Baru kali ini Hana merasakan rasanya semesta tidak berpihak padanya. Sudah harus ketemu sama Bos macam Pak Robert. Belum lagi insiden menyebalkan selama dua hari berturut-turut. Ditambah lagi kejadian di dapur dengan OB mesum, Hana sungguh merasa lelah. Dunia ini benar-benar tidak adil.
Lebih tidak adil lagi karena perlakuan Pak Robert tadi. Rasa nyeri dan sesak di dada sampai tembus punggung. Ayolah, ke mana perginya semua keadilan di dunia ini? Kenapa tidak ada satu pun yang tersisa untuk Hana.
Hana sudah mencoba protes pada Pak Robert. Jelas-jelas Pak Robert salah, merebut ponsel dan mematikan telepon itu hak asasi manusianya Hana. Memang dia bos di tempat ini, t
Percakapan yang awalnya Hana mau untuk mencairkan suasana nyatanya tak ada gunanya. Sepanjang perjalanan, dua jam lebih Hana dan Pak Robert habiskan dalam diam. Hanya lagu pengiring bertema rock alternatif yang terdengar sepanjang jalan. Lagu-lagu yang terlalu tua untuk telinga Hana tapi lagu yang tak pernah menua di telinga Pak Robert. Memang sejauh itu perbedaan usia mereka. Hana terpaksa mengusir kegabutannya dengan terus menatap keluar. Membayangkan sedang memacu motor dengan kecepatan penuh seperti yang ia lakukan dengan Juple tadi pagi. Atau Hana membayangkan bisa pindah ke mobil lain yang lebih terlihat asyik daripada di mobil Pak Robert yang lebih mirip ruang ujian. &ldqu
Hana sudah tidak peduli lagi dengan segala omelan yang menyusul kalimatnya tadi. Langkah kakinya bak derap satu kompi tentara berangkat tugas. Tegas tak terhentikan, gesit menaiki tangga ke lantai dua tempat kamar tidurnya berada. Persetan dengan mandi atau ritual bersih-bersih badan lainnya, Hana bisa melakukannya nanti. Sekarang ada satu hal yang harus ia urusi. Ada satu hal mendesak yang harus segera ia selesaikan. ‘Tuttt…. Tutt… Trruuttttt…. ‘ Berdering, tanda nomor yang sedang Hana hubungi masih aktif. Tapi justru fakta itu yang membuat Hana c
Detik itu juga Hana berharap ia sudah tertidur beberapa menit yang lalu. Berharap apa yang ia dengar keluar dari mulut Arya barusan hanya mimpi buruk karena lelahnya menghadapi dunia kerja yang baru. Napas Hana tersengal, hidungnya mampet. Tangisnya belum juga reda, dan sialnya lagi. Ternyata harapannya omong kosong. Malam ini Hana belum tertidur dan semua kalimat Arya tadi adalah kenyataan. “Pu-putus?” Tangis Hana menjelma jadi rintihan. Wajah cantiknya basah, kulit kuning langsatnya memerah padam. Harusnya Hana turun ke bawah untuk membersihkan tubuhnya dilanjutkan dengan makan malam. Harusnya Hana bisa tidur nyenyak mengingat
Hana sebenarnya masih sangat marah dengan Pak Robert. Marah parah sampai rasanya ingin mencakar-cakar wajah bosnya satu itu. Gara-gara Pak Robert, hubungan yang sudah Hana bangun 3 tahun lebih lamanya dengan Arya akhirnya hancur begitu saja. Menyebalkan, memuakkan, lebih mengganjal di hati lagi karena kenyataannya sekarang Hana justru berakhir duduk di bangku sebelah Pak Robert. “Wah gila sih. Aku tuh udah mikir kalau bisnis kita gagal loh kemarin. Makanya wajahku keliatan cemberut kan pas pulang. Itu tuh karena Nyonya Elsa nggak mau tanda tangan kontrak kita, Han. Kamu ngerti kan? Ini tuh kalau sampai goals, bisnis kita bisa makin berkembang pesat,” tutur Pak Robert sambil menyetir dengan penuh antusias.&n
“Oh ayolah Nyonya Elsa… “ Pak Robert yang tak mau membawa kekakuan ini lebih lama mengambil alih pembicaraan. Mendekat menjajari Nyonya Elsa dengan sepasang aslis bergerak naik turun memberi kode-kode rahasia. “Kita ke sini kan mau bahas pekerjaan. Betul ??” “Alah…. Kamu ini ada-ada saja, Robert.” Pak Robert mendelik panik “Mau bahas urusan pribadi sesekali juga nggak papa loh.” Ganti Hana ikut mendelik. Kata pribadi barusan jangan-jangan merujuk padanya. Tapi Hana merasa tidak ada hubungan spesial apa pun dengan Pak Robert. Jangankan menaruh hati, mana sudi Hana ja
Padahal sejujurnya, Hana sendiri juga tidak tahu seberapa keren nama Pak Hartono di mata Nyonya Elsa. Hana cuma sembarangan saja mengajukan nama bapaknya. Jadi tameng, bersembunyi di balik nama Pak Hartono. Meski begitu, sekarang terbukti cara yang Hana pakai cukup berhasil. Hana dan Pak Robert yang tadinya terdesak kekuasaan perempuan aneh bernama Elsa sekarang jadi seimbang. Ancaman Hana berhasil menyiutkan nyali Nyonya Elsa. “Ahaha…” Lagi dan lagi, di tengah ketegangan yang terjadi Nyonya Elsa masih bisa tertawa. Hana mendelik tak percaya. “Hahahaha…. Hahahaha…. ” tawanya makin m
Di akhir abad ke 20 pemerintah Indonesia secara mengejutkan tiba-tiba mengumumkan dibukanya sebuah proyek besar yang akan dibangun di sebelah selatan Pulau Jawa, posisi persisnya berada lurus dengan Jakarta. Proyek yang menelan biaya ratusan triliun rupiah satu ini digadang-gadang bisa mengatasi penuhnya penduduk yang bermukim di Jakarta sekaligus jadi penyerap mega bisnis penggerak roda ekonomi di Indonesia. Nama proyek itu ialah Pulau Reklamasi. Setelah lima puluh tahun berjalan setelah proyek pulau reklamasi dimulai, hari ini sudah berdiri 3 pulau besar yang dihuni jutaan penduduk Jakarta asli atau pendatang baru. Rusun-rusun didirikan, mulai dari yang mewah sampai yang kaki lima. Sebagian besar orang yang bermukim di pulau reklamasi bekerja di Jakarta.
“EH YANG BENAR AJA, SIS!! MASA’ AKU SEKAMAR SAMA PAK ROBERT??” Sekilas Hana melirik melihat Pak Robert dari ekor matanya. Tampak raut wajah Pak Robert yang pasrah menggeleng kepala pelan. Hana tahu ia sudah kelewatan. Nada protesnya merendahkan Pak Robert secara tidak langsung. Tapi ayolah, kondisi ini juga sudah kelewatan. Bertahan satu mobil dengan orang yang menyebabkan hubungannya hancur saja sudah menguras emosi. Apalagi kalau harus tinggal bersama dua hari dua malam. “Ayolah… bercandaanmu sama sekali nggak lucu loh, Sis.” Hanya karena melihat mimik muka tidak enak Pak Robert, akhirnya Hana menurunkan nada bicaranya. “Masa nggak ada hotel lain yang punya kamar lebih sih? Cuma butuh dua kamar aja kan.”&nbs