“Kembali kau, Makhluk Gelap. Tempatmu bukan di sini. Hanya manusia dan “mereka” saja yang kuizinkan untuk tinggal di tempat ini! Kau tahu ini bukan tempatmu. Berani sekali kau lari dari hukuman dan memasuki daerah terlarang untukmu dan kaummu!”
Suara itu terdengar memekakkan telinga. Ditengah-tengah pengejaran, suara penuh amarah membuat Mafalda Ofelia mulai ketakutan. Namun, tak ditunjukkan sedikit pun rasa takut itu. Berlari dan terus belari, napas tersengal dan lelah mulai mendera. Deru napas yang berkejaran serta memikirkan cara untuk melarikan diri membuat Mafalda semakin lelah.
“Nam!” Mafalda mengumpat dengan bahasa dari asalnya, Dimensi Gelap.
“Kau mengucapkan kata sial untuk siapa? Mengumpat dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh duniamu saja.” Suara itu kembali mengejek Mafalda, serta tawa mengerikan yang semakin membuat makhluk mana pun ketakutan.
“Diam kau, Sang Maha! Kalau berani, tunjukkan sosokmu! Aku akan menghabisismu. Sekarang! Saat ini juga!” Teriakan frustrasi terdengar jelas di telinga.
Sungguh. Mafalda sudah semakin tak berdaya. Jantung mulai memacu dengan cepat, paru-paru semakin sulit menerima oksigen masuk ke dalam tubuh, keringat bercucuran tanpa henti. Setiap sendi mulai tak mampu untuk membantu pergerakannya. Tulang-tulang pun terasa ingin lelah.
“Kenapa? Tubuhmu sudah mulai lelah?” tanya Sang Maha dengan nada yang sedikit tenang.
“A-apa yang kau lakukan?” Mafalda berhenti dan tubuh lunglai. Lututnya menempel di atas aspal hitam.
“Lihat saja. Karena kebodohanmu, masalah besar menyapa. Sekarang, sisa-sisa kekuatanmu hanya menunggu waktu untuk menghilang dan meninggalkan sarcag-nya, tempat bersemayam ilmu sihir makhluk Dimensi Gelap.” Maha memprovokasi dan memancing amarah Mafalda.
“Kau … mau apa, Maha?” Terdengar Mafalda sudah putus asa, pasrah untuk lenyap dari kehidupan.
“Menunggu dan akan menyaksikan lenyapnya satu makhluk pemilik Mireco.” Maha mengutarakan maksud dari amarah. “Dan, menjadikan kau sebagai sosok rones, pahlawan kejahatan dari Dimensi Gelap, duniamu!”
“Kau tahu, Maha? Banyak sekali yang ingin menghancurkanmu dari duniaku! Kau hanya makhluk pilihan yang sebentar lagi akan lenyap. Masamu akan hilang,” ucap Mafalda seraya bangkit berdiri tanpa menyadari sesuatu terjadi pada raganya. “Kau tahu, mereka akan bergerak dan melakukan sesuatu jika aku menghilang. Kau akan ….”
“Mereka tidak akan melakukan sesuatu padaku,” potong Maha cepat dan marah. “Karena kalian, makhluk dari Worark, dunia kegelapan, sejatinya hanyalah makhluk yang penuh ketakutan.” Sekarang ini, tidak ada satu pun dari mereka yang berani datang dan menolongmu, Mafalda Ofelia.”
Mafalda terdiam. Benar saja, sejak dia berhasil masuk ke dunia manusia melalui Purohid -gerbang terlarang- yang disembunyikan sejak ratusan ribu tahun. Mafalda terkekeh dan masih fokus pada tujuan masuk ke dunia manusia, tetap saja dia belum mengetahui yang terjadi pada raganya.
“Jangan berbicara omong kosong kau, Sang Maha, sudah setahun aku berada di sini. Selama itu pula aku hidup dengan baik bersama manusia yang kucintai!” protes Mafalda tidak terima.
“Hidup dengan baik katamu?” Lagi, suara Sang Maha menggema penuh amarah. “Kau tahu jelas yang terjadi pada tahun lalu! Kematian akibat dari bencana alam, siapa pemicunya? Aku menjaga keseimbangan dan sudah ratusan ribu tahun aku membantu mereka untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Untuk semua fenomena alam, mereka bisa mengetahui. Tetapi, kau merusak dengan melakukan hal terlarang. Mengacaukan pikiran para manusia, mengendalikan pikiran mereka dan ingin menguasai mereka. Bahkan, sebagian dari penghuni bumi ini berani meninggalkan Sang Pencipta. Lalu, kau katakan hal seperti itu adalah hidup berdampingan? Kau mengacaukan pekerjaanku!”
