Kalau Hana ingat-ingat lagi, 6 bulan yang lalu adalah kali terakhir Hana menangis untuk orang lain. Saat menangisi kepergian Arya adalah di mana ia merasa sangat hancur. Enam bulan terlewati dan sekarang air matanya tumpah lagi lebih deras dari malam itu. Saking derasnya sampai napas Hana tersengal berkali-kali. Saking parahnya sampai wajahnya memerah padam.
“Stttt… udah, Han. Udah dong nangisnya.” Pak Robert yang duduk di bangku sopir seperti tak menyerah menenangkan Hana sambil sesering mungkin menekan klakson;. “Anjing… !!! Angkot sialan bikin macet!!” umpatnya.
“Hana lupa matiin mode silent di HP, Pak. Orang-orang rumah pada telponin Hana tapi malah Hana … malah Hana sibuk sendiri.”
&nbs
“Khemmm….” Adegan romantis sepasang bapak dan anak mendadak terhenti saat terdengar suara berdeham dari belakang. Hana refleks melerai rankulannya. Kedua tangannya buru-buru bertolak menyapu air mata yang membasahi kedua pipinya. “Keluarga Ibu Hartono?”Di sana, sejajar dengan tempat Pak Robert, berdiri seorang perawat laki-laki. Mengenakan pakaian dinas serba putihnya membawa setumpuk dokumen di tangannya. Matanya yang berbingkai beredar menatap Pak Robert, Hana dan Pak Hartono bergantian.“Iya saya Pak Hatono,” jawab Pak Hartono hendak berjalan mendekat tapi buru-buru tangan Hana menahan tubuhnya.“Biar Hana saja, Pak.” Senyum kaku merekah di bibir Hana. Senyum yang tak selaras dengan wajahnya y
Sembilan ratus lima puluh tujuh rupiah lebih tepatnya. Deretan angka yang mengunci sepasang mata Pak Robert tak berkedip beberapa detik. Angka yang fantasti, masih bisa tambah lagi kalau ditambah dengan biaya kamar rumah sakit selama Bu Hartono dirawat.“Hemm…. “ Sang dokter berdeham, membuyarkan Pak Robert yang tengah mengamati ulang semua angka di depan matanya. “Jadi bagaimana, Pak? Kalau sudah tidak ada yang ditanyakan, Ibu atau bapak bisa tanda tangan di dokumen pembayaran ya. Biar saya bantu.”“Enggg… I-Ini seriusan seriusan Dok angkanya? Hampir satu miliar loh,” tanya Pak Robert sembari menunjukkan angka-angka di lembar kertas yang ia pegangi.“Oh kalau misal dari keluarga menghendaki harga yang lebih murah kami bisa sarankan pakai dokter lain. Dokter bedah juga tapi bukan Dokter Atmaja.”Penjelasan Sang Dokter justru membuat Pak Robert memijat kening. Memang benar, dilihat dari semua ri
“Betul, Han.” Bibir Pak Robert tersenyum menyeringai. “Syarat. Kamu boleh setuju. Kamu boleh tidak. Tapi aku ingatkan kalau waktu yang kamu punya tidaklah banyak. Terlambat penanganan sedikit saja bisa sangat fatal buat ibumu. Ak—“ “Katakan!” potong Hana cepat. Dengan kepala tertunduk, tatapan kosong dan helai-helai rambut berantakan jatuh membuat wajah Hana yang biasanya cantik terlihat menakutkan. “Katakan apa syaratnya. Apa yang kamu mau?” Pak Robert di atas angin sekarang. Hana jatuh ke dalam dekapannya dengan gampang. Lorong rumah sakit yang sepi dan senyap menyulap obrolan ini jadi dramatis sekaligus menegangkan. Seperti adegan di film-film yang diiringi tabuhan drum bertempo cepat, jantung Pak Robert memompa cep
