‘Kringggg…. !!!’
Mata Hana terbelalak lebar, dering alarm mengagetkannya. Kesadaran Hana mendadak langsung bisa terkumpu, tangannya bergerak sembarangan mencari ponsel di antara, bantal, tas dan barang-barangnya yang berantakan di atas ranjang.
“MAMPUS… !!!” teriak Hana panik melompat turun dari ranjangnya. Sudah pukul setengah tujuh pagi dan Hana baru bangun. Sementara jam kantor sudah dimulai jam 7 pagi, itu pun kalau Pak Robert tidak datang lebih pagi. Kalau datang lebih pagi, tamat sudah riwayat Hana.
“Ehhh… ??” Dingin udara pagi terasa aneh, baru saat tungkai kakinya menyentuh lantai Hana sadar. Ia tak mengenakan sehelai pakaian pun. “A-Aku di mana?”
Hana yang masih bingung tak punya banyak waktu. Matanya langsung mencari di mana keberadaan pakaian-pakaiannya. Mengenakan buru-buru crop top, rok pendek dan kemeja sembarangan.
Hana membuka pintu dengan kasar, tubuh ringannya berlari melesat melewati lorong cukup panjang berhias pintu-pintu kamar di kanan dan kiri. Lorong yang sudah mirip seperti kapal pecah. Botol-botol minuman keras tergeletak sembarangan. Bungkus-bungkus kondom bertebaran seperti bungkus permen. Belum lagi suara mendengkur yang bersahutan dari satu pintu dengan yang lain.
Sambil terus berlari Hana mulai sadar di mana posisinya sekarang. Lantai dua diskotik, meski jarang Arya mengajaknya ke sini tapi Hana masih cukup dengan jelas mengenalinya. Kepanikan Hana memuncak begitu ingat kalau jarak rumahnya dengan diskotik lumayan jauh. Ia tak mungkin pulang dengan berlari.
“Dasar Arya Anj1nggg… !!!”
Hana hanya bisa mengumpat dalam hati. Bibirnya tertutup rapat gemetaran panik, dadanya memompa cepat, otaknya sibuk memikirkan cara bagaimana caranya sampai ke kantor dan harus mampir ke rumah dulu untuk mandi tanpa kendaraan? Ia berangkat ke diskotik dengan mobil Arya. Sekarang entah ke mana perginya pria satu itu.
“JUPLEE…. !!!” Mata Hana menangkap bayangan seseorang yang sudah separuh menuruni anak tangga. “JUPLE TUNGGU… !!!”
Juple yang tadinya mau turun terpaksa mengurungkan niatnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, seorang wanita cantik separuh telanjang melompat menangkap tubuh Juple.
“PLE… !! LO HARUS ANTERIN GUE PULANG, PLE!! SEKARANG.. !!”
“Aduh-Aduhh… aakhhhh…” Juple meringis kesakitan, tubuhnya terimpit tubuh Hana dan tembok. “Mbakk… Akkhh… Tolonggg…. !! I-Iya, Mbak. Duh saya sih emang pengen didempetin cewe. Tapi nggak ke tembok juga kali, Mbak!!”
##
Tinggal lima belas menit lagi menuju jam 7 pagi sesampainya Hana di rumah.
“Ple… Lo tunggu di sini dulu. Anterin gue kerja.” Hana melembar helmnya pada Juple.
“Eh… Mbak tapi Juple kan mesti beres-beres ruko.”
“Diem ngaak lo!!” ancam Hana dengan telunjuk mengacung. “Atau gue laporin Arya biar lo nggak usah kerja lagi sekalian besok.”
“T-ta-tapi Mbak… “
Hana sudah tidak peduli lagi dengan Juple dan rambut keribonya yang berusaha memberontak dari dalam helm. Hana lari tunggang langgang masuk ke dalam rumah. Ia melepaskan tas kecilnya di atas meja ruang tengah di mana kedua orang tuanya sedang duduk santai minum the.
“Pagi, Han.” Ibu menyapa.
“Dasar anak nggak tahu diri. Udah tahu jam waktunya kerja, jam segini malah baru pulang!” omel Pak Hartono. “Ibu sih kebanyakan manjain Hana dari kecil. Kayak gini deh jadinya pas udah gede. Nggak tahu diri.”
Hana mengabaikan semua suara kedua orang tuanya. Tubuhnya meluncur langsung masuk ke dalam kamar mandi, menanggalkan semua pakaiannya dan menyalakan shower. Tak ada ritual mandi yang biasa Hana lakukan berlama-lama di dalam kamar mandi. Ia menyabuni tubuhnya dengan tergesa-gesa. Membilas dan menghanduki dengan asal-asalan.
Syukurnya, ibu Hana sudah menyiapkan selembar pakaian di kamar. Satu setel kemeja putih lengkap dengan celana panjang hitam. Hana melepas kemeja yang ia kenakan semalam, melemparnya sembarangan ke lantai, menggantinya dengan kemeja putih polos yang sudah ibunya siapkan.
Tiba di bagian bawahan, saat tangan Hana bertemu dengan kain celana hitam kain barulah Hana sadar.
