Home / Pernikahan / Madu Wasiat Adik Iparku / Bab 1: Duri Paling Menyakitkan

Share

Madu Wasiat Adik Iparku
Madu Wasiat Adik Iparku
Author: Foverflows

Bab 1: Duri Paling Menyakitkan

***

Aku sedang memasak di dapur saat Mas Rafa berpamitan untuk pulang ke rumah mertuaku yang juga adalah Ayah dan Ibunya. 

Aku heran kenapa suamiku itu tampak terburu-buru. Akhirnya aku pun melayangkan tanya ke arahnya. "Ada apa, Mas? Kenapa Mas nggak sarapan dulu?" tanyaku penasaran. 

Kebetulan hari ini adalah hari minggu, sehingga Mas Rafa tidak bekerja. Seharusnya ia santai di rumah saja. Namun, lihat lah dirinya, terlihat cepat-cepat mengenakan jaket dan sepatunya. Hal itu jelas membuatku curiga. 

"Hendri sakit, Dek!" Mas Rafa melirik padaku sekilas. 

Mendengar itu aku segera mematikan kompor yang masih menyala. "Sakit lagi, Mas?" tanyaku meminta penjelasan. 

Kini suamiku itu sudah siap untuk berangkat. Dia melangkah menuju pintu keluar. Aku pun menyusulnya. "Kata Ibu sakitnya lebih parah dari biasa. Nanti kamu nyusul ya, Mas berangkat duluan!" Ia mengulurkan tangan untuk memintaku menyalaminya seperti biasa. 

Aku pun hanya bisa mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas." Nasihatku yang langsung diangguki olehnya. 

Kendaraan roda Empat miliknya itu membawanya pergi dari rumah ini. Aku menghela napas dengan berat. Entah kenapa perasaanku kini terasa sangat tidak tenang. Seolah akan ada sesuatu yang besar menimpa keluarga kami. 

"Ibu, Ayah ke mana?" 

Aku terkejut begitu mendengar suara Naura memanggilku untuk menanyakan ke mana Ayahnya. 

Aku menghampirinya sembari mengusap dada. "Ayah ke rumah Nenek duluan. Nanti kita nyusul ya Nak," ucapku. 

Si kecil Naura yang masih berumur Lima tahun itu menganggukan kepalanya. Aku pun memintanya untuk bermain di ruang tamu saja. Sementara aku melanjutkan masakanku yang sempat tertunda. 

Sekitar Satu jam kemudian semua pekerjaan sudah beres. Naura juga sudah mandi dan aku suapi. Namun, aku sendiri belum makan karena tak memiliki selera mengingat apa yang Mas Rafa katakan pagi tadi. 

Jujur, aku sudah tak sabar ingin menyusulnya ke rumah mertuaku di mana adik iparku itu tinggal bersama istrinya. 

"Nau, kita langsung ke rumah Nenek ya. Tapi, janji sama Ibu jangan nakal karena Om Hendri sedang sakit!" 

Naura tampak menuruti perintahku. Lalu kami pun meninggalkan rumah dengan mobilku sendiri. 

Sekitar setengah jam kemudian aku dan putriku sampai di rumah mertuaku. Dapat kudengar suara tangisan Andin dari dalam. Dia istri adik iparku. Mendengar itu membuatku semakin tak sabar untuk masuk ke dalam rumah. Segera kugendong Naura dan berlari ke sumber suara. 

"Assalamu'alaikum. Maaf Bu, Zahra baru sampai. Apa yang terjadi pada Hendri, Bu?" tanyaku pada Ibu mertuaku yang langsung menyambutku itu. 

Ibu menangis kulihat. "Ibu juga tidak mengerti. Semalam dia masih baik-baik saja, Zahra. Tapi, pagi ini dia sakit parah," jelasnya. 

Kulihat Mas Rafa sedang mencoba menenangkan Andin. Aku abaikan perasaan cemburuku saat melihatnya memeluk perempuan itu. Bagaimanapun juga Andin sedang membutuhkannya. "Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?" tanyaku setelah kembali menoleh pada Ibu. 

Tiba-tiba Bapak datang dari luar kamar. "Kami memang akan membawanya ke rumah sakit, Zahra," ucapnya menimpali. 

Mas Rafa berdiri aku lihat. Lalu mengangguk pada Bapak. Ia sempat melirikku sebentar. Tampak jelas kesedihan bersarang di matanya, membuatku ikut merasakannya. 

