***Sesampainya di apartemen Sabrina aku tak bisa menumpahkan airmataku karena ada Naura di antara kami berdua. Sekadar informasi, Sabrina sudah lama menjanda sejak suaminya pergi untuk selamanya. Ia belum berminat untuk menikah lagi karena merasa belum ada yang cocok dengannya. "Kenapa wajahmu murung, Zahra?" tanya Sabrina kepadaku saat sudah lebih dari Lima menit kami duduk di ruang tamu. Aku meliriknya, lalu melirik Naura. Sabrina seperti mengerti keinginanku. Ia mendekati Naura lalu memintanya untuk bermain di kamar saja. "Ada boneka beruang tante yang besar di sana. Coba Nau lihat," ucapnya merayu Naura. Dengan cepat putriku meninggalkan kami berdua. "Ada apa?" Sabrina kembali bertanya. Kini airmata yang tadi sempat aku bendung terjatuh juga. "Mas Rafa selingkuh, Sab," isakku. "Selingkuh bagaimana maksudmu, Zahra? Rafa belum puas juga punya istri Dua?" Aku menggelengkan kepala. "Mas Rafa sudah lama selingkuh dengan Andin, Sab," terangku dengan airmata yang semakin mengali
***Andin salah bila berpikir aku bertahan untuk menerima luka darinya atau Mas Rafa. Aku sekalian ingin membuktikan bahwa dia tak bisa berbuat seenaknya di rumah ini. Selamanya yang akan menjadi ratu adalah diriku. Bukan Andin meski ia berhasil membuai Mas Rafa dalam godaannya. "Masak apa kamu hari ini, Dek?" Aku menghentikan kegiatanku yang sedang menata masakan di atas meja saat mendengar suara lelaki yang telah menggores luka di hatiku itu. Kepalan tanganku menunjukan bahwa diriku sedang berusaha menahan amarah. Ingat, aku sudah memutuskan untuk memberi Mas Rafa kesempatan. "Masak tumis pakis kesukaanmu, Mas. Ada ikan goreng juga," jawabku sembari menoleh padanya. Senyum di bibirku penuh paksa andai Mas Rafa tahu, tapi sepertinya ia tidak peduli. "Kamu masih marah soal pagi tadi?" Pertanyaan Mas Rafa membuatku terkejut. Apa dia menyesal memperlakukan kami secara tidak adil? "Mas minta maaf ya. Mas khilaf," ucapnya. Lega perasaan ini mendengar penyesalan itu dari hatinya. "
***Aku pandangi wajah Naura yang sedang tertidur lelap. Dalam hati terbesit penyesalan atas apa yang terjadi dalam keluarga kecil kami ini."Kasihan kamu, Nak. Ayahmu bukan lagi kesatria seperti dulu. Dia pecundang yang telah membohongi kita selama ini,""Maafkan Ibu ya, karena tak mampu menjaga Ayah."Airmata mungkin mengering, tetapi sesak di dada tak kunjung reda. Duri yang Mas Rafa tancapkan diam-diam seolah selalu memberi peringatan padaku atas perilaku kejamnya."Ibu janji akan berada di sisi Ayah selama bisa membuatmu bahagia, Nau," bisikku. Sakit memang dikhianati, tetapi berpisah dengan Mas Rafa bukan pilihan yang tepat.Aku harus bertahan.Kurebahkan tubuh ini di sisi Naura, lalu berusaha ikut memejamkan mata. Namun, sulit bagiku untuk menjemput kantuk. Rumah tangga yang aku anggap baik-baik saja harus hancur dalam sekejap karena orang ketiga. Memang benar kini Andin telah menjadi istri M
***Sabtu pagi aku sudah siap dengan gamis panjang dan jilbab segiempat yang menutup dada. Hari ini Sabrina mengajakku bertemu temannya sesuai janji.Bersama Naura aku menuju apartemen Sabrina. Kami sengaja datang lebih awal agar Sabrina tak menunggu lama. Urusan rumah tangga juga bukan aku yang urus diwaktu weekend ini, tetapi tugas Andin. Memang maduku itu belum keluar kamar bersama Mas Rafa sepagian ini, tetapi aku tidak peduli.Kebetulan Sabrina juga sudah menawari untuk