Knalpot bis antar kota dalam provinsi terbatuk-batuk mengepulkan asap hitam pekat sepanjang aspal panas yang digilas keenam rodanya. Di dalam bis ekonomi yang AC nya bocor tersebut, duduk perempuan yang sedari tadi hanya diam memeluk tas ranselnya.
Hari ini jadi hari paling sial untuk Hana. Gadis dua puluh tahun sekarang harus terima kalau ke mana-mana akan diantar angkutaan umum. Mobil pribadi kesayangannya jadi barang mahal terakhir yang dijual kedua orang tuanya setelah banyak barang lain, termasuk surat rumah yang digadaikan.
“Bapak berat harus bilang ini sama kamu, Han. Tapi di umur bapak yang sudah tua ini, bapak nggak punya pilihan lain selain bergantung sama kamu. Kamu anak bapak satu-satunya bapak minta maaf kalau tidak bisa bertahan lama. Usaha taksi bapak bangkrut. Semuanya pakai kendaraan online sekarang.”
Dua belas hari sudah kalimat itu keluar dari mulut Bapak Hana. Bukan waktu yang sebentar, Hana berharap waktu bisa membuatnya lupa. Kenyataan berkata lain, Hana masih ingat semuanya.
Nama bicara bapaknya yang sedikit tersengal menahan sedih. Mata tuanya yang berkaca-kaca kosong menatap hampa Hana. Ibunya yang hanya bisa duduk terdiam di sebelah bapak sembari mengelus pundaknya. Saking melekatnya ingatan itu Hana masih ingat warna daster yang ibunya kenakan termasuk setelan kaos dalam dan sarung kotak-kotak yang bapaknya kenakan.
‘Ciiittttt…. !!!’ Kampas rem bis tua berdecit kerasmembubarkan lamunan Hana. Tiba di pemberhentian halte dekat alun-alun kota, kurang 2 pemberhentian lagi sampai di tempat tujuan Hana.
“Bapak minta maaf karena nggak bisa melanjutkan kuliahmu lagi.”
Lamunan Hana kembali melayang ke waktu saat Ibu Hana ragu-ragu meletakkan sebuah amplop di atas meja. Raut mukanya getir, menghela napas panjang saat membetulkan posisi duduknya kembali.
“Gara-gara bapak surat ini datang, Han. Gara-gara Bapak. Semuanya gara-gara bapak.” Nada bicara Bapak Hana yang meninggi menyulut gerakan tangan Sang Ibu mengelus pundaknya lebih cepat. “Ba-bapak minta maaf.” Tangis laki-laki yang duduk di depan Hana pecah tak tertahan. “Ma-maafkan Bapak, Han. Maafin Bapak…”
Sore berubah jadi mencekam. Hana cuma bisa duduk terdiam di kursinya. Tak ada satu orang pun yang tahu di antara bapak dan ibunya kalau sebenarnya Hana sedang menahan letupan emosi di dalam hatinya. Marah? Kecewa? Tak habis pikir? Semuanya campur aduk jadi satu di dalam hati Hana. Menyebar memacu jantung dan mendidihkan darahnya, kalau bukan karena kedua orang tuanya, Hana pasti akan langsung marah besar.
“Kenapa? Kenapa? Kenapa?” Satu kata tanya itu terus menggema di dalam kepalanya sampai detik ini di kursi bis tua.
“Kenapa bisa terjadi, Pak?” Suara Hana menjeda hening di antara 3 rang di meja tamu. “Perusahaan taksi bapak kan udah besar. Dari Hana kecil loh Bapak udah bangun usaha ini? Pernah jaya juga, punya ribuan armada taksi. Ke mana mereka semua? Ke mana, Pak? Trus masa’ Bapak nggak punya tabungan sih? Kenapa harus kuliah Hana yang dikorbanin? Tinggal dikit lagi loh Hana lulus. Dikit lagi, Pak!”
Protes Hana disambut mata Sang Ibu yang melotot tajam ke arahnya. Sementara Sang Bapak hanya bisa tertunduk lesu, raut wajahnya dirundung rasa bersalah yang besar. Bagi seorang laki-laki, yang sedang dihadapinya adalah titik terendah.
Anak semata wayang harus putus sekolah. Usaha yang susah payah dibangun gulung tikar. Tabungan amblas sampai dasar sampai terpaksa menjual semua barang mewah dan menggadaikan sertifikat rumah untuk menutup semua hutang dan ansuran.
