Pukul sembilan malam Tari dan Mozhaf keluar dari mol dengan perasaan bahagia keduanya berjalan beriringan ke mobil mereka. Senyum selalu terukir di wajah mereka, "kamu bahagia sayang?" Tanya Mozhaf saat tengah mulai menyetir memasuki ramainya jalanan."Aku sangat bahagia Mas, ku harap waktu terus memberikan kita kebahagiaan seperti ini." Hingga akhirnya Mozhaf menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilnya. Remnya tidak berfungsi, mobil itu terus melaju tanpa bisa berhenti. Mozhaf mulai panik karena di setiap sisi jalan semua terdapat bangunan dan tempat tinggal orang, dirinya tidak mungkin menabrakan mobilnya ke rumah orang.Hingga Mozhaf berpikir untuk terus melaju ke arah depan , Mozhaf ingat ada lapangan yang cukup luas jika dia ingin memberhentikannya mobilnya.Tapi sayang, mereka harus melewati lampu merah di perempatan, Mozhaf menyadari bahwa dia dan istrinya berada dalam bahaya, Mozhaf hanya ingin melindungi putri istri dan calon anaknya. "Mas akan menjagamu, dik. Ber
Setelah meminta izin untuk bisa menemui Mozhaf, Tari merasa sangat hancur suami tercinta tidak berdaya dan hidup dengan bantuan banyak alat.Tari menarik kursi di sebelah ranjang Mozhaf dan duduk dengan memegang tagannya. "Mas, ada aku dan anak kita menunggumu. Katamu, kamu paling tidak suka melihatku menangis, ayo bangun dan peluk aku. Hiks." Tari sudah tidak tahan lagi membendung rasa sedih di hatinya, akhirnya buliran habening itu membasahi pipinya. Tari membenamkan wajahnya di samping Mozhaf. Tari bisa menangis tanpa bisa berbuat apapun untuk takdirnya. Beberapa waktu Tari menangis, reflek tangan Mozhaf menyentuh kepala Tari, Tari yang sedang menangis reflek berhenti karena merasakan ada tangan yang menyentuh kepalanya. Tari segera mendongakkan kepalanya dan benar yang menyentuh kepalanya adalah Mozhaf. Walau matanya masih tertutup, tapi Mozhaf masih bisa mendengar yang Tari ucapkan. Tari begitu bahagia, di ambilnya tangan suaminya itu dan menciuminya."Bagus Mas, aku akan s
"Kenapa kamu memanggil ayahku dengan sebutan ayah?" Tanya Rindu polos. Tari dan Rendra saling bertatapan. Bingung harus menjelaskan bagaimana kepada Rindu, anak sekecil itu belum bisa mengerti rumitnya hubungan orangtuanya.Tari memberikan kode kepada Nada, untuk tidak memberikan jawaban apapun kepada Rindu. Nada yang kini berusia dua belas tahun memahami maksud dari ibunya. Gadis yang mulai beranjak remaja itu sudah tahu hubungan ibu, ayahnya dan juga Tante Sinta. "Hmm.. adik Rindu mau bermain rumah boneka? Kaka punya banyak mainan bagus, ayo ikut Kaka." Ajak Nada."Wah.. Rindu ingin bermain sama kaka.. asik." Beruntung Rindu tidak menanyakan apapun lagi, fokusnya sudah teralihkan dengan mainan yang Nada tawarkan. Nada menggandeng tangan Rindu dengan lembut, seperti memperlakukan adiknya sendiri. Kenyataan memang Rindu adalah adiknya walau berbeda ibu."Mas, kamu belum menceritakan semuanya kepada Rindu tentang aku dan ketiga anakmu yang lain kepada Rindu tetapi kamu nekat membawa
Di dalam mobil Rindu masih menangis dan merajuk, Rendra begitu keropotan menangani Rindu. Daripada terjadi hal yang tidak di inginkan Rendra menghentikan mobilnya dan mencoba untuk menenangkan Putrinya."Rindu sayang, sudah jangan menangis lagi. Ayah jadi ikutan sedih jika melihat Rindu menangis." "Huaa.. tapi Kaka itu tadi tidak suka dengan Rindu, karena Rindu anak pelakor." Hari Rendra merasa tersayat mendengar ucapan polos putrinya. Kenapa dosanya dulu harus Rindu yang menanggung."Bukan. Rindu bukan anak Pelakor, Rindu adalah anak Ayah dan Mama Sinta." "Bukan, Rindu anak pelakor kata Kaka itu. Huaaa." Rindu semakin menangis tidak menentu, Rindu tantrum."Rendra merasa pening kepalanya, mendengar tangisan putrinya. Pengalaman memiliki tiga anak membuat Rendra paham untuk mengatasi tantrum Rindu. Rendra hanya membiarkan Rindu menangis sepuasnya namun tetap mengawasinya.Sekitar lima belas menit kini Rindu sudah mulai tenang dan berhenti menangis, dirinya sudah mulai tenang . Wala
