“Pergi dari sana, Bajingan. Jangan mengganggu wanita itu. Kau pergilah ke kantor polisi, serahkan diri dan buat pengakuan akan memerkosa anakmu sendiri.”
Deolinda yang tanpa sengaja mendengar perkataan hati seorang pria tua dan tak bermoral langsung memberikan perintah dan mengendalikan pikiran. Usaha Deolinda berhasil, tapi, tanpa se-pengetahuannya, ada sosok lain yang mendengar perintah itu.
Deolinda masih fokus pada kejadian ini. Otak yang bisa membaca pikiran orang lain menerima ketakutan dari seorang gadis yang tengah berteriak dan berdoa mencari pertolongan. Deolinda yang mengetahui itu tentu saja tak tinggal diam, dia mengendalikan pikiran si pria tua dan memerintahkan untuk menyerahkan diri ke pihak berwajib. Pria itu menuruti dan dengan sadar –atas kendali- dia menyerahkan diri.
Deolinda menarik napas lega, kali ini pun berhasil. Setidaknya, dia menolong seorang wanita dan masa depannya pun terselamatkan. Deolinda pun tersenyum bahagia dan melanjutkan pekerjaannya.
“Syukurlah,” ucap Deo pelan.
“Sudah puas?” Suara seseorang masuk ke dalam pikiran Deolinda.
Terkejut? Tentu saja.
Deolinda diam dan tak membalas dengan tubuh kaku, tak mengerti apa yang sedang terjadi padanya saat ini. Jantung Deolinda berdetak cepat, rasa takut kini menyelimuti.
Ada yang tahu pikiranku? tanya Deolinda dalam hati, tak menyangka sama sekali ada orang yang sama seperti dia.
“Bukan hanya kau, tapi, semua manusia di bumi ini. Kau hanya satu dari milyar-an penduduk bumi di planet ini. Semua yang ada di sini, aku tahu.”
Maha Dimensi menunjukkan kekuasaannya, kali ini dia bersikap sangat sombong untuk makhluk ini. Namun, dia menyadari manusia yang sedang dia hadapi berbeda dengan manusia biasa. Seseorang yang lepas dari pengawasannya dan tanpa alasan yang diketahui oleh sosok Maha Dimensi.
Siapa manusia ini? Lelaki atau perempuan? Maha Dimensi bertanya dalam hati.
“Kenapa diam saja? Bukankah tadi kau sangat bangga karena sudah menolong seseorang?” Maha melihat ke arah Dewingga. “Cari dan temukan. Dia ada di gedung ini,” kata Maha memerintah.
“Baik, Maha.” Dewingga meninggalkan ruangan Maha dan bergegas mencari si pemilik Mireco.
Sementara Dewingga mencari, Maha mengulur waktu untuk memudahkan Dewingga. Tak mungkin dia yang mencari, emosi Maha Dimensi sedang memuncak, sosoknya akan ketahuan oleh para manusia di gedung ini, jika dia meninggalkan ruang kerjanya. Yang akan terjadi berikutnya adalah salah satu dari rahasia alam pun terbongkar. Bisa dipastikan manusia akan menjadi serakah dan berubah menjadi setan tamak.
Jika itu pun terjadi, Maha Dimensi pun akan ikut merasakan akibatnya, menjadi iblis yang paling mengerikan di dunia, di seluruh jagat raya. Maha pun sadar, dia adalah bagian paling mengerikan dari kehancuran manusia dan alam.
“Siapa kau?” Dengan berani Deolinda bertanya.
“Ah … kau seorang wanita ternyata.” Maha Dimensi terdengar sangat meremehkan. “Bagaimana mungkin kau bisa memiliki semua itu?”
“Memangnya kau itu siapa? Mau tahu urusan orang. Yang pasti aku mendapatkan karunia ini bukan dari pesugihan atau memuja setan!” tegas Deolinda tak ingin dituduh sembarangan.
“Lalu, dari mana kau mendapatkan itu, Manusia?” tanya Maha masih berusaha menahan emosi.
