Terima kasih sudah baca Madu Wasiat Adik Iparku. Maaf bila banyak kekurangan. Jangan lupa baca novelku yang lain ya. Terima kasih :)
***Aku sedang memasak di dapur saat Mas Rafa berpamitan untuk pulang ke rumah mertuaku yang juga adalah Ayah dan Ibunya. Aku heran kenapa suamiku itu tampak terburu-buru. Akhirnya aku pun melayangkan tanya ke arahnya. "Ada apa, Mas? Kenapa Mas nggak sarapan dulu?" tanyaku penasaran. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, sehingga Mas Rafa tidak bekerja. Seharusnya ia santai di rumah saja. Namun, lihat lah dirinya, terlihat cepat-cepat mengenakan jaket dan sepatunya. Hal itu jelas membuatku curiga. "Hendri sakit, Dek!" Mas Rafa melirik padaku sekilas. Mendengar itu aku segera mematikan kompor yang masih menyala. "Sakit lagi, Mas?" tanyaku meminta penjelasan. Kini suamiku itu sudah siap untuk berangkat. Dia melangkah menuju pintu keluar. Aku pun menyusulnya. "Kata Ibu sakitnya lebih parah dari biasa. Nanti kamu nyusul ya, Mas berangkat duluan!" Ia mengulurkan tangan untuk memintaku menyalaminya seperti biasa. Aku pun hanya bisa mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas." Nasihatku yan
***Aku pikir semua yang terjadi kemarin hanya lah sebuah mimpi. Namun, nyatanya aku salah. Hendri telah tiada dan Andin akan segera menjadi maduku.Ibu, Bapak dan Mas Rafa memohon padaku agar menyetujui permintaan Hendri saat napas Hendri terasa semakin memendek. Andin pun melakukan hal yang sama. Wanita itu bahkan bersujud di kakiku. Berjanji bila aku menerimanya sebagai madu, maka ia akan bersikap baik kepadaku.Sungguh bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan di madu, tetapi hatiku yang tidak siap. Aku tak sanggup seseorang masuk ke dalam rumah tangga kami.Lalu, Ibu memberi pilihan untuk bercerai saja dari Mas Rafa jika tak ingin di madu. Dan, Naura akan diasuh oleh mereka. Semakin hancur hatiku mendengar pilihan itu. Aku tidak bisa berpisah dari Naura. Oleh karena itu aku akhirnya menerima Andin sebagai istri Kedua Mas Rafa. Andin juga berjanji untuk selalu menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa. Kemarin pula aku berjanji di depan Hendri bahwa Andin akan segera dinikahk
***Mas Rafa menatapku lekat. "Benar apa yang Andin katakan Zahra?" tanya Mas Rafa kepadaku. Kepalaku menggeleng menjawab pertanyaannya. Mas Rafa tak percaya pada kebohongan yang Andin katakan, kan? "Benar Mas, masa aku bohong? Aku jujur dengan perkataanku, Mas," ucap Andin. Dia merengek di depan Mas Rafa. Dahiku berkerut melihat tingkahnya. Kenapa semakin berani si Andin ini? Tak memandangku dia. "Zahra tolong jangan menyakiti Andin. Bagaimanapun juga dia istri Mas juga. Kamu tentu tidak lupa kan akan janjimu pada Hendri?" "Astagfirullah, Mas! Andin berbohong. Mana mungkin aku menyakiti Andin. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku saja bingung kenapa Andin memfitnahku begini," Aku mencoba membela diri. "Andin tadi Mbak memintamu baik-baik. Lalu kenapa kamu berkata yang tidak-tidak pada Mas Rafa?" Aku mengalihkan tatapan mataku pada Andin. Demi apapun Andin berubah. Sifat aslinya kini terlihat jelas. Aku pun tak yakin kesedihan yang Andin tunjukan adalah karena kehilang
***Hari-hari bagai neraka bagiku setelah itu. Mas Rafa terus-terusan berada di sisi Andin apapun yang dia lakukan. Aku masih membiarkannya.Sampai akhirnya sikap Andin benar-benar mengujiku di pagi ini saat kami sedang sarapan. Andin berani menyakiti Naura, putriku. Wanita tak tahu diri itu menyalahkan Naura karena Naura tak sengaja menumpahkan air minum ke bajunya. "Anak kurang ajar! Kamu tidak punya mata?" bentaknya hingga membuat aku segera meraih Naura dan menyembunyikannya di belakangku. Sungguh, Naura tak sengaja menumpahkannya hingga baju Andin basah. Naura hanya ingin memberikannya pada Andin yang tersedak. Entah pura-pura tersedak demi mendapatkan perhatian Mas Rafa atau bagaimana aku pun tak paham. Namun, sikap baik putriku berimbas menyakiti diri sendiri seperti ini. "Andin jangan keterlaluan, Nau tidak sengaja," tegurku masih dengan nada suara yang sederhana. Namun, perempuan yang pernah