“Aaa … sakit ….” Gadis kecil itu berteriak kesakitan.
Tak dapat menahan rasa sakit di seluruh tubuh hingga ke tulang-tulang. Entah apa penyebabnya, dia membuka mata dan menatap wajah indah yang berdiri tepat di hadapannya. Wajah mereka sejajar dan saling menatap.
“Kenapa wajahmu kecil sekali?” tanya Mafalda dengan suara lemah. “Dan, kau ….”
“Mafalda Ofelia, apa yang kau lakukan?” Belum selesai Mafalda dengan rasa ingin tahunya, Maha kembali berteriak dengan garang.
Mafalda mengedarkan pandangan, mencari-cari asal suara itu. Nihil, tak ada seorang pun di sana. Sedetik kemudian, pendengaran pun ditajamkan. Dia membelalak ketakutan begitu menyadari siapa yang datang menghampiri mereka.
“Sakit,” rintih kecil suara seorang anak perempuan yang kesakitan dengan kepala yang masih dalam cengkeraman kuat sosok asing di hadapannya. “Lepaskan. Maafkan aku. Aku tidak bersalah,” pinta si gadis kecil penuh permohonan.
Suara yang begitu memilukan membuat Mafalda menundukkan kepala dan masih saja bingung. Akan tetapi, dia tidak percaya apa yang dia lihat. Tangan pun melepas kepala anak perempuan dan diam terpaku menyaksikan raga yang perlahan menghilang. Kini, tersisa bagian pinggang sampai kepala.
“Kau lihat, ‘kan? Itu adalah ganjaran untukmu dan peringatan untuk kaummu!” Maha kembali mengamuk. “Tak ada lagi kesempatan untukmu. Kau akan menghilang.” Suara Maha diam untuk sesaat. “Lenyaplah!”
Angin berhembus sepoi-sepoi malam itu juga, Mafalda menghilang tak tersisa. Seekor nyamuk ikut terhempas bersama angin malam dan terbang terbawa angin. Tak jauh dari tempat itu, mobil mewah sedang berhenti. Sepasang suami istri tengah menenangkan balita mereka yang menangis dengan suhu tubuh tinggi. Nyamuk hinggap tepat di kening balaita cantik mereka dan menghisap darah balita. Spontan, sang Ibu memukul pelan nyamuk pengganggu dan saat itu juga, balita mereka kembali tenang. Keduanya bernapas lega saat balita cantik mereka mulai tenang dan mau minum ASI. Perjalanan pun berlanjut menuju rumah sakit.
“Maha, tidak ada siapapun di sini.” Pemimpin pasukan Maha melaporkan.
“Mafalda menghilang dan Mireco ada dalam tubuh anak perempuan berusia 9 tahun. Cari dan temukan dia. Mungkin ada manusia yang menemukan anak itu dalam keadaan pingsan.” Maha terdiam dan mencari tahu keberadaan Mireco dalam tubuh kecil. “Tidak ada. Aku tak menemukan apa pun. Cari ke rumah sakit terdekat!” perintah Maha.
Dari tempat Maha berdiri, sang Penguasa Bumi menatap tiga dimensi yang sudah dilindungi dengan kekuatan dan kekuasaannya. Dua puluh tahun lagi tanggung jawabnya selesai, tapi, terjadi masalah karena ulah makhluk Worark. Menggunakan kekuatan membaca pikiran dan mengendalikan penjaga purohid.
“Tersisa 20 tahun lagi, tapi, Mafalda mengacaukan semua pekerjaanku. Memasuki dunia manusia tanpa izin. Tahun lalu, kematian para balita adalah akibat perbuatannya. Udara dingin dan mencekam dianggap oleh manusia adalah bagian dari fenomena alam.”
Maha berbicara seolah-olah ada yang menemani. Namun, tak seorang pun bersama dia saat ini, di ruangan tempat mengawasi tiga dimensi, Roreesion. Manik mata yang tajam mengedar menyusuri seluruh alam semesta.
“Dewingga, anak itu tak ada di mana pun. Tarik semua pasukanmu. Perintahkan beberapa dari mereka mencari di Thewo masing-masing. Lakukan secara diam-diam, jangan sampai ada yang tahu. Paham?” Maha memberi perintah, terdengar amarah yang luar biasa dari nada bicara.
“Baik, Maha,” balas Dewingga satu dari dua pengawal kuat Maha Dimensi.
Dewingga langsung membagi tugas pada pasukan Maha yang setia. Mereka berasal dari dua dimensi, Terang dan Gelap. Mereka kembali ke Thewo –dunia mereka- dengan menjaga rahasia alam semesta. Keadaan masih sangat gelap, meski cahaya sudah mulai kembali mengisi sunyi malam. Dewingga menjentikkan jari dan dalam satu kali kedipan mata, dia sudah menghilang kemudian berdiri tepat di belakang Maha Dimensi.
