sumur sumber uang foya-foya Hana telah kering.
“Uhhhhh…. “ Arya pelan-pelan menurunkan Hana dari pundaknya.
Tubuh Hana yang hanya tinggal sisa-sisa kesadaran tipis menggelepar begitu saja di atas kasur dengan posisi yang acak-acakan. Rambut bercat pirangnya berantakan, crop top berbalut kemeja tak dikancingkang masih melekat, termasuk rok levis setiggi paha yang tersingkap ke atas mempertontonkan sedikit celana dalam warna putih tulang di dalamnya.
‘Klekkk… !!’
Gagang kunci pintu diputar, tanda tak akan ada orang lain lagi yang bisa mengganggu apa yang akan Arya lakukan pada Hana. Sambil berbalik badan, Arya mulai menanggalkan satu persatu pakaiannya. Mulai dari kemeja merah mawar polos, membuka otot-otot lengan yang besar juga barisan otot perut yang berbaris rapi.
Berakhir di bunyi besi-besi kecil ikat pinggang dan celana levis hitam polos melorot jatuh ke lantai kamar.
“Kemarilah sayang… “
Arya mendaratkan tubuhnya di atas ranjang. Merapatkan tubuh telanjangnya memeluk tubuh Hana. Keringat bercampur aroma alkohol masih jelas tercetak jelas di kulit tubuh Arya. Kalau mau dilihat secara rupa, Arya bukan pria yang jelek. Dia tampan, tubuh atletisnya selalu Arya manfaatkan untuk menggaet perempuan mana pun yang ia mau.
Kapten tim basket kampus Hana dulu satu ini sudah terlihat badboy dari luar. Dagu lancip, bola mata tajam berpayung alis tebal, kalau Hana jalan berdua dengan Arya, semua orang pasti takjub. Benar-benar couples goal, satu tampan bertubuh atletis, yang perempuan berperawakan cantik dengan postur tubuh tinggi berisi. Tidak gemuk tapi montok, baik Hana maupun Arya sama-sama jadi rebutan banyak mahasiswa di kampus.
Namun hanya sedikit orang yang tahu hubungan mereka berdua sudah sejauh apa. Termasuk apa yang terjadi malam ini. Arya dengan gampang menarik kemeja Hana hingga terlepas. Hanya tigggal crop top tipis, tangan Arya pilih memelorotkan rok mini Hana bersamaan dengan celana dalamnya.
Hana tidur telentang dengan bagian bawah tubuhnya terekspose seluruhnya. Mata Arya langsung tahu apa yang ia cari. Batangnya menegang, mengacun tegak hampir setinggi pusar.
“Ummhhhhh…” Hana melenguh. Di bawah alam sadarnya, ia mulai merasakan sesuatu yang berat menindih tubuhnya.
Kalau saja Hana punya sedikit lebih banyak kesadaran ia pasti bisa melihat kejadian yang sesungguhnya. Ia pasti bisa melihat Arya mulai membuka pahanya lebih lebar lagi. Tubuhnya turun membungkuk sementara tangan kanannya mengarahkan ujung batangnya ke depan mulut liang bawah Hana.
“Ohhhhh…. “ Mimik wajah Arya tak bisa berbohong. Ia benar-benar menikmati saat-saat ujung batangnya mulai masuk pelan-pelan menyibak lubang kenikmatan Hana. “Tenang sayang,” ujar Arya lagi sembari mengecup bibir Hana yang masih tak juga sadar. “Aku masukin pelan-pelan kok.”
Senyum menyeringai menutup pembicaraan, Arya mulai asyik sendiri menikmati tubuh pacarnya yang teler. Dimulai dari kecupan-kecupan lembut dari ujung kaki naik ke atas. Pelan-pelan kecupn lembut menjelma jadi jilatan. Tubuh Hana yang berbalut pekat aroma alkohol bercampur air ludah.
“Ahhhhh… shhhhh….”