Suara Maha memekakkan telinga Mafalda. Namun, hanya dia sendiri dan makhluk Worark yang bisa mendengar ledakan amarah itu. Para makhluk Worark benar-benar terdiam di tempatnya. Mereka sadar penuh, jika Sang Maha sudah diberikan blouns –berkat dan karunia- yang tak terbatas.
Mafalda tertawa lepas kemudian dia menarik napas yang terasa sesak. “Aarkk …,” teriak kesakitan tak sanggup lagi ditahan. “Wahai, Sang Maha. Ingat dan camkan dengan baik. Kau pun nanti akan merasakan apa yang kurasakan. Mencintai seorang manusia dan tak bisa berbuat apa pun!” Suara Mafalda berteriak dengan lantang.
“Berkata-kata saja sesuka hatimu. Berikan deurs-mu sebanyak apa pun, kutukan itu tidak akan sampai. Kau tahu, mireco-mu sudah hampir hilang. Sebentar lagi.” Maha kembali mengingatkan Mafalda. “Semua ini adalah hasil dari perbuatanmu yang mencintai manusia dan mengikuti kemauannya. Kesalahan ini tidak akan bisa dimaafkan untuk ribuan tahun di masa depan.” Tanpa perasaan, Maha mengucapkan rentetan kalimat yang menyakitkan itu.
Dalam sekejap, keadaan malam kembali hening. Langit yang semula diterangi cahaya bulan dan bintang, cahaya lampu yang menerangi jalanan kecil di perkotaan dan pedesaan berubah gelap seketika. Tak ada lagi suara binatang kecil yang biasa memenuhi alam. Bahkan, suara Maha pun berhenti.
“Ada apa? Ke mana semua suara itu? Mengapa menjadi tak ada apa pun?” Mafalda kebingungan, ketakutan yang tak biasa menyergapnya. “Apa ini?” Mafalda mulai tidak bisa berbuat apa-apa lagi. “Aku akan lenyap?” Tawa Mafalda semakin mengerikan, sangat putus asa dan cemas.
“Mafalda ….” Suara yang berbeda kali ini membuat Mafalda tersentak. “Kau sudah melanggar batasan. Aku sudah memberikan peringatan 2.500 tahun lalu. Tetapi, kau melanggarnya. Sekarang, tiba saatnya kau luruh dan tak bersisa.”
“Sa … Sang Pencipta? Apa itu Kau?” tanya Mafalda yang masih dalam ketakutan, sedikit harapan muncul dalam benaknya.
“Ya, ini Aku. Yang menciptakan kau, Maha Dimensi dan seluruh alam raya.”
“Sang Pencipta, kumohon bebaskan aku. Aku akan membuat dunia ini jauh lebih baik. Aku akan membuat para manusia itu kembali menyembah-Mu. Bagaimana? Adil, ‘kan?” Mafalda melakukan tawar-menawar.
“Kau memberikan penawaran kepada-Ku? Kau tak layak untuk melakukan itu. Aku ada saat ini hanya untuk memberikanmu kesempatan terakhir. Tetapi, kau justru membuat-Ku kecewa dan marah sekaligus. Nikmatilah pemandangan alam semesta ini sampai detik terakhirmu.”
Suara Sang Pencipta pun menghilang, tapi, gelap masih saja menyelimuti alam semesta. Waktu masih saja berhenti, jarum pun tak ikut bergerak. Namun, di gelapnya malam, di antara batas tipis kegelapan, terdengar suara derap kaki anak kecil yang berlari. Tangisan anak itu mengalihkan perhatian Mafalda. Senyuman licik tergambar di wajah putih dan aura gelap.
“Ah, sepertinya Mireco-ku memiliki tuan yang baru,” ucap Mafalda dengan penuh kemenangan.
Tubuh Mafalda yang seringan kapas langsung saja melayang tanpa aba-aba. Berhenti tepat di depan tuan baru kekuatan dari gelap. Tanpa mempertimbangkan apa pun lagi, kedua tangan dengan jari-jari lentik dan indah mencengkeram kepala kecil dan menutup kedua telinga si tuan baru itu.
“Kau terimalah saja Mireco ini. Pakai sesuka hatimu, jangan pernah ragu dan takut. Hancurkan siapa pun yang menyakitimu tanpa perlu berbelas kasihan,” ucap Mafalda dengan lantang tepat di wajah kecil yang ada di hadapannya itu. Sesaat Mafalda terdiam, hanya sedetik saja. Kemudian dia mengucapkan, “Mireco, gain tonya!” Dengan lantang, Mafalda memerintahkan kekuatan itu untuk masuk pada tubuh kecil si tuan baru.