***
Mata kecil nan indah milik anak perempuan mengerjap. Menatap langit-langit yang berwarna putih dan sangat berkilau, menarik napas dengan ekspresi wajah yang sedang kebingungan. Kepalanya kini bergerak perlahan dan waspada, ke kiri kemudian ke kanan, memeriksa tempatnya berada.
"Sudah bangun, Nak?” tanya seorang pria tampan dan terlihat masih sangat muda. “Om bantu duduk ya,” tawarnya lagi.
Si anak perempuan mengangguk dengan lugu. Tak ada rasa takut dalam dirinya, rasa sakit yang tadi dirasakan pun sudah hilang. Menerima uluran tangan pria yang sudah menolongnya.
“Namamu siapa, Nak?” tanya pria itu setelah anak perempuan duduk dengan baik.
“Deo.” Jawaban dari suara lembut. “Deolinda Chalondra Anulika.”
Pria itu tersenyum, “Indah sekali nama kamu. Sangat sesuai untukmu.” Tangan panjang pria itu mengelus lembut surai Deo, menatap lekat dan penuh kehangatan. “Pasti berat sekali rasanya, ya?”
Deo mengangguk seolah paham maksud ucapan itu. Masih terpesona akan keindahan wajah tampan dan penuh kehangatan serta rasa aman dari orang baik yang baru sekali dirasakan olehnya.
“Nama Om, siapa?” tanya Deolinda pada akhirnya.
“Deolinda mau panggil om bagaimana?” Bukannya menjawab, pria itu justru balik bertanya.
Deolinda tak bisa langsung menjawab. Mengamati dengan saksama dari atas hingga ke bawah. “Om Kaki Panjang,” jawab Deo lugu. “Karena kaki Om panjang sekali.”
Wajah dan tatapan lugu Deo langsung mengundang tawa pria tampan itu. “Baiklah kalau begitu. Kamu di sini dulu ya. Sampai sembuh.”
“Enggak, Om,” jawab Deo cepat dengan menggelengkan kepala. “Deo tidak punya uang buat bayar berobat.” Kepala kecil itu pun tunduk dan rasa sedih tak bisa ditahan. “Tapi, kepala Deo masih pusing.” Kali ini, tangis pun pecah.
“Jangan takut.” Om Kaki Panjang menenangkan Deo dengan pelukan kasih sayang. “Om akan merawat Deo sampai sembuh.”
Mendengar itu, Deolinda mengangkat kepala dan menghapus dengan cepat air mata yang sudah tumpah.
“Benar, Om?” Deo menatap tidak percaya.
“Tentu saja. Nanti, om ajarkan bagaimana cara menghilangkan suara-suara yang kamu dengar. Suara dari ….” Om Kaki Panjang mencari sesuatu. Menunjuk ke arah seseorang. “Suara dari dalam pikiran om jelek itu.”
Deolinda menatap tak percaya, terpukau karena om baik di hadapan itu mengetahui apa yang baru saja dia rasakan.
“Om hebat.” Spontan Deolinda bertepuk tangan dengan girang. “Kok, Om tahu sih?!”
“Karena om sayang Deo. Jadi, Om tahu apa yang Deo rasakan.” Senyum tulus mengembang dari bibir merah Om Kaki Panjang.
“Deo juga sayang, Om Kaki Panjang.” Kedua tangan direntangkan dan ingin memeluk.
Keinginan itu disambut oleh si pria baik hati itu. “Deo anak yang spesial. Nanti, pakai dan pergunakan bakat yang kamu terima dengan baik ya, Nak.”
“Iya, Om. Deo janji sama Om.” Deo memeluk semakin erat pria itu. “Om sejak kapan tahu tentang Deo? Tentang apa yang Deo dengar?”
“Sejak tadi malam, sewaktu om membawa kamu ke sini. Kamu mengingau terus dan mengatakan, kamu mendengar banyak suara. Ada yang marah-marah dan berteriak. Kamu juga bilang, ada suara om galak, teriak dan marah-marah terus.”
Mereka berdua tertawa lepas. Di ruangan yang sama, banyak sekali orang yang beraktifitas. Tidak merasa terganggu dengan tawa mereka. Deolinda mendapatkan perawatan dengan baik, hingga tiba saat dia pulang dan meninggalkan kehangatan rumah sakit –menurut pandangannya saja-.
“Nah, Deo. Itu rumah Deo,” ucap Om Kaki Panjang sambil menunjuk ke rumah kecil dan sederhana yang terletak di komplek padat penduduk. “Masuklah, Nak. Jangan lupa, jika kamu tidak tahan mendengar pikiran mereka, tarik dan buang saja napasmu, maka, saat itu juga apa yang Deo dengar akan hilang seketika.”
