Satu bulan setelah kunjungan di Perairan Dumadi
“Pagi semuanya…” sapa Hana yang baru saja melewati pintu masuk kantor.
“Pagi Bu Hana…” jawab anak office yang ada di bawah serempak.
Saling sapa pagi hari adalah salah satu kebiasaan baru yang Hana buat untuk dirinya sendiri sejak 2 minggu yang lalu. Sebelum melenggang masuk ke dalam kantornya sendiri, Hana selalu menyapa mereka yang sudah datang lebih dulu.
Siapa lagi dalang pengusulnya kalau bukan Pak Robert. Walaupun awalnya Hana malas menuruti, tapi melihat bagaimana karyawan PT. Cakra jadi berubah menghormatinya membuat Hana berpikir; ini bukan ide yang buruk.
&l
Siapa yang menyangka, Hana yang awalnya mengira tak akan betah lama di PT. Cakra sekranag menelan bulat-bulat air ludahnya sendiri. Makin ke sini lahkah Hana malah semakin rigan. Seperti menemukan keluarga baru yang punya tujuan satu yaitu memajukan PT. Cakra sebagai bentuk terima kasih kepada Pak Robert. Bukan rahasia lagi, sosok Pak Robert dengan semua ketegasan dan sifat killernya malah semakin membuat banyak karyawan hormat padanya. Laki-laki yang rendah hati mendengarkan semua ide dari bawahannya termasuk Hana. Juga laki-laki yang rendah hati membantu mereka semua yang sedang terjebak kerumitan hidup. Alhasil, rasa hormat lahir dengan sendirinya tanpa perlu Pak Robert minta. “Oke kita sud
“Meja sepuluh?” Arya mengangkat kedua alis, benar-benar mengabaikan Hana. Menganggap Hana tak ada, atau menganggap ia tak pernah mengenal Hana sama sekali seumur hidupnya. “Benar.” Pak Robert mengembangkan senyum. “Meja sepuluh. Kamu bisa liat sendiri nomor mejanya bukan?” Arya balas tersenyum, membungkukkan badannya sopan. “Maaf. Saya cuma memastikan.” Tak lama setelah itu, dua orang pelayan yang mengenakan seragam sama dengan Arya mulai menurunkan satu persatu piring berisi hidangan yang Pak Robert pesan. Satu mangkuk salad, satu porsi steak large, kentang goreng, satu porsi spageti small, dan beberapa camilan lain termasuk hidangan desert. Minuman m
“Kamu kenapa lagi sih, Han? Udah bener-bener kamu jauhin Arya. Sekarang kamu kejar-kejar lagi di,” ucap Pak Robert sambil mengantar irisan daging steak pertamanya ke dalam mulut. Gerakan tangan Hana yang tadinya hendak menyantap selembar daun selada ke dalam mulut terhenti. “Siapa sih yang ngejar-ngejar Arya?” Dahinya mengerut. “Orang aku cuma memastikan dia beneran Arya atau bukan. Itu aja kok, Pak. Nggak lebih.” Diakui atau tidak, terbukti kepergian Arya mendatangkan dampak positif untuk Hana. Perempuan dua puluh satu tahun ini karirnya menanjak pesat sejak tidak ada lagi Arya di dalam hidupnya. Semua perkerjaan yang Pak Robert berikan disikat habis tanpa ada kesalahan berarti.&n
Angin malam Kota Jakarta yang kasar dan kotor bertiup menerbangkan anak rambut Hana. Berkali-kali Hana tampak sibuk membenahi anak rambutnya. Bahkan terhitung lebih sering membetulkan anak rambutnya daripada bicara dengan pria yang duduk di seberang mejanya. “Kenapa akhirnya kamu mau ketemu sama aku?” Hana menggigit sedikit lapisan bibirnya yang kering, menahan bibirnya agar tidak tersenyum kaku menyadari betapa konyol pertanyaannya barusan. Jelas Arya mau. Bagaimana tidak, Hana mengiming-imingi Arya dengan embel-embel mengikhlaskan uang sepuluh jutanya. Tapi sebenarnya, jauh di dalam hati Hana mau mendengar alasan yang entah. Entah itu kalimat kangen, kalimat ingin bertemu dengan Hana karena rindu, atau sejenisnya.&