menjadi adik iparku itu tampak tidak terima. Ia menatapku tajam. "Mbak jangan be
***Aku tak ingin semua masalah ini menjadi tanda tanya bagiku. Akan aku cari kebenaran tentang hubungan Mas Rafa dan maduku itu sebelum menikah agar aku dapat mengambil langkah. Sungguh aku bukan perempuan yang sabar dengan segala keadaan ini. Siapa kira-kira yang dapat aku tanyai soal ini? "Ibu?" Mertuaku kah? Namun, aku menggelengkan kepala. Daripada bertanya pada Ibu lebih baik aku menggeledah kamar Andin yang saat ini ditempatinya bersama Mas Rafa. Bergegas aku ke sana hingga melupakan Naura. "Ibu mau ke mana?" tanya anak semata wayangku itu. Aku pun menyadari keberadaannya yang masih ada di ruang makan. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Sejak tadi Naura ketakutan karena melihat pertengkaran kami. Aku pun menghampiri. "Maafkan Ibu yang melupakanmu, Nau. Ayo ikut Ibu ke kamar. Kamu istirahat dulu di sana, Ibu ada urusan sebentar." Lantas aku segera menggandeng tangannya. "Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyanya. Aku bingung harus menjawab apa. Namun, tiba-tiba aku mengingat sesu
***Andin si madu yang mendadak menjadi ratu di rumahku ternyata benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Mas Rafa sebelum mereka menikah. Mas Rafa juga mengkhianati adik kesayangannya yang sakit-sakitan. Sungguh biadab! Aku tak tahan mendapati kenyataan ini. Namun, jikalau aku meninggalkan rumah ini selamanya, maka aku akan dinyatakan kalah. Aku tidak mau itu terjadi. "Andin!" Sore hari setelah Andin mengakui perbuatannya dengan Mas Rafa, aku pergi dari rumah. Bukan minggat, tapi aku menemui mertuaku. Ingin mengadukan semua perbuatan Mas Rafa selama ini kepadanya. Memang aku sempat menangis, tetapi lebih baik aku mencari dukungan dari Ibu mertuaku. Paling tidak ia bisa memarahi Mas Rafa. "Ada apa dengan Andin, Zahra?" tanya Ibu dengan dahi yang berkerut dalam. Airmataku jatuh lagi. Lelah rasanya hati ini menerima kenyataan tentang perbuatan Mas Rafa. "Dia telah lama berselingkuh dengan Mas Rafa, Bu," terangku sembari pecahnya tangis ini. Hati perempuan mana yang tak sakit s
***Sesampainya di apartemen Sabrina aku tak bisa menumpahkan airmataku karena ada Naura di antara kami berdua. Sekadar informasi, Sabrina sudah lama menjanda sejak suaminya pergi untuk selamanya. Ia belum berminat untuk menikah lagi karena merasa belum ada yang cocok dengannya. "Kenapa wajahmu murung, Zahra?" tanya Sabrina kepadaku saat sudah lebih dari Lima menit kami duduk di ruang tamu. Aku meliriknya, lalu melirik Naura. Sabrina seperti mengerti keinginanku. Ia mendekati Naura lalu memintanya untuk bermain di kamar saja. "Ada boneka beruang tante yang besar di sana. Coba Nau lihat," ucapnya merayu Naura. Dengan cepat putriku meninggalkan kami berdua. "Ada apa?" Sabrina kembali bertanya. Kini airmata yang tadi sempat aku bendung terjatuh juga. "Mas Rafa selingkuh, Sab," isakku. "Selingkuh bagaimana maksudmu, Zahra? Rafa belum puas juga punya istri Dua?" Aku menggelengkan kepala. "Mas Rafa sudah lama selingkuh dengan Andin, Sab," terangku dengan airmata yang semakin mengali
***Andin salah bila berpikir aku bertahan untuk menerima luka darinya atau Mas Rafa. Aku sekalian ingin membuktikan bahwa dia tak bisa berbuat seenaknya di rumah ini. Selamanya yang akan menjadi ratu adalah diriku. Bukan Andin meski ia berhasil membuai Mas Rafa dalam godaannya. "Masak apa kamu hari ini, Dek?" Aku menghentikan kegiatanku yang sedang menata masakan di atas meja saat mendengar suara lelaki yang telah menggores luka di hatiku itu. Kepalan tanganku menunjukan bahwa diriku sedang berusaha menahan amarah. Ingat, aku sudah memutuskan untuk memberi Mas Rafa kesempatan. "Masak tumis pakis kesukaanmu, Mas. Ada ikan goreng juga," jawabku sembari menoleh padanya. Senyum di bibirku penuh paksa andai Mas Rafa tahu, tapi sepertinya ia tidak peduli. "Kamu masih marah soal pagi tadi?" Pertanyaan Mas Rafa membuatku terkejut. Apa dia menyesal memperlakukan kami secara tidak adil? "Mas minta maaf ya. Mas khilaf," ucapnya. Lega perasaan ini mendengar penyesalan itu dari hatinya. "