“Kenapa, Pak? Kenapa harus aku yang dikorbankan?” Mata kosong Hana menatap ke luar kaca jendela bis kota. “Padahal tinggal sedikit lagi aku lulus. Sedikit lagi saja.”
Namun inilah kenyataan yang harus Hana hadapi. Takdir yang tak bisa ia lawan. Dengan kedua mata kepalanya sendiri Hana melihat satu persatu barang-barang mewah angkat kaki dari rumahnya.
Guci-guci mahal koleksi bapak, 2 motor gede dan 3 motor matic biasa, diambil 5 hari yang lalu. Keesokan harinya ganti 2 mobil mewah yang angkat kaki. Sedan Ford biru kesayangan Hana dan sebuah Mercedes hitam teman perjalanan Bapak. Besoknya lagi menyusul perhiasan-perhiasan mewah milik sang ibu dan sertifikat rumah.
Hana yang awalnya mengira ini cuma akal-akalan dan skenario Sang Bapak kini cuma bisa gigit jari. Perempuan cantik yang lebih cocok naik mobil pribadi sekarang harus ikut berebut kursi di bis kota tua yang pengab, panas dan bau keringat.
“PT. CAKRA SIAP-SIAP… !!!”
Teriakan kondektur memecah perhatian Hana. Tempat yang laki-laki berkalung handuk kecil barusan sebut adalah tempat tujuan Hana. Tanpa menunggu panggilan lagi, Hana bangkit dari kursinya.
“Permisi, Pak… Permisi… “
Susah payah kaki Hana keluar. Jarak antar kursi yang sempit ditambah kaki pria besar di sebelah menyulitkan langkah Hana. Setelah mengerahkan upaya sedikit lebih banyak akhirnya tubuh Hana berhasil lolos. Berjalan di jalan tengah antara dua baris kursi. Terhuyung beberapa kali maju mundur saat bis kota memelankan hingga berhenti.
Turun dari bis Hana masih harus jalan kaki sekitar dua puluh meter lagi di tengah payungan terik matahari dan belasan pasang mata karyawan pabrik.
‘Tingggg… ‘
Satu pesan mendarat di ponsel, Hana buru-buru merogoh saku jaket hoodie yang ia kenakan. Arya sang kekasih mengirimkan sebuah foto yang membuat Hana geram. Tanpa pikir panjang Hana langsung menekan logo panggilan yang ada di sudut kanan atas layar ponselnya.
“HALLO… !!”
Hana sengaja mengeraskan suaranya. Berjalan di kawasan perkantoran dan pabrik benar-benar menyebalkan. Banyak suara bising yang mengganggu, kendaraan yang lalu lalang, dan tentu saja beberapa pria di warung kaki lima yang tak tahan menggodanya dari kejauhan.
“Hallo sayang… aku lagi di pantai ini sama anak-anak.”
“Iya gue ngerti, Ya!” Nada bicara Hana menukik naik. “Oh jadi ini yang bilang nggak mau nganterin gue karena ada tugas kampus? Lo main-main doang, Ya. Mana tugas kuliah yang lobilang? Lo sengaja kan? Kalau lo nggak mau nganterin gue mending lu bilang dari awal, Ya.”
“Loh siapa yang bilang nggak mau? Gue emang lagi ngerjain tugas kampus.” Arya yang tidak terima ikut menjawab sengit. Ia yang sebelumnya memanggil Hana dengan sapaan ‘aku kamu’ jadi ikut ‘lo gue’.
“Alah bilang aja lo males kan nemenin gue. Iyalah enakan juga liburan. Liat cewe-cewe di pantai pakai bikini.”
“Gue nggak bilang kayak gitu, Han. Gu-“
“Lo nggak bilang tapi kenyataannya begitu, Ya.” Hana cepat memotong. “Lo enak bisa jalan-jalan sementara gue harus ke pabrik sendirian. Lo tega, Ya! Lo tega!”
“Lah… Kok jadi gue yang disalahin? Lo kan tahu sendiri rumah Cintya emang deket pantai. Lagian kerja kelompoknya juga udah kelar. Anak-anak pengen ke pantai. Itu doang. Jadicuma gara-gara gue nggak bisa nemenin lo jangan salah-“
‘Tuttt… Tutt…. Tuttt….’ Hana menutup teleponnya langsung tanpa pikir panjang.
“Ishh… Dasar cowo anjing!” umpatnya lantas memasukkan kembali ponsel ke dalam tas kecil warna cokelat yang menggantung di bahunya.
