***
Aku pikir semua yang terjadi kemarin hanya lah sebuah mimpi. Namun, nyatanya aku salah. Hendri telah tiada dan Andin akan segera menjadi maduku.
Ibu, Bapak dan Mas Rafa memohon padaku agar menyetujui permintaan Hendri saat napas Hendri terasa semakin memendek. Andin pun melakukan hal yang sama. Wanita itu bahkan bersujud di kakiku. Berjanji bila aku menerimanya sebagai madu, maka ia akan bersikap baik kepadaku.
Sungguh bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan di madu, tetapi hatiku yang tidak siap. Aku tak sanggup seseorang masuk ke dalam rumah tangga kami.
Lalu, Ibu memberi pilihan untuk bercerai saja dari Mas Rafa jika tak ingin di madu. Dan, Naura akan diasuh oleh mereka. Semakin hancur hatiku mendengar pilihan itu. Aku tidak bisa berpisah dari Naura. Oleh karena itu aku akhirnya menerima Andin sebagai istri Kedua Mas Rafa. Andin juga berjanji untuk selalu menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa.
Kemarin pula aku berjanji di depan Hendri bahwa Andin akan segera dinikahkan dengan Mas Rafa begitu masa idahnya selesai. Sampai akhirnya, Hendri mengembuskan napas terakhirnya.
Hendri langsung di makamkan kemarin pula.
Namun, hari ini rumah Ibu mertuaku masih dipenuhi kesedihan atas meninggalnya Hendri. Jujur aku juga merasa kehilangan meski Hendri kerap kali mengecewakan. Bagaimanapun juga dia tetap adik iparku.
Dari jarak Lima langkah aku melihat Mas Rafa sedang berusaha menenangkan Andin.
"Sabar ya Andin, Mas Rafa di sini. Mas akan berusaha menjaga amanat Handri," ucap Mas Rafa sembari memeluk Andin. Tentu aku harus menahan rasa cemburu karena Andin membutuhkan Mas Rafa meski mereka belum resmi menjadi pasangan suami istri. Sudah seharusnya Mas Rafa menyayangi Andin seperti yang Hendri harapkan.
Aku mendekat setelah membiarkan Naura menyusul neneknya keluar. Seperti yang Mas Rafa lakukan, aku pun ikut mendekap bahu Andin. "Iya, Ndi, kamu yang sabar ya. Mbak juga akan jagain kamu seperti adik sendiri," ucapku ikut menenangkan.
Andin yang masih menangis menoleh padaku. "Terima kasih, Mbak," balasnya. Lalu kembali menoleh pada Mas Rafa. "Mas, tolong temanin aku ke kamar," pintanya.
Mas Rafa menoleh padaku, seperti meminta izin. Aku hanya bisa mengangguk mengiakan. Mereka berdua pun menuju kamar yang dulu Andin dan Hendri tempati. Kugigit bibirku kuat saat pintu kamar ditutup oleh Mas Rafa ketika keduanya masuk ke sana. Ada gejolak rasa cemburu di hati ini, tetapi sebisa mungkin aku menepisnya. Semua demi amanat Hendri yang terlanjur aku setujui. Semua demi Naura yang seharusnya mendapatkan kasih sayang utuh.
***
Hari-hari berlalu setelah itu. Tidak terasa Dua bulan sudah Hendri meninggalkan dunia ini. Andin pun telah tinggal di rumah kami. Dia resmi menjadi istri kedua suamiku.
Andin sangat manja pada Mas Rafa. Dia selalu membutuhkan Mas Rafa. Dia juga tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah seperti diriku. Hal itu aku maklumi karena berpikir Andin masih sedih pasca Hendri meninggal.
Namun, rasa maklum itu hilang kala memasuki bulan Ketiga. Sikap Andin mulai terlihat keasliannya.
"Ndin, Naura rindu Ayahnya," ucapku membuka obrolan pagi itu bersamanya di dapur saat kami berpas-pasan ingin minum.