Lalu, saat itu juga Hendri dibawa ke rumah sakit. Namun, setelah ditangani oleh pihak medis, Hendri tak memiliki kemajuan apa-apa. Hendri masih tampak lemah dan terpejam. Sampai akhirnya ia sadar dan menancapkan duri di hatiku untuk yang kesekian kalinya. 

Iya, biar aku ceritakan bagaimana sikap Hendri selama ini dalam keluarga kecilku. Hendri sangat dekat dengan Mas Rafa hingga kadang tak segan memintanya ini dan itu. Bahkan sering meminta Mas Rafa mengantar jemput Andin kala ia tidak bisa. 

Selama ini aku berusaha memaklumi setiap kali Hendri meminta tolong pada Mas Rafa untuk membantu Andin dikala dia tidak bisa. Namun, kali ini aku benar-benar tak bisa membiarkannya. 

"Mas, tolong jadikan istriku madu untuk istrimu. Jaga Andin untukku, Mas, karena aku yakin hidupku tak akan lama lagi," 

Begitu kata Hendri setelah ia mendapatkan kesadarannya. Tak hanya aku yang terkejut mendengar itu, tetapi Ibu mertuaku dan Mas Rafa pun merasakan hal yang sama. 

Sementara Andin hanya diam saja. Ia sibuk mengelap airmatanya. 

"Hendri, kamu nggak bisa maksa Mas Rafa begitu. Mbak nggak setuju!" ujarku menolak permintaan adik iparku itu. Demi apapun aku rela dia menancapkan duri lainnya selain Andin harus menjadi maduku. Sungguh aku tidak terima kenyataan itu. 

"Andin bisa mengurus hidupnya sendiri kalau memang waktumu di dunia ini tak lama lagi, Hendri," 

"Zahra!" bentak Mas Rafa saat aku mengatakan kata-kata kasar kepada Hendri. Maafkan aku karena tak bisa menahan gejolak emosi ini. "Maaf, Mas," ucapku. "Tapi, aku nggak bisa terima permintaan Hendri," tegasku. 

Hendri tampak memejamkan matanya. Napasnya terlihat tak beraturan hingga membuat semua orang cemas. Ibu sudah menangis didekatnya, dan Andin semakin takut kehilangan Hendri. Entahlah.  

"Zahra, Ibu mohon turuti saja permintaan Hendri. Ibu pun merasa hidup Hendri sudah tidak lama lagi," Tiba-tiba Ibu menghampiriku dan mengatakan itu. Dadaku terasa sesak. Kenapa Ibu mendukung Hendri? 

Aku menoleh pada Mas Rafa, dan dia hanya memandangku dengan penuh permohonan. Kakiku mundur selangkah. Naura yang aku gendong hampir saja jatuh andai Bapak dan mengambil alih dirinya dariku. "Turuti saja permintaan terakhir adik iparmu, Zahra. Selama ini Bapak sangat menyayangimu. Sekali ini tolong setujui Hendri demi Bapak," ucapnya sambil menggendong Naura. 

Ya Tuhan, kenapa semua orang menyerangku begini? Bapak, Ibu, bahkan Mas Rafa pun setuju menjadikan Andin sebagai maduku. 

Jatuh airmataku karena tak ada yang peduli pada perasaanku. 

"S-saya mohon, M-mbak," pinta Hendri dengan suaranya yang terbata. Aku menggeleng, menolak permohonannya itu. 

Mas Rafa mendekatiku, lalu tiba-tiba bersujud di kakiku. "Aku mohon, Dek. Demi Hendri," ucapnya. 

Aku tahu suamiku mampu melakukan ini mengingat betapa ia menyayangi adiknya itu. Namun, tegakah dia menduakanku? Tegakah ia menyakitiku dengan menikahi perempuan lain? Hanya itu yang kini membuatku menggelengkan kepala, tak percaya bahwa Mas Rafa sanggup menodai cinta suci kami berdua. 

"Apa Ibu perlu bersyujud di kakimu juga, Zahra?" 

Ibu mertua yang sangat aku sayangi pun ikut menyudutkanku. Semakin deras airmataku mengalir. Sakit sekali. Aku seperti dikhianati secara bersamaan oleh mereka semua. 

Bersambung. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status