Kekesalan Hana bukan tanpa alasan. Ayolah, kenapa tak ada satu pun orang di dunia ini yang mengerti kondisinya? Arya sudah sejak semester satu jadi kekasihnya. Tapi dia malah lebih pilih main di pantai daripada menemani Hani datang ke PT. CAKRA.
Hana cuma mau perhatian lebih dari Arya. Dari pagi susah payah Hana menghubungi laki-laki satu itu. Sepuluh panggilan lebih tak dijawab Arya. Mau Hana sederhana, Arya mau mengantarkannya ke perusahaan satu ini agar Hana tidak perlu repot-repot naik bis kota.
Satu jam lebih Hana menunggu. Lelah menunggu Hana akhirnya menyerah. Pilihannya terpaksa jatuh di bis kota. Saat baru naik, Arya baru bilang kalau ia ada tugas kelompok di rumah Cintya. Mau marah, mau kesal juga percuma. Hana sudah terlanjur naik bis kota dan Arya juga sudah terlanjur sampai di rumah Cintya.
Tapi saat Hana melihat foto yang Arya kirim barusan, barulah Hana naik pitam. Ayolah, apa memang tidak ada satu orang pun yang mengerti dirinya di dunia ini? Kenapa semua orang tega mencampakkan Hana? Kenapa tiba-tiba dunia jadi jahat banget sama Hana? Apa jangan-jangan cuma Hana satu-satunya orang yang menderita di dunia ini?
‘Tinggg…. !!!’
Satu pesan pendek mendarat lagi di ponsel Hana. Hanya karena firasatnya berkata pesan ini dari Arya lagi, Hana buru-buru merogoh tasnya. Mau semarah apa pun Hana pada Arya, cintanya yang tulus selalu menang. Sampai-sampai Hana tak sadar cintanya sudah sampai di level bodoh.
“Sayang maaf ya soal tadi. Aku minta maaf banget karena nggak bisa anterin kamu. Tapi aku janji deh, ntar sepulang kamu dari situ kita jalan bareng ya… kita have fun sampai malam 😊 ;* ”
Satu pesan sigkat yang seketika berhasil mengubah wajah tertekuk Hana jadi berseri-seri. Meski yang Hana kesalkan bukan cuma soal Arya tidak mau mengantar tapi juga soal Arya yang ternyata liburan ke pantai tanpa Hana. Tapi permintaan maaf Arya selalu berhasil membuat hati Hana luluh.
Cekatan jari Hana melesat di atas papan keyborad digital membalas pesan singkat balik.
“Awas saja sampai bohong lagi!!’ Disusul 2 emoticon wajah berasap dari hidung. Kesal.
“Eh… “ Hana mengangkat wajah, mengamati sekitar. Saking berbunga-bunga hatinya, Hana sampai baru sadar kalau gerbang tempat tujuannya sudah terlewat beberapa langkah. Tak sempat menepuk jidat, Hana putar balik berlari ke arah gerbang biru tinggi sebuah perkantoran lima lantai.
“Ada yang bisa saya bantu, Kak?” Seorang satpam menyambut Hana yang celingukan bingung di depan gerbang.
“Engg… i-itu, Pak. Saya mau ketemu sama Pak Robert bisa?”
Mendengar kata Pak Robert keluar dari mulut Hana mimik muka satam bernama Agus mendadak berubah. “Wah… Pak Robert ya? Susah kalau mau ketemu Pak Robert. Sudah ada janji emang sebelumnya?”
Tak terlihat lagi raut santai di wajah pria 40 tahun berseragam putih biru dongker itu. Berganti jadi wajah tegas dan penuh kesiagaaan.
“Belum sih, Pak.” Hana mengernyit tajam. “Tapi emang harus bikin janji dulu ya? Bapak nggak tahu siapa saya ya? Saya ini anak Pak Hartono loh. Putri pemilik perusahaan taksi terbesar di Jakarta. Jadi ya saya bebas dong mau ketemu siapa aja.”
Pak Agus mengamati Hana dari atas sampai bawah. Bingung lehernya berputar lagi melongak ke depan gerbang terlihat mencari sesuatu.
“Hm…. Katanya anaknya bos taksi. Kok datangnya jalan kaki,” gerutu Pak Agus pelan sengaja ia tahan agar Hana tak mendengar.
“Eh…. !! ngomong apa barusan?!” Hana melotot, mengancam.
Pak Agus melonjak kecil. “Enggak… enggak ada.” Kepalanya menggeleng. “Yaudah saya anter masuk aja dah. Nanti kamu bilang sendiri sama orang kantor aja mau ketemu Pak Robert.”