"Maksud Mbak Zahra?" Andin bertanya. Aku tersenyum lembut membalas kebingungannya.
"Biarkan Mas Rafa tidur di kamar kami malam ini ya? Kamu pasti sudah bisa tidur sendiri, kan," pintaku dengan baik-baik.
Namun, tahu apa balasannya? Andin mengempaskan gelas yang ia pegang ke atas meja. Beruntung gelas tersebut tak sampai pecah. Sungguh aku terkejut melihatnya.
"Mbak nggak lihat aku masih sedih begini?" tanyanya sambil menatap tajam diriku.
Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa maduku berubah kasar seperti ini hanya karena aku ingin Mas Rafa menginap di kamarku malam nanti. Semua juga karena Naura yang hampir setiap malam menanyakan keberadaan ayahnya. Aku kasihan padanya hingga bicara baik-baik pada Andin. Namun, balasannya justru sebaliknya.
"Mbak nggak kasihan sama aku? Kalau bukan Mas Hendri meninggal, aku juga nggak akan menikah dengan Mas Rafa begini!" ujar madu wasiat adik iparku itu.
Jantungku berdebar kencang mendengar kata demi kata yang dia keluarkan. Ke mana sikap santunnya? Bukankah dia berjanji akan menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa? Tapi, kenapa dia seolah menjadi ratu di rumah ini? Seenaknya sendiri tanpa memikirkan perasaanku dan Naura. Aku saja terkejut karena Mas Rafa tak lagi tidur sekamar denganku, bagaimana dengan Naura? Tentu ia bertanya-tanya kenapa ayahnya tak lagi bersama kami.
"Oh, atau Mbak cemburu karena setiap malam Mas Rafa tidur di kamarku?"
Mendengar itu membuatku kesal. "Andin!" ujarku bermaksud mendegurnya. Namun, suara lain ikut membentak setelah itu. "Ada apa ini?" Mas Rafa, dia pemilik pertanyaan itu.
Aku menoleh, sedangkan Andin tiba-tiba berlari lalu memeluk Mas Rafa mesra. "Mas tolongin, Mbak Zahra bentak-bentak aku," adunya. "Mbak Zahra nggak suka Mas Rafa tidur di kamarku setiap malam. Padahal kan aku masih butuh Mas Rafa," ucapnya melanjutkan.
Aku terdiam, tak menyangka Andin akan mengadu seperti itu pada Mas Rafa. Kini aku tahu tujuan Andin menjadi istri Kedua Mas Rafa. Dia ingin menjadi ratu setelah menjadi madu. Aku yang tertipu karena mempercayai janjinya waktu itu.
.
.
Bersambung.
***Mas Rafa menatapku lekat. "Benar apa yang Andin katakan Zahra?" tanya Mas Rafa kepadaku. Kepalaku menggeleng menjawab pertanyaannya. Mas Rafa tak percaya pada kebohongan yang Andin katakan, kan? "Benar Mas, masa aku bohong? Aku jujur dengan perkataanku, Mas," ucap Andin. Dia merengek di depan Mas Rafa. Dahiku berkerut melihat tingkahnya. Kenapa semakin berani si Andin ini? Tak memandangku dia. "Zahra tolong jangan menyakiti Andin. Bagaimanapun juga dia istri Mas juga. Kamu tentu tidak lupa kan akan janjimu pada Hendri?" "Astagfirullah, Mas! Andin berbohong. Mana mungkin aku menyakiti Andin. