Sekarang hanya tinggal Hana sendirian lagi. Hari masih terlalu pagi untuk bangun dan beranjak dari ranjang. Tapi di saat yang sama Hana juga tak bisa tidur lagi. Dia terlanjur dikagetkan suara Pak Robert, mustahil rasanya bisa tidur lagi.
Sambil rebahan di atas kasur, Hana mulai berselancar dengan ponselnya. Menggulirkan layar digital selebar telapak tangannya itu naik turun, melihat kabar berita yang kebetulan atau memang sengaja lewat di berandanya.
Berita tentang kompetisi basket nasional di Pulau Reklamasi sedang naik daun. Tidak cuma di instagram, tapi juga lama facebook hingga twitter. Potret keseruan acara pembukaan tadi malam tersebar di mana-mana. Kembang api yang meledak indah di atas langit. Panggung yang megah menghias sambutan Gubernur baru pulau reklamasi.
Sama seperti yang ia rasakan sekarang pada Pak Robert. Detik dan menit yang terlewat tanpa Pak Robert rasanya sepi. Pelan-pelan Hana mulai merasakan tinggal di kamar sendirian. Matahari baru terbit dan jam sarapan masih lama. Tapi Hana sudah gusar, ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Menatap layar ponselnya juga percuma rasanya. Satu-satunya yang Hana tunggu adalah pesan balasan dari Arya. Sudah berjam-jam terhitung dari tadi malam namun yang Hana tunggu tak juga muncul. “Ishhh…. !!!” Sudah bosan gulung-gulung di atas ranjang dengan selimut kumalnya. Sudah bosan juga menggulir-gulirkan layar ponsel. Tak berselera lagi dengan semua postingan termasuk pesta pembukaan tadi malam.
Dua gelas koktail dengan irisan lemon mengambang dan sepasang daun mint sudah tiga puluh menit lebih menunggu di atas meja. Sementara sepasang pemesannnya masih sama-sama duduk terdiam di bangkunya masing-masing. Siapa yang bilang jam 7 pagi akhirnya mereka bisa sarapan. Buktinya, hingga jarum panjang hampir menginjakkan kaki di angka 5, keduanya masih sama-sama terdiam tak menyentuh makanan lain yang sudah tersaji di atas meja. “Jadi intinya Nyonya Elsa sudah pergi duluan?” tanya Hana coba memutus rantai kebisuan antara dirinya dan Pak Robert. Pak Robert dengan mimik wajah datarnya mengangguk. “Trus kenapa P
“Iya tapi ini rasanya beda, Han.” Pak Robert masih shock, terlihat dari gelagatnya yang gusar juga matanya yang tidak tenang. “Aku nggak masalah sama uangnya, Han. Ini juga bukan kali pertama aku ditipu orang. Tapi—” “Tapi apalagi sih, Pak?” Hana lagi-lagi memotong. “Kan masalah uang juga kita bisa usut. Kita punya notaris badan hukum sendiri juga kok. Kita bisa tuntut Nyonya Elsa kalau emang dia bawa kabur uang bapak.” “Soal buktinya?” “Loh bapak kan transfer ke rekening dia. Udah pasti ada jejak transaksinya kan. Ini kenapa bapak jadi makin linglung deh?” 
Setelah hampir satu jam Pak Robert sibuk mengutuki dirinya, setelah perdebatan singkat dengan Hana, akhirnya pelangi datang di pengujung badai. Segurat senyum baru terbit, kecil merekah dari bibir Pak Robert yang sekaligus mencairkan suasana beku di atas meja restoran. “Sudahlah, Pak. Jangan ngelamun lagi.” Sekarang tanpa Pak Robert meminta, Hana mengantarkan telapak tangannya sendiri. Memeluk punggung tangan, mengantarkan rasa hangat yang Hana harap cukup untuk meredam api resah di dalam hati Pak Robert. “Kita coba lain waktu ya. Kita cari cara lain. Anggap saja uang Pak Robert yang hilang nanti akan diganti dengan rezeki lain. Oke??” Senyumnya melebar, beberapa kerutan yang muncul di bawah kantung mata dan kening tak bisa menipu usia Pak Robert s
Mendengar namanya dipanggil, bukan cuma Hana yang langkahnya terhenti tapi juga Pak Robert. Keduanya serempak menoleh ke arah yang sama. Ke arah kamar yang tadi sudah mereka lewati. Kamar pertama yang menyambut mereka setelah pintu lift terbuka. Tadinya pintu itu tertutup. Namun sekarang, seseorang sedang berdiri mematung dengan tatapan lurus nan kosong. “Arya…” Hana tak kalah kaget karena kemunculannya. Orang yang dari kemarin membuatnya stress berkepanjangan. Dimulai dari ia yang mengabaikan semua pesan pendek sampai tak mengajak Hana di malam pesta pembukaan. Orang yang sudah membuat Hana kesepian sampai mau diajak tidur satu ranjang dengan Pak Robert ternyata tinggal tak jauh
“Pak Robert… Pak… !! Bangun, Pak!! Bangunnn… !!” Hana tak berhenti berteriak memanggil nama Pak Robert. “Bertahanlah, Pak. Bertahan, Pak!! Tolongg… !!! Siapapun tolong carikan Dokter!! Tolongg… !!!” Menopang tubuh kekar Pak Robert bukan hal yang gampang. Tubuh Hana sampai ikut tertarik, terhuyung jatuh bersimpuh di atas lantai. Meski takut dengan darah tapi matanya tak bisa lepas dari wajah Pak Robert yang berdarah-darah. “DASAR PENGACAU!! IKUT KAMI KE KANTOR… !!!” Salah satu satpam yang geram membentak Arya. Tiga orang lainnya bukan cuma meneriaki, tungkai kakinya melayang menghantam punggung Arya. Empat pasan
Satu bulan setelah kunjungan di Perairan Dumadi “Pagi semuanya…” sapa Hana yang baru saja melewati pintu masuk kantor. “Pagi Bu Hana…” jawab anak office yang ada di bawah serempak. Saling sapa pagi hari adalah salah satu kebiasaan baru yang Hana buat untuk dirinya sendiri sejak 2 minggu yang lalu. Sebelum melenggang masuk ke dalam kantornya sendiri, Hana selalu menyapa mereka yang sudah datang lebih dulu.Siapa lagi dalang pengusulnya kalau bukan Pak Robert. Walaupun awalnya Hana malas menuruti, tapi melihat bagaimana karyawan PT. Cakra jadi berubah menghormatinya membuat Hana berpikir; ini bukan ide yang buruk.&l
Siapa yang menyangka, Hana yang awalnya mengira tak akan betah lama di PT. Cakra sekranag menelan bulat-bulat air ludahnya sendiri. Makin ke sini lahkah Hana malah semakin rigan. Seperti menemukan keluarga baru yang punya tujuan satu yaitu memajukan PT. Cakra sebagai bentuk terima kasih kepada Pak Robert. Bukan rahasia lagi, sosok Pak Robert dengan semua ketegasan dan sifat killernya malah semakin membuat banyak karyawan hormat padanya. Laki-laki yang rendah hati mendengarkan semua ide dari bawahannya termasuk Hana. Juga laki-laki yang rendah hati membantu mereka semua yang sedang terjebak kerumitan hidup. Alhasil, rasa hormat lahir dengan sendirinya tanpa perlu Pak Robert minta. “Oke kita sud
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y