***
Aku tak ingin semua masalah ini menjadi tanda tanya bagiku. Akan aku cari kebenaran tentang hubungan Mas Rafa dan maduku itu sebelum menikah agar aku dapat mengambil langkah. Sungguh aku bukan perempuan yang sabar dengan segala keadaan ini.
Siapa kira-kira yang dapat aku tanyai soal ini?
"Ibu?"
Mertuaku kah?
Namun, aku menggelengkan kepala. Daripada bertanya pada Ibu lebih baik aku menggeledah kamar Andin yang saat ini ditempatinya bersama Mas Rafa.
Bergegas aku ke sana hingga melupakan Naura.
"Ibu mau ke mana?" tanya anak semata wayangku itu. Aku pun menyadari keberadaannya yang masih ada di ruang makan. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Sejak tadi Naura ketakutan karena melihat pertengkaran kami. Aku pun menghampiri. "Maafkan Ibu yang melupakanmu, Nau. Ayo ikut Ibu ke kamar. Kamu istirahat dulu di sana, Ibu ada urusan sebentar." Lantas aku segera menggandeng tangannya. "Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyanya.
Aku bingung harus menjawab apa. Namun, tiba-tiba aku mengingat sesuatu. "Meja makan belum dibersihkan. Ibu mau mencuci pirung," jawabku.
Naura mengiakan dengan anggukan kepala. Aku tahu ada banyak sekali pertanyaan dalam benak putriku tentang tingkah ayahnya dan Andin yang sampai saat ini masih ia anggap sebagai tantenya, istri dari Om Hendrinya yang telah tiada. Namun, Naura tampak menahan rasa penasarannya itu.
"Nau tunggu di sini. Jangan keluat kamar sampai Ibu datang lagi," perintahku yang langsung diturutinya. Aku pun meninggalkannya, menutup pintu kamar kami dari luar. Dengan cepat aku masuk ke kamar yang saat ini ditempati oleh Andin dan Mas Rafa.
Pemandangan pertama yang aku lihat adalah sebuah bingkai foto raksasa yang tersimpan di sudut kamar. Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku hampiri bingkai itu. Entah sejak kapan Andin menyelinapkannya hingga aku tak menyadari kedatangannya. Namun, bukan itu yang membuat tanganku gemetar menyentuhnya, melainkan karena kayu tersebut membingkai foto mesra Mas Rafa dan Andin pada tanggal yang tak seharusnya.
Di bawah sudut kanan bingkai foto itu terdapat nama Mas Rafa dan Andin beserta tanggal dibuatnya. Aku duga seperti itu. Jauh sebelum Hendri meninggal dunia. Ya Tuhan ... Apa segala praduga yang ada di dalam benakku adalah nyata?
Aku menggelengkan kepala. Kucoba mencari bukti yang lain. Dalam laci nakas di samping tempat tidur aku berharap dapat menemukan sesuatu, tetapi nihil. Tak ada apapun di sana.
"Tenang Zahra, bisa saja kamu salah paham. Bisa saja foto itu diambil beberapa waktu ini setelah Andin sah menjadi istri Mas Rafa. Tidak mungkin Mas Rafa selingkuh karena selama ini dia sangat baik,"
Sejujurnya, aku tak begitu mempercayai Mas Rafa lagi. Entahlah, tetapi aku masih berusaha berpikir positif.
Tiba-tiba dapat kudengar suara mobil Mas Rafa terdengar di halaman depan. Mereka sudah pulang. Dengan cepat aku keluar dari kamar ini. Entah aku yang terlalu lama berada di kamar mereka atau mereka yang pulang terlalu cepat hingga sudah ada di rumah lagi seperti ini.
Buru-buru aku menuju dapur, pura-pura membersihkan meja adalah apa yang aku lakukan. Mas Rafa melirikku sekilas, lalu masuk ke kamarnya bersama Andin. Demi apapun sikapnya benar-benar membuat hati ini terluka.
Tak lama kemudian Andin menghampiriku.