“Baik, Om. Terima kasih, Om sudah menjaga Deo.” Pelukan hangat pun saling mereka lepaskan.
Om Kaki Panjang meninggalkan Deo di depan rumah dan menghilang di belokan gang sempit. Deo membalikkan badan dan menyiapkan diri untuk masuk ke rumah paman, adik laki-laki dari sang Papa.
Di tahun 2021, 20 tahun setelah malam mencekam itu ...Deolinda menatap bangga salah satu gedung pencakar langit yang berdiri tepat di depan mata. Menarik napas dan kemudian mengembuskan perlahan, membawa masuk udara pagi ke paru-paru.“Sudah sebulan aku bekerja di sini. Siapa yang menolak untuk bekerja di tempa ini? Head office Bhaumik Group, perusahaan multinasional,” monolog Deo dengan senyum kebanggaan pada wajah cantiknya.“Hari ini presdir bakalan memilih CEO untuk supermarket BigMart.”“Aku penasaran siapa yang akan jadi CEO di sana. Semoga saja Pak Dewingga yang terpilih. Jangan sampai si penjilat Rihana.”“Aduh, Pak Dewingga jangan ke mana-mana, deh. Cukup jadi asisten pribadi Pak Affandra saja. Biar si Rihana yang pergi. Hilang satu perempuan bermuka dua dari gedung ini.”Suara-suara hati pegawai HO Bhaumik Group terdengar di telinga Deo. Sangat jel
“Pergi dari sana, Bajingan. Jangan mengganggu wanita itu. Kau pergilah ke kantor polisi, serahkan diri dan buat pengakuan akan memerkosa anakmu sendiri.”Deolinda yang tanpa sengaja mendengar perkataan hati seorang pria tua dan tak bermoral langsung memberikan perintah dan mengendalikan pikiran. Usaha Deolinda berhasil, tapi, tanpa se-pengetahuannya, ada sosok lain yang mendengar perintah itu.Deolinda masih fokus pada kejadian ini. Otak yang bisa membaca pikiran orang lain menerima ketakutan dari seorang gadis yang tengah berteriak dan berdoa mencari pertolongan. Deolinda yang mengetahui itu tentu saja tak tinggal diam, dia mengendalikan pikiran si pria tua dan memerintahkan untuk menyerahkan diri ke pihak berwajib. Pria itu menuruti dan dengan sadar –atas kendali- dia menyerahkan diri.Deolinda menarik napas lega, kali ini pun berhasil. Setidaknya, dia menolong seorang wanita dan masa depannya pun terselamatkan. Deolinda pun tersenyu
Dewingga tak menemukan apa pun. Setelah hari di mana dia mencari pemilik Mireco, rasa penasaran tak pernah hilang, begitu pun pada Maha. Yang bisa dilakukannya hanya menunggu. Untuk bertanya pada Sang Pencipta, bisa saja dilakukan, tapi, bukan Maha yang menentukan, melainkan Sang Pencipta sendirilah yang akan datang pada dia sewaktu-waktu.“Tak bisakah Anda meminta bertemu dengan Sang Pencipta, Maha? Tanyakan pada-Nya tentang wanita pemilik Mireco,” pinta Dewanggi pada Maha saat mereka berjalan menuju lift.“Kalau saja permintaan itu gampang, sudah kulakukan sejak 20 tahun yang lalu,” jawab Maha sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantung celana.“Apa sekarang Anda akan tetap menunggu lagi, Maha?” tanya Dewingga setelah mereka masuk ke dalam lift.“Ya. Aku akan memberikan dia kesempatan. Untuk sekarang ini, tidak perlu memaksa. Bisa saja dia masih merasa terkejut dengan apa yang terjadi. Akan
Deo melangkah dengan pasti tanpa keraguan sedikit pun. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruang kerja Dewingga, menarik napas sejenak dan memasang kembali indera ke-enamnya.“Sedikit curang harusnya ‘gak masalah, ‘kan?” tanya Deo pada diri sendiri, memastikan keadaan sekitar.“Pak Wingga masih di ruangan Pak Affandra, aku masih bisa santai sedikit dan punya waktu kasih minuman ini. Malam ini Pak Wingga akan menghabiskan malam bersamaku. Dinda bukan lagi administrasi biasa.”Astaga, Bu Dinda yang terkenal paling sopan ternyata cuma kedok doang! Dalam hati Deo berkata. Tak percaya apa yang baru saja dia tahu.“Si Kirana pasti kalah satu langkah dariku. Pak Affandra tak tersentuh. Tak ada rotan akar pun jadi, kata pepatah begitu, ‘kan?”Dinda administrator dari Dewingga sibuk dengan pikirannya untuk melakukan rencana penjebakan.“Ck! Dasar ya. Apa bagus