“Aaa …. Sakit ….”
“Aaa … sakit ….” Gadis kecil itu berteriak kesakitan.Tak dapat menahan rasa sakit di seluruh tubuh hingga ke tulang-tulang. Entah apa penyebabnya, dia membuka mata dan menatap wajah indah yang berdiri tepat di hadapannya. Wajah mereka sejajar dan saling menatap.“Kenapa wajahmu kecil sekali?” tanya Mafalda dengan suara lemah. “Dan, kau ….”“Mafalda Ofelia, apa yang kau lakukan?” Belum selesai Mafalda dengan rasa ingin tahunya, Maha kembali berteriak dengan garang.Mafalda mengedarkan pandangan, mencari-cari asal suara itu. Nihil, tak ada seorang pun di sana. Sedetik kemudian, pendengaran pun ditajamkan. Dia membelalak ketakutan begitu menyadari siapa yang datang menghampiri mereka.“Sakit,” rintih kecil suara seorang anak perempuan yang kesakitan dengan kepala yang masih dalam cengkeraman kuat sosok asing di hadapannya. “Lepaskan. Maafkan aku. Aku tidak bersalah
Di tahun 2021, 20 tahun setelah malam mencekam itu ...Deolinda menatap bangga salah satu gedung pencakar langit yang berdiri tepat di depan mata. Menarik napas dan kemudian mengembuskan perlahan, membawa masuk udara pagi ke paru-paru.“Sudah sebulan aku bekerja di sini. Siapa yang menolak untuk bekerja di tempa ini? Head office Bhaumik Group, perusahaan multinasional,” monolog Deo dengan senyum kebanggaan pada wajah cantiknya.“Hari ini presdir bakalan memilih CEO untuk supermarket BigMart.”“Aku penasaran siapa yang akan jadi CEO di sana. Semoga saja Pak Dewingga yang terpilih. Jangan sampai si penjilat Rihana.”“Aduh, Pak Dewingga jangan ke mana-mana, deh. Cukup jadi asisten pribadi Pak Affandra saja. Biar si Rihana yang pergi. Hilang satu perempuan bermuka dua dari gedung ini.”Suara-suara hati pegawai HO Bhaumik Group terdengar di telinga Deo. Sangat jel
“Pergi dari sana, Bajingan. Jangan mengganggu wanita itu. Kau pergilah ke kantor polisi, serahkan diri dan buat pengakuan akan memerkosa anakmu sendiri.”Deolinda yang tanpa sengaja mendengar perkataan hati seorang pria tua dan tak bermoral langsung memberikan perintah dan mengendalikan pikiran. Usaha Deolinda berhasil, tapi, tanpa se-pengetahuannya, ada sosok lain yang mendengar perintah itu.Deolinda masih fokus pada kejadian ini. Otak yang bisa membaca pikiran orang lain menerima ketakutan dari seorang gadis yang tengah berteriak dan berdoa mencari pertolongan. Deolinda yang mengetahui itu tentu saja tak tinggal diam, dia mengendalikan pikiran si pria tua dan memerintahkan untuk menyerahkan diri ke pihak berwajib. Pria itu menuruti dan dengan sadar –atas kendali- dia menyerahkan diri.Deolinda menarik napas lega, kali ini pun berhasil. Setidaknya, dia menolong seorang wanita dan masa depannya pun terselamatkan. Deolinda pun tersenyu
Dewingga tak menemukan apa pun. Setelah hari di mana dia mencari pemilik Mireco, rasa penasaran tak pernah hilang, begitu pun pada Maha. Yang bisa dilakukannya hanya menunggu. Untuk bertanya pada Sang Pencipta, bisa saja dilakukan, tapi, bukan Maha yang menentukan, melainkan Sang Pencipta sendirilah yang akan datang pada dia sewaktu-waktu.“Tak bisakah Anda meminta bertemu dengan Sang Pencipta, Maha? Tanyakan pada-Nya tentang wanita pemilik Mireco,” pinta Dewanggi pada Maha saat mereka berjalan menuju lift.“Kalau saja permintaan itu gampang, sudah kulakukan sejak 20 tahun yang lalu,” jawab Maha sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantung celana.“Apa sekarang Anda akan tetap menunggu lagi, Maha?” tanya Dewingga setelah mereka masuk ke dalam lift.“Ya. Aku akan memberikan dia kesempatan. Untuk sekarang ini, tidak perlu memaksa. Bisa saja dia masih merasa terkejut dengan apa yang terjadi. Akan
