Bak ketiban durian runtuh, setelah sekian lama akhirnya Pak Robert benar-benar bisa melihat tubuh telanjang bulat Hana. Mulus, kulit kuning langsat tanpa ada bekas luka berarti. Saat tangan Hana membawa celana dalam tipis beranda turun, Pak Robert tak bisa lagi bisa mencegah matanya ikut turun.
Dua bibir tebal di bawah sana menarik semua perhatiannnya. Ditumbuhi bulu-bulu halus, setitik tahi lalat hitam menempel di atas pangkal paha kanannya.
“Ohhhh….” Pak Robert melenguh keenakan.
Tangan Hana menyelinap masuk ke dalam celana dalamnya. Menarik kain hitam tipis itu turun lolos dari sepasang kakinya. Dengan terampil telapak tangan Hana menggenggam batang Pak Robert. Mengelus pelan-p
Dorongan yang awalnya masih bisa Hana tahan tahu-tahu berubah jadi tak bisa dikendalikan. Sekujur tubuh rasanya jaduh lebih sensitif dari sebelumnhya. Keringat, air ludah, suara kecipak yang jadi bumbu. Dalam sekejap seluruh syaraf di tubuh Hana rasanya menegang. “AHHHH…. DADDYYYY…. !!!!” Dorongan dengan tempo teratur yang cepat membawa gairah Hana sampai ubun-ubun. Tubuhnya terasa terbakar, dadanya memompa cepat, satu hentakan terakhir Hana sentakkan sekuat tenaga. Membenamkan batang Pak Robert sampai habis seluruhnya dilahap lubang kenikmatan Hana. “AHHHHH…. !!!” Seperti ledakan,
Hana benar-benar tidak main-main. Ia mengantar ujung batang Pak Robert ke depan mulutnya. Lapisan kulit dengan rambut halus tumbuh terasa di lidahnya. Bagian yang tanpa kulit terasa lebih hangat dan licin. Lidah Hana berputar-putar, menari melingkari ujung batang. Puas menjalati bagian ujung, Hana melebarkan mulutnya. Kepalanya bergerak maju, membiarkan besar batang Pak Robert masuk ke dalm mulutnya lebih jauh. “OHHHH…. Hannn…. Shhhhh…. !!!” Tangan Pak Robert berkelana berangkat dari leher Hana, bergerak mundur ke belakang kepala. Jari-jari kekarnya menyelinap di antara helai-helai rambut. Menggelung rambut Hana dalam satu genggam lantas mendorong dan menaik kepala H
Total ada 2 ronde hebat yang mereka habiskan semalam. Sebelum akhirnya Hana dan Pak Robert sama-sama jatuh di atas ranjang yang smaa. Masih berderai peluh dan bara api gairah mereka. Malam semakin matang tanpa bisa dicegah atau dijeda. Tubuh yang lelah membawa mereka berdua melewati malam yang panjang dengan singkat.Tahu-tahu matahari pagi jatuh mengetuk jendela apartemen. Terang sorot cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat sela-sela tirai.‘Tinggg…. !!!’Hana pulang dari pulau mimpi saat suara pemanggang roti terdengar. “Umhhhhhhh…. !!!!” Tubuhnya menggeliat, tangan dan kakinya meregang melemaskan semua otot-otot tegang di tubuhnya.“Pagi cantik…”Suara Pak Robert sontak mengumpulkan semua kesadaran Hana sekaligus. Tubuh yang tadinya masih meringkuk di bawah selimut mendadak duduk. Sorot matanya berput