Meski alam sadarnya hampir hilang sepenuhnya, Hana masih bisa menikmati sensasi geli yang bercampur nikmat. Perasaan yang mamantik gairahnya naik ke ubun-ubun.
“Aku masukin ya sayang… “
Suara Arya yang pelan dan berat terdengar di antara desahan Hana. Dada Hana tersontak ke atas, bibirnya melenguh begitu ujung batang Arya pelan-pelan menerobos masuk di liangnya yang entah sejak kapan sudah mulai basah.
Batang Arya masuk sedikit demi sedikit sampai terbenam sepenuhnya. Hana ikut memejam merasakan betapa nikmat sensasinya saat pintu rahim diketuk benda tumpul ujung batang Arya. Sensasi yang terus berulang seiring Arya mulai bergerak memompa, menarik dan membenamkan batangnya sampai habis menyisakan dua bola testis di luar.
“Ahhh-ahhhh-ahhh…. Sshhhh…. Umphhh…. !!”
Arya tampak asik sendiri menggagahi Hana. Mencabut dan menancapkan batangnya dengan tempo yang semakin lama semakin cepat. Menarik kaki Hana berganti posisi beberapa kali. Arya sepenuhnya jadi penguasa untuk tubuh di bawahnya yang cuma bisa pasrah.
Satu jam, dua jam, tiga jam terlewat. Entah sudah berapa kali Arya memuntahkan lahar putih hangatnya di dalam lubang Hana.
Arya tak pernah mau tahu bagaimana nanti kalau Hana hamil. Ia cuma mau tahu menari kepuasan sebanyak mungkin malam ini. Sampai kemudian persis di jam 3 malam, Arya meninggalkan Hana begitu saja.
Benar-benar laki-laki egois. Padahal sejak sebelum Hana dan dirinya berangkat ke diskotik, Hana sudah berpesan ingin membeli rok dulu. Hana butuh untuk kerja besok. Tapi sampai hari berganti jadi pagi, tubuh teler Hana masih teronggok di salah satu bilik kamar ilegal diskotik.
Masih bagus kalau jual diri, Hana memberikan tubuhnya cuma-cuma pada pria bangsat seperti Arya.
Bersambung…
‘Kringggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak lebar, dering alarm mengagetkannya. Kesadaran Hana mendadak langsung bisa terkumpu, tangannya bergerak sembarangan mencari ponsel di antara, bantal, tas dan barang-barangnya yang berantakan di atas ranjang. “MAMPUS… !!!” teriak Hana panik melompat turun dari ranjangnya. Sudah pukul setengah tujuh pagi dan Hana baru bangun. Sementara jam kantor sudah dimulai jam 7 pagi, itu pun kalau Pak Robert tidak datang lebih pagi. Kalau datang lebih pagi, tamat sudah riwayat Hana. “Ehhh… ??” Dingin udara pagi terasa aneh, baru saat tungkai kakinya menyen
‘Srrrkkkkk…. !!!’ Pintu masuk berbahan kaca setebal setengah senti didorong kasar Hana. Suara dasar pintu yang menggaruk lantai kasar membuat belasan karyawan di lantai satu menoleh serampak ke arah Hana. Ada yang mengintip dari balik monitor, ada yang sampai terang-terangan berdiri dari kursinya. “Woy karyawan baru!! Pelan-pelan dong kalau buka pintu. Emang situ mampu ganti kalau pecah?? Pak Hartono kan udah bangkrut… !!” Suara menyakitkan datang dari arah gerombolan petak-petak karyawan. Disusul suara ‘huuu… ‘ panjang dibumbui sorakan-sorakan umpatan olok-olokan. 
