Teringat ucapan dokter tentang kondisi Nia. Bahwa kini mental Nia yang harus di sembuhkan dulu. "Mozhaf, aku harus menghubungi amonak itu. Mungkin dengan bantuan dari mozhaf, Nia bisa cepat pulih dari sakitnya."Segera pak Wijaya mengambil pipihnya dan menekan nomor "menantu idaman" yang tidak lain adalah nomor dari mozhaf. Namun pak Wijaya urung menekan tombol hijau untuk memanggil nomor tersebut."Bagaimana mungkin aku meminta bantuanya saat tempo hari Aku mengancamnya. Terlebih semua yang telah putriku perbuat, rasanya aku malu menghubunginya." Ucap pak Wijaya dalam hat."Nico, semoga saja dia bisa membantu." Gumam pak Wijaya dan segera menelepon nomor Nico.Setelah menjelaskan semua kepada Nico, tanpa pikir panjang Nico segera meluncur ke rumah sakit. Ibu dari anaknya begitu sangat membutuhkan bantuannya.Setelah beberapa jam berlalu, Nico akhirnya tiba di rumah sakit. Dia membawa coklat yang sudah di bentuk bucket bunga indah lengkap dengan hiasan beberapa bunga mawar."Bisa Ak
Tari dan Mozhaf sudah kembali ke rumah mereka di ibu kota. Memulai kembali aktifitas mereka seperti biasa. Kebahagiaan rumah tangga mereka yang telah lama hilang kini mulai mereka tata kembali. Tari dan Mozhaf sepakat untuk tidak membahas soal anak kandung mereka lagi, kini mereka berdua akan fokus dengan ketiga anak mereka yang sudah ada dan masih sangat memerlukan perhatian mereka.Dua tahun berlalu...Pagi itu seperti biasa Tari menyiapkan segala keperluan anak-anak dan suaminya untuk berangkat sekolah dan bekerja, setelah anak dan suaminya pergi Tari menerima telepon dari Seva, bahwa sekarang jadwalnya untuk meeting dengan pihak marketing karena Tari berencana membuka cabang di mol untuk cafe kopi dan kue."Baik Va, tangga berapa kita akan meeting dengan pihak marketing?" Tanya tari sambil melihat-lihat kalender meja yang ada di atas meja kerjanya.Tari termenung sebentar saat membuka kalendernya menunjukkan bulan September dan sudah tanggal 27. Tari mengingat sesuatu bahwa dirin
Mozhaf menyiapkan makan malam romantis di sebuah restoran mewah untuk merayakan hari bahagia mereka berdua karena kabar kehamilan Tari. Kehamilan itu bagai sebuah kabar bahagia yang telah lama Tari dan Mozhaf t- sepunggu.Berbagai hidangan mewah sudah tersiap di meja mereka, ada aneka olahan daging, sayur, sudah dan jus. Mozhaf ingin Tari dan calon bayinya sehat dan bahagia."Mas, Aku bisa gendut kalau makan sebanyak ini?" Tari memprotes suaminya yang terlalu banyak memesan makanan."Ini tidak banyak sayang, kamu sekarang makan untuk dua orang dan calon anak kita butuh banyak nutrisi. Biarlah kamu gendut, Mas akan tetap cinta." Jelas Mozhaf sembari mengeringkan satu matanya untuk menggoda sang istri."Tapi mas, aku tidak sanggup untuk menghabiskan ini semua." Tari masih bingung menghabiskan makanan yang begitu banyak suaminya pesan."Biar Mas suapi."Tanpa menunggu waktu lagi, Mozhaf segera menyuapi makanan ke mulut istrinya. Tari hanya mampu menurut saja, Tari memaklumi bahwa sang su
Mas Mozhaf terlelap begitu nyenyak di sampingku. Malam panas yang baru kami lakukan cukup banyak memforsir tenaganya Walau ku akui, suamiku yang biasa begitu liar kini menurunkan tempo permainannya agar anaknya yang ada di kandunganku tidak terjadi apa-apa."Terima kasih, Mas. Sudah begitu mencintaiku sampai sedemikian rupa." Ucapku sembari mengecup mesra keningnya.Aku teringat saat dulu Mas Mozhaf melamarku, dan saat itu aku tahu dia telah mencintaiku begitu lama dalam diamnya. Bahkan saat aku harus berbagi dirinya dengan Nia, rasa cintanya kepadaku masih terasa begitu besar. "Yaa Tuhan, jagalah selalu suamiku ini. Aku begitu mencintainya." Ucapku dalam hati.Rasa kantuk mulai aku rasakan, ku peluk tubuh kekar suamiku dan bersandar di dadanya yang bidang. Lalu terlelap bersama dalam satu selimut.***Jam menunjukkan pukul tiga pagi saat ku rasa hembusan nafas lembut menyisir anak rambutku. "Bangun sayang, ayo kita bersiap solat tahajud." Ucapnya sembari mengecup lembut takeningku
