Padahal sebelumnya hubungan antara Hana dan Pak Robert baik-baik saja. Mereka berdua sudah akrab, tidak lagi kaku seperti bos dan anak buah di kantor. Sebelumnya baik Pak Robert maupun Hana bersyukur hubungan mereka bisa cair tidak seperti saat mereka bertemu beberapa hari yang lalu.
Tapi lihat sekarang, malam yang sudah jalan setengah mereka habiskan dengan saling mendiamkan. Hana tidur membelakangi, sedang Pak Robert hampir sampai subuh datang tak bisa memejamkan matanya.
“Aku salah, Han. Harusnya aku bisa mengendalikan egoku sendiri,” gumam Pak Robert dalam hati, merasa geram pada dirinya sendiri.
Pak kecewa karena gara-gara tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Rasa yang semakin kuat seiring matanya terkunci menatap punggung Hana. Di l
Sekarang hanya tinggal Hana sendirian lagi. Hari masih terlalu pagi untuk bangun dan beranjak dari ranjang. Tapi di saat yang sama Hana juga tak bisa tidur lagi. Dia terlanjur dikagetkan suara Pak Robert, mustahil rasanya bisa tidur lagi. Sambil rebahan di atas kasur, Hana mulai berselancar dengan ponselnya. Menggulirkan layar digital selebar telapak tangannya itu naik turun, melihat kabar berita yang kebetulan atau memang sengaja lewat di berandanya. Berita tentang kompetisi basket nasional di Pulau Reklamasi sedang naik daun. Tidak cuma di instagram, tapi juga lama facebook hingga twitter. Potret keseruan acara pembukaan tadi malam tersebar di mana-mana. Kembang api yang meledak indah di atas langit. Panggung yang megah menghias sambutan Gubernur baru pulau reklamasi.
Sama seperti yang ia rasakan sekarang pada Pak Robert. Detik dan menit yang terlewat tanpa Pak Robert rasanya sepi. Pelan-pelan Hana mulai merasakan tinggal di kamar sendirian. Matahari baru terbit dan jam sarapan masih lama. Tapi Hana sudah gusar, ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Menatap layar ponselnya juga percuma rasanya. Satu-satunya yang Hana tunggu adalah pesan balasan dari Arya. Sudah berjam-jam terhitung dari tadi malam namun yang Hana tunggu tak juga muncul. “Ishhh…. !!!” Sudah bosan gulung-gulung di atas ranjang dengan selimut kumalnya. Sudah bosan juga menggulir-gulirkan layar ponsel. Tak berselera lagi dengan semua postingan termasuk pesta pembukaan tadi malam.
Dua gelas koktail dengan irisan lemon mengambang dan sepasang daun mint sudah tiga puluh menit lebih menunggu di atas meja. Sementara sepasang pemesannnya masih sama-sama duduk terdiam di bangkunya masing-masing. Siapa yang bilang jam 7 pagi akhirnya mereka bisa sarapan. Buktinya, hingga jarum panjang hampir menginjakkan kaki di angka 5, keduanya masih sama-sama terdiam tak menyentuh makanan lain yang sudah tersaji di atas meja. “Jadi intinya Nyonya Elsa sudah pergi duluan?” tanya Hana coba memutus rantai kebisuan antara dirinya dan Pak Robert. Pak Robert dengan mimik wajah datarnya mengangguk. “Trus kenapa P
“Iya tapi ini rasanya beda, Han.” Pak Robert masih shock, terlihat dari gelagatnya yang gusar juga matanya yang tidak tenang. “Aku nggak masalah sama uangnya, Han. Ini juga bukan kali pertama aku ditipu orang. Tapi—” “Tapi apalagi sih, Pak?” Hana lagi-lagi memotong. “Kan masalah uang juga kita bisa usut. Kita punya notaris badan hukum sendiri juga kok. Kita bisa tuntut Nyonya Elsa kalau emang dia bawa kabur uang bapak.” “Soal buktinya?” “Loh bapak kan transfer ke rekening dia. Udah pasti ada jejak transaksinya kan. Ini kenapa bapak jadi makin linglung deh?” 
Setelah hampir satu jam Pak Robert sibuk mengutuki dirinya, setelah perdebatan singkat dengan Hana, akhirnya pelangi datang di pengujung badai. Segurat senyum baru terbit, kecil merekah dari bibir Pak Robert yang sekaligus mencairkan suasana beku di atas meja restoran. “Sudahlah, Pak. Jangan ngelamun lagi.” Sekarang tanpa Pak Robert meminta, Hana mengantarkan telapak tangannya sendiri. Memeluk punggung tangan, mengantarkan rasa hangat yang Hana harap cukup untuk meredam api resah di dalam hati Pak Robert. “Kita coba lain waktu ya. Kita cari cara lain. Anggap saja uang Pak Robert yang hilang nanti akan diganti dengan rezeki lain. Oke??” Senyumnya melebar, beberapa kerutan yang muncul di bawah kantung mata dan kening tak bisa menipu usia Pak Robert s
Mendengar namanya dipanggil, bukan cuma Hana yang langkahnya terhenti tapi juga Pak Robert. Keduanya serempak menoleh ke arah yang sama. Ke arah kamar yang tadi sudah mereka lewati. Kamar pertama yang menyambut mereka setelah pintu lift terbuka. Tadinya pintu itu tertutup. Namun sekarang, seseorang sedang berdiri mematung dengan tatapan lurus nan kosong. “Arya…” Hana tak kalah kaget karena kemunculannya. Orang yang dari kemarin membuatnya stress berkepanjangan. Dimulai dari ia yang mengabaikan semua pesan pendek sampai tak mengajak Hana di malam pesta pembukaan. Orang yang sudah membuat Hana kesepian sampai mau diajak tidur satu ranjang dengan Pak Robert ternyata tinggal tak jauh
“Pak Robert… Pak… !! Bangun, Pak!! Bangunnn… !!” Hana tak berhenti berteriak memanggil nama Pak Robert. “Bertahanlah, Pak. Bertahan, Pak!! Tolongg… !!! Siapapun tolong carikan Dokter!! Tolongg… !!!” Menopang tubuh kekar Pak Robert bukan hal yang gampang. Tubuh Hana sampai ikut tertarik, terhuyung jatuh bersimpuh di atas lantai. Meski takut dengan darah tapi matanya tak bisa lepas dari wajah Pak Robert yang berdarah-darah. “DASAR PENGACAU!! IKUT KAMI KE KANTOR… !!!” Salah satu satpam yang geram membentak Arya. Tiga orang lainnya bukan cuma meneriaki, tungkai kakinya melayang menghantam punggung Arya. Empat pasan
Satu bulan setelah kunjungan di Perairan Dumadi “Pagi semuanya…” sapa Hana yang baru saja melewati pintu masuk kantor. “Pagi Bu Hana…” jawab anak office yang ada di bawah serempak. Saling sapa pagi hari adalah salah satu kebiasaan baru yang Hana buat untuk dirinya sendiri sejak 2 minggu yang lalu. Sebelum melenggang masuk ke dalam kantornya sendiri, Hana selalu menyapa mereka yang sudah datang lebih dulu.Siapa lagi dalang pengusulnya kalau bukan Pak Robert. Walaupun awalnya Hana malas menuruti, tapi melihat bagaimana karyawan PT. Cakra jadi berubah menghormatinya membuat Hana berpikir; ini bukan ide yang buruk.&l