Awalnya, Pak Robert sedikit kaget mendengar pertanyaan Hana. Tapi hanya dalam sekejap, ia buru-buru mengubah mimik mukanya jadi biasa lagi. Menarik napas panjang, sebagai bos di tempat ini ia tak mau kalimat yang keluar dari mulutnya justru memperkeruh suasana.
Ia harus tenang, meski sadar kalau bangkai yang selama ini ia tutupi akhirnya tercium Hana juga.
“Kamu benar-benar mencari tahu soal itu ya ternyata.” Riuh ruang kantor di jam istirahat mendadak menjauh. “Aku sampai nggak menyangkanya loh. Hebat.”
“Saya sedang nggak ingin diajak bercanda, Pak.” Hana membetulkan posisi duduknya. Tegap, tegak lurus menatap sengit lawan bicaranya. “Jadi benar, Pak Robert
“Kenapa diam?” Pak Robert membuyarkan lamunan Hana. “Udah puas kamu salah-salahin saya? Atau kamu baru tahu kalau ternyata bukti dan pengadilan itu nggak ada di cerita versi Arya?” Hana menelan ludah, menggeleng lantas tertunduk lesu. “Kalau ditanya, sebenarnya saya juga kasihan sama Arya, Han.” Mendengar suara Pak Robert Hana sontak mengangkat wajahnya lagi diiringi tatapan bingung. Namun pikirannya masih kosong, sekarang ia lebih memilih diam daripada marah-marah yang ujung-ujungnya hanya membuat Hana malu. “Saya kasihan pas ketemu sama dia di restoran itu sama kamu. Ya orang tua mana sih yang nggak sakit hatinya? Meski Arya bukan anak saya, tapi saya tahu apa yang dirasakan kedua orang tuanya Arya.” Pak Robert sengaja menjeda kalimatnya hanya untuk meraup wajah dengan kedua telapak tangannya. “Saya tahu bagaimana beratnya membesarkan seorang anak. Dari kecil saja saya udah bisa bayangkan berapa banyak uang yang dikelua
“Lo gila apa, Han?! Udah gila kali lo ya. Nggak mungkin lah aku mau kerja di tempat bos bangs4t itu. Gila…. Yang bener aja!!” Pertemuan kedua, kali Hana coba untuk mengajak Arya masuk PT. Cakra. Namun lagi-lagi Hana harus menelan pil pahit kenyataan. Benar kata Pak Robert, Arya langsung menolak mentah-mentah ajakannya. “Tapi ini demi kebaikan kamu, Ya.” Hana merajuk, memasang wajah iba. Tangannya bergerak menangkup telapak tangan Arya yang ada di atas meja. “Kamu mau ya, Ya. Pliss… buat kali in aja kamu kabulin permintaanku.” Cuma ini satu-satunya pilihan yang Hana punya untuk menolong Arya. Anggap saja menebus kesalahan yang tak sengaja ia lakukan.
Sejak niat baiknya ditolak mentah-mentah Arya, Hana lantas mengubur dalam impiannya untuk kembali dekat dengan Arya. Percuma, ia tak akan tahan dengan semua sikap Arya. Hana pasti tak akan bisa melawan semua rasa bersalahnya saat melihat Arya yang sekarang. Jadi mulai detik itu saat punggung Arya hilang ditelan ramainya pengunjung coffe shop, Hana putuskan untuk tidak lagi mau tahu apa pun soal Arya. Mau Arya nantinya sekarat. Mau Arya nantinya jadi gelandangan. Mau Arya nantinya balik dan diterima lagi dalam keluarganya. Hana tak akan mau peduli lagi. Ia sudah bersumpah pada dirinya senduri tak akan mau tahu soal Arya. “Toh dia sendiri yang bilang nggak butuh ditolong kan?” tegas Hana d