“Bentar….” Beberapa detik kemudian Hana terdiam. “Mampus! Gue belum beli rok panjang… !!!”
Waktu sudah mepet, Hana tidak punya pilihan lain selain mengaduk-aduk lemari pakaiannya mencari sepotong rok pendeknya yang tersisa. Ia cuma punya dua rok, itu pun pendek semua di atas lutut. Satu sudah ia kenakan semalam di diskotik. Hanya tersisa satu lagi.
“Ke mana sih??” Hana mengumpat kesal. Tangannya tak berhenti mengaduk-aduk tumpukan pakaian. Pernahkah kalian mengalami sering melihat sesuatu di tempatnya tapi giliran kita sedang sangat butuh buru-buru tiba-tiba benda itu lenyap entah ke mana. Perasaan itu yang sekarang Hana alami.
“Hah… ketemu!!” pekik Hana lega.
Selembar rok warna biru tua terakhirnya teronggok di dasar lemari. Jarang Hana pakai memang karena sudah hampir tidak muat di tubuhnya. Tapi pagi ini pengecualian. Hana tak mungkin mengenakan rok levis yang sudah bercampur aroma alkohol ke kantor. Lebih pilih memaksakan tubuhnya masuk ke dalam rok yang sudah sedikit kekecilan.
“Pak, Bu, Hana berangkat…. !!!!” teriak Hana sambil menyambar tas kecilnya di atas meja ruang tengah.
Kedua orang tua Hana masih ada di sana. Duduk berdua menikmati teh pagi, geleng-geleng kepala melihat kelakuan putri semata wayangnya yang tak punya sopan santun.
“Bapak yakin ini cara terbaik buat melatih, Hana?” tanya Sang Ibu. “Hana nggak bisa terus-terusan kita bohongin gini, Pak. Ibu nggak tega.”
Pak Hartono menoleh. Raut mukanya dipenuhi kepasrahan. “Cuma ini satu-satunya cara, Bu. Hana harus belajar mandiri. Mending kita lihat Hana sengsara sekarang daripada pas kita udah nggak ada di dunia. Iya kan?”
Sementara yang jadi buah bibir langkahnya sudah sampai di halaman depan. Tak sempat berdandan, jangankan pakai bedak atau lipstik, menyemprotkan minyak wangi saja Hana tak sempat. Ia melompat ke atas motor bebek yang masih setia menunggu.
“BERANGKAT, PLE!!”
“Bentar, Mbak Hana kan belum kasih tahu Juple mau ke mana.”
Hana menepuk jidat. “PT. CAKRA!! Jangan bilang lo nggak tahu.”
“Ya kaga.” Juple menggeleng kepala. “Dari mana saya tahu coba?”
“Anj1ng… !! Udah mending lo turun deh biar gue yang bawa motornya.”
Lagi-lagi Juple hanya bisa pasrah. Memberikan singgasana kemudinya pada Hana. Meski pada akhirnya bukan cuma bangku kemudi yang Juple beri, tapi juga harus mempertaruhkan nyawanya.
Hana mengemudi sudah mirip pembalap Motor GP yang sudah melihat bendera berkibar di dekat garis finish. Tak peduli kelokan, tak peduli truk besar full muatan, tak peduli lampu merah, gas motor ditarik sampai dasar. Beberapa kali Juple berteriak melayangkan protes, tapi selalu berujung teriakan Hana menyuruhnya diam.
Juple baru bisa bernapas lega begitu roda belakang motornya mengepot. Mereka berdua sampai di hadapan sebuah gerbang warna biru langit. Lebih lega lagi saat Hana melompat turun dari jok motornya.
“Makasih tumpangannya, Ple.”
Juple menggerutu menangkap helm yang dilempar Hana ke arahnya. “Apanya yang tumpangan? Ini sih lebih cocok disebut pembegalan,” dengus Juple kesal dalam hati. “Mana nggak dapet apa-apa lagi. Dapet tete nempel punggung kan lumayan harusnya.”
Segala protes di dalam hati Juple sia-sia, meski Juple berteriak kencang juga tetap percuma. Tubuh Hana sudah hilang ditelan gerbang pintu masuk. Tanpa Hana tahu, Bos killer bernama Pak Robert sudah datang lebih awal lima belas menit yang lalu.
Bersambung….
‘Srrrkkkkk…. !!!’ Pintu masuk berbahan kaca setebal setengah senti didorong kasar Hana. Suara dasar pintu yang menggaruk lantai kasar membuat belasan karyawan di lantai satu menoleh serampak ke arah Hana. Ada yang mengintip dari balik monitor, ada yang sampai terang-terangan berdiri dari kursinya. “Woy karyawan baru!! Pelan-pelan dong kalau buka pintu. Emang situ mampu ganti kalau pecah?? Pak Hartono kan udah bangkrut… !!” Suara menyakitkan datang dari arah gerombolan petak-petak karyawan. Disusul suara ‘huuu… ‘ panjang dibumbui sorakan-sorakan umpatan olok-olokan. 
