“Sebuah kehormatan saya kedatangan Pak Hartono loh.” Pak Robert membungkuk, menjabat tangan Pak Hartono, bapaknya Hana. “Ada apa gerangan ini tahu-tahu datang. Kok nggak bilang-bilang dulu sih.”
Pak Robert sudah berusaha sekeras mungkin mengusir kekauan di antara dirinya dan Pak Hatono. Tapi apa boleh buat, tampaknya sifat ketus dan sinis Hana memang menurun dari sang Bapak. Pak Hartono benar-benar seperti lemari pendingin, tak merespon sambutan Pak Robert sama sekali.
“Duduklah, Robert. Ini kan kantormu sendiri bukan kantorku.” Suara Pak Hartono besar dan datar. Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu kaku. Tak tampak sedikit pun emosi di sana, tak tersenyum, namun tak juga galak.
&n
“Pak, nggak bisa gitu dong.” Pak Robert baru angkat suara saat merasa Pak Hartono sudah merampungkan semua kalimatnya. “Kalau tahu, Hana juga pasti nggak akan membiarkan Pak Hartono memikul semuanya sendirian. Hana sudah bukan anak kecil lagi, Pak.” “Hmmmm…. Bukan anak kecil kamu bilang?” Pak Hartono menyipitkan matanya. Sorot matanya tajam menyudutkan Pak Robert. “Tahu apa kamu soal Hana, Bert? Dia anakku. Aku berhak mengaturnya.” “Iya saya tah, Pak. Tapi mau sampai kapan Pak Hartono kayak gini ke Hana, Pak? Bapak sendiri yang bilang ke saya. Hana harus belajar mandiri. Makanya Pak Hartono suruh Hana bekerja di sini. Sekarang giliran Hana udah mandiri. Malah Bapak sendiri yang nggak bolehin Hana bantuan bapak,&
Seperti dua kutub magnet yang langsung saling menarik saat berdekatan, sepasang mata Pak Robert langsung menangkap keberadaan Hana saat keempat roda mobilnya sempurna ditelan lorong parkiran rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Pak Robert memutar setir dengan cepat. Menginjak gas menuju Hana yang sedang berdiri di depan pintu unit gawat darurat. “Masuk sayang…” Hana mengangguk singkat, sepasang kakinya melesat menyeberang kap mobil sedan. Ringan tubuh sintal nan rampingnya melompat masuk ke dalam mobil. “Ibu masih belum sadarkan diri. Kita masih punya cukup waktu,” ujar Hana tanpa perlu ditanya Pak Robert. 
“Jadi udahlah, Pak. Kita nggak perlu khawatir sama ancaman Bapak.” Hana berseru tanpa ada sedikit pun kekhawatiran tersirat di wajahnya. Sementara di tempat duduknya, Pak Robert masih termasngu bingung. “Bagaimana mungkin aku nggak khawatir, Han. Aku tahu pasti siapa Pak Hartono. Nggak gampang mempertaruhkan perusahaan yang udah aku bangun belasan tahun lamanya, Han.” “Iya maksudku, Pak Robert boleh khawatir tapi jangan berlebihan,” jawab Hana sembari menangkap punggung tangan Pak Robert. “Kalau Pak Robert memikirkannya berlebihan ketakutan Pak Robert malah bisa jadi kenyataan. Kita tetap merahasiakan soal hubungan kita. Tapi tolong Pak Robert jangan cemas berlebihan. Oke?”&n
“Pak ya nggak bisa gitu dong. Hana kan juga perlu cari angin keluar sebentar. Hana nggak bisa di rumah sakit terus.” “Iya bapak ngerti, Han.” Nada bicara Pak Robert merendah. Namun dingin dan datar suaranya justru semakin terasa mencekam untuk Hana. “Tapi di mana pun tempatnya. Apa pun alasannya. Nggak ada pembenaran kalau kamu bohong, Han. Bapak nggak pernah ngajarin kamu bohong dari dulu.” Mendadak, bola mata Hana yang bening jadi basah. Bapaknya memang dari dulu selalu begini. Wataknya keras, sifat tak mau kalahnya membuat Hana memasang jarak cukup jauh agar tidak tersakiti oleh kalimat bapaknya sendiri. “Apa kamu nggak pulang ke rumah bapak marah, Han? E
Malam sebelum Hana pergi meninggalkan rumah.Kalau boleh dikata, Hana sebenarnya sedang kalap malam itu. Ia mencapai puncak lelahnya setelah setengah lamanya bertarung dengan dirinya sendiri. Apa-apa yang ia inginkan tak terwujud. Akal sehatnya masih sering kalah dengan hatinya yang belia. Jauh di dalam hati, Hana masih merindukan sosoknya. Arya, nama itu tak pernah gagal melumpuhkan akal sehatnya. Otak dan mulut Hana sepakat ia akan melupakan Arya secepat mungkin. Tapi hatinya enggan. Hatinya masih menyimpan rapat semua kenangan mereka. Jadi penyakit yang menggerogoti mental Hana pelan-pelan tanpa ia sadari. Jadi beban yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun sebab sejak masuk PT. Cakra lingkaran pertemanan Hana ikut habis. Mu
Suara decit pelan pintu kamar Hana seketika menahan langkah Ibunya. Ia berbalik badan, berjalan pelan dan langsung berhamur memeluk tubuh Hana erat-erat. Perempuan yang usianya seumuran dengan Pak Robert menangis di pelukan Hana. “Akhinya kamu membukakan pintu juga sayang. Ibu kira kamu nggak bakal bukain pintu lagi,” ucapnya lirih disela-sela isak tangis. Diakui atau tidak, sifat cengeng Hana turun dari sang ibu. Dua orang perempuan di rumah ini sama-sama suka mellow. Mereka gampang melebih-lebihkan sesuatu. Sama seperti yang Hana rasakan sekarang. Bukannya lega api perasaan kesal Hana malah makin menjadi. Ibunya yang sebenarnya tidak ada salah apa-apa sekarang masuk daftar orang yang m
Kembali ke rumah sakit. Sudah sejak dua jam yang lalu, Hana masih duduk di tempat yang sama. Di kursi sejajar dengan ibunya. Perempuan itu masih tergeletak di atas ranjang. Tubuh rentanya ditutup selimut, hanya kepala dan dua tangannya yang terlihat. Satu tangan jadi tempat jarum infus mendarat. Sementara satu tangannya yang lain masih dipeluk telapak tangan Hana. Jari-jari Hana seperti tak mau melewatkan sedetik pun tanpa mengelus punggung tangan ibunya. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Meski rasanya tak akan bisa membayar semua kesalahan yang Hana buat. “Bu bangunn,” pinta Hana dalam batin. Hatinya teriris melihat keadaan ibunya sekara
“BAPAK TANYA TELEPON DARI SIAPA ITU!!!” bentak Pak Hartono. Matanya melotot, wajahnya memerah geram. “Bukan siapa-siapa, Pak.” Hana buru-buru menyembunyikan ponselnya di balik punggung. “Bapak nggak usah marah-marah gitu dong sama Hana. Ini lagi di rumah sakit, Pak. Malu…” Siapa juga yang akan mengira kalau Pak Hartono balik lagi. Satu setengah jam yang lalu kurang lebih, pria yang selalu berwajah tegang itu berpamitan pulang. Salah satu alasan Hana berani menelepon Pak Robert di depan kamarnya ya karena sang bapak sedang tidak ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya tahu-tahu dia sudah ada di rumah sakit ini. Muncul dengan tiba-tiba pas banget saat H