***Pertengkaran itu terjeda saat Andin datang mendekat dari arah kamarnya. Sejenak aku menoleh dan sadar tujuan Andin jelas ke arahku dan mas Rafa.Kutarik napas dalam-dalam saat dia dengan sengaja berhenti di sisi mas Rafa sambil bersedekap dada. Biar kutebak, Andin senang melihat pertengkaran kami ini. Namun, aku benar-benar tidak peduli. Kembali aku menatap Mas Rafa, tanpa ekspresi, seolah segala rasa sakit tak dapat lagi kugambarkan lewat tatapan. "Tukang selingkuh seperti Mas tidak berhak bertanya seperti itu kepadaku," balasku tegas. Mas Rafa terlihat terkejut. Ia menatapku dengan pupil mata yang melebar, lalu menoleh pada Andin yang tersenyum sinis sembari menundukan pandangannya. "Kamu masih membahas soal itu?" tanyanya seakan perselingkuhannya bukan dalang terbesar hingga membuatku ingin berpisah seperti ini. Kalau saja boleh aku meludah di depannya, maka mungkin sekarang aku akan meludah. Namun, aku masih memiliki etika dan sopan santun. "Tidak usah bertanya seperti itu
*** “Rafa akhirnya lepasin kamu, Ra?” tanya Sabrina saat pertama kali aku datang ke apartemennya setelah pamit menjemput koper. Aku mengembuskan napas dengan berat. Entah harus mulai dari mana aku bercerita, tetapi aku tahu Sabrina ingin mendengar semuanya. “Sab jangan terkejut,” ucapku sambil menyimpan koper secara sembarangan. Aku mengempaskan diri ke sofa ruang tamu, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Naura. “Lagi main di kamarku. Ada apa?” Sabrina seakan paham apa yang sedang aku lakukan. Aku pun mengangguk singkat sambil mengembuskan napas lega. Mataku kini fokus pada Sabrina. “Mas Rafa menjatuhkan talak pada Andin lebih dulu,” terangkan. Pupil mata Sabrina melebar mendengar itu. “Apa?” tanyanya tidak percaya. “Mas Rafa tahu soal perselingkuhan Andin. Ditambah tadi dia bilang Andin tidur dengan banyak pria,” “Huh?” Sabrina belum juga reda dari terkejutnya. “Tapi nggak aneh sih, madumu itu kan memang suka sama banyak lelaki,” kekehnya melanjutkan. Aku hanya mengedikan
*** Tiga tahun kemudian hidupku cukup memiliki perubahan. Dalam ruang sidang waktu itu sungguh bukan pertemuan terakhirku dengan mas Rafa. Sesuai janji, aku mengizinkannya untuk bertemu Naura sekira dia rindu. Dan, benar saja mas Rafa intens bertemu Naura dalam tahun pertama perpisahan kami. Lalu tahun-tahun berikutnya beberapa kali dia menemui Naura karena dia akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar Kota. Sementara kepada Andin, aku benar-benar iba karena wanita itu menjadi gila. Setelah diceraikan oleh mas Rafa, Andin turut kehilangan anaknya. Bayi perempuan itu meninggal dunia karena sakit. Andin kehilangan kewarasannya hingga terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beberapa kali aku datang ke sana hanya sekadar untuk menjenguknya. Andin selalu meracau, meminta maaf karena gagal menjadi seorang ibu. Sesekali dia juga berkata kasar tentangku, mungkin karena dirinya masih memiliki dendam. Namun, hal itu tak membuatku membencinya. Aku justru merasa sangat iba. Oleh karena itu, setia
***Aku sedang memasak di dapur saat Mas Rafa berpamitan untuk pulang ke rumah mertuaku yang juga adalah Ayah dan Ibunya. Aku heran kenapa suamiku itu tampak terburu-buru. Akhirnya aku pun melayangkan tanya ke arahnya. "Ada apa, Mas? Kenapa Mas nggak sarapan dulu?" tanyaku penasaran. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, sehingga Mas Rafa tidak bekerja. Seharusnya ia santai di rumah saja. Namun, lihat lah dirinya, terlihat cepat-cepat mengenakan jaket dan sepatunya. Hal itu jelas membuatku curiga. "Hendri sakit, Dek!" Mas Rafa melirik padaku sekilas. Mendengar itu aku segera mematikan kompor yang masih menyala. "Sakit lagi, Mas?" tanyaku meminta penjelasan. Kini suamiku itu sudah siap untuk berangkat. Dia melangkah menuju pintu keluar. Aku pun menyusulnya. "Kata Ibu sakitnya lebih parah dari biasa. Nanti kamu nyusul ya, Mas berangkat duluan!" Ia mengulurkan tangan untuk memintaku menyalaminya seperti biasa. Aku pun hanya bisa mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas." Nasihatku