Dewingga menatap tak percaya adegan yang sedang tayang langsung. Tepat di depan mata, tangan Maha menjulur dengan senyum terukir di bibir.“Pak ....” Dewingga menatap Maha dengan pertanyaan yang tergambar di bola mata.Maha menoleh, “Lihat saja.”Deolinda yang masih mencerna apa yang baru saja dia lihat, menatap uluran tangan kanan Maha. Mata yang kosong dan otak yang berpikir keras.“Berdirilah,” ucap Maha lagi. “Dan lihat sekelilingmu.”Deolinda mengikuti perintah Maha dengan kepala yang terangkat perlahan seraya tangan menerima bantuan dari si bos besar.“A-apa ini?” tanya Deolinda setelah dia melihat sekeliling.“Ini dinamakan Vehritio,” jelas Maha.“Ap ... apa ....” Deolinda terhenti saat Maha merentangkan kedua tangannya.“Maha.” Dewingga mencoba memotong.Maha menunjukkan wujudnya yang bukan manusia, wuj
“Tidak perlu kau suruh. Aku sudah punya sejak tahun 1925. Dunia hiburan sudah sejak lama sekali kumiliki. Jadi, tidak perlu kau suruh atau pun kau pinta, aku sudah memilikinya.”Pernyataan Affandra membuat Deolinda terperangah. Malam sudah sangat larut dan dia masih sibuk menatap langit-langit kamar kosnya sambil mengolah setiap ucapan pria kaya raya itu.“Astaga!” pekik Deolinda yang sontak bangun dari rebahnya. “Tadi, kan. Aku keluar ruangan Pak Affandra ‘gak pamit?” Diam lagi sambil memikirkan hal yang mungkin terjadi. “Tolol,” makinya pada diri sendiri sambil mengacak-acak rambut.“Kalau besok aku dipanggil, ‘gimana? Terus dikasih SP? Masa iya, baru sebulan kerja aku langsung kena SP?” cerca Deolinda menyadari kebodohannya.Deolinda tidak tenang, kantuk berat sudah menyerang, tapi, otak masih menyuruh berpikir hal buruk karena perilaku negatif yang dilakukan pada atasan tertinggi
Berusaha bersikap wajar di hadapan psikiater perusahaan memang pilihan terbaik saat ini. Wajah tampan, terlihat ramah dengan senyum memikat, tak disangka memiliki hati iblis. “Ini laporan “profiling” pegawai Departemen Service Quality, Bu ....” “Deolinda, Pak. Eh ... dokter,” respon Deolinda cepat. “Tidak perlu sungkan, Bu. Berhubung status saya di sini juga seorang pegawai, pakai bahasa formal saja.” Senyum ramah kembali diterima Deolinda. “Baik, Pak. Saya terima laporannya dan mohon diperiksa kemudian ditandatangani lembar serah terima berkas ini.” Deolinda berkeinginan untuk secepatnya keluar dari ruang kerja Dimas. Sungguh sangat tidak nyaman berada di ruangan seorang manusia berhati iblis. “Ibu terlihat buru-buru, ya?” tanya Dimas. “Maaf, Pak. Saya ada pekerjaan lain.” Deo berusaha untuk bersikap tenang. Dimas tertawa, “Apa Ibu takut kalau Pak Affandra cemburu?” “Hah? Apa maksudnya, Pak?” Deolinda bingung. “Semua orang tahu kok hubungan Bu Deo dengan Pak Affandra. Saya ‘
Kekhawatiran terbesar Maha, jika Deolinda nekad mencampuri urusan Dimas, masalah lain mungkin terjadi. Entah apa pun itu, firasat buruk Maha mengatakan dia harus melindungi Deolinda. “Mungkin ini tugas terakhirku. Perintahkan “ars verihtio” mencari gadis itu!” Maha menahan gelisah. “Jangan sampai kau salah memberikan instruksi kepada pasukan khusus itu. Suruh mereka mencari dari seluruh penjuru alam semesta. Jangan sampai luput.” “Baik, Maha,” balas Dewingga cepat. “Ingat! Jangan sampai rahasia tentang “mireco” milik Mafalda tercium oleh makhluk lain. Bukan hanya nyawa saja yang terancam. Kehidupan alam semesta akan menjadi berantakan.” Dewingga dan para pasukan khusus alam semesta memulai pencarian. Tak seperti biasanya, kesulitan demi kesulitan mereka hadapi hasil pun nihil. Ada yang menghalangi pencarian mereka, tak ada yang tahu siapa yang menghalangi mereka. “Maha, mungkin Nona Deolinda sudah berada di tangan mereka,” simpul Sarjan pengik