Pak Agus tak menunggu kata setuju dari Hana. Ia melangkah lebih dulu, melewati tubuh Hana yang tak lama kemudian menyusul berjalan mengekor di belakang Pak Agus.
Halaman perkantoran lebih dari luas jika diukur dengan kantor-kantor lain di Jakarta. Ukurannya masih muat untuk parkir sepuluh unit bis sekaligus. Dua pohon mangga besar nan rindang berdiri tak jauh dari pos satpam menambah kesan rindang. Di selatan pohon mangga, berdiri sebuah ruangan, beratap aluminium, namun tak bertembok. Disangga beberapa pilar kayu, difungsikan jadi lahan parkir motor-motor karyawan kantor PT. CAKRA.
Sementara hanya berjarak lima langkah lagi tempat yang sudah Hana cari dari tadi. Sebuah bangunan lima lantai berdinding kaca tebal memantulkan warna biru langit yang disiram matahari. Hana sampai harus memincingkan matanya demi melihat lantai ke lima bangunan di hadapannya,
“Silakan masuk,” ucap Pak Agus sembari menahan pintu mempersilakan Hana. “Tunggu di sini dulu ya.”
Hana mendaratkan tubuhnya di sebuah sofa empuk warna cokelat terang. Mengamati ruangan sekitar termasuk tubuh Pak Agus yang melenggang bebas meninggalkannya masuk ke dalam sebuah ruangan.
Kantor yang sudah Hana bayangkan akan sangat membosankan. Bilik-bilik ruang kerja berisi orang-orang menghadap layar monitor. Tampak sibuk sendiri sesekali menagngkat telepon yang ada di sebelahnya. Terlihat sangat fokus bahkan tak saling bicara satu sama lain. Hanya terlihat sesekali saja, itu pun dengan raut muka serius seolah sedang membicarakan keamanan dunia dari serangan alien.
‘Klekkk… !!’
Pintu ruangan terbuka, muncul seorang laki-laki bebalut jas hitam rapi dengan dasi merah mawar. Di belakangnya, Pak Agus mengekor sama seperti bagaimana Hana mengekornya tadi.
“Hana Nadia… “ Laki-laki itu tersenyum lebar menyapa. “Lama sekali rasanya Om nggak ketemu sama kamu ya.”
Hana yang kikuk karena mendadak perhatian semua orang tertuju padanya bangkit dari kursi. Tangannya menjulur, menyambut jabat tangan pria berjambang di depannya dengan sopan.
“Apa kabar, Han?”
“Hehehe… Baik, Om.” Rasa kikuk bercampur bingung. Hana sebenarnya tidak kenal dengan siapa ia berhadapan. Lebih bingung lagi karena anehnya, pria ini tahu siapa nama lengkapnya.
“Aaaa…. Kabar baik. Bapak kamu juga baik kan? Mari-mari duduk dulu….” Keduanya duduk di satu rangkaian sofa yang sama, beda kursi tapi berhadapan.
“Baik juga kok, Pak. Bapak ini…. Emmmm… ” kalimat Hana menggantung. Hana yang bisanya suka kurang ajar sekarang dibuat malu sendiri karena ia lupa dengan pria di depannya. Wajahnya tidak asing tapi Hana benar-benar lupa namanya.
“Om Lukman.” Pria di depan Hana menunjuk dirinya sendiri. “Ahhhh kamu pasti lupa ya sama Om. Dulu aku sering loh main ke rumahmu.”
“Ohh… Om Lukman… hahaha… “ Sekarang Hana ingat, Om Lukman ini dulu adalah bawahan bapaknya. Begitu ingat, Hana langsung lupa diri. Mengangkat satu kaki di atas satu kakinya, tertawa seperti di rumahnya sendiri. “Ya ampun, Hana beneran lupa, Om. Hahahaa… Om sih cabut dari tempat Bapak dari Hana masih kecil. Jadi lupa deh.”
“Hehehe… “ Om Lukman tersenyum kaku mencuri pandang ke arah kaki Hana. Jelas itu bukan hal yang sopan dilakukan di kantor. Apalagi untuk orang yang pertama kali masuk kantor PT. CAKRA. Apa yang dilakukan Hana menujukkan betapa Hana tak menghormati Om Lukman sebagai HRD.