"Sudah puas mengobrak-abrik kamarku bersama Mas Rafa, Mbak Zahra?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan maduku itu. Darimana dia tahu aku masuk ke kamarnya? Jangan-jangan Mas Rafa juga menyadari? Aku tak ingin dituduh sebagai perempuan pecemburu hingga diam-diam masuk ke kamar mereka karena kesal. Namun, membohongi Andin adalah hal yang tidak perlu. "Iya, aku memang masuk ke kamarmu. Kenapa bingkai foto kalian terdapat tanggal yang tak seharusnya, Andin?" tanyaku tak ingin basa-basi.
Andin tergelak. Ia bertingkah angkuh sekarang. "Seharusnya Mbak Zahra bisa menebak," jawabnya sembari bersedekap. Tidak! Aku menolak percaya kalau Mas Rafa selama ini berselingkuh dengan Andin di saat Hendri sakit-sakitan. Mas Rafa tidak sejahat itu. Dia sangat menyayangiku dan Naura. Dia juga menyayangi adiknya Hendri.
"Jangan sembarangan Andin, Mas Rafa lelaki yang setia. Aku tidak percaya dia merusak kepercayaanku hanya karena perempuan bermuka dua sepertimu!" hardikku sembari menunjuk wajahnya.
Andin terlihat marah. Tidak terima aku tuduh sebagai perempuan bermuka dua. Padahal kalau saja ada istilah muka tiga pun dia pantas mendapatkannya.
"Asal kamu tahu saja Mbak Zahra, Mas Rafa sudah sejak lama menjadi milikku!"
"Bahkan jauh sebelum Mas Hendri meninggal dunia."
Dan, begitulah yang Andin katakan padaku. Ribuan jarum seakan menusuk jantungku setelah itu. Gelas yang aku genggam bahkan jatuh tanpa dapat aku tahan.
Segala dugaan yang coba aku trpis nyatanya menjadi kenyataan. Mas Rafa berselingkuh di belakangku selama ini. Sikap baiknya hanya sebuah tameng agar aku tak mencium apa-apa.
.
.
Bersambung.
***Andin si madu yang mendadak menjadi ratu di rumahku ternyata benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Mas Rafa sebelum mereka menikah. Mas Rafa juga mengkhianati adik kesayangannya yang sakit-sakitan. Sungguh biadab! Aku tak tahan mendapati kenyataan ini. Namun, jikalau aku meninggalkan rumah ini selamanya, maka aku akan dinyatakan kalah. Aku tidak mau itu terjadi. "Andin!" Sore hari setelah Andin mengakui perbuatannya dengan Mas Rafa, aku pergi dari rumah. Bukan minggat, tapi aku menemui mertuaku. Ingin mengadukan semua perbuatan Mas Rafa selama ini kepadanya. Memang aku sempat menangis, tetapi lebih baik aku mencari dukungan dari Ibu mertuaku. Paling tidak ia bisa memarahi Mas Rafa. "Ada apa dengan Andin, Zahra?" tanya Ibu dengan dahi yang berkerut dalam. Airmataku jatuh lagi. Lelah rasanya hati ini menerima kenyataan tentang perbuatan Mas Rafa. "Dia telah lama berselingkuh dengan Mas Rafa, Bu," terangku sembari pecahnya tangis ini. Hati perempuan mana yang tak sakit s
***Sesampainya di apartemen Sabrina aku tak bisa menumpahkan airmataku karena ada Naura di antara kami berdua. Sekadar informasi, Sabrina sudah lama menjanda sejak suaminya pergi untuk selamanya. Ia belum berminat untuk menikah lagi karena merasa belum ada yang cocok dengannya. "Kenapa wajahmu murung, Zahra?" tanya Sabrina kepadaku saat sudah lebih dari Lima menit kami duduk di ruang tamu. Aku meliriknya, lalu melirik Naura. Sabrina seperti mengerti keinginanku. Ia mendekati Naura lalu memintanya untuk bermain