“P-Pak Robert??” tergagap suara Hana terbata. “Pak Robert pecat Krisna? Ke-kenapa, Pak?”
Helaan napas panjang Pak Robert terlihat dari dadanya yang mengembang. Ponsel canggih berpindah tangan, menyelinap di antara mulut sakunya sebelum diam di dalam sana.
“Huh…. Emang masih belum jelas apa yang dilakuin Krisna sampai kamu masih tanya kenapa?”
Pertanyaan balik Pak Robert mencekat tenggorokan Hana. Membuat perempuan satu ini refleks menelan ludah.
“Dia menyepelekan tempat kerjanya, Han.” Kalimat yang keluar dari mulut Pak Robert selanjutnya bernada beda. Dingin, kaku, tajam
Jarum pendek jam dinding berwarna serba emas masih berhenti di angka 8. Jarum panjangnya pelan-pelan merambat tak terasa mengikuti detik demi detik yang terlewat. Masih jam 8 lewat lima belas menut. Jelas belum bisa dikatakan malam untuk ukuran Hana yang sering keluar dugem. Malam ini ia resah, bukan karena tidak bisa dugem, melainkan karena tawaran Pak Robert terakhir tadi. “M-ma-maksudnya, Pak?” Ludah Hana menggumpal, terpaksa ia telan bulat-bulat demi menyeka tenggorokannya yang mendadak tercekat. “Iya ke sini.” Pak Robert menepuk-nepuk ranjangnya lagi. “Masa masih belum jelas sih?” Jelas? Oh tentu jelas, Hana tahu kalau Pak Robert mau dia pindah jadi satu ranj
Hangat kasur dan kamar mewah Hotel Mahakarya mendadak lenyap. Angin Perairan Dumadi yang sebelumnya terdengar di kejauhan disekat tembok besar dan dinding kaca tebal tiba-tiba terasa mencengkeram seisi ruangan dengan sepinya. Sepi yang mendobrak masuk mencekik leher Hana. Membelalakkan matanya, terkunci menatap Pak Robert tak percaya. “K-Kok… Kok Pak Rob—” “Bisa tahu?” Pria bertubuh kekar itu memotong. Tersenyum menyeringai menyeramkan memamerkan gigi rapinya namun dengan sorot mata yang tajam. Kegeraman tak lagi bisa disembunyikan Pak Robert, atau mungkin sengaja ia tunjukkan untuk menggetarkan hati Hana. Terbukti lawan bicaranya cuma bisa termangu, tenggorokan
Akhirnya permintaan yang terasa sungguh ganjil itu keluar juga dari mulut Hana. Ia bingung, Hana kalut sampai tak lagi bisa membendung semua kekacauan di dalam hatinya. Ia butuh tempat bersandar. Di saat-saat seperti ini seharusnya Arya yang ada di sini. Kalau tidak ada Arya, Hana akan langsung mencari sang ibu. Menangis pijar sampai lega sembari mendengarkan omelan ibunya soal kesalahan-kesalahan Hana. Namun malam ini malam yang tak pernah Hana rasakan sebelumnya. Tak ada Arya, jauh dari kedua orang tuanya. Hanya ada Pak Robert di depannya. Orang yang tadinya Hana merasa jijik jadi pilihan orang terakhir. “Bo-boleh kan, Pak?” tanya Hana di sela-sela desis tangisnya yang semakin menjadi.
Hana tak mengira kejadian di antara dirinya dan Pak Robert akan sejauh ini. Lebih dari itu, Hana bahkan sebelumnya tak sadar kalau yang hinggap di bibirnya adalah bibir Pak Robert. Matanya tertutup, cahaya lampu terhalang bayang-bayang kepala Pak Robert. Hana baru sadar apa yang hinggap di bibirnya adalah bibir Pak Robert saat dengus napas lembut terasa meniup hidungnya. Sontak Hana membuka matanya lebar-lebar. Ia menemukan wajah Pak Robert berada di depan mukanya persis. Berselimut bayang-bayang hitam dan rambut yang biasanya disisr rapi. Awalnya semua terasa membingungkan. Ya, Hana cuma bisa diam terpaku tak tahu harus berbuat apa. Tubuhnya terkunci, untuk beberapa detik mulutnya tak terbuka atau mengatup. Diam kaku seperti patung manekin di depan pintu toko paka
Padahal sebelumnya hubungan antara Hana dan Pak Robert baik-baik saja. Mereka berdua sudah akrab, tidak lagi kaku seperti bos dan anak buah di kantor. Sebelumnya baik Pak Robert maupun Hana bersyukur hubungan mereka bisa cair tidak seperti saat mereka bertemu beberapa hari yang lalu. Tapi lihat sekarang, malam yang sudah jalan setengah mereka habiskan dengan saling mendiamkan. Hana tidur membelakangi, sedang Pak Robert hampir sampai subuh datang tak bisa memejamkan matanya. “Aku salah, Han. Harusnya aku bisa mengendalikan egoku sendiri,” gumam Pak Robert dalam hati, merasa geram pada dirinya sendiri.Pak kecewa karena gara-gara tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Rasa yang semakin kuat seiring matanya terkunci menatap punggung Hana. Di l
Sekarang hanya tinggal Hana sendirian lagi. Hari masih terlalu pagi untuk bangun dan beranjak dari ranjang. Tapi di saat yang sama Hana juga tak bisa tidur lagi. Dia terlanjur dikagetkan suara Pak Robert, mustahil rasanya bisa tidur lagi. Sambil rebahan di atas kasur, Hana mulai berselancar dengan ponselnya. Menggulirkan layar digital selebar telapak tangannya itu naik turun, melihat kabar berita yang kebetulan atau memang sengaja lewat di berandanya. Berita tentang kompetisi basket nasional di Pulau Reklamasi sedang naik daun. Tidak cuma di instagram, tapi juga lama facebook hingga twitter. Potret keseruan acara pembukaan tadi malam tersebar di mana-mana. Kembang api yang meledak indah di atas langit. Panggung yang megah menghias sambutan Gubernur baru pulau reklamasi.
Sama seperti yang ia rasakan sekarang pada Pak Robert. Detik dan menit yang terlewat tanpa Pak Robert rasanya sepi. Pelan-pelan Hana mulai merasakan tinggal di kamar sendirian. Matahari baru terbit dan jam sarapan masih lama. Tapi Hana sudah gusar, ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Menatap layar ponselnya juga percuma rasanya. Satu-satunya yang Hana tunggu adalah pesan balasan dari Arya. Sudah berjam-jam terhitung dari tadi malam namun yang Hana tunggu tak juga muncul. “Ishhh…. !!!” Sudah bosan gulung-gulung di atas ranjang dengan selimut kumalnya. Sudah bosan juga menggulir-gulirkan layar ponsel. Tak berselera lagi dengan semua postingan termasuk pesta pembukaan tadi malam.
Dua gelas koktail dengan irisan lemon mengambang dan sepasang daun mint sudah tiga puluh menit lebih menunggu di atas meja. Sementara sepasang pemesannnya masih sama-sama duduk terdiam di bangkunya masing-masing. Siapa yang bilang jam 7 pagi akhirnya mereka bisa sarapan. Buktinya, hingga jarum panjang hampir menginjakkan kaki di angka 5, keduanya masih sama-sama terdiam tak menyentuh makanan lain yang sudah tersaji di atas meja. “Jadi intinya Nyonya Elsa sudah pergi duluan?” tanya Hana coba memutus rantai kebisuan antara dirinya dan Pak Robert. Pak Robert dengan mimik wajah datarnya mengangguk. “Trus kenapa P