sarapan bersama di apartemennya."Serius betul kamu, Ra," ucap Sabrina saat melihat aku antusias sekali ingin membuka toke kue."Tentu. Aku ingin membuktikan pada Mas Rafa dan maduku itu bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa uang mereka, Sab," balasku."Aku yakin toko kuemu akan sukses, Ra. Temanku ini jago dalam mengelola tokonya. Kamu bisa belajar banyak darinya nanti,"Aku senang sekali mendengar Sabrina berkata seperti itu. "Aa
***Toko kue bernuansa manis itu menjadi tempat untuk kami bertemu dengan kenalan Sabrina. "Sab, nggak nyangka kamu punya kenalan yang suka bikin kue," Aku terkekeh sembari menunggu teman Sabrina. "Kenapa memangnya? Kamu kalau lihat orangnya bisa salah tingkah loh, Ra. Orangnya... " balas Sabrina menggodaku. Namun, belum tuntad godaannya itu aku sudah lebih dulu memotongnya. "Ssttt! Apa-apaan kamu ngomong begitu, Sab! Kenapa aku harus salah tingkah." Kepalaku menggeleng di depan Sabrina. "Siapa tahu kan," kekeh sahabatku itu. Kembali aku gelengkan kepala. "Kamu pikir aku sama seperti Mas Rafa? Suka se..." "Zahra!" ujar Sabrina menghentikan ucapanku. Pupil mataku membesar. Dalam sekekab aku menoleh pada Naura yang duduk tepat di sampingku itu. Segera aku membengkap mulutku. "Astaga! Hampir saja," ucapku. Naura tampak penasaran. Beruntung suara seseorang yang datang menyapa mengalihkan semuanya. "Halo, maaf membuat kalian menunggu terlalu lama," ucapnya. Aku, Sabrina dan Naura s
***"Sab, Arlan benar belum menikah?" Aku bertanya pada Sabrina ketika kami akhirnya meninggalkan toko kue lelaki itu. Pembicaraan sudah selesai dan akan dilanjutkan di lain waktu bersama Arlan. Sabrina yang sedang menyetir mobil menoleh padaku sejenak. "Benar, Ra. Kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng. Entah kenapa hatiku semakin yakin kalau pria itu belum bisa melepaskan masa lalu kami berdua. Aku menjadi ragu untuk melanjutkan semua ini. Khawatir masa lalu menghalangi bisnisku nanti. Namun, kata Arlan dia akan serius membantuku. "Arlan pernah patah hati, Ra. Dia pernah mencintai Satu wanita, tapi wanita itu memilih menikah dengan lelaki lain," Sabrina mengedikan bahunya. "A-apa?" Aku terkejut dibuatnya. "Maksudku siapa wanita itu? Kamu kenal?" tanyaku mengulangi kata yang lebih pantas. "Sayangnya Arlan tidak sudi memberitahuku," kekeh Sabrina. Aku pun mengembuskan napas dengan lega. Entah kenapa rasanya akan tidak nyaman bila masa laluku bersama Arlan diketahui oleh Sabrina. "Ka
***Seperti biasa, rumah bukan lagi tempat pulang ternyaman sejak Mas Rafa menikahi Andin. Namun, jika bukan kembali ke sini, ke mana lagi aku harus membawa Naura. Menjawab pertanyaannya tentang sikap Ayahnya yang berubah saja aku belum mampu, apalagi saat dia bertanya kenapa kami mendadak harus pindah.“Nau, langsung mandi ya!”“Iya, Bu.” Naura menyahuti.Sementara itu, aku masuk ke dapur, memeriksa apakah hari ini Andin memasak makanan atau tidak.“Sesuai dugaanku, Andin yang malas tidak memasak makanan apapun untuk Mas Rafa,” ucapku sembari geleng-geleng kepala.“Hebatnya, Mas Rafa sama sekali nggak protes! Coba kalau aku yang nggak masak, pasti banyak sekali ceramahnya,”Aku berdecak membandingkan sikap Mas Rafa terhadapku dan Andin. Sungguh berbeda.