Share

Affandra Bhaumik

Dewingga tak menemukan apa pun. Setelah hari di mana dia mencari pemilik Mireco, rasa penasaran tak pernah hilang, begitu pun pada Maha. Yang bisa dilakukannya hanya menunggu. Untuk bertanya pada Sang Pencipta, bisa saja dilakukan, tapi, bukan Maha yang menentukan, melainkan Sang Pencipta sendirilah yang akan datang pada dia sewaktu-waktu.

“Tak bisakah Anda meminta bertemu dengan Sang Pencipta, Maha? Tanyakan pada-Nya tentang wanita pemilik Mireco,” pinta Dewanggi pada Maha saat mereka berjalan menuju lift.

“Kalau saja permintaan itu gampang, sudah kulakukan sejak 20 tahun yang lalu,” jawab Maha sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantung celana.

“Apa sekarang Anda akan tetap menunggu lagi, Maha?” tanya Dewingga setelah mereka masuk ke dalam lift.

“Ya. Aku akan memberikan dia kesempatan. Untuk sekarang ini, tidak perlu memaksa. Bisa saja dia masih merasa terkejut dengan apa yang terjadi. Akan ada waktu yang tepat untuk kami bertemu.” Maha tahu, Dewingga juga ingin menemukan Mireco secepatnya.

“Apakah tidak berbahaya jika kita membiarkan wanita itu berasama kekuatan itu?” tanya Dewingga lagi.

“Sampai saat ini, tak ada kekacauan yang terjadi, ‘kan?” Maha kemudian membisu. “Hanya saja, cepat atau lambat Mireco mungkin saja terbangun dan menjadi gelap dan pekat. Kalau sudah seperti itu, tak ada yang bisa kita lakukan pada wanita itu, selain melenyapkan dia dan menghapus semua jejak kehidupan perempuan itu.”

“Ya, saya mengerti.” Dewingga setuju. “Sejujurnya, saya prihatin pada wanita itu. Dia tidak tahu apa-apa, malah mendapat kekuatan yang tak lazim. Entah dia mendapatkan kesialan atau keberuntungan, di akhir cerita saja kita akan tahu.”

Maha Dimensi tertawa, “Bahkan, aku pun tak tahu.” Maha mendongak, “Kapan Dia ingin bertemu dan mengatakan semua, hanya Dia yang tahu. Alam ini milik-Nya, bukan milikku, aku hanya makhluk suruhan saja.

Pintu lift terbuka, mereka sudah ada di lantai 6 gedung Bhaumik dan berjalan menuju ruang rapat. Masalah kesejahteraan pegawai memang tak ada habisnya. Tak akan pernah tuntas meskipun para pegawai diberi gaji besar, untuk mereka masih saja kurang dan kurang, tak pernah cukup.

“Pagi, Pak Affandra, Pak Wingga,” sapa pegawai yang sudah menunggu mereka di ruang kerja.

“Pagi,” balas Maha yang memiliki nama Affandra Bhaumik di antara para manusia. “Baik, laporkan masalahnya.”

Tanpa diberitahu pun, Maha atau Affandra sudah memahami inti permasalahan. Namun, dia sekarang ini menjadi seorang Affandra Bhaumik yang mereka kenal sebagai pewaris tunggal Bhaumik Group. Menjadi seorang presiden komisaris di usia muda, 35 tahun, karena orang tuanya meninggal. Kematian presiden komisaris dan istrinya dianggap sebuah kisah cinta  yang romantis. Tuan dan Nyonya Bhaumik menerima ajal hanya berjarak 2 hari. Mereka -para manusia- tak tahu siapa Bhaumik sebenarnya. Semua adalah pekerjaan Affandra, mengatur rahasia tentang dia dan alam semesta.

Sama seperti biasa, tak ada seorang pun yang benar-benar serius mengikuti rapat ini, semua fokus pada wajah tiga orang pria tampan, Affandra dan kedua anak buahnya. Sama-sama pendiam, tapi, Wingga saja yang terlihat sering berbicara. Dua karakter yang berbeda dan pilar yang kuat untuk Affandra Bhaumik.

“Baik, sekian rapat hari ini.” Dewingga menutup rapat yang sudah berlangsung hampir tiga jam. “Untuk hasil rapat ini, saya minta notulen menyerahkan meeting report besok sebelum jam istirahat. Bawa ke ruangan saya dan kita bersama-sama menyerahkan kepada Bapak Affandra. Mengerti?”

