Sembilan ratus lima puluh tujuh rupiah lebih tepatnya. Deretan angka yang mengunci sepasang mata Pak Robert tak berkedip beberapa detik. Angka yang fantasti, masih bisa tambah lagi kalau ditambah dengan biaya kamar rumah sakit selama Bu Hartono dirawat.
“Hemm…. “ Sang dokter berdeham, membuyarkan Pak Robert yang tengah mengamati ulang semua angka di depan matanya. “Jadi bagaimana, Pak? Kalau sudah tidak ada yang ditanyakan, Ibu atau bapak bisa tanda tangan di dokumen pembayaran ya. Biar saya bantu.”
“Enggg… I-Ini seriusan seriusan Dok angkanya? Hampir satu miliar loh,” tanya Pak Robert sembari menunjukkan angka-angka di lembar kertas yang ia pegangi.
“Oh kalau misal dari keluarga menghendaki harga yang lebih murah kami bisa sarankan pakai dokter lain. Dokter bedah juga tapi bukan Dokter Atmaja.”
Penjelasan Sang Dokter justru membuat Pak Robert memijat kening. Memang benar, dilihat dari semua ri
“Betul, Han.” Bibir Pak Robert tersenyum menyeringai. “Syarat. Kamu boleh setuju. Kamu boleh tidak. Tapi aku ingatkan kalau waktu yang kamu punya tidaklah banyak. Terlambat penanganan sedikit saja bisa sangat fatal buat ibumu. Ak—“ “Katakan!” potong Hana cepat. Dengan kepala tertunduk, tatapan kosong dan helai-helai rambut berantakan jatuh membuat wajah Hana yang biasanya cantik terlihat menakutkan. “Katakan apa syaratnya. Apa yang kamu mau?” Pak Robert di atas angin sekarang. Hana jatuh ke dalam dekapannya dengan gampang. Lorong rumah sakit yang sepi dan senyap menyulap obrolan ini jadi dramatis sekaligus menegangkan. Seperti adegan di film-film yang diiringi tabuhan drum bertempo cepat, jantung Pak Robert memompa cep
Urusan administrasi dan uang sekarang sudah beres. Tak terasa, siang yang mendung berubah jadi malam yang basah. Hujan turun sore tadi mendekati saat matahari tenggelam seakan ikut mengiringi kesedihan Hana. Tak ada yang mengerti hatinya. Tak ada yang mengerti perasaannya. Bersama tetes-tetes hujan Hana membiarkan lamunannya jatuh. Mendekap tubuhnya sendiri layaknya tak punya siapa pun di hidup yang singkat ini. “Kamu perlu makan, Han.” Suara itu datang bersamaan dengan sebuah kain tebal hinggap di punggung Hana. “Kalau nggak, nanti yang sakit nambah satu orang,” tandas Pak Robert. Ia berdiri menajajri
Awalnya, ini semua terasa aneh bagi Hana. Tanpa disebutkan juga Hana sudah tahu apa yang akan dilakukan Pak Robert padanya beberapa jam ke depan. Sialnya, perjanjian tetaplah perjanjian, hubungan kontrak antara Hana dan Pak Robert sudah resmi dimulai. Pak Robert bahkan sampai menuliskannya di atas kertas bermaterai ditanda tangani Hana dan Pak Robert. Mau tidak mau separuh hidup Hana adalah milik Pak Robert sekarang. Ia tak punya pilihan lain. Meski terpaksa tapi cuma ini yang bisa Hana lakukan demi ibunya. “Jangan gugup begitu, Han.” Suara Pak Robert menyeka senyap di dalam mobil sejak keduanya keluar dari rumah sakit. “Jangan kayak mau ketemu monster gitu loh. Aku juga manusia kok,” tandas Pak Robert disusul suara tertawa pelan.&nbs