“Mau tahu aja Anda? Anda itu siapa? Kita tidak pernah kenal sebelumnya dan Anda tidak perlu sok akrab sama saya!” sarkas Deolinda kesal.
Tanpa disadari oleh Deolinda, ekspresinya berubah tak bisa dimengerti, wajah kesal dan terlihat marah, mengulum bibir dan menahan umpatan tak jelas, tak ketinggalan mata yang terkadang menyipit dan membuka lebar.
“Kau, Perempuan ….”
“Ya, Lelaki, ada apa?” potong Deolinda cepat dan masih tidak suka. “Kenapa diam? Kalah debat? Atau bukan Anda itu bukan lelaki?”
“Benar-benar kau ….” Maha tidak ingin gegabah. Dia mencoba mengalah. “Baiklah, sekarang aku ingin kita bertemu. Kau ada di mana?” Maha Dimensi luluh. Dia ingin berbicara dengan tenang dan bertanya mau manusia itu.
“Ogah! Cari saja kalau bisa. Yuk, dadah babai!” Deolinda menutup debat tak penting yang mereka lakukan.
Wanita itu menarik napas dan membuang dengan kasar. Saat itu juga, Mireco pun berhenti. Deolinda mendongak, menatap langit-langit ruang kerjanya, mata sinis menatap seolah-olah pria yang baru saja membuat dia kesal ada di depan mata.
“Dasar laki-laki bego!” maki Deolinda kesal.
“Heh! Kenapa kamu? Dari tadi ekspresi tak jelas begitu, malah maki aku pula. Aku salah apa?” tanya pria yang duduk tepat di depan Deolinda, mereka hanya dibatasi dua komputer saja.
“Bukan kamu, Dimas. Enggak perlu terlalu percaya diri, ya!” Deolinda menatap sinis.
“Halah, kan, cuma aku saja laki-laki di ruangan ini.” Dimas masih tidak terima penolakan Deolinda.
“Gaes … ada Pak Wingga,” teriak pegawai wanita yang selalu berpenampilan seksi di kantor, Kirana. “Aduh, Pak Wingga mau ke sini kok ‘nggak kasih kabar, sih? Aku, kan, jadi ribet mau touch-up.”
“Hei, Kirana. Itu muka kau mau didempul bedak seberapa tebal lagi, hah?” Dimas bicara sinis. “Kalau cantik, mah, cantik saja. Seperti dewi di depanku ini, Anulika tercinta,” ucap Dimas sambil menatap Deolinda penuh rasa suka.
“Cantik?” sinis Kirana yang tak ingin memiliki saingan. “Hellow, Dimas anak Pak Nugraha, mata kamu rabun atau katarak. Dia kamu bilang cantik? Periksa sana mata kamu ke dokter mata. Biar benar menilai kecantikan perempuan,” ucap Kirana kasar dan angkuh.
“Selamat pagi,” sapa Dewingga yang sudah berada di ruang kerja tim Human Capital.
“Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Kirana dengan tingkah centil dan menggoda.
Semua pegawai berdiri menyambut kedatangan asisten pribadi presiden komisaris Bhaumik Group -Affandra Bhaumik-.