“Kenapa melongo??” “Ehhh… “ Pertanyaan Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “SAYA TANYA KENAPA NGELAMUN?! DENGER NGGAK SIH!!” Wajah Pak Robert yang sebelumnya sudah melunak mendadak geram lagi. “APA JANGAN-JANGAN PERMINTAANKU TERDENGAR ANEH BUAT KAMU?!” Posisinya Hana sedang berdiri. Kepalanya lebih tinggi dari Pak Robet yang duduk di kursi. Meski lebih tinggi mata Pak Robert yang melotot menyurutkan nyali Hana. Seperti biang kesalahan, Hana jadi bingung serba salah. “Engg-enggak kok, Pak.” “K
‘Tokk-Tok-Tok…. !!!’ Pak Robert yang sebelumya sudah kembali sibuk mengecek ulang dokumennya satu persatu setelah diacak-acak Hana mengangkat kepala. Perhatiannya yang tadinya terkunci di lembar-lembar perjanjian terpaksa harus buyar. “Ya siapa??” tanya Pak Robert sembari melipat sedikit ujung dokumen untuk memisahkan lembar mana yang sudah ia periksa dan mana yang belum. “Hana, Pak.” Suara centil Hana terdengar dari balik pintu. “Hufttt…. “ Pak Robert membuang napas cepat.&nb
Mau tidak mau Hana terpaksa harus putar balik ke dapur. Keluar ruangan Pak Robert dengan wajah tertekuk. Lagi dan lagi, sedih, takut bercampur marah membawa Hana ke dalam lorong gelap yang panjang bernama pasrah. “Kenapa sih nggak ada yang ngerti gue? Gue kan udah berusaha bikin kopi buat dia.” Telunjuk Hana menyeka air yang menggantung di kelopak matanya. Bukan cuma niat baik Hana yang terbuang Pak Robert begitu saja. Bukan cuma usaha susah payah Hana membuatkan kopi. Tapi juga kopi pertama yang ia buat dengan penuh dedikasi dan usaha keras. “Ishhh… dikira gampang apa bikin kopi? Hah? Coba dia sendiri
“Pllakkkkk…. !!!” Krisna tak pernah menyangka sekelebat bayangan yang ditangkap anak matanya adalah tangan Hana yang melayang. Belum ada sedetik setelah kata ‘paha’ meluncur dari mulutnya Hana langsung mendaratkan tamparan. Telak mendarat di pipi Krisna sampai lehernya berputar dan telinganya berdesing panjang. “BAJINGAN LO YA!!” Krisna masih mendengar suara umpatan Hana di antara suara desing di telinganya. “EMANG LO KIRA GUE CEWEK APAAN, HAH?! LO CUMA OB DI SINI NGERTI NGGAK!! LO BUKAN LEVELNYA GUE!” Tangan Hana terangkat lgi, mengam
“Iya itu loh… “ Pak Robert mempertegas. “Kamu gimana sih?! Masa yang pake rok malah nggak kerasa? Aneh banget.” Hana yang baru sadar buru-buru merapatkan nampan kecil yang ia gunakan untuk membawa kopi turun ke bawah. Menutupi rok mininya yang ternyata sudah robek setengah jengkal. Robekan kecil yang semula memang ada sejak rok masih baru memanjang sampai hampir mencapai celana dalam Hana. “Ihhhh…. Pak Robert mata keranjang ya!!” Hana melotot, wajahnya memerah padam, malu setengah mati. “Kalau udah tahu sobek ya jangan dilihatin terus dong, Pak. Aduh-aduh-aduh…. Gimana dong, Pak?” “Loh siapa yang mata keranjang?&ldqu
“Sllurrrpp….. Ahh….. “ Pak Robert kembali menandaskan satu seruputan lagi ditutup dengan ‘Ah… ‘ panjang nan nikmat. Hana sampai detik ini masih belum juga mengerti apa enaknya minuman yang lebih dominan dengan rasa pahit satu itu. Ia lebih panik dengan kabar kalau harus ikut makan siang bersama klien dengan posisi pakaian seperti ini. Kemeja putih yang sekarang beraroma sangit khas dapur, rok mini yang robek terpaksa harus ditutup dengan kemeja Pak Robert. Hana tak bisa membayangkan ikut makan siang dengan pakaian terburuk yang pernah ia kenakan. “Sudah. Tidak penting dari mana saya tahu.” Pak Robert berdiri dari si
“Hahaha…. Ayolah, Han. Kamu kan tenaga baru di perusahaan saya. Harusnya orang baru tuh masih semangat kalau dikasih lemburan. Bonusnya gede loh.” “Nggak!” ketus Hana. “Pak Robert aja lembur sendiri sana,” balas Hana disusul tawa terkekeh. Untuk pertama kali sepanjang 2 hari berjalan dengan peperanga akhirnya mereka berdua bisa tertawa bersama. Meski tertawa, tapi Hana serius soal lembur. Hana ogah lembur. Lagian Hana juga tidak terlalu butuh uang. Cuma kerja seperlunya juga sudah cukup. Nggak harus repot-repot sampai lembur. “Kita
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y