Deo melangkah dengan pasti tanpa keraguan sedikit pun. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruang kerja Dewingga, menarik napas sejenak dan memasang kembali indera ke-enamnya.“Sedikit curang harusnya ‘gak masalah, ‘kan?” tanya Deo pada diri sendiri, memastikan keadaan sekitar.“Pak Wingga masih di ruangan Pak Affandra, aku masih bisa santai sedikit dan punya waktu kasih minuman ini. Malam ini Pak Wingga akan menghabiskan malam bersamaku. Dinda bukan lagi administrasi biasa.”Astaga, Bu Dinda yang terkenal paling sopan ternyata cuma kedok doang! Dalam hati Deo berkata. Tak percaya apa yang baru saja dia tahu.“Si Kirana pasti kalah satu langkah dariku. Pak Affandra tak tersentuh. Tak ada rotan akar pun jadi, kata pepatah begitu, ‘kan?”Dinda administrator dari Dewingga sibuk dengan pikirannya untuk melakukan rencana penjebakan.“Ck! Dasar ya. Apa bagus
Dewingga menatap tak percaya adegan yang sedang tayang langsung. Tepat di depan mata, tangan Maha menjulur dengan senyum terukir di bibir.“Pak ....” Dewingga menatap Maha dengan pertanyaan yang tergambar di bola mata.Maha menoleh, “Lihat saja.”Deolinda yang masih mencerna apa yang baru saja dia lihat, menatap uluran tangan kanan Maha. Mata yang kosong dan otak yang berpikir keras.“Berdirilah,” ucap Maha lagi. “Dan lihat sekelilingmu.”Deolinda mengikuti perintah Maha dengan kepala yang terangkat perlahan seraya tangan menerima bantuan dari si bos besar.“A-apa ini?” tanya Deolinda setelah dia melihat sekeliling.“Ini dinamakan Vehritio,” jelas Maha.“Ap ... apa ....” Deolinda terhenti saat Maha merentangkan kedua tangannya.“Maha.” Dewingga mencoba memotong.Maha menunjukkan wujudnya yang bukan manusia, wuj
“Tidak perlu kau suruh. Aku sudah punya sejak tahun 1925. Dunia hiburan sudah sejak lama sekali kumiliki. Jadi, tidak perlu kau suruh atau pun kau pinta, aku sudah memilikinya.”Pernyataan Affandra membuat Deolinda terperangah. Malam sudah sangat larut dan dia masih sibuk menatap langit-langit kamar kosnya sambil mengolah setiap ucapan pria kaya raya itu.“Astaga!” pekik Deolinda yang sontak bangun dari rebahnya. “Tadi, kan. Aku keluar ruangan Pak Affandra ‘gak pamit?” Diam lagi sambil memikirkan hal yang mungkin terjadi. “Tolol,” makinya pada diri sendiri sambil mengacak-acak rambut.“Kalau besok aku dipanggil, ‘gimana? Terus dikasih SP? Masa iya, baru sebulan kerja aku langsung kena SP?” cerca Deolinda menyadari kebodohannya.Deolinda tidak tenang, kantuk berat sudah menyerang, tapi, otak masih menyuruh berpikir hal buruk karena perilaku negatif yang dilakukan pada atasan tertinggi
Berusaha bersikap wajar di hadapan psikiater perusahaan memang pilihan terbaik saat ini. Wajah tampan, terlihat ramah dengan senyum memikat, tak disangka memiliki hati iblis. “Ini laporan “profiling” pegawai Departemen Service Quality, Bu ....” “Deolinda, Pak. Eh ... dokter,” respon Deolinda cepat. “Tidak perlu sungkan, Bu. Berhubung status saya di sini juga seorang pegawai, pakai bahasa formal saja.” Senyum ramah kembali diterima Deolinda. “Baik, Pak. Saya terima laporannya dan mohon diperiksa kemudian ditandatangani lembar serah terima berkas ini.” Deolinda berkeinginan untuk secepatnya keluar dari ruang kerja Dimas. Sungguh sangat tidak nyaman berada di ruangan seorang manusia berhati iblis. “Ibu terlihat buru-buru, ya?” tanya Dimas. “Maaf, Pak. Saya ada pekerjaan lain.” Deo berusaha untuk bersikap tenang. Dimas tertawa, “Apa Ibu takut kalau Pak Affandra cemburu?” “Hah? Apa maksudnya, Pak?” Deolinda bingung. “Semua orang tahu kok hubungan Bu Deo dengan Pak Affandra. Saya ‘