“Gaji ??” Pertanyaan Han sontak mengerutkan dahi Pak Robert. “Oh my god …” Buku tentang mengelola perusahaan digital di tangan Pak Robert jadi tak lagi menarik. Buku ditutup, perhatian Pak Robert sekarang terkunci sepenuhnya pada Hana. “Kamu kerja sama aku baru 4 hari loh. Lima hari aja belum genap. Bisa-bisanya udah minta gaji.”
“Ayolah, Pak.” Hanya terduduk lemas di pinggir ranjang. Duduk menghadap Pak Robert yang merebahkan tubuhnya di ranjang seberang. “Saya butuh banget uang sekarang.”
“Butuh uang??! Buat apa, Han??” Pak Robert sedikit menaikkan nada bicaranya. “Buat apa coba? Segala akomodasi kamu sekarang ditanggung perusahaan. Makan kamu, transportasi, akomodasi, bahkan sampai baj
“Sudah aku kirim ke rekenigmu.” Pak Robert menunjukkan layar ponselnya.Hana yang masih duduk di tepi ranjang balas tersenyum lebar, meski ada sedikit penyesalan yang tak bisa ia tepis dari alasan bodoh yang ia pakai tadi. “Makasih ya, Pak.”“Iya sama-sama.”Yang tidak Pak Robert tahu adalah alasan sebenarnya untuk apa Hana mengambil uangnya. Kalau saja Pak Robert tahu, ia tak akan sudi memberi uang pada karyawan yang baru bekerja dengannya 4 hari.Sekitar satu jam yang lalu, Pak Robert yang sudah muak melihat romantisme dua orang di depan hotel memutuskan pergi meninggalkan mereka. Meneruskan perjalanannya ke lantai lima yang sempat tertunda. Pilih menunggu Hana di kamar hotel mewah mereka.Padahal, andai saja Pak Robert mau menunggu sedikit lebih lama. Ia pasti bisa tahu untuk apa sebenarnya uang yang Hana minta barusan. Ini semua terjadi karena Arya. Kalau bukan karena laki-laki itu, Hana tak akan sudi melakuk
“Aku sudah kirim sepuluh juta ke rekeningmu, Ya.” Ibu jari Hana menekan tombol pesawat warna hijau. Pesan pendeknya meluncur menyusul sebuah screenshoot bukti transfer yang sudah lebih dulu berangkat. Kulit ibu jarinya mengambang di atas permukaan layar digital, ada banyak yang isi kepala Hana ingin sampaikan. Tapi ibu jarinya tak lantas mengetikkan apa pun. Sempat ia menuliskan beberapa kata seperti; “Tolong dihemat, Ya.” “Uang itu sangat berharga buat aku. Aku sampai harus bohong pakai nama ibuku. Jangan dihambur-hamburkan seenaknya, Ya.’&n
Waktu yang membeku mendobrak batas tebal yang selama ini terpasang di antara Hana dan Pak Robert. Batas tak kasat mata yang membedakan mereka. Atasan dan bawahan, laki-laki paruh baya dan wanita kemarin sore, Hana yang egois tapi cengeng, Pak Robert yang kesepian di balik pribadinya yang serba mandiri. Dua detik rasanya seperti dua jam, Hana terjebak di dalam teduh tatap mata Pak Robert. Pria dewasa yang hanya dengan menatapnya saja bisa merasakan rasa aman, jauh dari semua hal yang mengkhawatirkan. Dua detik yang juga rasanya seperti dua jam untuk Pak Robert sebab tersesat di bening nan biru bola mata Hana. Parasnya yang cantik meski tanpa make up. Bibirnya yang tipis, bulu matanya yang lentik serta deretan gigi yang rapi. Tingkah menyebalkannya sanggup jadi pelipur sepi