Dewingga tak menemukan apa pun. Setelah hari di mana dia mencari pemilik Mireco, rasa penasaran tak pernah hilang, begitu pun pada Maha. Yang bisa dilakukannya hanya menunggu. Untuk bertanya pada Sang Pencipta, bisa saja dilakukan, tapi, bukan Maha yang menentukan, melainkan Sang Pencipta sendirilah yang akan datang pada dia sewaktu-waktu.“Tak bisakah Anda meminta bertemu dengan Sang Pencipta, Maha? Tanyakan pada-Nya tentang wanita pemilik Mireco,” pinta Dewanggi pada Maha saat mereka berjalan menuju lift.“Kalau saja permintaan itu gampang, sudah kulakukan sejak 20 tahun yang lalu,” jawab Maha sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantung celana.“Apa sekarang Anda akan tetap menunggu lagi, Maha?” tanya Dewingga setelah mereka masuk ke dalam lift.“Ya. Aku akan memberikan dia kesempatan. Untuk sekarang ini, tidak perlu memaksa. Bisa saja dia masih merasa terkejut dengan apa yang terjadi. Akan
Deo melangkah dengan pasti tanpa keraguan sedikit pun. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruang kerja Dewingga, menarik napas sejenak dan memasang kembali indera ke-enamnya.“Sedikit curang harusnya ‘gak masalah, ‘kan?” tanya Deo pada diri sendiri, memastikan keadaan sekitar.“Pak Wingga masih di ruangan Pak Affandra, aku masih bisa santai sedikit dan punya waktu kasih minuman ini. Malam ini Pak Wingga akan menghabiskan malam bersamaku. Dinda bukan lagi administrasi biasa.”Astaga, Bu Dinda yang terkenal paling sopan ternyata cuma kedok doang! Dalam hati Deo berkata. Tak percaya apa yang baru saja dia tahu.“Si Kirana pasti kalah satu langkah dariku. Pak Affandra tak tersentuh. Tak ada rotan akar pun jadi, kata pepatah begitu, ‘kan?”Dinda administrator dari Dewingga sibuk dengan pikirannya untuk melakukan rencana penjebakan.“Ck! Dasar ya. Apa bagus
Dewingga menatap tak percaya adegan yang sedang tayang langsung. Tepat di depan mata, tangan Maha menjulur dengan senyum terukir di bibir.“Pak ....” Dewingga menatap Maha dengan pertanyaan yang tergambar di bola mata.Maha menoleh, “Lihat saja.”Deolinda yang masih mencerna apa yang baru saja dia lihat, menatap uluran tangan kanan Maha. Mata yang kosong dan otak yang berpikir keras.“Berdirilah,” ucap Maha lagi. “Dan lihat sekelilingmu.”Deolinda mengikuti perintah Maha dengan kepala yang terangkat perlahan seraya tangan menerima bantuan dari si bos besar.“A-apa ini?” tanya Deolinda setelah dia melihat sekeliling.“Ini dinamakan Vehritio,” jelas Maha.“Ap ... apa ....” Deolinda terhenti saat Maha merentangkan kedua tangannya.“Maha.” Dewingga mencoba memotong.Maha menunjukkan wujudnya yang bukan manusia, wuj
“Tidak perlu kau suruh. Aku sudah punya sejak tahun 1925. Dunia hiburan sudah sejak lama sekali kumiliki. Jadi, tidak perlu kau suruh atau pun kau pinta, aku sudah memilikinya.”Pernyataan Affandra membuat Deolinda terperangah. Malam sudah sangat larut dan dia masih sibuk menatap langit-langit kamar kosnya sambil mengolah setiap ucapan pria kaya raya itu.“Astaga!” pekik Deolinda yang sontak bangun dari rebahnya. “Tadi, kan. Aku keluar ruangan Pak Affandra ‘gak pamit?” Diam lagi sambil memikirkan hal yang mungkin terjadi. “Tolol,” makinya pada diri sendiri sambil mengacak-acak rambut.“Kalau besok aku dipanggil, ‘gimana? Terus dikasih SP? Masa iya, baru sebulan kerja aku langsung kena SP?” cerca Deolinda menyadari kebodohannya.Deolinda tidak tenang, kantuk berat sudah menyerang, tapi, otak masih menyuruh berpikir hal buruk karena perilaku negatif yang dilakukan pada atasan tertinggi