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku saja bingung kenapa Andin memfitnahku begini," Aku mencoba membela diri. "Andin tadi Mbak memintamu baik-baik. Lalu kenapa kamu berkata yang tidak-tidak pada Mas Rafa?" Aku mengalihkan tatapan mataku pada Andin. Demi apapun Andin berubah. Sifat aslinya kini terlihat jelas. Aku pun tak yakin kesedihan yang Andin tunjukan adalah karena kehilang
***Hari-hari bagai neraka bagiku setelah itu. Mas Rafa terus-terusan berada di sisi Andin apapun yang dia lakukan. Aku masih membiarkannya.Sampai akhirnya sikap Andin benar-benar mengujiku di pagi ini saat kami sedang sarapan. Andin berani menyakiti Naura, putriku. Wanita tak tahu diri itu menyalahkan Naura karena Naura tak sengaja menumpahkan air minum ke bajunya. "Anak kurang ajar! Kamu tidak punya mata?" bentaknya hingga membuat aku segera meraih Naura dan menyembunyikannya di belakangku. Sungguh, Naura tak sengaja menumpahkannya hingga baju Andin basah. Naura hanya ingin memberikannya pada Andin yang tersedak. Entah pura-pura tersedak demi mendapatkan perhatian Mas Rafa atau bagaimana aku pun tak paham. Namun, sikap baik putriku berimbas menyakiti diri sendiri seperti ini. "Andin jangan keterlaluan, Nau tidak sengaja," tegurku masih dengan nada suara yang sederhana. Namun, perempuan yang pernah menjadi adik iparku itu tampak tidak terima. Ia menatapku tajam. "Mbak jangan be
***Aku tak ingin semua masalah ini menjadi tanda tanya bagiku. Akan aku cari kebenaran tentang hubungan Mas Rafa dan maduku itu sebelum menikah agar aku dapat mengambil langkah. Sungguh aku bukan perempuan yang sabar dengan segala keadaan ini. Siapa kira-kira yang dapat aku tanyai soal ini? "Ibu?" Mertuaku kah? Namun, aku menggelengkan kepala. Daripada bertanya pada Ibu lebih baik aku menggeledah kamar Andin yang saat ini ditempatinya bersama Mas Rafa. Bergegas aku ke sana hingga melupakan Naura. "Ibu mau ke mana?" tanya anak semata wayangku itu. Aku pun menyadari keberadaannya yang masih ada di ruang makan. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Sejak tadi Naura ketakutan karena melihat pertengkaran kami. Aku pun menghampiri. "Maafkan Ibu yang melupakanmu, Nau. Ayo ikut Ibu ke kamar. Kamu istirahat dulu di sana, Ibu ada urusan sebentar." Lantas aku segera menggandeng tangannya. "Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyanya. Aku bingung harus menjawab apa. Namun, tiba-tiba aku mengingat sesu
***Andin si madu yang mendadak menjadi ratu di rumahku ternyata benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Mas Rafa sebelum mereka menikah. Mas Rafa juga mengkhianati adik kesayangannya yang sakit-sakitan. Sungguh biadab! Aku tak tahan mendapati kenyataan ini. Namun, jikalau aku meninggalkan rumah ini selamanya, maka aku akan dinyatakan kalah. Aku tidak mau itu terjadi. "Andin!" Sore hari setelah Andin mengakui perbuatannya dengan Mas Rafa, aku pergi dari rumah. Bukan minggat, tapi aku menemui mertuaku. Ingin mengadukan semua perbuatan Mas Rafa selama ini kepadanya. Memang aku sempat menangis, tetapi lebih baik aku mencari dukungan dari Ibu mertuaku. Paling tidak ia bisa memarahi Mas Rafa. "Ada apa dengan Andin, Zahra?" tanya Ibu dengan dahi yang berkerut dalam. Airmataku jatuh lagi. Lelah rasanya hati ini menerima kenyataan tentang perbuatan Mas Rafa. "Dia telah lama berselingkuh dengan Mas Rafa, Bu," terangku sembari pecahnya tangis ini. Hati perempuan mana yang tak sakit s
***Sesampainya di apartemen Sabrina aku tak bisa menumpahkan airmataku karena ada Naura di antara kami berdua. Sekadar informasi, Sabrina sudah lama menjanda sejak suaminya pergi untuk