“Sebuah kehormatan saya kedatangan Pak Hartono loh.” Pak Robert membungkuk, menjabat tangan Pak Hartono, bapaknya Hana. “Ada apa gerangan ini tahu-tahu datang. Kok nggak bilang-bilang dulu sih.” Pak Robert sudah berusaha sekeras mungkin mengusir kekauan di antara dirinya dan Pak Hatono. Tapi apa boleh buat, tampaknya sifat ketus dan sinis Hana memang menurun dari sang Bapak. Pak Hartono benar-benar seperti lemari pendingin, tak merespon sambutan Pak Robert sama sekali. “Duduklah, Robert. Ini kan kantormu sendiri bukan kantorku.” Suara Pak Hartono besar dan datar. Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu kaku. Tak tampak sedikit pun emosi di sana, tak tersenyum, namun tak juga galak.&n
“Pak, nggak bisa gitu dong.” Pak Robert baru angkat suara saat merasa Pak Hartono sudah merampungkan semua kalimatnya. “Kalau tahu, Hana juga pasti nggak akan membiarkan Pak Hartono memikul semuanya sendirian. Hana sudah bukan anak kecil lagi, Pak.” “Hmmmm…. Bukan anak kecil kamu bilang?” Pak Hartono menyipitkan matanya. Sorot matanya tajam menyudutkan Pak Robert. “Tahu apa kamu soal Hana, Bert? Dia anakku. Aku berhak mengaturnya.” “Iya saya tah, Pak. Tapi mau sampai kapan Pak Hartono kayak gini ke Hana, Pak? Bapak sendiri yang bilang ke saya. Hana harus belajar mandiri. Makanya Pak Hartono suruh Hana bekerja di sini. Sekarang giliran Hana udah mandiri. Malah Bapak sendiri yang nggak bolehin Hana bantuan bapak,&
Seperti dua kutub magnet yang langsung saling menarik saat berdekatan, sepasang mata Pak Robert langsung menangkap keberadaan Hana saat keempat roda mobilnya sempurna ditelan lorong parkiran rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Pak Robert memutar setir dengan cepat. Menginjak gas menuju Hana yang sedang berdiri di depan pintu unit gawat darurat. “Masuk sayang…” Hana mengangguk singkat, sepasang kakinya melesat menyeberang kap mobil sedan. Ringan tubuh sintal nan rampingnya melompat masuk ke dalam mobil. “Ibu masih belum sadarkan diri. Kita masih punya cukup waktu,” ujar Hana tanpa perlu ditanya Pak Robert. 
“Jadi udahlah, Pak. Kita nggak perlu khawatir sama ancaman Bapak.” Hana berseru tanpa ada sedikit pun kekhawatiran tersirat di wajahnya. Sementara di tempat duduknya, Pak Robert masih termasngu bingung. “Bagaimana mungkin aku nggak khawatir, Han. Aku tahu pasti siapa Pak Hartono. Nggak gampang mempertaruhkan perusahaan yang udah aku bangun belasan tahun lamanya, Han.” “Iya maksudku, Pak Robert boleh khawatir tapi jangan berlebihan,” jawab Hana sembari menangkap punggung tangan Pak Robert. “Kalau Pak Robert memikirkannya berlebihan ketakutan Pak Robert malah bisa jadi kenyataan. Kita tetap merahasiakan soal hubungan kita. Tapi tolong Pak Robert jangan cemas berlebihan. Oke?”&n
“Pak ya nggak bisa gitu dong. Hana kan juga perlu cari angin keluar sebentar. Hana nggak bisa di rumah sakit terus.” “Iya bapak ngerti, Han.” Nada bicara Pak Robert merendah. Namun dingin dan datar suaranya justru semakin terasa mencekam untuk Hana. “Tapi di mana pun tempatnya. Apa pun alasannya. Nggak ada pembenaran kalau kamu bohong, Han. Bapak nggak pernah ngajarin kamu bohong dari dulu.” Mendadak, bola mata Hana yang bening jadi basah. Bapaknya memang dari dulu selalu begini. Wataknya keras, sifat tak mau kalahnya membuat Hana memasang jarak cukup jauh agar tidak tersakiti oleh kalimat bapaknya sendiri. “Apa kamu nggak pulang ke rumah bapak marah, Han? E