‘Srrrkkkkk…. !!!’
Pintu masuk berbahan kaca setebal setengah senti didorong kasar Hana. Suara dasar pintu yang menggaruk lantai kasar membuat belasan karyawan di lantai satu menoleh serampak ke arah Hana. Ada yang mengintip dari balik monitor, ada yang sampai terang-terangan berdiri dari kursinya.
“Woy karyawan baru!! Pelan-pelan dong kalau buka pintu. Emang situ mampu ganti kalau pecah?? Pak Hartono kan udah bangkrut… !!”
Suara menyakitkan datang dari arah gerombolan petak-petak karyawan. Disusul suara ‘huuu… ‘ panjang dibumbui sorakan-sorakan umpatan olok-olokan.
“Dasar nggak tahu diri!!”
“Kampungan… “
“Orang kaya tapi norak.. !!”
“Udah jatuh miskin juga lagaknya songong banget.”
Sesuatu di dalam tubuh Hana rasanya seperti ingin meledak. Hana tidak takut pada mereka semua meski hanya sendirian. Ingin rasanya berteriak balik memaki mereka. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Dengan kepala yang masih sedikit pusing dan kesadarannya yang mengapung di atas efek alkohol semalam, Hana malah merasa kalau apa yang mereka semua tidak perlu dipikirkan. Telapak tangan Hana mengepal, ingin rasanya menghadiahi mulut mereka bogem mentah satu persatu.
Cuma Hana sadar akan percuma. Hana harus segera menuju satu ruangannya sebelum Hana mendapatkan ruangan kerjanya sendiri.
“Semoga saja Bos nyebelin itu belum dateng… !!!!” umpat Hana cemas sekaligus kesal dalam hati.
Sepasang kakinya berlari cepat melewati kawanan petak-petak karyawan, mengabaikan suara-suara sumbang yang masih terus saja meledeknya. Tujuannya ada di ujung ruangan dekat pintu keluar darurat. Sebuah pintu dengan papan kayu tebal berukiran megah.
“Harusnya sih gue nggak telat. Secara kan dia bos, pasti datengnya lelet. Di mana-mana kan bos kayak gitu,” batin Hana.
Ia bahkan masih sempat tersenyum miring menyepelekan Pak Robert. Tapi langkah kakinya masih saja memburu seperti seorang atlit lari dua ratus sepuluh meter yang hampir menyentuh garis finish.
‘Klekkk…. !!!’
Tangan Hana memutar gagang pintu kasar. Saking kasar dan buru-buru Hana sampai tak melihat ada apa di balik pintu. Sekonyong-konyongnya Hana masuk dengan kecepatan berlari masih sama cepatnya. Hingga Hana akhirnya sadar saat;
‘Braaakkkk…. !!! Srkkkk…… !!!’
“Ad… duh…. “
Dalam gerak lambat Hana bisa merasakan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Gravitasi bumi seolah tak lagi bekerja pada kedua telapak kakinya. Tubuh Hana ditarik kuat ke belakang, terhuyung dan berputar sampai mendarat kasar di lantai keramik.
Hana meringis kesakitan. Tubuhnya jatuh terduduk di atas lantai kantor. Di atas kepalanya, kertas-kertas dokumen berterbangan seperti bulu kapuk dari sarung bantal jebol. Seketika hujan kertas terjadi di depan pintu ruangan Pak Robert. Siapa lagi biang keladinya kalau bukan si pengacau bernama Hana.
“Bagosss…. !!!” Suara berat menggeram tertahan terdengar. Selepas hujan kertas menutup wajah, Hana baru bisa melihat sosok yang ia tabrak. Sosok dengan mata melotot dan wajah yang melongo menahan marah. “BAGUS YAA… !! UDAH DATENGNYA TELAT! BIKIN KACAU KANTOR ORANG!!! TOLOL!!”
Hana menyibak kertas-kertas yang berkerumun di sekitarnya. Bangkit berdiri mengangkat dagunya melotot balik.