di kamar saja. "Ada boneka beruang tante yang besar di sana. Coba Nau lihat," ucapnya merayu Naura. Dengan cepat putriku meninggalkan kami berdua. "Ada apa?" Sabrina kembali bertanya. Kini airmata yang tadi sempat aku bendung terjatuh juga. "Mas Rafa selingkuh, Sab," isakku. "Selingkuh bagaimana maksudmu, Zahra? Rafa belum puas juga punya istri Dua?" Aku menggelengkan kepala. "Mas Rafa sudah lama selingkuh dengan Andin, Sab," terangku dengan airmata yang semakin mengali
***Andin salah bila berpikir aku bertahan untuk menerima luka darinya atau Mas Rafa. Aku sekalian ingin membuktikan bahwa dia tak bisa berbuat seenaknya di rumah ini. Selamanya yang akan menjadi ratu adalah diriku. Bukan Andin meski ia berhasil membuai Mas Rafa dalam godaannya. "Masak apa kamu hari ini, Dek?" Aku menghentikan kegiatanku yang sedang menata masakan di atas meja saat mendengar suara lelaki yang telah menggores luka di hatiku itu. Kepalan tanganku menunjukan bahwa diriku sedang berusaha menahan amarah. Ingat, aku sudah memutuskan untuk memberi Mas Rafa kesempatan. "Masak tumis pakis kesukaanmu, Mas. Ada ikan goreng juga," jawabku sembari menoleh padanya. Senyum di bibirku penuh paksa andai Mas Rafa tahu, tapi sepertinya ia tidak peduli. "Kamu masih marah soal pagi tadi?" Pertanyaan Mas Rafa membuatku terkejut. Apa dia menyesal memperlakukan kami secara tidak adil? "Mas minta maaf ya. Mas khilaf," ucapnya. Lega perasaan ini mendengar penyesalan itu dari hatinya. "
***Aku pandangi wajah Naura yang sedang tertidur lelap. Dalam hati terbesit penyesalan atas apa yang terjadi dalam keluarga kecil kami ini."Kasihan kamu, Nak. Ayahmu bukan lagi kesatria seperti dulu. Dia pecundang yang telah membohongi kita selama ini,""Maafkan Ibu ya, karena tak mampu menjaga Ayah."Airmata mungkin mengering, tetapi sesak di dada tak kunjung reda. Duri yang Mas Rafa tancapkan diam-diam seolah selalu memberi peringatan padaku atas perilaku kejamnya."Ibu janji akan berada di sisi Ayah selama bisa membuatmu bahagia, Nau," bisikku. Sakit memang dikhianati, tetapi berpisah dengan Mas Rafa bukan pilihan yang tepat.Aku harus bertahan.Kurebahkan tubuh ini di sisi Naura, lalu berusaha ikut memejamkan mata. Namun, sulit bagiku untuk menjemput kantuk. Rumah tangga yang aku anggap baik-baik saja harus hancur dalam sekejap karena orang ketiga. Memang benar kini Andin telah menjadi istri M
***Sabtu pagi aku sudah siap dengan gamis panjang dan jilbab segiempat yang menutup dada. Hari ini Sabrina mengajakku bertemu temannya sesuai janji.Bersama Naura aku menuju apartemen Sabrina. Kami sengaja datang lebih awal agar Sabrina tak menunggu lama. Urusan rumah tangga juga bukan aku yang urus diwaktu weekend ini, tetapi tugas Andin. Memang maduku itu belum keluar kamar bersama Mas Rafa sepagian ini, tetapi aku tidak peduli.Kebetulan Sabrina juga sudah menawari untuk sarapan bersama di apartemennya."Serius betul kamu, Ra," ucap Sabrina saat melihat aku antusias sekali ingin membuka toke kue."Tentu. Aku ingin membuktikan pada Mas Rafa dan maduku itu bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa uang mereka, Sab," balasku."Aku yakin toko kuemu akan