selamanya. Ia belum berminat untuk menikah lagi karena merasa belum ada yang cocok dengannya. "Kenapa wajahmu murung, Zahra?" tanya Sabrina kepadaku saat sudah lebih dari Lima menit kami duduk di ruang tamu. Aku meliriknya, lalu melirik Naura. Sabrina seperti mengerti keinginanku. Ia mendekati Naura lalu memintanya untuk bermain di kamar saja. "Ada boneka beruang tante yang besar di sana. Coba Nau lihat," ucapnya merayu Naura. Dengan cepat putriku meninggalkan kami berdua. "Ada apa?" Sabrina kembali bertanya. Kini airmata yang tadi sempat aku bendung terjatuh juga. "Mas Rafa selingkuh, Sab," isakku. "Selingkuh bagaimana maksudmu, Zahra? Rafa belum puas juga punya istri Dua?" Aku menggelengkan kepala. "Mas Rafa sudah lama selingkuh dengan Andin, Sab," terangku dengan airmata yang semakin mengali
***Andin salah bila berpikir aku bertahan untuk menerima luka darinya atau Mas Rafa. Aku sekalian ingin membuktikan bahwa dia tak bisa berbuat seenaknya di rumah ini. Selamanya yang akan menjadi ratu adalah diriku. Bukan Andin meski ia berhasil membuai Mas Rafa dalam godaannya. "Masak apa kamu hari ini, Dek?" Aku menghentikan kegiatanku yang sedang menata masakan di atas meja saat mendengar suara lelaki yang telah menggores luka di hatiku itu. Kepalan tanganku menunjukan bahwa diriku sedang berusaha menahan amarah. Ingat, aku sudah memutuskan untuk memberi Mas Rafa kesempatan. "Masak tumis pakis kesukaanmu, Mas. Ada ikan goreng juga," jawabku sembari menoleh padanya. Senyum di bibirku penuh paksa andai Mas Rafa tahu, tapi sepertinya ia tidak peduli. "Kamu masih marah soal pagi tadi?" Pertanyaan Mas Rafa membuatku terkejut. Apa dia menyesal memperlakukan kami secara tidak adil? "Mas minta maaf ya. Mas khilaf," ucapnya. Lega perasaan ini mendengar penyesalan itu dari hatinya. "
***Aku pandangi wajah Naura yang sedang tertidur lelap. Dalam hati terbesit penyesalan atas apa yang terjadi dalam keluarga kecil kami ini."Kasihan kamu, Nak. Ayahmu bukan lagi kesatria seperti dulu. Dia pecundang yang telah membohongi kita selama ini,""Maafkan Ibu ya, karena tak mampu menjaga Ayah."Airmata mungkin mengering, tetapi sesak di dada tak kunjung reda. Duri yang Mas Rafa tancapkan diam-diam seolah selalu memberi peringatan padaku atas perilaku kejamnya."Ibu janji akan berada di sisi Ayah selama bisa membuatmu bahagia, Nau," bisikku. Sakit memang dikhianati, tetapi berpisah dengan Mas Rafa bukan pilihan yang tepat.Aku harus bertahan.Kurebahkan tubuh ini di sisi Naura, lalu berusaha ikut memejamkan mata. Namun, sulit bagiku untuk menjemput kantuk. Rumah tangga yang aku anggap baik-baik saja harus hancur dalam sekejap karena orang ketiga. Memang benar kini Andin telah menjadi istri M
***Sabtu pagi aku sudah siap dengan gamis panjang dan jilbab segiempat yang menutup dada. Hari ini Sabrina mengajakku bertemu temannya sesuai janji.Bersama Naura aku menuju apartemen Sabrina. Kami sengaja datang lebih awal agar Sabrina tak menunggu lama. Urusan rumah tangga juga bukan aku yang urus diwaktu weekend ini, tetapi tugas Andin. Memang maduku itu belum keluar kamar bersama Mas Rafa sepagian ini, tetapi aku tidak peduli.Kebetulan Sabrina juga sudah