***Seperti biasa, rumah bukan lagi tempat pulang ternyaman sejak Mas Rafa menikahi Andin. Namun, jika bukan kembali ke sini, ke mana lagi aku harus membawa Naura. Menjawab pertanyaannya tentang sikap Ayahnya yang berubah saja aku belum mampu, apalagi saat dia bertanya kenapa kami mendadak harus pindah.“Nau, langsung mandi ya!”“Iya, Bu.” Naura menyahuti.Sementara itu, aku masuk ke dapur, memeriksa apakah hari ini Andin memasak makanan atau tidak.“Sesuai dugaanku, Andin yang malas tidak memasak makanan apapun untuk Mas Rafa,” ucapku sembari geleng-geleng kepala.“Hebatnya, Mas Rafa sama sekali nggak protes! Coba kalau aku yang nggak masak, pasti banyak sekali ceramahnya,”Aku berdecak membandingkan sikap Mas Rafa terhadapku dan Andin. Sungguh berbeda.“Jangan-jangan mereka baru makan seharian ini?” Aku bertanya curiga. Benar-benar pemalas maduku itu ternyata.Tiba-tiba aku memikirkan sebuah ide. Senyum muncul di antara sudut bibirku. “Lihat saja apa yang akan aku lakukan padanya ma
***“Terima kasih, Mas,” ucapku pada Mas Rafa setelah kami menunaikan ibadah sholat bersama. Mas Rafa hanya mengangguk setelah mengulurkan tangannya kepadaku. Rasanya aku seperti kembali hidup melihatnya berada di sini bersama kami.Namun, tentu saja hal itu tidak bertahan lama.“Aku harus kembali menemui Andin. Jangan sampai dia sedih melihat kita bersama,” ucap suamiku yang kini hatinya telah terbagi itu.“Mas!” tegurku karena apa yang dia ucapkan dapat didengar oleh Naura. Bukannya bertaubat dan meminta maaf, Mas Rafa justru mendecakan lidahnya dengan kesal.Tanpa mau menunggu lama, Mas Rafa beranjak dari kamar kami demi menemui maduku yang dicintai olehnya itu.“Ayah!” panggil Naura. Miris. Dia pasti ingin ayahnya tetap di sini.“Ada apa?”“Mau pergi ke tante Andin lagi?” tanya putri semata wayang kami.Mas Rafa melirikku. Ia mengembuskan napas dengan berat sebelum menghampiri Naura. Lalu menganggukan kepala. “Tante Andin butuh Ayah. Kamu tidak apa-apa kan bersama Ibu lagi mala mi
***Mas Rafa mengalihkan perhatiannya pada lauk milik Andin. Sesekali ia melirikku. Semakin khawatir aku dibuatnya.“Mas!” desak Andin.Mas Rafa mengembuskan napas dengan berat. Hanya beberapa detik lagi jarinya menjangkau masakan spesial untuk maduku itu. Jantungku berdetak kencang akibat tak tahu harus melakukan apa.“Ibu, Naura sudah selesai!”Tiba-tiba suara Naura mengintrupsi kami semua. Hal itu membuat tangan Mas Rafa juga berhenti bergerak, menggantung tepat di atas ayam goreng milik Andin tersebut.Aku menganga sesaat, lalu dengan cepat menarik lauk spesial sambal cabe setan milik maduku.“Nau kalau sudah minum kamu kembali ke kamar ya! Ibu harus membereskan ini dulu,” perintahku pada Naura yang tadi menyelamatkanku dengan suaranya.Naura mengangguk. Ia minum lalu turun dari bangkunya. Melenggang pergi menuju kamar, meninggalkan kami bertiga.Aku mengembuskan napas dengan lega kala pintu kamar tertutup oleh putriku itu.“Mas!” ujar Andin karena tadi mata dan perhatian kami sem
***Setelah pintu kamar tertutup, aku membukanya lagi. Hanya sedikit untuk mengintip kejadian selanjutnya di meja makan, di mana Andin dan Mas Rafa masih ada di sana.“Aku heran kenapa Mas nggak percaya pada apa yang aku katakan!” Dapat aku dengar secara samar Andin berujar pada Mas Rafa. Masih tidak terima karena Mas Rafa lebih percaya padaku dari pada dirinya.“Andin tolong jangan membesarkan masalah, sudah untung Zahra mau memasak makan malam untuk kita,” bujuk lelaki itu.Kenapa aku percaya diri sekali Mas Rafa akan membelaku? Itu karena aku cukup mengenalnya. Seharian tidak makan masakan rumahan pasti membuatnya sedikit kesal. Dengan adanya aku yang memasakan makan malam, sudah pasti dia akan memihakku. Dia pasti cukup kesal dengan sikap Andin yang tak memperlakukannya dengan layak sebagai suami seharian ini.