***
Aku sedang memasak di dapur saat Mas Rafa berpamitan untuk pulang ke rumah mertuaku yang juga adalah Ayah dan Ibunya.
Aku heran kenapa suamiku itu tampak terburu-buru. Akhirnya aku pun melayangkan tanya ke arahnya. "Ada apa, Mas? Kenapa Mas nggak sarapan dulu?" tanyaku penasaran.
Kebetulan hari ini adalah hari minggu, sehingga Mas Rafa tidak bekerja. Seharusnya ia santai di rumah saja. Namun, lihat lah dirinya, terlihat cepat-cepat mengenakan jaket dan sepatunya. Hal itu jelas membuatku curiga.
"Hendri sakit, Dek!" Mas Rafa melirik padaku sekilas.
Mendengar itu aku segera mematikan kompor yang masih menyala. "Sakit lagi, Mas?" tanyaku meminta penjelasan.
Kini suamiku itu sudah siap untuk berangkat. Dia melangkah menuju pintu keluar. Aku pun menyusulnya. "Kata Ibu sakitnya lebih parah dari biasa. Nanti kamu nyusul ya, Mas berangkat duluan!" Ia mengulurkan tangan untuk memintaku menyalaminya seperti biasa.
Aku pun hanya bisa mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas." Nasihatku yang langsung diangguki olehnya.
Kendaraan roda Empat miliknya itu membawanya pergi dari rumah ini. Aku menghela napas dengan berat. Entah kenapa perasaanku kini terasa sangat tidak tenang. Seolah akan ada sesuatu yang besar menimpa keluarga kami.
"Ibu, Ayah ke mana?"
Aku terkejut begitu mendengar suara Naura memanggilku untuk menanyakan ke mana Ayahnya.
Aku menghampirinya sembari mengusap dada. "Ayah ke rumah Nenek duluan. Nanti kita nyusul ya Nak," ucapku.
Si kecil Naura yang masih berumur Lima tahun itu menganggukan kepalanya. Aku pun memintanya untuk bermain di ruang tamu saja. Sementara aku melanjutkan masakanku yang sempat tertunda.
Sekitar Satu jam kemudian semua pekerjaan sudah beres. Naura juga sudah mandi dan aku suapi. Namun, aku sendiri belum makan karena tak memiliki selera mengingat apa yang Mas Rafa katakan pagi tadi.
Jujur, aku sudah tak sabar ingin menyusulnya ke rumah mertuaku di mana adik iparku itu tinggal bersama istrinya.
"Nau, kita langsung ke rumah Nenek ya. Tapi, janji sama Ibu jangan nakal karena Om Hendri sedang sakit!"
Naura tampak menuruti perintahku. Lalu kami pun meninggalkan rumah dengan mobilku sendiri.
Sekitar setengah jam kemudian aku dan putriku sampai di rumah mertuaku. Dapat kudengar suara tangisan Andin dari dalam. Dia istri adik iparku. Mendengar itu membuatku semakin tak sabar untuk masuk ke dalam rumah. Segera kugendong Naura dan berlari ke sumber suara.
"Assalamu'alaikum. Maaf Bu, Zahra baru sampai. Apa yang terjadi pada Hendri, Bu?" tanyaku pada Ibu mertuaku yang langsung menyambutku itu.
Ibu menangis kulihat. "Ibu juga tidak mengerti. Semalam dia masih baik-baik saja, Zahra. Tapi, pagi ini dia sakit parah," jelasnya.
Kulihat Mas Rafa sedang mencoba menenangkan Andin. Aku abaikan perasaan cemburuku saat melihatnya memeluk perempuan itu. Bagaimanapun juga Andin sedang membutuhkannya. "Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?" tanyaku setelah kembali menoleh pada Ibu.
Tiba-tiba Bapak datang dari luar kamar. "Kami memang akan membawanya ke rumah sakit, Zahra," ucapnya menimpali.
Mas Rafa berdiri aku lihat. Lalu mengangguk pada Bapak. Ia sempat melirikku sebentar. Tampak jelas kesedihan bersarang di matanya, membuatku ikut merasakannya.
Lalu, saat itu juga Hendri dibawa ke rumah sakit. Namun, setelah ditangani oleh pihak medis, Hendri tak memiliki kemajuan apa-apa. Hendri masih tampak lemah dan terpejam. Sampai akhirnya ia sadar dan menancapkan duri di hatiku untuk yang kesekian kalinya.