menawari untuk sarapan bersama di apartemennya."Serius betul kamu, Ra," ucap Sabrina saat melihat aku antusias sekali ingin membuka toke kue."Tentu. Aku ingin membuktikan pada Mas Rafa dan maduku itu bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa uang mereka, Sab," balasku."Aku yakin toko kuemu akan sukses, Ra. Temanku ini jago dalam mengelola tokonya. Kamu bisa belajar banyak darinya nanti,"Aku senang sekali mendengar Sabrina berkata seperti itu. "Aa
*** Tiga tahun kemudian hidupku cukup memiliki perubahan. Dalam ruang sidang waktu itu sungguh bukan pertemuan terakhirku dengan mas Rafa. Sesuai janji, aku mengizinkannya untuk bertemu Naura sekira dia rindu. Dan, benar saja mas Rafa intens bertemu Naura dalam tahun pertama perpisahan kami. Lalu tahun-tahun berikutnya beberapa kali dia menemui Naura karena dia akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar Kota. Sementara kepada Andin, aku benar-benar iba karena wanita itu menjadi gila. Setelah diceraikan oleh mas Rafa, Andin turut kehilangan anaknya. Bayi perempuan itu meninggal dunia karena sakit. Andin kehilangan kewarasannya hingga terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beberapa kali aku datang ke sana hanya sekadar untuk menjenguknya. Andin selalu meracau, meminta maaf karena gagal menjadi seorang ibu. Sesekali dia juga berkata kasar tentangku, mungkin karena dirinya masih memiliki dendam. Namun, hal itu tak membuatku membencinya. Aku justru merasa sangat iba. Oleh karena itu, setia
*** “Rafa akhirnya lepasin kamu, Ra?” tanya Sabrina saat pertama kali aku datang ke apartemennya setelah pamit menjemput koper. Aku mengembuskan napas dengan berat. Entah harus mulai dari mana aku bercerita, tetapi aku tahu Sabrina ingin mendengar semuanya. “Sab jangan terkejut,” ucapku sambil menyimpan koper secara sembarangan. Aku mengempaskan diri ke sofa ruang tamu, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Naura. “Lagi main di kamarku. Ada apa?” Sabrina seakan paham apa yang sedang aku lakukan. Aku pun mengangguk singkat sambil mengembuskan napas lega. Mataku kini fokus pada Sabrina. “Mas Rafa menjatuhkan talak pada Andin lebih dulu,” terangkan. Pupil mata Sabrina melebar mendengar itu. “Apa?” tanyanya tidak percaya. “Mas Rafa tahu soal perselingkuhan Andin. Ditambah tadi dia bilang Andin tidur dengan banyak pria,” “Huh?” Sabrina belum juga reda dari terkejutnya. “Tapi nggak aneh sih, madumu itu kan memang suka sama banyak lelaki,” kekehnya melanjutkan. Aku hanya mengedikan
***Pertengkaran itu terjeda saat Andin datang mendekat dari arah kamarnya. Sejenak aku menoleh dan sadar tujuan Andin jelas ke arahku dan mas Rafa.Kutarik napas dalam-dalam saat dia dengan sengaja berhenti di sisi mas Rafa sambil bersedekap dada. Biar kutebak, Andin senang melihat pertengkaran kami ini. Namun, aku benar-benar tidak peduli. Kembali aku menatap Mas Rafa, tanpa ekspresi, seolah segala rasa sakit tak dapat lagi kugambarkan lewat tatapan. "Tukang selingkuh seperti Mas tidak berhak bertanya seperti itu kepadaku," balasku tegas. Mas Rafa terlihat terkejut. Ia menatapku dengan pupil mata yang melebar, lalu menoleh pada Andin yang tersenyum sinis