“Ini Om Lukman, saya pengen ketemu Pak Robert.” Pupil mata Hana bertolak melirik Pak Agus yang masih berdiri dengan sikap siaga di belakang Om Lukman. “Nih satpam satu ngalang-ngalangin saya. Katanya harus bikin janji dulu. Kan nyebelin. Saya ini anaknya Pak Hartono loh. Masa harus bikin janji dulu.”
Protes Hana meluncur bebas.
“Memangnya kenapa? Toh Om Lukman dulu cuma bawahan Bapak,” pikir Hana.
“Tapi itu memang prosedur, Han. Setiap tamu yang datang ingin ketemu Pak Robert harus melewati satpam dulu. Minimal kamu sudah bikin janji. Baru deh nanti bisa ketemu sama Pak Robert. Tapi karena saya kenal kamu, jadi kamu nggak perlu bikin janji. Kamu cuma perlu mengisi buku-“
“Ya ampun… ribet amat sih, Om?” potong Hana seenaknya. “Mau ketemu satu orang aja ribetnya setengah mati. Emang sepenting apa sih Pak Robert ini? Udah kayak mau ketemu artis papan atas aja. Perasaan mau ketemu artis juga nggak segininya. Sok sibuk banget sih Pak Robert ini.”
“Memang saya sibuk.” Pintu masuk tiba-tiba terbuka. Seseorang bersetelan kemeja biru langit berbalut taxedo lengkap dengan celana khaki muncul.
Kemunculannya seketika membuat semua orang kaget. Om Lukman tertunduk takut. Semua orang kantor menyembunyikan wajahnya di balik monitor. Pak Agus menelan ludah bergidik ketakutan.
Hanya Hana satu-satunya orang yang belum mengerti posisinya. Ia mengerutkan dahi, menatap balik pria yang baru menutup pintu keluar tajam.
“Eh saya mau ketemu sama Pak Robert ya. Jangan menghalang-halangi saya,” sergah Hana.
Sebaliknya pria bertubuh proporsional berotot besar itu tersenyum kecil, melipat tangannya di dada, berdiri mengangkat dagu penuh percaya diri dan berkharisma.
“Saya Robert.”
Bersambung….
Sekarang Hana tahu dengan siapa dirinya berhadapan. Hana juga jadi tahu alasan kenapa raut muka semua orang mendadak berubah jadi tegang dan takut. Ibarat dalam sebuah game perang, orang yang ia hadapi adalah raja terakhir. Pak Robert, orang yang jadi puncak rantai makanan di PT. CAKRA.“Saya Robert yang punya kantor ini.”Ludah Hana mendadak terasa menggumpal. Sedikit takut tapi sama sekali ia tak gentar. Ia anak Pak Hartono pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta. Buat apa takut sama orang yang bisnisnya saja tak banyak orang kenal. “Oh… bagus dong kalau bapak datang sendiri.” Hana meringis, bangkit dari kursinya dengan santai menjulurkan telapak tangannya. “Kenalin, saya Hana. Anak dari Pak Hartono. Orang nomor satu pemilik bisnis taksi terbesar di Jakarta,” tukas Hana penuh percaya diri.Satu hal yang gagal orang tua ajarkan pada Hana. Percaya diri dan sopan santun adalah dua hal berbeda. Hana kelewat tidak sopan, lebih-lebih lagi Hana lah yang butuh pekerjaan di kantor Pak
“Si-siap. Sa-saya akan usahakan Pak,” jawab Hana gelagapan pasrah tak bisa mendebat lagi. Benar apa kata para karyawan di luar sana tadi. Sudah bagus Pak Robert tidak memenggal kepala Hana gara-gara kejadian tadi. Sudah bagus juga Hana masih diberi maaf dengan syarat yang tidak terlalu sulit.Cuma perlu memutus urat malu dan mencoreng wajah jadi bahan ledekan belasan karyawan di depan.“Itu aturan wajib, Han.” Suara Pak Robert yang berat menegas. “Tidak ada tawar menawar di sini. Masa’ seorang anak semata wayang Pak Hartono nggak mampu beli rok? Kamu beli lah dulu kalau nggak punya sambil saya siapkan seragammu.”Hana manggut-manggut. Ia baru tahu kalau setelan batik warna merah bercorak emas dan rok panjang belahan tinggi yang karyawan pakai di depan tadi adalah seragam kantor.“Emmm… Tapi kalau saya pakai rok mini dulu boleh nggak, Pak?” tanya Hana. “Habis saya punyanya rok pendek-pendek di rumah.”Sekejap setelah kalimat Hana meluncur mendadak wajah Pak Robert memerah. Buru-b