Hening seketika mengambil alih percakapan. Setelah tamparan yang telak, Arya yang wajahnya sampai berputar cuma bisa diam memegangi pipi kirinya. Sementara Hana, di seberang meja ia tampak berdiri mematung. Napasnya memburu, amarahnya meluap-luap, meski berderai air mata, Hana masih cukup berani menatap Arya tajam. “Gue pengen ketemu sama lo bukan buat ribut, Ya.” Hana melipat kedua kakinya, mendaratkan pantatnya kembali ke kursi meski rasaya ia masih ingin menampar Arya lagi. “Gue coba ngomong baik-baik sama lo. Gue pengen hubungan kita baik-baik lagi. Walaupun nggak bisa kayak sebelumnya tapi minimal kita masih temenan. Nggak kayak sekarang.” Arya memperpanjang kebisuannya. Lagipul tak ada yang perlu ia jawab. Pertemuan mereka di lantai dua coffe
Sinar matahari pagi yang mengintip di balik jendela kamar membawa pulang Hana dari indahnya pulau mimpi. Alarm ponsel menyusul, tangan Hana terpaksa bergerak menyibak selimut tebal yang menutupi wajahnya. Udara pagi yang masih segar mengantar tubuhnya menyibak tirai jendela kamarnya kebar-lebar. Sambil meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku, tak lupa ia merapikan kamar tidur seperlunya. Baru jam 6 pagi, masih cukup waktu untuk Hana sebelum terjebak kesibukan kantor. Bath up di kamar mandi jadi pilihan. Air hangat yang merendam tubuhnya terkecuali sebagian wajah dan hidung seperti memberikan pijatan untuk tubuh dan kepala Hana yang penat. Setengah jam berlalu sejak ia membuka mata hari ini. Hana sudah duduk di meja makan. Berhadapan roti lapis isi cokelat kesukaannya.
Awalnya, Pak Robert sedikit kaget mendengar pertanyaan Hana. Tapi hanya dalam sekejap, ia buru-buru mengubah mimik mukanya jadi biasa lagi. Menarik napas panjang, sebagai bos di tempat ini ia tak mau kalimat yang keluar dari mulutnya justru memperkeruh suasana. Ia harus tenang, meski sadar kalau bangkai yang selama ini ia tutupi akhirnya tercium Hana juga. “Kamu benar-benar mencari tahu soal itu ya ternyata.” Riuh ruang kantor di jam istirahat mendadak menjauh. “Aku sampai nggak menyangkanya loh. Hebat.” “Saya sedang nggak ingin diajak bercanda, Pak.” Hana membetulkan posisi duduknya. Tegap, tegak lurus menatap sengit lawan bicaranya. “Jadi benar, Pak Robert
“Kenapa diam?” Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “Udah puas kamu salah-salahin saya? Atau kamu baru tahu kalau ternyata bukti dan pengadilan itu nggak ada di cerita versi Arya?” Hana menelan ludah, menggeleng lantas tertunduk lesu. “Kalau ditanya, sebenarnya saya juga kasihan sama Arya, Han.” Mendengar suara Pak Robert Hana sontak mengangkat wajahnya lagi diiringi tatapan bingung. Namun pikirannya masih kosong, sekarang ia lebih memilih diam daripada marah-marah yang ujung-ujungnya hanya membuat Hana malu. “Saya kasihan pas ketemu sama dia di restoran itu sama kamu. Ya orang tua mana sih yang nggak sakit hatinya? Meski Arya bukan anak saya, tapi saya tahu apa yang dirasakan kedua orang tuanya Arya.” Pak Robert sengaja menjeda kalimatnya hanya untuk meraup wajah dengan kedua telapak tangannya. “Saya tahu bagaimana beratnya membesarkan seorang anak. Dari kecil saja saya udah bisa bayangkan berapa banyak uang yang dikelua