Berusaha bersikap wajar di hadapan psikiater perusahaan memang pilihan terbaik saat ini. Wajah tampan, terlihat ramah dengan senyum memikat, tak disangka memiliki hati iblis. “Ini laporan “profiling” pegawai Departemen Service Quality, Bu ....” “Deolinda, Pak. Eh ... dokter,” respon Deolinda cepat. “Tidak perlu sungkan, Bu. Berhubung status saya di sini juga seorang pegawai, pakai bahasa formal saja.” Senyum ramah kembali diterima Deolinda. “Baik, Pak. Saya terima laporannya dan mohon diperiksa kemudian ditandatangani lembar serah terima berkas ini.” Deolinda berkeinginan untuk secepatnya keluar dari ruang kerja Dimas. Sungguh sangat tidak nyaman berada di ruangan seorang manusia berhati iblis. “Ibu terlihat buru-buru, ya?” tanya Dimas. “Maaf, Pak. Saya ada pekerjaan lain.” Deo berusaha untuk bersikap tenang. Dimas tertawa, “Apa Ibu takut kalau Pak Affandra cemburu?” “Hah? Apa maksudnya, Pak?” Deolinda bingung. “Semua orang tahu kok hubungan Bu Deo dengan Pak Affandra. Saya ‘
Kekhawatiran terbesar Maha, jika Deolinda nekad mencampuri urusan Dimas, masalah lain mungkin terjadi. Entah apa pun itu, firasat buruk Maha mengatakan dia harus melindungi Deolinda. “Mungkin ini tugas terakhirku. Perintahkan “ars verihtio” mencari gadis itu!” Maha menahan gelisah. “Jangan sampai kau salah memberikan instruksi kepada pasukan khusus itu. Suruh mereka mencari dari seluruh penjuru alam semesta. Jangan sampai luput.” “Baik, Maha,” balas Dewingga cepat. “Ingat! Jangan sampai rahasia tentang “mireco” milik Mafalda tercium oleh makhluk lain. Bukan hanya nyawa saja yang terancam. Kehidupan alam semesta akan menjadi berantakan.” Dewingga dan para pasukan khusus alam semesta memulai pencarian. Tak seperti biasanya, kesulitan demi kesulitan mereka hadapi hasil pun nihil. Ada yang menghalangi pencarian mereka, tak ada yang tahu siapa yang menghalangi mereka. “Maha, mungkin Nona Deolinda sudah berada di tangan mereka,” simpul Sarjan pengik
Berita terbesar saat ini, tentang hubungan asmara seorang pria kaya raya dan gadis sederhana menjadi topik utama. Seluruh media cetak bahkan elektronik dalam dan luar negeri, siaran berita bisnis, politik bahkan infotainment pun menyiarkan berita mereka. Sang Cinderella abad ini, Deolinda Chalondra Anulika. “Pak, tolong bantah berita ini,” mohon Deolinda di ruang kerja Affandra. Maha duduk dengan santai, sedikit pun dia tidak terpengaruh. Hanya mengetuk-ngetuk meja kerja dengan pena yang bisa dipastikan, harga dua benda itu mencapai ratusan juta. “Caranya?” Pertanyaan Maha bukannya membuat Deolinda tenang, malah membuat gadis itu semakin menjadi marah. “Astaga, Pak. Hal kecil seperti saja masih ditanya,” geram Deolinda menahan kesal yang sudah ada di ubun-ubun. “Kalau kecil, lakukan saja sendiri,” imbuh Maha sambil mengangkat bahu. “Pak, hal kecil untuk Bapak. Kalau saya itu hal besar. Saya tidak memiliki kemampuan buat meluruskan beri
Berita terbesar saat ini, tentang hubungan asmara seorang pria kaya raya dan gadis sederhana menjadi topik utama. Seluruh media cetak bahkan elektronik dalam dan luar negeri, siaran berita bisnis, politik bahkan infotainment pun menyiarkan berita mereka. Sang Cinderella abad ini, Deolinda Chalondra Anulika. “Pak, tolong bantah berita ini,” mohon Deolinda di ruang kerja Affandra. Maha duduk dengan santai, sedikit pun dia tidak terpengaruh. Hanya mengetuk-ngetuk meja kerja dengan pena yang bisa dipastikan, harga dua benda itu mencapai ratusan juta. “Caranya?” Pertanyaan Maha bukannya membuat Deolinda tenang, malah membuat gadis itu semakin menjadi marah. “Astaga, Pak. Hal kecil seperti saja masih ditanya,” geram Deolinda menahan kesal yang sudah ada di ubun-ubun. “Kalau kecil, lakukan saja sendiri,” imbuh Maha sambil mengangkat bahu. “Pak, hal kecil untuk Bapak. Kalau saya itu hal besar. Saya tidak memiliki kemampuan buat meluruskan beri