Hening seketika mengambil alih percakapan. Setelah tamparan yang telak, Arya yang wajahnya sampai berputar cuma bisa diam memegangi pipi kirinya. Sementara Hana, di seberang meja ia tampak berdiri mematung. Napasnya memburu, amarahnya meluap-luap, meski berderai air mata, Hana masih cukup berani menatap Arya tajam.
“Gue pengen ketemu sama lo bukan buat ribut, Ya.” Hana melipat kedua kakinya, mendaratkan pantatnya kembali ke kursi meski rasaya ia masih ingin menampar Arya lagi. “Gue coba ngomong baik-baik sama lo. Gue pengen hubungan kita baik-baik lagi. Walaupun nggak bisa kayak sebelumnya tapi minimal kita masih temenan. Nggak kayak sekarang.”
Arya memperpanjang kebisuannya. Lagipul tak ada yang perlu ia jawab. Pertemuan mereka di lantai dua coffe
Sinar matahari pagi yang mengintip di balik jendela kamar membawa pulang Hana dari indahnya pulau mimpi. Alarm ponsel menyusul, tangan Hana terpaksa bergerak menyibak selimut tebal yang menutupi wajahnya. Udara pagi yang masih segar mengantar tubuhnya menyibak tirai jendela kamarnya kebar-lebar. Sambil meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku, tak lupa ia merapikan kamar tidur seperlunya. Baru jam 6 pagi, masih cukup waktu untuk Hana sebelum terjebak kesibukan kantor. Bath up di kamar mandi jadi pilihan. Air hangat yang merendam tubuhnya terkecuali sebagian wajah dan hidung seperti memberikan pijatan untuk tubuh dan kepala Hana yang penat. Setengah jam berlalu sejak ia membuka mata hari ini. Hana sudah duduk di meja makan. Berhadapan roti lapis isi cokelat kesukaannya.
Awalnya, Pak Robert sedikit kaget mendengar pertanyaan Hana. Tapi hanya dalam sekejap, ia buru-buru mengubah mimik mukanya jadi biasa lagi. Menarik napas panjang, sebagai bos di tempat ini ia tak mau kalimat yang keluar dari mulutnya justru memperkeruh suasana. Ia harus tenang, meski sadar kalau bangkai yang selama ini ia tutupi akhirnya tercium Hana juga. “Kamu benar-benar mencari tahu soal itu ya ternyata.” Riuh ruang kantor di jam istirahat mendadak menjauh. “Aku sampai nggak menyangkanya loh. Hebat.” “Saya sedang nggak ingin diajak bercanda, Pak.” Hana membetulkan posisi duduknya. Tegap, tegak lurus menatap sengit lawan bicaranya. “Jadi benar, Pak Robert
“Kenapa diam?” Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “Udah puas kamu salah-salahin saya? Atau kamu baru tahu kalau ternyata bukti dan pengadilan itu nggak ada di cerita versi Arya?” Hana menelan ludah, menggeleng lantas tertunduk lesu. “Kalau ditanya, sebenarnya saya juga kasihan sama Arya, Han.” Mendengar suara Pak Robert Hana sontak mengangkat wajahnya lagi diiringi tatapan bingung. Namun pikirannya masih kosong, sekarang ia lebih memilih diam daripada marah-marah yang ujung-ujungnya hanya membuat Hana malu. “Saya kasihan pas ketemu sama dia di restoran itu sama kamu. Ya orang tua mana sih yang nggak sakit hatinya? Meski Arya bukan anak saya, tapi saya tahu apa yang dirasakan kedua orang tuanya Arya.” Pak Robert sengaja menjeda kalimatnya hanya untuk meraup wajah dengan kedua telapak tangannya. “Saya tahu bagaimana beratnya membesarkan seorang anak. Dari kecil saja saya udah bisa bayangkan berapa banyak uang yang dikelua
“Lo gila apa, Han?! Udah gila kali lo ya. Nggak mungkin lah aku mau kerja di tempat bos bangs4t itu. Gila…. Yang bener aja!!” Pertemuan kedua, kali Hana coba untuk mengajak Arya masuk PT. Cakra. Namun lagi-lagi Hana harus menelan pil pahit kenyataan. Benar kata Pak Robert, Arya langsung menolak mentah-mentah ajakannya. “Tapi ini demi kebaikan kamu, Ya.” Hana merajuk, memasang wajah iba. Tangannya bergerak menangkup telapak tangan Arya yang ada di atas meja. “Kamu mau ya, Ya. Pliss… buat kali in aja kamu kabulin permintaanku.” Cuma ini satu-satunya pilihan yang Hana punya untuk menolong Arya. Anggap saja menebus kesalahan yang tak sengaja ia lakukan.