Kalau Hana ingat-ingat lagi, 6 bulan yang lalu adalah kali terakhir Hana menangis untuk orang lain. Saat menangisi kepergian Arya adalah di mana ia merasa sangat hancur. Enam bulan terlewati dan sekarang air matanya tumpah lagi lebih deras dari malam itu. Saking derasnya sampai napas Hana tersengal berkali-kali. Saking parahnya sampai wajahnya memerah padam. “Stttt… udah, Han. Udah dong nangisnya.” Pak Robert yang duduk di bangku sopir seperti tak menyerah menenangkan Hana sambil sesering mungkin menekan klakson;. “Anjing… !!! Angkot sialan bikin macet!!” umpatnya. “Hana lupa matiin mode silent di HP, Pak. Orang-orang rumah pada telponin Hana tapi malah Hana … malah Hana sibuk sendiri.”&nbs
“Khemmm….” Adegan romantis sepasang bapak dan anak mendadak terhenti saat terdengar suara berdeham dari belakang. Hana refleks melerai rankulannya. Kedua tangannya buru-buru bertolak menyapu air mata yang membasahi kedua pipinya. “Keluarga Ibu Hartono?”Di sana, sejajar dengan tempat Pak Robert, berdiri seorang perawat laki-laki. Mengenakan pakaian dinas serba putihnya membawa setumpuk dokumen di tangannya. Matanya yang berbingkai beredar menatap Pak Robert, Hana dan Pak Hartono bergantian.“Iya saya Pak Hatono,” jawab Pak Hartono hendak berjalan mendekat tapi buru-buru tangan Hana menahan tubuhnya.“Biar Hana saja, Pak.” Senyum kaku merekah di bibir Hana. Senyum yang tak selaras dengan wajahnya y
Sembilan ratus lima puluh tujuh rupiah lebih tepatnya. Deretan angka yang mengunci sepasang mata Pak Robert tak berkedip beberapa detik. Angka yang fantasti, masih bisa tambah lagi kalau ditambah dengan biaya kamar rumah sakit selama Bu Hartono dirawat.“Hemm…. “ Sang dokter berdeham, membuyarkan Pak Robert yang tengah mengamati ulang semua angka di depan matanya. “Jadi bagaimana, Pak? Kalau sudah tidak ada yang ditanyakan, Ibu atau bapak bisa tanda tangan di dokumen pembayaran ya. Biar saya bantu.”“Enggg… I-Ini seriusan seriusan Dok angkanya? Hampir satu miliar loh,” tanya Pak Robert sembari menunjukkan angka-angka di lembar kertas yang ia pegangi.“Oh kalau misal dari keluarga menghendaki harga yang lebih murah kami bisa sarankan pakai dokter lain. Dokter bedah juga tapi bukan Dokter Atmaja.”Penjelasan Sang Dokter justru membuat Pak Robert memijat kening. Memang benar, dilihat dari semua ri
“Betul, Han.” Bibir Pak Robert tersenyum menyeringai. “Syarat. Kamu boleh setuju. Kamu boleh tidak. Tapi aku ingatkan kalau waktu yang kamu punya tidaklah banyak. Terlambat penanganan sedikit saja bisa sangat fatal buat ibumu. Ak—“ “Katakan!” potong Hana cepat. Dengan kepala tertunduk, tatapan kosong dan helai-helai rambut berantakan jatuh membuat wajah Hana yang biasanya cantik terlihat menakutkan. “Katakan apa syaratnya. Apa yang kamu mau?” Pak Robert di atas angin sekarang. Hana jatuh ke dalam dekapannya dengan gampang. Lorong rumah sakit yang sepi dan senyap menyulap obrolan ini jadi dramatis sekaligus menegangkan. Seperti adegan di film-film yang diiringi tabuhan drum bertempo cepat, jantung Pak Robert memompa cep
Urusan administrasi dan uang sekarang sudah beres. Tak terasa, siang yang mendung berubah jadi malam yang basah. Hujan turun sore tadi mendekati saat matahari tenggelam seakan ikut mengiringi kesedihan Hana. Tak ada yang mengerti hatinya. Tak ada yang mengerti perasaannya. Bersama tetes-tetes hujan Hana membiarkan lamunannya jatuh. Mendekap tubuhnya sendiri layaknya tak punya siapa pun di hidup yang singkat ini. “Kamu perlu makan, Han.” Suara itu datang bersamaan dengan sebuah kain tebal hinggap di punggung Hana. “Kalau nggak, nanti yang sakit nambah satu orang,” tandas Pak Robert. Ia berdiri menajajri