“Jangan-jangan mereka baru makan seharian ini?” Aku bertanya curiga. Benar-benar pemalas maduku itu ternyata.Tiba-tiba aku memikirkan sebuah ide. Senyum muncul di antara sudut bibirku. “Lihat saja apa yang akan aku lakukan padanya ma
***“Terima kasih, Mas,” ucapku pada Mas Rafa setelah kami menunaikan ibadah sholat bersama. Mas Rafa hanya mengangguk setelah mengulurkan tangannya kepadaku. Rasanya aku seperti kembali hidup melihatnya berada di sini bersama kami.Namun, tentu saja hal itu tidak bertahan lama.“Aku harus kembali menemui Andin. Jangan sampai dia sedih melihat kita bersama,” ucap suamiku yang kini hatinya telah terbagi itu.“Mas!” tegurku karena apa yang dia ucapkan dapat didengar oleh Naura. Bukannya bertaubat dan meminta maaf, Mas Rafa justru mendecakan lidahnya dengan kesal.Tanpa mau menunggu lama, Mas Rafa beranjak dari kamar kami demi menemui maduku yang dicintai olehnya itu.“Ayah!” panggil Naura. Miris. Dia pasti ingin ayahnya tetap di sini.“Ada apa?”“Mau pergi ke tante Andin lagi?” tanya putri semata wayang kami.Mas Rafa melirikku. Ia mengembuskan napas dengan berat sebelum menghampiri Naura. Lalu menganggukan kepala. “Tante Andin butuh Ayah. Kamu tidak apa-apa kan bersama Ibu lagi mala mi
*** Tiga tahun kemudian hidupku cukup memiliki perubahan. Dalam ruang sidang waktu itu sungguh bukan pertemuan terakhirku dengan mas Rafa. Sesuai janji, aku mengizinkannya untuk bertemu Naura sekira dia rindu. Dan, benar saja mas Rafa intens bertemu Naura dalam tahun pertama perpisahan kami. Lalu tahun-tahun berikutnya beberapa kali dia menemui Naura karena dia akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar Kota. Sementara kepada Andin, aku benar-benar iba karena wanita itu menjadi gila. Setelah diceraikan oleh mas Rafa, Andin turut kehilangan anaknya. Bayi perempuan itu meninggal dunia karena sakit. Andin kehilangan kewarasannya hingga terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beberapa kali aku datang ke sana hanya sekadar untuk menjenguknya. Andin selalu meracau, meminta maaf karena gagal menjadi seorang ibu. Sesekali dia juga berkata kasar tentangku, mungkin karena dirinya masih memiliki dendam. Namun, hal itu tak membuatku membencinya. Aku justru merasa sangat iba. Oleh karena itu, setia
*** “Rafa akhirnya lepasin kamu, Ra?” tanya Sabrina saat pertama kali aku datang ke apartemennya setelah pamit menjemput koper. Aku mengembuskan napas dengan berat. Entah harus mulai dari mana aku bercerita, tetapi aku tahu Sabrina ingin mendengar semuanya. “Sab jangan terkejut,” ucapku sambil menyimpan koper secara sembarangan. Aku mengempaskan diri ke sofa ruang tamu, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Naura. “Lagi main di kamarku. Ada apa?” Sabrina seakan paham apa yang sedang aku lakukan. Aku pun mengangguk singkat sambil mengembuskan napas lega. Mataku kini fokus pada Sabrina. “Mas Rafa menjatuhkan talak pada Andin lebih dulu,” terangkan. Pupil mata Sabrina melebar mendengar itu. “Apa?” tanyanya tidak percaya. “Mas Rafa tahu soal perselingkuhan Andin. Ditambah tadi dia bilang Andin tidur dengan banyak pria,” “Huh?” Sabrina belum juga reda dari terkejutnya. “Tapi nggak aneh sih, madumu itu kan memang suka sama banyak lelaki,” kekehnya melanjutkan. Aku hanya mengedikan
***Pertengkaran itu terjeda saat Andin datang mendekat dari arah kamarnya. Sejenak aku menoleh dan sadar tujuan Andin jelas ke arahku dan mas Rafa.Kutarik napas dalam-dalam saat dia dengan sengaja berhenti di sisi mas Rafa sambil bersedekap dada. Biar kutebak, Andin