Iya, biar aku ceritakan bagaimana sikap Hendri selama ini dalam keluarga kecilku. Hendri sangat dekat dengan Mas Rafa hingga kadang tak segan memintanya ini dan itu. Bahkan sering meminta Mas Rafa mengantar jemput Andin kala ia tidak bisa.
Selama ini aku berusaha memaklumi setiap kali Hendri meminta tolong pada Mas Rafa untuk membantu Andin dikala dia tidak bisa. Namun, kali ini aku benar-benar tak bisa membiarkannya.
"Mas, tolong jadikan istriku madu untuk istrimu. Jaga Andin untukku, Mas, karena aku yakin hidupku tak akan lama lagi,"
Begitu kata Hendri setelah ia mendapatkan kesadarannya. Tak hanya aku yang terkejut mendengar itu, tetapi Ibu mertuaku dan Mas Rafa pun merasakan hal yang sama.
Sementara Andin hanya diam saja. Ia sibuk mengelap airmatanya.
"Hendri, kamu nggak bisa maksa Mas Rafa begitu. Mbak nggak setuju!" ujarku menolak permintaan adik iparku itu. Demi apapun aku rela dia menancapkan duri lainnya selain Andin harus menjadi maduku. Sungguh aku tidak terima kenyataan itu.
"Andin bisa mengurus hidupnya sendiri kalau memang waktumu di dunia ini tak lama lagi, Hendri,"
"Zahra!" bentak Mas Rafa saat aku mengatakan kata-kata kasar kepada Hendri. Maafkan aku karena tak bisa menahan gejolak emosi ini. "Maaf, Mas," ucapku. "Tapi, aku nggak bisa terima permintaan Hendri," tegasku.
Hendri tampak memejamkan matanya. Napasnya terlihat tak beraturan hingga membuat semua orang cemas. Ibu sudah menangis didekatnya, dan Andin semakin takut kehilangan Hendri. Entahlah.
"Zahra, Ibu mohon turuti saja permintaan Hendri. Ibu pun merasa hidup Hendri sudah tidak lama lagi," Tiba-tiba Ibu menghampiriku dan mengatakan itu. Dadaku terasa sesak. Kenapa Ibu mendukung Hendri?
Aku menoleh pada Mas Rafa, dan dia hanya memandangku dengan penuh permohonan. Kakiku mundur selangkah. Naura yang aku gendong hampir saja jatuh andai Bapak dan mengambil alih dirinya dariku. "Turuti saja permintaan terakhir adik iparmu, Zahra. Selama ini Bapak sangat menyayangimu. Sekali ini tolong setujui Hendri demi Bapak," ucapnya sambil menggendong Naura.
Ya Tuhan, kenapa semua orang menyerangku begini? Bapak, Ibu, bahkan Mas Rafa pun setuju menjadikan Andin sebagai maduku.
Jatuh airmataku karena tak ada yang peduli pada perasaanku.
"S-saya mohon, M-mbak," pinta Hendri dengan suaranya yang terbata. Aku menggeleng, menolak permohonannya itu.
Mas Rafa mendekatiku, lalu tiba-tiba bersujud di kakiku. "Aku mohon, Dek. Demi Hendri," ucapnya.
Aku tahu suamiku mampu melakukan ini mengingat betapa ia menyayangi adiknya itu. Namun, tegakah dia menduakanku? Tegakah ia menyakitiku dengan menikahi perempuan lain? Hanya itu yang kini membuatku menggelengkan kepala, tak percaya bahwa Mas Rafa sanggup menodai cinta suci kami berdua.
"Apa Ibu perlu bersyujud di kakimu juga, Zahra?"
Ibu mertua yang sangat aku sayangi pun ikut menyudutkanku. Semakin deras airmataku mengalir. Sakit sekali. Aku seperti dikhianati secara bersamaan oleh mereka semua.
.
.
Bersambung.