Sejak niat baiknya ditolak mentah-mentah Arya, Hana lantas mengubur dalam impiannya untuk kembali dekat dengan Arya. Percuma, ia tak akan tahan dengan semua sikap Arya. Hana pasti tak akan bisa melawan semua rasa bersalahnya saat melihat Arya yang sekarang. Jadi mulai detik itu saat punggung Arya hilang ditelan ramainya pengunjung coffe shop, Hana putuskan untuk tidak lagi mau tahu apa pun soal Arya. Mau Arya nantinya sekarat. Mau Arya nantinya jadi gelandangan. Mau Arya nantinya balik dan diterima lagi dalam keluarganya. Hana tak akan mau peduli lagi. Ia sudah bersumpah pada dirinya senduri tak akan mau tahu soal Arya. “Toh dia sendiri yang bilang nggak butuh ditolong kan?” tegas Hana d
Kalau Hana ingat-ingat lagi, 6 bulan yang lalu adalah kali terakhir Hana menangis untuk orang lain. Saat menangisi kepergian Arya adalah di mana ia merasa sangat hancur. Enam bulan terlewati dan sekarang air matanya tumpah lagi lebih deras dari malam itu. Saking derasnya sampai napas Hana tersengal berkali-kali. Saking parahnya sampai wajahnya memerah padam. “Stttt… udah, Han. Udah dong nangisnya.” Pak Robert yang duduk di bangku sopir seperti tak menyerah menenangkan Hana sambil sesering mungkin menekan klakson;. “Anjing… !!! Angkot sialan bikin macet!!” umpatnya. “Hana lupa matiin mode silent di HP, Pak. Orang-orang rumah pada telponin Hana tapi malah Hana … malah Hana sibuk sendiri.”&nbs
“Khemmm….” Adegan romantis sepasang bapak dan anak mendadak terhenti saat terdengar suara berdeham dari belakang. Hana refleks melerai rankulannya. Kedua tangannya buru-buru bertolak menyapu air mata yang membasahi kedua pipinya. “Keluarga Ibu Hartono?”Di sana, sejajar dengan tempat Pak Robert, berdiri seorang perawat laki-laki. Mengenakan pakaian dinas serba putihnya membawa setumpuk dokumen di tangannya. Matanya yang berbingkai beredar menatap Pak Robert, Hana dan Pak Hartono bergantian.“Iya saya Pak Hatono,” jawab Pak Hartono hendak berjalan mendekat tapi buru-buru tangan Hana menahan tubuhnya.“Biar Hana saja, Pak.” Senyum kaku merekah di bibir Hana. Senyum yang tak selaras dengan wajahnya y
Sembilan ratus lima puluh tujuh rupiah lebih tepatnya. Deretan angka yang mengunci sepasang mata Pak Robert tak berkedip beberapa detik. Angka yang fantasti, masih bisa tambah lagi kalau ditambah dengan biaya kamar rumah sakit selama Bu Hartono dirawat.“Hemm…. “ Sang dokter berdeham, membuyarkan Pak Robert yang tengah mengamati ulang semua angka di depan matanya. “Jadi bagaimana, Pak? Kalau sudah tidak ada yang ditanyakan, Ibu atau bapak bisa tanda tangan di dokumen pembayaran ya. Biar saya bantu.”“Enggg… I-Ini seriusan seriusan Dok angkanya? Hampir satu miliar loh,” tanya Pak Robert sembari menunjukkan angka-angka di lembar kertas yang ia pegangi.“Oh kalau misal dari keluarga menghendaki harga yang lebih murah kami bisa sarankan pakai dokter lain. Dokter bedah juga tapi bukan Dokter Atmaja.”Penjelasan Sang Dokter justru membuat Pak Robert memijat kening. Memang benar, dilihat dari semua ri
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y