Urusan administrasi dan uang sekarang sudah beres. Tak terasa, siang yang mendung berubah jadi malam yang basah. Hujan turun sore tadi mendekati saat matahari tenggelam seakan ikut mengiringi kesedihan Hana. Tak ada yang mengerti hatinya. Tak ada yang mengerti perasaannya. Bersama tetes-tetes hujan Hana membiarkan lamunannya jatuh. Mendekap tubuhnya sendiri layaknya tak punya siapa pun di hidup yang singkat ini. “Kamu perlu makan, Han.” Suara itu datang bersamaan dengan sebuah kain tebal hinggap di punggung Hana. “Kalau nggak, nanti yang sakit nambah satu orang,” tandas Pak Robert. Ia berdiri menajajri
Awalnya, ini semua terasa aneh bagi Hana. Tanpa disebutkan juga Hana sudah tahu apa yang akan dilakukan Pak Robert padanya beberapa jam ke depan. Sialnya, perjanjian tetaplah perjanjian, hubungan kontrak antara Hana dan Pak Robert sudah resmi dimulai. Pak Robert bahkan sampai menuliskannya di atas kertas bermaterai ditanda tangani Hana dan Pak Robert. Mau tidak mau separuh hidup Hana adalah milik Pak Robert sekarang. Ia tak punya pilihan lain. Meski terpaksa tapi cuma ini yang bisa Hana lakukan demi ibunya. “Jangan gugup begitu, Han.” Suara Pak Robert menyeka senyap di dalam mobil sejak keduanya keluar dari rumah sakit. “Jangan kayak mau ketemu monster gitu loh. Aku juga manusia kok,” tandas Pak Robert disusul suara tertawa pelan.&nbs
Hana cuma kehilangan setengah kesadarannya. Ia tidak benar-benar kehilangan sepenuhnya. Hana masih bisa melihat meski samar. Hana masih bisa mendengar. Hana masih bisa merasakan tubuhnya meski lebih banyak ia harus menahan kepalanya yang terasa ditekan kuat-kuat dan berputar-putar. “Ummhhhhh….” Tak ada lagi perasaan bingung yang bercampur aduk. Hana membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Membiarkan bibir yang pernah mencumbunya bertandang kedua kalinya. Mengecup lembut, merasakan kulit bibir Pak Robert di antara dua bibirnya. Aroma anggur dan alkohol yang kuat bercampur jadi satu dalam napas mereka yang beradu. Ujung hidung bertemu ujung hidung, Hana sebisa mungkin tetap mempert
Bak ketiban durian runtuh, setelah sekian lama akhirnya Pak Robert benar-benar bisa melihat tubuh telanjang bulat Hana. Mulus, kulit kuning langsat tanpa ada bekas luka berarti. Saat tangan Hana membawa celana dalam tipis beranda turun, Pak Robert tak bisa lagi bisa mencegah matanya ikut turun. Dua bibir tebal di bawah sana menarik semua perhatiannnya. Ditumbuhi bulu-bulu halus, setitik tahi lalat hitam menempel di atas pangkal paha kanannya. “Ohhhh….” Pak Robert melenguh keenakan. Tangan Hana menyelinap masuk ke dalam celana dalamnya. Menarik kain hitam tipis itu turun lolos dari sepasang kakinya. Dengan terampil telapak tangan Hana menggenggam batang Pak Robert. Mengelus pelan-p
Dorongan yang awalnya masih bisa Hana tahan tahu-tahu berubah jadi tak bisa dikendalikan. Sekujur tubuh rasanya jaduh lebih sensitif dari sebelumnhya. Keringat, air ludah, suara kecipak yang jadi bumbu. Dalam sekejap seluruh syaraf di tubuh Hana rasanya menegang. “AHHHH…. DADDYYYY…. !!!!” Dorongan dengan tempo teratur yang cepat membawa gairah Hana sampai ubun-ubun. Tubuhnya terasa terbakar, dadanya memompa cepat, satu hentakan terakhir Hana sentakkan sekuat tenaga. Membenamkan batang Pak Robert sampai habis seluruhnya dilahap lubang kenikmatan Hana. “AHHHHH…. !!!” Seperti ledakan,