sembari menundukan pandangannya. "Kamu masih membahas soal itu?" tanyanya seakan perselingkuhannya bukan dalang terbesar hingga membuatku ingin berpisah seperti ini. Kalau saja boleh aku meludah di depannya, maka mungkin sekarang aku akan meludah. Namun, aku masih memiliki etika dan sopan santun. "Tidak usah bertanya seperti itu
***Aku tak main-main soal ucapanku yang ingin mengadukan perbuatan mas Rafa. Sehari setelah perdebatan kecil kami, aku tak segan memberinya peringatan sekali lagi. Hanya saja dia tetap tidak peduli. Dirinya masih keras kepala ingin mempertahankanku dan pernikahan kami.Lalu hari ini rencanaku sudah benar-benar bulat ingin pergi.“Bu, kita mau ke mana?” tanya Naura. Iya, kini aku tengah sibuk memasukan semua pakaian ke dalam koper.“Pergi Nak, sudah saatnya kita tinggalkan rumah ini,” jawabku tegas. Naura terdiam. Dia menunduk dalam saat aku menoleh padanya. Mungkinkah hatinya sedih karena pada akhirnya aku dan ayahnya akan berpisah? Mendadak rasa bersalah menyelimuti hati kecilku. Namun, aku tak bisa mengalah kali ini.“Maafkan Ibu ya Nau,” ucapku sembari memeluknya. Naura lagi-lagi diam. Aku menarik napas dalam-dalam. “Ibu antar ke rumah tante Sabrina ya Nau.” Aku raih tangannya sambil tersenyum, berharap senyum ini dapat menenangkan hatinya yang gelisah.Naura akhirnya mengangguk p
***“Aku tetap tidak mengizinkan, Zahra!” ujar mas Rafa keras kepala. “Sebaiknya kamu masuk ke kamarmu sekarang.” Dia memalingkan wajahnya setelah mengatakan itu. Aku menggeleng tak percaya, dirinya masih saja tak ingin melepaskanku setelah apa yang dia lakukan. “Mas!” Rasanya aku sudah tak tahan lagi.Namun, terpaksa aku menghentikan perdebatan ini saat Naura terdengar memaksa Rani untuk keluar dari kamar kami. Kutarik napas dalam, lalu aku embuskan secara perlahan. Kubawa langkahku pergi dari ruang tamu, akan tetapi bukan berarti aku setuju untuk tetap mempertahankan rumah tangga kami.“Ibu!” panggil Naura saat aku membuka pintu. Mata gadis kecilku itu terlihat memerah, menahan tangis. Kupeluk dia dengan erat. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya. Terpaksa kepala ini mengangguk agar dia tak khawatir.Aku alihkan pandanganku kepada Rani. Kulihat gadis itu menggigit bibirnya. “Aku nggak apa-apa, Ran. Terima kasih ya sudah menjaga Naura untukku,” ucapku tulus. Rani mengangguk singkat.“Sekar
***Sesuai yang ibunya mas Rafa katakan, beliau membawaku ke rumah sakit setelah itu. Tak lupa aku menelpon Sabrina agar dia datang menemani. Namun, ternyata dia tak datang sendirian. Ada Arlan dan Ari bersamanya.“Ini udah keterlaluan banget sih, Ra! Beraninya Rafa mukulian kamu sampai berdarah-darah!” ujar Sabrina marah. Dia tampak tak peduli meskipun ibu mertuaku juga ada di ruangan yang sama dengan kami.“Sab,” tegurku merasa tak tega melihat ekspresi bersalah di wajah Ibu. Mungkin dia sekarang sadar anak yang dia bela sanggup memukuli seorang wanita.Sabrina melirik malas ke arah ibu. “Maaf Bu, tapi sebagai satu-satunya sahabat Zahra dan satu-satunya keluarga baginya, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan laporin masalah ini ke pihak berwajib!” tegasnya.Aku meringis. “Sudah Sabrina, cukup. Masalah ini kita bicarakan nanti saja,” pintaku memohon pengertiannya.Namun, aku lihat Ibu menggelengkan kepalanya. “Zahra benar kamu mau pisah dari Rafa?” tanyanya dengan mata yang berkaca-k
***Bukti perselingkuhan mas Rafa dengan Alin membuat Mbak Diah tersenyum lebar. Pengacaraku itu yakin tak akan ada halangan untukku berpisah dari mas Rafa.