***Aku pikir semua yang terjadi kemarin hanya lah sebuah mimpi. Namun, nyatanya aku salah. Hendri telah tiada dan Andin akan segera menjadi maduku.Ibu, Bapak dan Mas Rafa memohon padaku agar menyetujui permintaan Hendri saat napas Hendri terasa semakin memendek. Andin pun melakukan hal yang sama. Wanita itu bahkan bersujud di kakiku. Berjanji bila aku menerimanya sebagai madu, maka ia akan bersikap baik kepadaku.Sungguh bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan di madu, tetapi hatiku yang tidak siap. Aku tak sanggup seseorang masuk ke dalam rumah tangga kami.Lalu, Ibu memberi pilihan untuk bercerai saja dari Mas Rafa jika tak ingin di madu. Dan, Naura akan diasuh oleh mereka. Semakin hancur hatiku mendengar pilihan itu. Aku tidak bisa berpisah dari Naura. Oleh karena itu aku akhirnya menerima Andin sebagai istri Kedua Mas Rafa. Andin juga berjanji untuk selalu menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa. Kemarin pula aku berjanji di depan Hendri bahwa Andin akan segera dinikahk
***Mas Rafa menatapku lekat. "Benar apa yang Andin katakan Zahra?" tanya Mas Rafa kepadaku. Kepalaku menggeleng menjawab pertanyaannya. Mas Rafa tak percaya pada kebohongan yang Andin katakan, kan? "Benar Mas, masa aku bohong? Aku jujur dengan perkataanku, Mas," ucap Andin. Dia merengek di depan Mas Rafa. Dahiku berkerut melihat tingkahnya. Kenapa semakin berani si Andin ini? Tak memandangku dia. "Zahra tolong jangan menyakiti Andin. Bagaimanapun juga dia istri Mas juga. Kamu tentu tidak lupa kan akan janjimu pada Hendri?" "Astagfirullah, Mas! Andin berbohong. Mana mungkin aku menyakiti Andin. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku saja bingung kenapa Andin memfitnahku begini," Aku mencoba membela diri. "Andin tadi Mbak memintamu baik-baik. Lalu kenapa kamu berkata yang tidak-tidak pada Mas Rafa?" Aku mengalihkan tatapan mataku pada Andin. Demi apapun Andin berubah. Sifat aslinya kini terlihat jelas. Aku pun tak yakin kesedihan yang Andin tunjukan adalah karena kehilang
***Hari-hari bagai neraka bagiku setelah itu. Mas Rafa terus-terusan berada di sisi Andin apapun yang dia lakukan. Aku masih membiarkannya.Sampai akhirnya sikap Andin benar-benar mengujiku di pagi ini saat kami sedang sarapan. Andin berani menyakiti Naura, putriku. Wanita tak tahu diri itu menyalahkan Naura karena Naura tak sengaja menumpahkan air minum ke bajunya. "Anak kurang ajar! Kamu tidak punya mata?" bentaknya hingga membuat aku segera meraih Naura dan menyembunyikannya di belakangku. Sungguh, Naura tak sengaja menumpahkannya hingga baju Andin basah. Naura hanya ingin memberikannya pada Andin yang tersedak. Entah pura-pura tersedak demi mendapatkan perhatian Mas Rafa atau bagaimana aku pun tak paham. Namun, sikap baik putriku berimbas menyakiti diri sendiri seperti ini. "Andin jangan keterlaluan, Nau tidak sengaja," tegurku masih dengan nada suara yang sederhana. Namun, perempuan yang pernah menjadi adik iparku itu tampak tidak terima. Ia menatapku tajam. "Mbak jangan be
***Aku tak ingin semua masalah ini menjadi tanda tanya bagiku. Akan aku cari kebenaran tentang hubungan Mas Rafa dan maduku itu sebelum menikah agar aku dapat mengambil langkah. Sungguh aku bukan perempuan yang sabar dengan segala keadaan ini. Siapa kira-kira yang dapat aku tanyai soal ini? "Ibu?" Mertuaku kah? Namun, aku menggelengkan kepala. Daripada bertanya pada Ibu lebih baik aku menggeledah kamar Andin yang saat ini ditempatinya bersama Mas Rafa. Bergegas aku ke sana hingga melupakan Naura. "Ibu mau ke mana?" tanya anak semata wayangku itu. Aku pun menyadari keberadaannya yang masih ada di ruang makan. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Sejak tadi Naura ketakutan karena melihat pertengkaran kami. Aku pun menghampiri. "Maafkan Ibu yang melupakanmu, Nau. Ayo ikut Ibu ke kamar. Kamu istirahat dulu di sana, Ibu ada urusan sebentar." Lantas aku segera menggandeng tangannya. "Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyanya. Aku bingung harus menjawab apa. Namun, tiba-tiba aku mengingat sesu
***Andin si madu yang mendadak menjadi ratu di rumahku ternyata benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Mas Rafa sebelum mereka menikah. Mas Rafa juga mengkhianati adik kesayangannya yang sakit-sakitan. Sungguh biadab! Aku tak tahan mendapati kenyataan ini. Namun, jikalau aku meninggalkan rumah ini selamanya, maka aku akan dinyatakan kalah. Aku tidak mau itu terjadi. "Andin!" Sore hari setelah Andin mengakui perbuatannya dengan Mas Rafa, aku pergi dari rumah. Bukan minggat, tapi aku menemui mertuaku. Ingin mengadukan semua perbuatan Mas Rafa selama ini kepadanya. Memang aku sempat menangis, tetapi lebih baik aku mencari dukungan dari Ibu mertuaku. Paling tidak ia bisa memarahi Mas Rafa. "Ada apa dengan Andin, Zahra?" tanya Ibu dengan dahi yang berkerut dalam. Airmataku jatuh lagi. Lelah rasanya hati ini menerima kenyataan tentang perbuatan Mas Rafa. "Dia telah lama berselingkuh dengan Mas Rafa, Bu," terangku sembari pecahnya tangis ini. Hati perempuan mana yang tak sakit s
***Sesampainya di apartemen Sabrina aku tak bisa menumpahkan airmataku karena ada Naura di antara kami berdua. Sekadar informasi, Sabrina sudah lama menjanda sejak suaminya pergi untuk selamanya. Ia belum berminat untuk menikah lagi karena merasa belum ada yang cocok dengannya. "Kenapa wajahmu murung, Zahra?" tanya Sabrina kepadaku saat sudah lebih dari Lima menit kami duduk di ruang tamu. Aku meliriknya, lalu melirik Naura. Sabrina seperti mengerti keinginanku. Ia mendekati Naura lalu memintanya untuk bermain di kamar saja. "Ada boneka beruang tante yang besar di sana. Coba Nau lihat," ucapnya merayu Naura. Dengan cepat putriku meninggalkan kami berdua. "Ada apa?" Sabrina kembali bertanya. Kini airmata yang tadi sempat aku bendung terjatuh juga. "Mas Rafa selingkuh, Sab," isakku. "Selingkuh bagaimana maksudmu, Zahra? Rafa belum puas juga punya istri Dua?" Aku menggelengkan kepala. "Mas Rafa sudah lama selingkuh dengan Andin, Sab," terangku dengan airmata yang semakin mengali
***Andin salah bila berpikir aku bertahan untuk menerima luka darinya atau Mas Rafa. Aku sekalian ingin membuktikan bahwa dia tak bisa berbuat seenaknya di rumah ini. Selamanya yang akan menjadi ratu adalah diriku. Bukan Andin meski ia berhasil membuai Mas Rafa dalam godaannya. "Masak apa kamu hari ini, Dek?" Aku menghentikan kegiatanku yang sedang menata masakan di atas meja saat mendengar suara lelaki yang telah menggores luka di hatiku itu. Kepalan tanganku menunjukan bahwa diriku sedang berusaha menahan amarah. Ingat, aku sudah memutuskan untuk memberi Mas Rafa kesempatan. "Masak tumis pakis kesukaanmu, Mas. Ada ikan goreng juga," jawabku sembari menoleh padanya. Senyum di bibirku penuh paksa andai Mas Rafa tahu, tapi sepertinya ia tidak peduli. "Kamu masih marah soal pagi tadi?" Pertanyaan Mas Rafa membuatku terkejut. Apa dia menyesal memperlakukan kami secara tidak adil? "Mas minta maaf ya. Mas khilaf," ucapnya. Lega perasaan ini mendengar penyesalan itu dari hatinya. "
***Aku pandangi wajah Naura yang sedang tertidur lelap. Dalam hati terbesit penyesalan atas apa yang terjadi dalam keluarga kecil kami ini."Kasihan kamu, Nak. Ayahmu bukan lagi kesatria seperti dulu. Dia pecundang yang telah membohongi kita selama ini,""Maafkan Ibu ya, karena tak mampu menjaga Ayah."Airmata mungkin mengering, tetapi sesak di dada tak kunjung reda. Duri yang Mas Rafa tancapkan diam-diam seolah selalu memberi peringatan padaku atas perilaku kejamnya."Ibu janji akan berada di sisi Ayah selama bisa membuatmu bahagia, Nau," bisikku. Sakit memang dikhianati, tetapi berpisah dengan Mas Rafa bukan pilihan yang tepat.Aku harus bertahan.Kurebahkan tubuh ini di sisi Naura, lalu berusaha ikut memejamkan mata. Namun, sulit bagiku untuk menjemput kantuk. Rumah tangga yang aku anggap baik-baik saja harus hancur dalam sekejap karena orang ketiga. Memang benar kini Andin telah menjadi istri M