“Kenapa melongo??” “Ehhh… “ Pertanyaan Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “SAYA TANYA KENAPA NGELAMUN?! DENGER NGGAK SIH!!” Wajah Pak Robert yang sebelumnya sudah melunak mendadak geram lagi. “APA JANGAN-JANGAN PERMINTAANKU TERDENGAR ANEH BUAT KAMU?!” Posisinya Hana sedang berdiri. Kepalanya lebih tinggi dari Pak Robet yang duduk di kursi. Meski lebih tinggi mata Pak Robert yang melotot menyurutkan nyali Hana. Seperti biang kesalahan, Hana jadi bingung serba salah. “Engg-enggak kok, Pak.” “K
‘Tokk-Tok-Tok…. !!!’ Pak Robert yang sebelumya sudah kembali sibuk mengecek ulang dokumennya satu persatu setelah diacak-acak Hana mengangkat kepala. Perhatiannya yang tadinya terkunci di lembar-lembar perjanjian terpaksa harus buyar. “Ya siapa??” tanya Pak Robert sembari melipat sedikit ujung dokumen untuk memisahkan lembar mana yang sudah ia periksa dan mana yang belum. “Hana, Pak.” Suara centil Hana terdengar dari balik pintu. “Hufttt…. “ Pak Robert membuang napas cepat.&nb
Mau tidak mau Hana terpaksa harus putar balik ke dapur. Keluar ruangan Pak Robert dengan wajah tertekuk. Lagi dan lagi, sedih, takut bercampur marah membawa Hana ke dalam lorong gelap yang panjang bernama pasrah. “Kenapa sih nggak ada yang ngerti gue? Gue kan udah berusaha bikin kopi buat dia.” Telunjuk Hana menyeka air yang menggantung di kelopak matanya. Bukan cuma niat baik Hana yang terbuang Pak Robert begitu saja. Bukan cuma usaha susah payah Hana membuatkan kopi. Tapi juga kopi pertama yang ia buat dengan penuh dedikasi dan usaha keras. “Ishhh… dikira gampang apa bikin kopi? Hah? Coba dia sendiri
“Pllakkkkk…. !!!” Krisna tak pernah menyangka sekelebat bayangan yang ditangkap anak matanya adalah tangan Hana yang melayang. Belum ada sedetik setelah kata ‘paha’ meluncur dari mulutnya Hana langsung mendaratkan tamparan. Telak mendarat di pipi Krisna sampai lehernya berputar dan telinganya berdesing panjang. “BAJINGAN LO YA!!” Krisna masih mendengar suara umpatan Hana di antara suara desing di telinganya. “EMANG LO KIRA GUE CEWEK APAAN, HAH?! LO CUMA OB DI SINI NGERTI NGGAK!! LO BUKAN LEVELNYA GUE!” Tangan Hana terangkat lgi, mengam
“Iya itu loh… “ Pak Robert mempertegas. “Kamu gimana sih?! Masa yang pake rok malah nggak kerasa? Aneh banget.” Hana yang baru sadar buru-buru merapatkan nampan kecil yang ia gunakan untuk membawa kopi turun ke bawah. Menutupi rok mininya yang ternyata sudah robek setengah jengkal. Robekan kecil yang semula memang ada sejak rok masih baru memanjang sampai hampir mencapai celana dalam Hana. “Ihhhh…. Pak Robert mata keranjang ya!!” Hana melotot, wajahnya memerah padam, malu setengah mati. “Kalau udah tahu sobek ya jangan dilihatin terus dong, Pak. Aduh-aduh-aduh…. Gimana dong, Pak?” “Loh siapa yang mata keranjang?&ldqu
“Sllurrrpp….. Ahh….. “ Pak Robert kembali menandaskan satu seruputan lagi ditutup dengan ‘Ah… ‘ panjang nan nikmat. Hana sampai detik ini masih belum juga mengerti apa enaknya minuman yang lebih dominan dengan rasa pahit satu itu. Ia lebih panik dengan kabar kalau harus ikut makan siang bersama klien dengan posisi pakaian seperti ini. Kemeja putih yang sekarang beraroma sangit khas dapur, rok mini yang robek terpaksa harus ditutup dengan kemeja Pak Robert. Hana tak bisa membayangkan ikut makan siang dengan pakaian terburuk yang pernah ia kenakan. “Sudah. Tidak penting dari mana saya tahu.” Pak Robert berdiri dari si
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y