senang melihat pertengkaran kami ini. Namun, aku benar-benar tidak peduli. Kembali aku menatap Mas Rafa, tanpa ekspresi, seolah segala rasa sakit tak dapat lagi kugambarkan lewat tatapan. "Tukang selingkuh seperti Mas tidak berhak bertanya seperti itu kepadaku," balasku tegas. Mas Rafa terlihat terkejut. Ia menatapku dengan pupil mata yang melebar, lalu menoleh pada Andin yang tersenyum sinis sembari menundukan pandangannya. "Kamu masih membahas soal itu?" tanyanya seakan perselingkuhannya bukan dalang terbesar hingga membuatku ingin berpisah seperti ini. Kalau saja boleh aku meludah di depannya, maka mungkin sekarang aku akan meludah. Namun, aku masih memiliki etika dan sopan santun. "Tidak usah bertanya seperti itu
***Aku tak main-main soal ucapanku yang ingin mengadukan perbuatan mas Rafa. Sehari setelah perdebatan kecil kami, aku tak segan memberinya peringatan sekali lagi. Hanya saja dia tetap tidak peduli. Dirinya masih keras kepala ingin mempertahankanku dan pernikahan kami.Lalu hari ini rencanaku sudah benar-benar bulat ingin pergi.“Bu, kita mau ke mana?” tanya Naura. Iya, kini aku tengah sibuk memasukan semua pakaian ke dalam koper.“Pergi Nak, sudah saatnya kita tinggalkan rumah ini,” jawabku tegas. Naura terdiam. Dia menunduk dalam saat aku menoleh padanya. Mungkinkah hatinya sedih karena pada akhirnya aku dan ayahnya akan berpisah? Mendadak rasa bersalah menyelimuti hati kecilku. Namun, aku tak bisa mengalah kali ini.“Maafkan Ibu ya Nau,” ucapku sembari memeluknya. Naura lagi-lagi diam. Aku menarik napas dalam-dalam. “Ibu antar ke rumah tante Sabrina ya Nau.” Aku raih tangannya sambil tersenyum, berharap senyum ini dapat menenangkan hatinya yang gelisah.Naura akhirnya mengangguk p
***“Aku tetap tidak mengizinkan, Zahra!” ujar mas Rafa keras kepala. “Sebaiknya kamu masuk ke kamarmu sekarang.” Dia memalingkan wajahnya setelah mengatakan itu. Aku menggeleng tak percaya, dirinya masih saja tak ingin melepaskanku setelah apa yang dia lakukan. “Mas!” Rasanya aku sudah tak tahan lagi.Namun, terpaksa aku menghentikan perdebatan ini saat Naura terdengar memaksa Rani untuk keluar dari kamar kami. Kutarik napas dalam, lalu aku embuskan secara perlahan. Kubawa langkahku pergi dari ruang tamu, akan tetapi bukan berarti aku setuju untuk tetap mempertahankan rumah tangga kami.“Ibu!” panggil Naura saat aku membuka pintu. Mata gadis kecilku itu terlihat memerah, menahan tangis. Kupeluk dia dengan erat. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya. Terpaksa kepala ini mengangguk agar dia tak khawatir.Aku alihkan pandanganku kepada Rani. Kulihat gadis itu menggigit bibirnya. “Aku nggak apa-apa, Ran. Terima kasih ya sudah menjaga Naura untukku,” ucapku tulus. Rani mengangguk singkat.“Sekar
***Sesuai yang ibunya mas Rafa katakan, beliau membawaku ke rumah sakit setelah itu. Tak lupa aku menelpon Sabrina agar dia datang menemani. Namun, ternyata dia tak datang sendirian. Ada Arlan dan Ari bersamanya.“Ini udah keterlaluan banget sih, Ra! Beraninya Rafa mukulian kamu sampai berdarah-darah!” ujar Sabrina marah. Dia tampak tak peduli meskipun ibu mertuaku juga ada di ruangan yang sama dengan kami.