“Mas menyalahkan aku? Mas gila? Mbak Zahra yang mencoba menyakiti aku dengan
***Tengah hari Andin belum juga menampakan batang hidungnya di rumah kami. Bukan aku yang menunggu kepulangannya, akan tetapi Mas Rafa. Sejak tadi lelaki itu terlihat uring-uringan karena Andin tak kunjung pulang.“Belum diangkat Andin juga, Mas?” tanyaku saat melihat Mas Rafa kembali mencoba menelpon Andin.Tck!“Belum!” jawabnya setelah mendecakan lidah.“Mungkin dia di rumah temannya,”“Andin tidak punya teman dekat, Zahra.” Mas Rafa membalas.Lalu ke mana Andin sebenarnya? Kenapa tega tak mengangkat telepon Mas Rafa? Sebagai istri tak seharusnya Andin berbuat seperti ini.Tck! Dasar aku! Andin mana peduli sikap santun seorang istri. Dia saja dulu berselingkuh dari Hendri yang sakit-sakitan.“Mau ke mana, Mas?” tanyaku terkejut saat Mas Rafa bersiap mengenakan jaketnya. Kedatanganku mencarinya adalah karena Naura ingin bermain dengan ayahnya. Aku diminta unt
***“Naura ayo pulang, Nak!” Aku mengajak Naura pulang saat kembali berada di area playground. “Nau masih mau main, Bu,”“Lain kali kita main lagi. Hari ini pulang dulu!”Naura merengek enggan untuk diajak pulang. Namun, aku benar-benar tak bisa berada di tempat ini lagi untuk sekarang. Diriku masih sangat terkejut mendengar suara perempuan yang aku duga adalah milik Andin tadi.Ketika sampai di rumah, aku melihat Andin baru saja keluar dari kamar. “Nau, kamu ke kamar duluan ya, Ibu mau bicara dengan tante Andin,” perintahku.Setelah memastikan Naura masuk ke kamar kami, aku pun menghampiri Andin yang terlihat menatapiku dengan heran.Bagaimana tidak heran bila yang kulakukan sekarang adalah memandangi wanita itu dari atas hingga ke bawah. Pakaiannya memang sudah berubah, tapi aku yakin sekali wanita yang tadi berbicara di toilet adalah Andin.“Kenapa Mbak Zahra me
***Andin tampak lebih mesra bersama Mas Rafa setelah hari itu hingga membuatku merasa tak yakin dengan apa yang aku duga selama ini terhadap Andin. “Mungkinkah aku salah orang? Apa Andin benar?” tanyaku pada diri sendiri.Sebagai istri pertama yang pernah sangat mencintai Mas Rafa, tentu aku tak ingin lelaki itu dipermainkan oleh perempuan lain. Msekipun dia telah menyakitiku sedalam ini.Sejak seminggu ini aku merasa tak tenang. Entah kenapa pula Andin terlihat menjauhiku. Seolah menjaga jarak untuk menyiapkan sesuatu yang besar yang akan membuatku hancur lagi.“Apa yang kamu pikirkan, Zahra?”“Huhh?” Aku terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Mas Rafa ada di belakangku entah sejak kapan.“Mas sudah bangun?”Mas Rafa mengangguk.Adzan subuh memang sudah berkumandang. Hanya saja, sejak menikahi Andin, Mas Rafa jarang terlihat keluar kamar ketika subuh menjelang. Kali ini aku dap
*** Alhamdulillah urusan ruko dan segala sisanya sudah selesai aku urus bersama Mas Arlan Dua minggu yang lalu. Kini aku hanya perlu menunggu Dua minggu lagi untuk pembukaan toko kueku pertama kalinya.Aku bahagia sebab semua berjalan dengan lancar. Hanya saja, beberapa hari ini ada yang mengganggu pikiranku. Ini masih tentang Andin dan teman lelakinya yang lagi-lagi tak sengaja tertangkap oleh penglihatanku.“Kenapa kamu terus melamun, Ra?”Ngomong-ngomong saat ini aku sedang bersama Sabrina. Sahabat karibku itu menemaniku belanja kebutuhan toko setelah Mas Arlan membuatkan list.“Begini Sab, beberapa hari lalu aku nggak sengaja melihat Andin bersama lelaki lain. Aku penasaran siapa dia,” ungkapku pada Sabrina.“Lelaki lain? Siapa itu?”“Aku nggak tahu, tapi dia lelaki yang sama dengan yang aku lihat Dua atau Tiga minggu yang lalu. Hanya saja aku sempat melupakannya karena sibuk dengan