Tengah malam hanya tinggal beberapa menit lagi saat Arya membopong tubuh Hana sempoyongan melewati beberapa orang. Sempat saling sengol dengan pengunjung lain tapi bukan masalah serius. Siapa juga yang tak kenal Arya di tempat ini? Seseorang yang hampir tak pernah absen dari tempat ini tiap malam. Satu diskotik hampir kenal semua dengan Arya, termasuk semua staff dan karyawannya. Maka dengan gampang juga Arya membawa tubuh Hana naik ke lantai dua. Selain lantai satu yang jadi bar sekaligus diskotik, lantai dua ruko di Mangga Lima ini ikut disulap jadi petak-petak kamar ilegal. Sang pemilik diskotik yang sekaligus Om-nya Arya pintar melihat peluang. Petak-petak kamar disewakan khusus bagi pengunjung diskotik yang kebanyakan berakhir di cinta sat
‘Kringggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak lebar, dering alarm mengagetkannya. Kesadaran Hana mendadak langsung bisa terkumpu, tangannya bergerak sembarangan mencari ponsel di antara, bantal, tas dan barang-barangnya yang berantakan di atas ranjang. “MAMPUS… !!!” teriak Hana panik melompat turun dari ranjangnya. Sudah pukul setengah tujuh pagi dan Hana baru bangun. Sementara jam kantor sudah dimulai jam 7 pagi, itu pun kalau Pak Robert tidak datang lebih pagi. Kalau datang lebih pagi, tamat sudah riwayat Hana. “Ehhh… ??” Dingin udara pagi terasa aneh, baru saat tungkai kakinya menyen
‘Srrrkkkkk…. !!!’ Pintu masuk berbahan kaca setebal setengah senti didorong kasar Hana. Suara dasar pintu yang menggaruk lantai kasar membuat belasan karyawan di lantai satu menoleh serampak ke arah Hana. Ada yang mengintip dari balik monitor, ada yang sampai terang-terangan berdiri dari kursinya. “Woy karyawan baru!! Pelan-pelan dong kalau buka pintu. Emang situ mampu ganti kalau pecah?? Pak Hartono kan udah bangkrut… !!” Suara menyakitkan datang dari arah gerombolan petak-petak karyawan. Disusul suara ‘huuu… ‘ panjang dibumbui sorakan-sorakan umpatan olok-olokan. 
“Kenapa melongo??” “Ehhh… “ Pertanyaan Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “SAYA TANYA KENAPA NGELAMUN?! DENGER NGGAK SIH!!” Wajah Pak Robert yang sebelumnya sudah melunak mendadak geram lagi. “APA JANGAN-JANGAN PERMINTAANKU TERDENGAR ANEH BUAT KAMU?!” Posisinya Hana sedang berdiri. Kepalanya lebih tinggi dari Pak Robet yang duduk di kursi. Meski lebih tinggi mata Pak Robert yang melotot menyurutkan nyali Hana. Seperti biang kesalahan, Hana jadi bingung serba salah. “Engg-enggak kok, Pak.” “K
‘Tokk-Tok-Tok…. !!!’ Pak Robert yang sebelumya sudah kembali sibuk mengecek ulang dokumennya satu persatu setelah diacak-acak Hana mengangkat kepala. Perhatiannya yang tadinya terkunci di lembar-lembar perjanjian terpaksa harus buyar. “Ya siapa??” tanya Pak Robert sembari melipat sedikit ujung dokumen untuk memisahkan lembar mana yang sudah ia periksa dan mana yang belum. “Hana, Pak.” Suara centil Hana terdengar dari balik pintu. “Hufttt…. “ Pak Robert membuang napas cepat.&nb
Mau tidak mau Hana terpaksa harus putar balik ke dapur. Keluar ruangan Pak Robert dengan wajah tertekuk. Lagi dan lagi, sedih, takut bercampur marah membawa Hana ke dalam lorong gelap yang panjang bernama pasrah. “Kenapa sih nggak ada yang ngerti gue? Gue kan udah berusaha bikin kopi buat dia.” Telunjuk Hana menyeka air yang menggantung di kelopak matanya. Bukan cuma niat baik Hana yang terbuang Pak Robert begitu saja. Bukan cuma usaha susah payah Hana membuatkan kopi. Tapi juga kopi pertama yang ia buat dengan penuh dedikasi dan usaha keras. “Ishhh… dikira gampang apa bikin kopi? Hah? Coba dia sendiri