“Sab,” tegurku merasa tak tega melihat ekspresi bersalah di wajah Ibu. Mungkin dia sekarang sadar anak yang dia bela sanggup memukuli seorang wanita.Sabrina melirik malas ke arah ibu. “Maaf Bu, tapi sebagai satu-satunya sahabat Zahra dan satu-satunya keluarga baginya, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan laporin masalah ini ke pihak berwajib!” tegasnya.Aku meringis. “Sudah Sabrina, cukup. Masalah ini kita bicarakan nanti saja,” pintaku memohon pengertiannya.Namun, aku lihat Ibu menggelengkan kepalanya. “Zahra benar kamu mau pisah dari Rafa?” tanyanya dengan mata yang berkaca-k
***Bukti perselingkuhan mas Rafa dengan Alin membuat Mbak Diah tersenyum lebar. Pengacaraku itu yakin tak akan ada halangan untukku berpisah dari mas Rafa.“Untung aku ngadu ke Arlan,” kekeh Sabrina membanggakan dirinya.Aku mengangguk singkat. “Terima kasih,” ucapku.“Makasih ke Arlan udah, Ra?” tanya Sabrina.Sekali lagi aku menganggukkan kepala.“Terus sekarang gimana, Mbak?” Aku mengalihkan tatapan pada mbak Diah. Tahu betul Sabrina ingin menggodaku lagi soal mas Arlan, makanya segera kualihkan saja pandangan ini pada mbak Diah.Wanita berkaca mata itu menjelaskan langkah kami selanjutnya. Cukup lama kudengarkan penjabarannya hingga hasil akhirnya adalah aku hanya perlu menunggu beberapa waktu lagi untuk benar-benar berpisah dari mas Rafa.Jujur, kesedihan terasa di hati ini sebab masih tak kusangka rumah tangga yang dulu harmonis kini hancur tak bersisa. Namun, bertahan dengan lelaki itu bukan jalan yang aku mau. Luka yang dia beri terlalu dalam kurasa.“Sekarang kamu hanya haru
Usai menemui Sabrina dan pengacara yang di rekomendasikannya Dua hari yang lalu, aku terus menerus termenung sendirian di teras belakang toko kueku. Dokumen yang diminta oleh pengacaraku cukup rumit. Terlebih bukti perselingkuhan mas Rafa sebelum dia menikahi Andin. Namun, fakta bahwa dia sudah cukup lama tak menafkahiku secara bathin maupun materi membuat pengacaraku berkata kami memiliki jalan untuk mengajukan perceraian ke pengadilan.Akan tetapi, aku tak puas bila masih ada celah untuknya mempertahankan pernikahan ini. Sebab, aku benar-benar ingin kami berpisah. Aku sudah tidak mencintainya lagi. Luka yang pernah dia torehkan dihatikan sudah cukup dalam dan pedih. Tak mampu diriku menyembuhkannya meskipun mas Rafa telah berubah.Makanya kini aku sedang berpikir keras, apa sekiranya yang dapat kujadikan bukti agar tuntutanku di pengadilan semakin sempurna.Aku mendesah berat. Tiba-tiba suara Sinta mengintrupsi diriku.“Ada apa Sin?”“Ada tamu,” jawab Sinta ketika aku bertanya.Dahi
***“Siapa sebenarnya yang bicara dengan lelaki itu?” bisik Sabrina. Sejak tadi dia terlihat sangat penasaran dan tidak sabaran. Sama halnya denganku sebenarnya, tapi aku berusaha untuk tak terlalu mencolok. Kami bisa saja ketahuan oleh selingkuhan Andin.“Apa mungkin itu madumu, Ra?” Sabrina kembali berbisik. Aku menggeleng, tak ingin menduga-duga.“Rama. Nama lelaki itu Rama, Sab. Dia juga sudah dipecat dari kantorku,” Mas Arlan tiba-tiba menyebutkan nama lelaki itu.Aku dan Sabrina tidak tahu siapa namanya. Bahkan Sabrina yang pernah menguntitnya saja tidak tahu namanya.“Ohh, jadi namanya Rama?” Sabrina membeo. Mas Arlan mengangguk singkat sebagai jawaban.“Jangan-jangan dia sedang bicara dengan Andin? Terus anak yang Andin lahirkan ternyata benar anaknya!”“Tapi Andin bilang itu anak mas Rafa, Sab,” sahutku tak kalah pelan.Sabrina berdecak sebal. “Andin kan tukang bohong, Ra! Bisa saja kan dia bicara seperti itu agar dia merasa benar,” ucapnya.Entahlah, aku tak tahu. Tak pentin