Pukul sembilan malam Tari dan Mozhaf keluar dari mol dengan perasaan bahagia keduanya berjalan beriringan ke mobil mereka. Senyum selalu terukir di wajah mereka, "kamu bahagia sayang?" Tanya Mozhaf saat tengah mulai menyetir memasuki ramainya jalanan."Aku sangat bahagia Mas, ku harap waktu terus memberikan kita kebahagiaan seperti ini." Hingga akhirnya Mozhaf menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilnya. Remnya tidak berfungsi, mobil itu terus melaju tanpa bisa berhenti. Mozhaf mulai panik karena di setiap sisi jalan semua terdapat bangunan dan tempat tinggal orang, dirinya tidak mungkin menabrakan mobilnya ke rumah orang.Hingga Mozhaf berpikir untuk terus melaju ke arah depan , Mozhaf ingat ada lapangan yang cukup luas jika dia ingin memberhentikannya mobilnya.Tapi sayang, mereka harus melewati lampu merah di perempatan, Mozhaf menyadari bahwa dia dan istrinya berada dalam bahaya, Mozhaf hanya ingin melindungi putri istri dan calon anaknya. "Mas akan menjagamu, dik. Ber
Setelah meminta izin untuk bisa menemui Mozhaf, Tari merasa sangat hancur suami tercinta tidak berdaya dan hidup dengan bantuan banyak alat.Tari menarik kursi di sebelah ranjang Mozhaf dan duduk dengan memegang tagannya. "Mas, ada aku dan anak kita menunggumu. Katamu, kamu paling tidak suka melihatku menangis, ayo bangun dan peluk aku. Hiks." Tari sudah tidak tahan lagi membendung rasa sedih di hatinya, akhirnya buliran habening itu membasahi pipinya. Tari membenamkan wajahnya di samping Mozhaf. Tari bisa menangis tanpa bisa berbuat apapun untuk takdirnya. Beberapa waktu Tari menangis, reflek tangan Mozhaf menyentuh kepala Tari, Tari yang sedang menangis reflek berhenti karena merasakan ada tangan yang menyentuh kepalanya. Tari segera mendongakkan kepalanya dan benar yang menyentuh kepalanya adalah Mozhaf. Walau matanya masih tertutup, tapi Mozhaf masih bisa mendengar yang Tari ucapkan. Tari begitu bahagia, di ambilnya tangan suaminya itu dan menciuminya."Bagus Mas, aku akan s
"Kenapa kamu memanggil ayahku dengan sebutan ayah?" Tanya Rindu polos. Tari dan Rendra saling bertatapan. Bingung harus menjelaskan bagaimana kepada Rindu, anak sekecil itu belum bisa mengerti rumitnya hubungan orangtuanya.Tari memberikan kode kepada Nada, untuk tidak memberikan jawaban apapun kepada Rindu. Nada yang kini berusia dua belas tahun memahami maksud dari ibunya. Gadis yang mulai beranjak remaja itu sudah tahu hubungan ibu, ayahnya dan juga Tante Sinta. "Hmm.. adik Rindu mau bermain rumah boneka? Kaka punya banyak mainan bagus, ayo ikut Kaka." Ajak Nada."Wah.. Rindu ingin bermain sama kaka.. asik." Beruntung Rindu tidak menanyakan apapun lagi, fokusnya sudah teralihkan dengan mainan yang Nada tawarkan. Nada menggandeng tangan Rindu dengan lembut, seperti memperlakukan adiknya sendiri. Kenyataan memang Rindu adalah adiknya walau berbeda ibu."Mas, kamu belum menceritakan semuanya kepada Rindu tentang aku dan ketiga anakmu yang lain kepada Rindu tetapi kamu nekat membawa
Di dalam mobil Rindu masih menangis dan merajuk, Rendra begitu keropotan menangani Rindu. Daripada terjadi hal yang tidak di inginkan Rendra menghentikan mobilnya dan mencoba untuk menenangkan Putrinya."Rindu sayang, sudah jangan menangis lagi. Ayah jadi ikutan sedih jika melihat Rindu menangis." "Huaa.. tapi Kaka itu tadi tidak suka dengan Rindu, karena Rindu anak pelakor." Hari Rendra merasa tersayat mendengar ucapan polos putrinya. Kenapa dosanya dulu harus Rindu yang menanggung."Bukan. Rindu bukan anak Pelakor, Rindu adalah anak Ayah dan Mama Sinta." "Bukan, Rindu anak pelakor kata Kaka itu. Huaaa." Rindu semakin menangis tidak menentu, Rindu tantrum."Rendra merasa pening kepalanya, mendengar tangisan putrinya. Pengalaman memiliki tiga anak membuat Rendra paham untuk mengatasi tantrum Rindu. Rendra hanya membiarkan Rindu menangis sepuasnya namun tetap mengawasinya.Sekitar lima belas menit kini Rindu sudah mulai tenang dan berhenti menangis, dirinya sudah mulai tenang . Wala