“EH… BAPAK TUH KALAU MAU MARAH TAHU DIRI DULU DONG… !!!” Hana menepuk-nepuk roknya. “SAYA INI BARU DATANG. BAPAK NGAPAIN DIAM DI DEPAN PINTU? SALAH SENDIRI LAH!! KOK JADI MALAH NYALAHIN SAYA?! BAPAK YANG SALAH!!”
Pak Robert mengerutkan dahi, matanya menyipit tajam menyerang Hana. Tubuhnya yang jauh lebih besar dan lebih tinggi jadi bayang-bayang menakutkan di depan Hana.
“KURANG AJAR! AKU INI BOS DI SINI.” Dada Pak Robert memompa cepat. Tulunjuknya berpindah dari menunjuk dirinya sendiri jadi menunjuk ujung batang hidung Hana. “BERANI-BERANINYA KAMU BENTAK-BENTAK SAYA.”
Hana menelan ludah. Efek alkohol semalam masih tersisa di kepalanya. Kesadarannya terlambat, emosinya selalu menang sampai-sampai ia baru sadar posisi dirinya dan pria yang ada di depannya sekarang. Tadinya Hana masih mau melawan balik. Tapi sekarang, ia hanya bisa tertunduk lesu.
“Ma-maaf, Pak.” Suara Hana bergetar, tubuhnya turun. Sepasang tangannya bekerja sama meembereskan kertas-kertas yang berserakan di sekitarnya. “Sa-saya bantu beresin, Pak.”
“Shhhhh…. !!” Pak Robert berdesis kesal meraup wajahnya sendiri dengan telapak tangan yang sebelumnya mengepal kencang. Ia marah pada Hana. Paginya yang tenang hancur gara-gara pengacau baru di kantornya. Bukan tak bisa marah, Pak Robert tak tahu harus marah seperti apalagi.
Kalau bukan seorang perempuan, Pak Robert pasti sudah menempeleng Hana. Memutar kepalanya hingga dagu pindah jadi ke belakang kepala. Tanpa sepengetahuan Hana, baru kali ini Pak Robert mau mengangkat asisten pribadi seorang perempuan.
Sebelum Hana, Pak Robert selalu mencari asisten pribadi laki-laki. Selain sekaligus jadi bodyguard, Pak Robert jadi punya samsak berjalan untuk meluapkan semua emosinya. Alasannya menerima Hana terlampau sederhana, Pak Robert masih punya hutang balas budi masa lalu pada Pak Hatono.
Sekarang, Pak Robert sendiri yang menyesali keputusannya.
“Hana…. Hana… Harus pake cara apa sih biar kamu mau dengerin kata-kata dari mulutku? Udah aku bilang ketuk pintu dulu kalau mau masuk. Baru kemarin loh.” Satu tangan Pak Robert berkacak pinggang, satunya lagi memijit dahi. “Bisa gila aku lama-lama ngadepin kamu.”
“Ya maaf, Pak. Saya kira Pak Robert belum datang. Biasanya kalau bos-bos perusahan besar kan suka datang terlambat.”
“MASIH AJA JAWAB YA KAMU! KAMU ITU SALAH!! SALAH YA SALAH… !! NGGAK USAH PAKAI PEMBELAAN… !!!!” bentaknya. Emosinya tersulut lagi.
“Pffffftttt…. “
Suara tawa tertahan terdengar, Wajah Pak Robert sontak terangkat. Sepasang mata yang tadinya melotot ke arah Hana bertolak ke arah barisan bilik-bilik berisi belasan karyawan.
“SIAPA YANG SURUH KETAWA? HAH?!!”
Bos puncak rantai makanan PT. CAKRA kini benar-benar naik pitam. Ia melangkah angkuh, membusungkan dada, melipat tangan di pinggang. Di depan sana, tak ada lagi orang yang berani mengintip di antara layar monitor. Mereka-mereka yang sebelumnya dapat tontonan gratis drama bos killer dan asisten barunya.
“KETAWA LAGI!!” Mata melotot Pak Robert mengabsen karyawannya satu-persatu. Semua tersontak kaget mendengar bentakan Pak Robert. “KENAPA NGGAK ADA YANG KETAWA??! MANA YANG TADI KETAWA? MANA!! GAUSAH JADI PENGECUT!”