“Untung aku ngadu ke Arlan,” kekeh Sabrina membanggakan dirinya.Aku mengangguk singkat. “Terima kasih,” ucapku.“Makasih ke Arlan udah, Ra?” tanya Sabrina.Sekali lagi aku menganggukkan kepala.“Terus sekarang gimana, Mbak?” Aku mengalihkan tatapan pada mbak Diah. Tahu betul Sabrina ingin menggodaku lagi soal mas Arlan, makanya segera kualihkan saja pandangan ini pada mbak Diah.Wanita berkaca mata itu menjelaskan langkah kami selanjutnya. Cukup lama kudengarkan penjabarannya hingga hasil akhirnya adalah aku hanya perlu menunggu beberapa waktu lagi untuk benar-benar berpisah dari mas Rafa.Jujur, kesedihan terasa di hati ini sebab masih tak kusangka rumah tangga yang dulu harmonis kini hancur tak bersisa. Namun, bertahan dengan lelaki itu bukan jalan yang aku mau. Luka yang dia beri terlalu dalam kurasa.“Sekarang kamu hanya haru
Usai menemui Sabrina dan pengacara yang di rekomendasikannya Dua hari yang lalu, aku terus menerus termenung sendirian di teras belakang toko kueku. Dokumen yang diminta oleh pengacaraku cukup rumit. Terlebih bukti perselingkuhan mas Rafa sebelum dia menikahi Andin. Namun, fakta bahwa dia sudah cukup lama tak menafkahiku secara bathin maupun materi membuat pengacaraku berkata kami memiliki jalan untuk mengajukan perceraian ke pengadilan.Akan tetapi, aku tak puas bila masih ada celah untuknya mempertahankan pernikahan ini. Sebab, aku benar-benar ingin kami berpisah. Aku sudah tidak mencintainya lagi. Luka yang pernah dia torehkan dihatikan sudah cukup dalam dan pedih. Tak mampu diriku menyembuhkannya meskipun mas Rafa telah berubah.Makanya kini aku sedang berpikir keras, apa sekiranya yang dapat kujadikan bukti agar tuntutanku di pengadilan semakin sempurna.Aku mendesah berat. Tiba-tiba suara Sinta mengintrupsi diriku.“Ada apa Sin?”“Ada tamu,” jawab Sinta ketika aku bertanya.Dahi
***“Siapa sebenarnya yang bicara dengan lelaki itu?” bisik Sabrina. Sejak tadi dia terlihat sangat penasaran dan tidak sabaran. Sama halnya denganku sebenarnya, tapi aku berusaha untuk tak terlalu mencolok. Kami bisa saja ketahuan oleh selingkuhan Andin.“Apa mungkin itu madumu, Ra?” Sabrina kembali berbisik. Aku menggeleng, tak ingin menduga-duga.“Rama. Nama lelaki itu Rama, Sab. Dia juga sudah dipecat dari kantorku,” Mas Arlan tiba-tiba menyebutkan nama lelaki itu.Aku dan Sabrina tidak tahu siapa namanya. Bahkan Sabrina yang pernah menguntitnya saja tidak tahu namanya.“Ohh, jadi namanya Rama?” Sabrina membeo. Mas Arlan mengangguk singkat sebagai jawaban.“Jangan-jangan dia sedang bicara dengan Andin? Terus anak yang Andin lahirkan ternyata benar anaknya!”“Tapi Andin bilang itu anak mas Rafa, Sab,” sahutku tak kalah pelan.Sabrina berdecak sebal. “Andin kan tukang bohong, Ra! Bisa saja kan dia bicara seperti itu agar dia merasa benar,” ucapnya.Entahlah, aku tak tahu. Tak pentin