“Baik, Pak, mengerti,” jawab peserta rapat serentak.

“Siapa yang menjadi notulen hari ini?” tanya Affandra tiba-tiba.

Kedua anak buah Affandra terlihat tidak percaya pada apa yang baru saja mereka dengar. Tak biasa Affandra menanyakan hal tidak penting itu. Bukan hanya dua sosok itu, pegawai lain pun ikut merasa heran.

“Saya, Pak,” jawab Deolinda mengangkat tangan kemudian berdiri.

Affandra menatap Deolinda dan kemudian mengangguk, “Kapan kamu bisa menyelesaikan laporan hasil rapat ini?” Affandra menatap Deolinda penasaran. Akan tetapi, pegawai lain justru menyimpulkan hal yang berbeda.

“Besok pagi, sekitar jam 09.30 WIB, akan saya antarkan, Pak,” jawab Deolinda tegas dan penuh percaya diri.

“Baik.” Affandra berdiri dan merapikan jas yang sedikit kusut, “Saya tunggu besok sesuai ucapan Anda.”

“Kamu yakin, Anulika, besok sudah bisa diserahkan? Itu jamnya mepet banget loh, ya,” ucap Dimas khawatir, begitu Affandra dan dua orang pengikutnya meninggalkan ruang rapat. “Bisa-bisa kamu dipecat si killer itu. Kalau kamu dipecat, aku ‘gimana dong? Hatiku sudah tertambat padamu seorang.”

Deolinda menatap jijik sekaligus aneh pada Dimas, ingin rasanya dia meninju mulut yang tak pernah menyaring kalimat yang dikeluarkan. Deolinda merasa, pria ini memang harus diberi pelajaran, sedikit saja, tapi, harus tepat mengenai mental.

Dasar pria bermulut lemes, maki Deolinda dalam hati.

“Dengar, Pak Dimas. Dengarkan baik-baik ya. Saya itu bukan peagawai bodoh dan malas. Saya masuk ke perusahaan ini juga bukan karena nepotisme. Dan … berhubung saya bukan penjilat, tak masalah dengan pekerjaan berat yang diberikan kepada saya, Pak. Akan saya kerjakan dengan baik!” Dengan tegas Deolinda mengutarakan isi pikirannya. Mengucapkan kata saya berkali-kali hanya untuk membuat lelaki itu paham. Sukses, Dimas pun terdiam seribu bahasa.

Deolinda berjalan menuju pintu setelah mermapikan peralatan yang dibawa tadi, dia berhenti di pintu dan berbalik, “Jangan panggil aku Anulika. Anda bukan orang penting dalam hidup saya,” kata Deolinda sedikit meninggikan volume suara hanya untuk didengarkan saja.

Di gedung yang sama, di lantai berbeda, Affandra mendengar percakapan dan melihat kejadian itu. Affandra sontak tersenyum dan merasa lucu karena tontonan yang baru saja dia saksikan. Untungnya, tak ada yang menyaksikan perubahan ekspresi Affandra.

“Cuaca sedang cerah. Apakah Dimensi Terang sedang merayakan sesuatu?” tanya Dewingga seraya menatap langit dari balik kaca besar.

“Oh, ya?” Affandra merespon. “Sepertinya begitu,” ucap Affandra singkat. Padahal, dia tahu alasan dibalik cuaca cerah siang ini adalah karena perasaan Maha sendiri.

“Maha, mengapa tadi Anda bersikap aneh di ruang rapat?” tanya Dewingga lagi.

“Jawaban yang sederhana. Karena salah satu dari pegawai itu pemilik Mireco. Aku sedang mencari dia.” Maha menjelaskan.

“Apakah Anda menemukan siapa orangnya?” Dewingga sangat ingin tahu.

“Aku belum memastikannya. Mungkin saja, aku tidak yakin kali ini,” jawab Affandra lagi dengan ekspresi tak terbaca. “Begitu semua sudah pasti, kalian harus bekerja lebih keras.”

Maha Dimensi membalikkan badan, menatap dua orang pengikutnya itu dengan saksama. “Kemungkinan perang besar bisa saja terjadi. Di antara kita bertiga akan ada yang gugur. Entah itu siapa, aku pun tidak bisa memastikan. Hanya Sang Pencipta saja yang mengetahui. Jadi, mari kita bersiap diri,” ucap Maha dan mendapatkan anggukan dari dua sosok pengikut itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status