Dari yang awalnya hanya marah pada Hana sekarang merembet ke semua karyawan di lantai 1.
“PENGECUT SEMUA… !!!!” umpatan terakhir.
Dengan wajah memerah dan dada memompa cepat, Pak Robert berbalik badan. Hanya dengan menatap punggungnya saja semua karyawan masih bisa merasakan kengerian aura Pak Robert. Masih melekat dalam ingatan mereka cerita-cerita asisten pribadi sebelum Hana yang kabur karena tak kuat dengan perlakuan Pak Robert saat marah.
‘Bruaakkkk…. !!!’
Pintu kayu ditutup Pak Robert sekuat tenaga. Suara gebrakannya menyentak kaget para karyawan sekali lagi. Mereka yang awalnya menertawakan Hana diam-diam sekarang hanya bisa saling melempar kesalahan. Menyalahkan si pecundang di tengah-tengah mereka yang tak berani menunjukkan batang hidungnya.
Gara-gara dia semua orang terkena imbasnya.
“Pak Robert…”
Hana menelan ludah ngeri melihat raut wajah menyeramkan Pak Robert yang melewati dirinya begitu saja. Saking ngerinya sampai Hana tak berani meneruskan kalimatnya. Tenggorokannya tercekat, lidahnya mendadak kelu, dengan kepala tertunduk Hana menyusul Pak Robert yang sudah duduk kembali di atas kursi kerjanya.
“I-Ini berkas-berkasnya yang tadi, Pak.” Hana meletakkan setumpuk dokumen ke atas meja. “Su-sudah saya rapikan lagi kok sesuai halaman.” Gelagapan Hana bicara. Ia berharap suasana mencekam ini segera cair. “A-Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?”
Setelah beberapa detik menunggu, sang bos akhirnya menoleh. “Buatkan saya secangkir kopi. Kopi hitamnya dua sendok kecil rata. Gulanya satu sendok kecil rata. Diaduk 3 menit setelah air panas masuk searah jarum jam sebanyak 20 kali. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Paham?”
Di tempatnya berdiri Hana cuma bisa melongo. “Kopi? Eh gue kan bukan OB!! Kenapa jadi gue yang disuruh bikin kopi?” dengusnya kesal dalam hati.
Bersambung….
“Kenapa melongo??” “Ehhh… “ Pertanyaan Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “SAYA TANYA KENAPA NGELAMUN?! DENGER NGGAK SIH!!” Wajah Pak Robert yang sebelumnya sudah melunak mendadak geram lagi. “APA JANGAN-JANGAN PERMINTAANKU TERDENGAR ANEH BUAT KAMU?!” Posisinya Hana sedang berdiri. Kepalanya lebih tinggi dari Pak Robet yang duduk di kursi. Meski lebih tinggi mata Pak Robert yang melotot menyurutkan nyali Hana. Seperti biang kesalahan, Hana jadi bingung serba salah. “Engg-enggak kok, Pak.” “K
‘Tokk-Tok-Tok…. !!!’ Pak Robert yang sebelumya sudah kembali sibuk mengecek ulang dokumennya satu persatu setelah diacak-acak Hana mengangkat kepala. Perhatiannya yang tadinya terkunci di lembar-lembar perjanjian terpaksa harus buyar. “Ya siapa??” tanya Pak Robert sembari melipat sedikit ujung dokumen untuk memisahkan lembar mana yang sudah ia periksa dan mana yang belum. “Hana, Pak.” Suara centil Hana terdengar dari balik pintu. “Hufttt…. “ Pak Robert membuang napas cepat.&nb
Mau tidak mau Hana terpaksa harus putar balik ke dapur. Keluar ruangan Pak Robert dengan wajah tertekuk. Lagi dan lagi, sedih, takut bercampur marah membawa Hana ke dalam lorong gelap yang panjang bernama pasrah. “Kenapa sih nggak ada yang ngerti gue? Gue kan udah berusaha bikin kopi buat dia.” Telunjuk Hana menyeka air yang menggantung di kelopak matanya. Bukan cuma niat baik Hana yang terbuang Pak Robert begitu saja. Bukan cuma usaha susah payah Hana membuatkan kopi. Tapi juga kopi pertama yang ia buat dengan penuh dedikasi dan usaha keras. “Ishhh… dikira gampang apa bikin kopi? Hah? Coba dia sendiri