sukses, Ra. Temanku ini jago dalam mengelola tokonya. Kamu bisa belajar banyak darinya nanti,"Aku senang sekali mendengar Sabrina berkata seperti itu. "Aa
***Toko kue bernuansa manis itu menjadi tempat untuk kami bertemu dengan kenalan Sabrina. "Sab, nggak nyangka kamu punya kenalan yang suka bikin kue," Aku terkekeh sembari menunggu teman Sabrina. "Kenapa memangnya? Kamu kalau lihat orangnya bisa salah tingkah loh, Ra. Orangnya... " balas Sabrina menggodaku. Namun, belum tuntad godaannya itu aku sudah lebih dulu memotongnya. "Ssttt! Apa-apaan kamu ngomong begitu, Sab! Kenapa aku harus salah tingkah." Kepalaku menggeleng di depan Sabrina. "Siapa tahu kan," kekeh sahabatku itu. Kembali aku gelengkan kepala. "Kamu pikir aku sama seperti Mas Rafa? Suka se..." "Zahra!" ujar Sabrina menghentikan ucapanku. Pupil mataku membesar. Dalam sekekab aku menoleh pada Naura yang duduk tepat di sampingku itu. Segera aku membengkap mulutku. "Astaga! Hampir saja," ucapku. Naura tampak penasaran. Beruntung suara seseorang yang datang menyapa mengalihkan semuanya. "Halo, maaf membuat kalian menunggu terlalu lama," ucapnya. Aku, Sabrina dan Naura s
***"Sab, Arlan benar belum menikah?" Aku bertanya pada Sabrina ketika kami akhirnya meninggalkan toko kue lelaki itu. Pembicaraan sudah selesai dan akan dilanjutkan di lain waktu bersama Arlan. Sabrina yang sedang menyetir mobil menoleh padaku sejenak. "Benar, Ra. Kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng. Entah kenapa hatiku semakin yakin kalau pria itu belum bisa melepaskan masa lalu kami berdua. Aku menjadi ragu untuk melanjutkan semua ini. Khawatir masa lalu menghalangi bisnisku nanti. Namun, kata Arlan dia akan serius membantuku. "Arlan pernah patah hati, Ra. Dia pernah mencintai Satu wanita, tapi wanita itu memilih menikah dengan lelaki lain," Sabrina mengedikan bahunya. "A-apa?" Aku terkejut dibuatnya. "Maksudku siapa wanita itu? Kamu kenal?" tanyaku mengulangi kata yang lebih pantas. "Sayangnya Arlan tidak sudi memberitahuku," kekeh Sabrina. Aku pun mengembuskan napas dengan lega. Entah kenapa rasanya akan tidak nyaman bila masa laluku bersama Arlan diketahui oleh Sabrina. "Ka
***Seperti biasa, rumah bukan lagi tempat pulang ternyaman sejak Mas Rafa menikahi Andin. Namun, jika bukan kembali ke sini, ke mana lagi aku harus membawa Naura. Menjawab pertanyaannya tentang sikap Ayahnya yang berubah saja aku belum mampu, apalagi saat dia bertanya kenapa kami mendadak harus pindah.“Nau, langsung mandi ya!”“Iya, Bu.” Naura menyahuti.Sementara itu, aku masuk ke dapur, memeriksa apakah hari ini Andin memasak makanan atau tidak.“Sesuai dugaanku, Andin yang malas tidak memasak makanan apapun untuk Mas Rafa,” ucapku sembari geleng-geleng kepala.“Hebatnya, Mas Rafa sama sekali nggak protes! Coba kalau aku yang nggak masak, pasti banyak sekali ceramahnya,”Aku berdecak membandingkan sikap Mas Rafa terhadapku dan Andin. Sungguh berbeda.“Jangan-jangan mereka baru makan seharian ini?” Aku bertanya curiga. Benar-benar pemalas maduku itu ternyata.Tiba-tiba aku memikirkan sebuah ide. Senyum muncul di antara sudut bibirku. “Lihat saja apa yang akan aku lakukan padanya ma