“Kalau ditanya kenapa, jawabannya cuma satu, Han.” Suara berat Pak Robert menarik perhatian Hana. Sudah, lupakan soal kejadian memalukan barusan. Toh apa istimewanya juga? Cuma mengelap sisa anggur doang. Hana berharap kejadian memalukan tadi tidak terulang lagi. Sebab hubungannya dengan Arya yang sebelumnya memanas baru saja dingin. “Karena… ??” Hana mengerutkan dahi, sedikit menyipitkan matanya saat angin kering Perairan Dumadi menerbangkan rambutnya, menjuntai hingga mata. “Ya karena profesionalitas. Apa ya bahasanya, formalitas mungkin.” Tangan Pak Robert bergerak lagi. Kali ini bukan untuk menyentuh wajah Hana tapi un
“P-Pak Robert??” tergagap suara Hana terbata. “Pak Robert pecat Krisna? Ke-kenapa, Pak?” Helaan napas panjang Pak Robert terlihat dari dadanya yang mengembang. Ponsel canggih berpindah tangan, menyelinap di antara mulut sakunya sebelum diam di dalam sana. “Huh…. Emang masih belum jelas apa yang dilakuin Krisna sampai kamu masih tanya kenapa?” Pertanyaan balik Pak Robert mencekat tenggorokan Hana. Membuat perempuan satu ini refleks menelan ludah. “Dia menyepelekan tempat kerjanya, Han.” Kalimat yang keluar dari mulut Pak Robert selanjutnya bernada beda. Dingin, kaku, tajam
Jarum pendek jam dinding berwarna serba emas masih berhenti di angka 8. Jarum panjangnya pelan-pelan merambat tak terasa mengikuti detik demi detik yang terlewat. Masih jam 8 lewat lima belas menut. Jelas belum bisa dikatakan malam untuk ukuran Hana yang sering keluar dugem. Malam ini ia resah, bukan karena tidak bisa dugem, melainkan karena tawaran Pak Robert terakhir tadi. “M-ma-maksudnya, Pak?” Ludah Hana menggumpal, terpaksa ia telan bulat-bulat demi menyeka tenggorokannya yang mendadak tercekat. “Iya ke sini.” Pak Robert menepuk-nepuk ranjangnya lagi. “Masa masih belum jelas sih?” Jelas? Oh tentu jelas, Hana tahu kalau Pak Robert mau dia pindah jadi satu ranj
Hangat kasur dan kamar mewah Hotel Mahakarya mendadak lenyap. Angin Perairan Dumadi yang sebelumnya terdengar di kejauhan disekat tembok besar dan dinding kaca tebal tiba-tiba terasa mencengkeram seisi ruangan dengan sepinya. Sepi yang mendobrak masuk mencekik leher Hana. Membelalakkan matanya, terkunci menatap Pak Robert tak percaya. “K-Kok… Kok Pak Rob—” “Bisa tahu?” Pria bertubuh kekar itu memotong. Tersenyum menyeringai menyeramkan memamerkan gigi rapinya namun dengan sorot mata yang tajam. Kegeraman tak lagi bisa disembunyikan Pak Robert, atau mungkin sengaja ia tunjukkan untuk menggetarkan hati Hana. Terbukti lawan bicaranya cuma bisa termangu, tenggorokan
Akhirnya permintaan yang terasa sungguh ganjil itu keluar juga dari mulut Hana. Ia bingung, Hana kalut sampai tak lagi bisa membendung semua kekacauan di dalam hatinya. Ia butuh tempat bersandar. Di saat-saat seperti ini seharusnya Arya yang ada di sini. Kalau tidak ada Arya, Hana akan langsung mencari sang ibu. Menangis pijar sampai lega sembari mendengarkan omelan ibunya soal kesalahan-kesalahan Hana. Namun malam ini malam yang tak pernah Hana rasakan sebelumnya. Tak ada Arya, jauh dari kedua orang tuanya. Hanya ada Pak Robert di depannya. Orang yang tadinya Hana merasa jijik jadi pilihan orang terakhir. “Bo-boleh kan, Pak?” tanya Hana di sela-sela desis tangisnya yang semakin menjadi.