“Pllakkkkk…. !!!” Krisna tak pernah menyangka sekelebat bayangan yang ditangkap anak matanya adalah tangan Hana yang melayang. Belum ada sedetik setelah kata ‘paha’ meluncur dari mulutnya Hana langsung mendaratkan tamparan. Telak mendarat di pipi Krisna sampai lehernya berputar dan telinganya berdesing panjang. “BAJINGAN LO YA!!” Krisna masih mendengar suara umpatan Hana di antara suara desing di telinganya. “EMANG LO KIRA GUE CEWEK APAAN, HAH?! LO CUMA OB DI SINI NGERTI NGGAK!! LO BUKAN LEVELNYA GUE!” Tangan Hana terangkat lgi, mengam
“Iya itu loh… “ Pak Robert mempertegas. “Kamu gimana sih?! Masa yang pake rok malah nggak kerasa? Aneh banget.” Hana yang baru sadar buru-buru merapatkan nampan kecil yang ia gunakan untuk membawa kopi turun ke bawah. Menutupi rok mininya yang ternyata sudah robek setengah jengkal. Robekan kecil yang semula memang ada sejak rok masih baru memanjang sampai hampir mencapai celana dalam Hana. “Ihhhh…. Pak Robert mata keranjang ya!!” Hana melotot, wajahnya memerah padam, malu setengah mati. “Kalau udah tahu sobek ya jangan dilihatin terus dong, Pak. Aduh-aduh-aduh…. Gimana dong, Pak?” “Loh siapa yang mata keranjang?&ldqu
“Sllurrrpp….. Ahh….. “ Pak Robert kembali menandaskan satu seruputan lagi ditutup dengan ‘Ah… ‘ panjang nan nikmat. Hana sampai detik ini masih belum juga mengerti apa enaknya minuman yang lebih dominan dengan rasa pahit satu itu. Ia lebih panik dengan kabar kalau harus ikut makan siang bersama klien dengan posisi pakaian seperti ini. Kemeja putih yang sekarang beraroma sangit khas dapur, rok mini yang robek terpaksa harus ditutup dengan kemeja Pak Robert. Hana tak bisa membayangkan ikut makan siang dengan pakaian terburuk yang pernah ia kenakan. “Sudah. Tidak penting dari mana saya tahu.” Pak Robert berdiri dari si
“Hahaha…. Ayolah, Han. Kamu kan tenaga baru di perusahaan saya. Harusnya orang baru tuh masih semangat kalau dikasih lemburan. Bonusnya gede loh.” “Nggak!” ketus Hana. “Pak Robert aja lembur sendiri sana,” balas Hana disusul tawa terkekeh. Untuk pertama kali sepanjang 2 hari berjalan dengan peperanga akhirnya mereka berdua bisa tertawa bersama. Meski tertawa, tapi Hana serius soal lembur. Hana ogah lembur. Lagian Hana juga tidak terlalu butuh uang. Cuma kerja seperlunya juga sudah cukup. Nggak harus repot-repot sampai lembur. “Kita
“Pak Robert apa-apaan sih??!” Kemarahan lah yang akhirnya menguasai Hana. Kasar ia merebut ponselnya dari tangan Pak Robert. Hana berharap yang barusan itu Pak Robert hanya bercanda. Tapi Hana sudah salah besar, layar ponselnya sudah ditutup. Tak ada lagi panggilan Arya, yang tampak hanya wallpaper lock screen dirinya dengan Arya saat pertama kali ke bioskop menonton film berdua. “Duhhh… udah ditutup lagi.” Hana panik, mimik mukanya cemas. Berusaha menghubungi kembali nomor Arya tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. “Tuh kan… Pacar saya jadi marah, Pak. Pak Robert ini apa-apaan sih?!”
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y