Waktu terus berlalu, kini kandungan Tari sudah memasuki usia sembilan bulan. Semakin hari gerak Tari menjadi sangat terbatas. Tanpa kenal lelah dan mengeluh Tari berusaha menjadi kuat di hadapan anak-anaknya. Merawat Mozhaf suaminya dengan sangat cekatan. Menceritakan apapun yang Tari kerjakan di hari itu, seperti perkembangan anak-anaknya, kondisi kandungannya dan banyak hal. Walau Mozhaf belum merespon sama sekali Tari begitu antusias menceritakan semuanya.Tari menjalani semua nasehat dari dokter bahwa jika pasien sering di ajak berkomunikasi nanti akan mempercepat proses pemulihannya.Hari ini Tari sudah bersiap mengenakan rok midi berwarna bata dengan dipadukan scraft bunga cantik yang senada dengan bajunya. polesan make up yang natural membuat Tari semakin terlihat mempesona.Sebelum pergi Tari tetap meminta izin dari suaminya. Walau geraknya sudah mulai susah namun Tari tetap bersemangat untuk bekerja. Penjualan dari tokonya dan yang di cabang mall sedang meningkat karena ada
Tari mengepalkan kedua tangannya, kemalangan yang menimpa dirinya dan keluarganya ternyata perbuatan dari Nia. Keadaan Mas Mozhaf yang kini tak berdaya juga karena ulahnya. "Nia.. kenapa kamu selalu mengusikku dan keluargaku! Tidak cukupkah kamu menghancurkan hidupku?" Ucap dalam hati Tari."Tar.. kita harus beri Nia pelajaran! Dia telah berbuat kejahatan kepadamu dan keluargamu." Ucap Seva membuyarkan pikiranku.Tari segera menoleh ke arah Seva yang sudah menatapnya dengan serius, ucapan Seva memang ada benarnya. Tapi Tari tidak bisa gegabah karena keluarga Nia cukup berpengaruh di kota tersebut."Aku harus bagaimana Va? Mas Mozhaf masih koma, aku sedang mengandung besar, rasanya tidak mungkin aku langsung melabraknya. Dia anak orang yang cukup berpengaruh. Aku harus berhati-hati." "Aku harus fokus ke mas Mozhaf dan kandunganku dulu, Va. Baru kita pikirkan cara terbaik untuk membalas Nia." Lanjut Tari.Tari berusaha menekan rasa amarahnya yang sungguh sangat meledak dihatinya. Tar
"kita harus operasi Bu, karena ternyata bayinya sungsang." Tari terkejut mendengar ucapan dokter, untuk pertama kalinya Tari akan melakukan operasi Caesar setelah tiga kali melahirkan normal pervaginal."Lakukan apapun yang terbaik untuk anakku dan cucuku dok. Selamatkan mereka berdua." Ujar Bu Rina yang membuat Tari terharu.Tari teringat beberapa tahun yang lalu saat ibu mertuanya yang masih belum bisa menerimanya. Sebetulnya dulu pemikiran mertuanya itu begitu kolot. Melahirkan harus normal tidak dengan operasi, katanya jika operasi belum menjadi ibu yang sejati. Tapi sekarang mertuanya telah banyak berubah bahkan sangat menyayanginya."Baik Bu, kami akan melakukan yang terbaik. Kamu akan membawa ibu Tari untuk tindakan operasi Caesar." "Tenanglah nak, kamu akan baik-baik saja bersama bayimu. Ibu tidak akan pernah meninggalkanmh sedetikpun." "Terimakasih Bu, sudah menyayangi Tari." Tari dan Bu Rina berpelukan.Tari segera di bawa oleh dokter untuk tindakan operasi, untuk pertama
Pemulihan pasca operasi Tari terbilang cukup cepat , jadi mereka bisa cepat pulang dan melanjutkan kebahagiaan mereka yang telah lama hilang.Merawat anak-anak berdua, sesaat mereka melupakan masalah tentang Nia. Tari dan Mozhaf sedang sibuk dengan kebahagiaan mereka merawat bayi Azura. Nada, Rangga dan Haris juga begitu menyayangi adik perempuan mereka yang masih begitu kecil dan imut itu."Adik Azura tidur dulu ya, nanti di ajak main lagi." Ujar Tari kepada ketiga anaknya yang masih asik bermain dengan Azura."Ma sebentar lagi, kami masih sangat senang bermain dengan Azura." Keluh Rangga yang begitu gemas kepada adiknya."Azura harus istirahat dulu, besok bermain lagi, ini sudah malam. Toh kalian juga harus belajar karena besok sudah mulai ujian." "Baiklah.. kami cium dulu Azura." Nada, Rangga dan Haris bergantian mencium adiknya dengan lembut dan berlalu pergi untuk mengerjakan tugas sekolahnya, mereka bertiga sedang menjalani ujian tengah semester.Azura sudah berusia 40 hari,