Hana cuma kehilangan setengah kesadarannya. Ia tidak benar-benar kehilangan sepenuhnya. Hana masih bisa melihat meski samar. Hana masih bisa mendengar. Hana masih bisa merasakan tubuhnya meski lebih banyak ia harus menahan kepalanya yang terasa ditekan kuat-kuat dan berputar-putar. “Ummhhhhh….” Tak ada lagi perasaan bingung yang bercampur aduk. Hana membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Membiarkan bibir yang pernah mencumbunya bertandang kedua kalinya. Mengecup lembut, merasakan kulit bibir Pak Robert di antara dua bibirnya. Aroma anggur dan alkohol yang kuat bercampur jadi satu dalam napas mereka yang beradu. Ujung hidung bertemu ujung hidung, Hana sebisa mungkin tetap mempert
Bak ketiban durian runtuh, setelah sekian lama akhirnya Pak Robert benar-benar bisa melihat tubuh telanjang bulat Hana. Mulus, kulit kuning langsat tanpa ada bekas luka berarti. Saat tangan Hana membawa celana dalam tipis beranda turun, Pak Robert tak bisa lagi bisa mencegah matanya ikut turun. Dua bibir tebal di bawah sana menarik semua perhatiannnya. Ditumbuhi bulu-bulu halus, setitik tahi lalat hitam menempel di atas pangkal paha kanannya. “Ohhhh….” Pak Robert melenguh keenakan. Tangan Hana menyelinap masuk ke dalam celana dalamnya. Menarik kain hitam tipis itu turun lolos dari sepasang kakinya. Dengan terampil telapak tangan Hana menggenggam batang Pak Robert. Mengelus pelan-p
Dorongan yang awalnya masih bisa Hana tahan tahu-tahu berubah jadi tak bisa dikendalikan. Sekujur tubuh rasanya jaduh lebih sensitif dari sebelumnhya. Keringat, air ludah, suara kecipak yang jadi bumbu. Dalam sekejap seluruh syaraf di tubuh Hana rasanya menegang. “AHHHH…. DADDYYYY…. !!!!” Dorongan dengan tempo teratur yang cepat membawa gairah Hana sampai ubun-ubun. Tubuhnya terasa terbakar, dadanya memompa cepat, satu hentakan terakhir Hana sentakkan sekuat tenaga. Membenamkan batang Pak Robert sampai habis seluruhnya dilahap lubang kenikmatan Hana. “AHHHHH…. !!!” Seperti ledakan,
Hana benar-benar tidak main-main. Ia mengantar ujung batang Pak Robert ke depan mulutnya. Lapisan kulit dengan rambut halus tumbuh terasa di lidahnya. Bagian yang tanpa kulit terasa lebih hangat dan licin. Lidah Hana berputar-putar, menari melingkari ujung batang. Puas menjalati bagian ujung, Hana melebarkan mulutnya. Kepalanya bergerak maju, membiarkan besar batang Pak Robert masuk ke dalm mulutnya lebih jauh. “OHHHH…. Hannn…. Shhhhh…. !!!” Tangan Pak Robert berkelana berangkat dari leher Hana, bergerak mundur ke belakang kepala. Jari-jari kekarnya menyelinap di antara helai-helai rambut. Menggelung rambut Hana dalam satu genggam lantas mendorong dan menaik kepala H
Total ada 2 ronde hebat yang mereka habiskan semalam. Sebelum akhirnya Hana dan Pak Robert sama-sama jatuh di atas ranjang yang smaa. Masih berderai peluh dan bara api gairah mereka. Malam semakin matang tanpa bisa dicegah atau dijeda. Tubuh yang lelah membawa mereka berdua melewati malam yang panjang dengan singkat.Tahu-tahu matahari pagi jatuh mengetuk jendela apartemen. Terang sorot cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat sela-sela tirai.‘Tinggg…. !!!’Hana pulang dari pulau mimpi saat suara pemanggang roti terdengar. “Umhhhhhhh…. !!!!” Tubuhnya menggeliat, tangan dan kakinya meregang melemaskan semua otot-otot tegang di tubuhnya.“Pagi cantik…”Suara Pak Robert sontak mengumpulkan semua kesadaran Hana sekaligus. Tubuh yang tadinya masih meringkuk di bawah selimut mendadak duduk. Sorot matanya berput
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y