yan
***Aku pikir semua yang terjadi kemarin hanya lah sebuah mimpi. Namun, nyatanya aku salah. Hendri telah tiada dan Andin akan segera menjadi maduku.Ibu, Bapak dan Mas Rafa memohon padaku agar menyetujui permintaan Hendri saat napas Hendri terasa semakin memendek. Andin pun melakukan hal yang sama. Wanita itu bahkan bersujud di kakiku. Berjanji bila aku menerimanya sebagai madu, maka ia akan bersikap baik kepadaku.Sungguh bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan di madu, tetapi hatiku yang tidak siap. Aku tak sanggup seseorang masuk ke dalam rumah tangga kami.Lalu, Ibu memberi pilihan untuk bercerai saja dari Mas Rafa jika tak ingin di madu. Dan, Naura akan diasuh oleh mereka. Semakin hancur hatiku mendengar pilihan itu. Aku tidak bisa berpisah dari Naura. Oleh karena itu aku akhirnya menerima Andin sebagai istri Kedua Mas Rafa. Andin juga berjanji untuk selalu menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa. Kemarin pula aku berjanji di depan Hendri bahwa Andin akan segera dinikahk
***Mas Rafa menatapku lekat. "Benar apa yang Andin katakan Zahra?" tanya Mas Rafa kepadaku. Kepalaku menggeleng menjawab pertanyaannya. Mas Rafa tak percaya pada kebohongan yang Andin katakan, kan? "Benar Mas, masa aku bohong? Aku jujur dengan perkataanku, Mas," ucap Andin. Dia merengek di depan Mas Rafa. Dahiku berkerut melihat tingkahnya. Kenapa semakin berani si Andin ini? Tak memandangku dia. "Zahra tolong jangan menyakiti Andin. Bagaimanapun juga dia istri Mas juga. Kamu tentu tidak lupa kan akan janjimu pada Hendri?" "Astagfirullah, Mas! Andin berbohong. Mana mungkin aku menyakiti Andin. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku saja bingung kenapa Andin memfitnahku begini," Aku mencoba membela diri. "Andin tadi Mbak memintamu baik-baik. Lalu kenapa kamu berkata yang tidak-tidak pada Mas Rafa?" Aku mengalihkan tatapan mataku pada Andin. Demi apapun Andin berubah. Sifat aslinya kini terlihat jelas. Aku pun tak yakin kesedihan yang Andin tunjukan adalah karena kehilang
***Hari-hari bagai neraka bagiku setelah itu. Mas Rafa terus-terusan berada di sisi Andin apapun yang dia lakukan. Aku masih membiarkannya.Sampai akhirnya sikap Andin benar-benar mengujiku di pagi ini saat kami sedang sarapan. Andin berani menyakiti Naura, putriku. Wanita tak tahu diri itu menyalahkan Naura karena Naura tak sengaja menumpahkan air minum ke bajunya. "Anak kurang ajar! Kamu tidak punya mata?" bentaknya hingga membuat aku segera meraih Naura dan menyembunyikannya di belakangku. Sungguh, Naura tak sengaja menumpahkannya hingga baju Andin basah. Naura hanya ingin memberikannya pada Andin yang tersedak. Entah pura-pura tersedak demi mendapatkan perhatian Mas Rafa atau bagaimana aku pun tak paham. Namun, sikap baik putriku berimbas menyakiti diri sendiri seperti ini. "Andin jangan keterlaluan, Nau tidak sengaja," tegurku masih dengan nada suara yang sederhana. Namun, perempuan yang pernah menjadi adik iparku itu tampak tidak terima. Ia menatapku tajam. "Mbak jangan be
***Aku tak ingin semua masalah ini menjadi tanda tanya bagiku. Akan aku cari kebenaran tentang hubungan Mas Rafa dan maduku itu sebelum menikah agar aku dapat mengambil langkah. Sungguh aku bukan perempuan yang sabar dengan segala keadaan ini. Siapa kira-kira yang dapat aku tanyai soal ini? "Ibu?" Mertuaku kah? Namun, aku menggelengkan kepala. Daripada bertanya pada Ibu lebih baik aku menggeledah kamar Andin yang saat ini ditempatinya bersama Mas Rafa. Bergegas aku ke sana hingga melupakan Naura. "Ibu mau ke mana?" tanya anak semata wayangku itu. Aku pun menyadari keberadaannya yang masih ada di ruang makan. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Sejak tadi Naura ketakutan karena melihat pertengkaran kami. Aku pun menghampiri. "Maafkan Ibu yang melupakanmu, Nau. Ayo ikut Ibu ke kamar. Kamu istirahat dulu di sana, Ibu ada urusan sebentar." Lantas aku segera menggandeng tangannya. "Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyanya. Aku bingung harus menjawab apa. Namun, tiba-tiba aku mengingat sesu