***Aku pandangi wajah Naura yang sedang tertidur lelap. Dalam hati terbesit penyesalan atas apa yang terjadi dalam keluarga kecil kami ini."Kasihan kamu, Nak. Ayahmu bukan lagi kesatria seperti dulu. Dia pecundang yang telah membohongi kita selama ini,""Maafkan Ibu ya, karena tak mampu menjaga Ayah."Airmata mungkin mengering, tetapi sesak di dada tak kunjung reda. Duri yang Mas Rafa tancapkan diam-diam seolah selalu memberi peringatan padaku atas perilaku kejamnya."Ibu janji akan berada di sisi Ayah selama bisa membuatmu bahagia, Nau," bisikku. Sakit memang dikhianati, tetapi berpisah dengan Mas Rafa bukan pilihan yang tepat.Aku harus bertahan.Kurebahkan tubuh ini di sisi Naura, lalu berusaha ikut memejamkan mata. Namun, sulit bagiku untuk menjemput kantuk. Rumah tangga yang aku anggap baik-baik saja harus hancur dalam sekejap karena orang ketiga. Memang benar kini Andin telah menjadi istri M
***Sabtu pagi aku sudah siap dengan gamis panjang dan jilbab segiempat yang menutup dada. Hari ini Sabrina mengajakku bertemu temannya sesuai janji.Bersama Naura aku menuju apartemen Sabrina. Kami sengaja datang lebih awal agar Sabrina tak menunggu lama. Urusan rumah tangga juga bukan aku yang urus diwaktu weekend ini, tetapi tugas Andin. Memang maduku itu belum keluar kamar bersama Mas Rafa sepagian ini, tetapi aku tidak peduli.Kebetulan Sabrina juga sudah menawari untuk sarapan bersama di apartemennya."Serius betul kamu, Ra," ucap Sabrina saat melihat aku antusias sekali ingin membuka toke kue."Tentu. Aku ingin membuktikan pada Mas Rafa dan maduku itu bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa uang mereka, Sab," balasku."Aku yakin toko kuemu akan sukses, Ra. Temanku ini jago dalam mengelola tokonya. Kamu bisa belajar banyak darinya nanti,"Aku senang sekali mendengar Sabrina berkata seperti itu. "Aa
***Toko kue bernuansa manis itu menjadi tempat untuk kami bertemu dengan kenalan Sabrina. "Sab, nggak nyangka kamu punya kenalan yang suka bikin kue," Aku terkekeh sembari menunggu teman Sabrina. "Kenapa memangnya? Kamu kalau lihat orangnya bisa salah tingkah loh, Ra. Orangnya... " balas Sabrina menggodaku. Namun, belum tuntad godaannya itu aku sudah lebih dulu memotongnya. "Ssttt! Apa-apaan kamu ngomong begitu, Sab! Kenapa aku harus salah tingkah." Kepalaku menggeleng di depan Sabrina. "Siapa tahu kan," kekeh sahabatku itu. Kembali aku gelengkan kepala. "Kamu pikir aku sama seperti Mas Rafa? Suka se..." "Zahra!" ujar Sabrina menghentikan ucapanku. Pupil mataku membesar. Dalam sekekab aku menoleh pada Naura yang duduk tepat di sampingku itu. Segera aku membengkap mulutku. "Astaga! Hampir saja," ucapku. Naura tampak penasaran. Beruntung suara seseorang yang datang menyapa mengalihkan semuanya. "Halo, maaf membuat kalian menunggu terlalu lama," ucapnya. Aku, Sabrina dan Naura s
***"Sab, Arlan benar belum menikah?" Aku bertanya pada Sabrina ketika kami akhirnya meninggalkan toko kue lelaki itu. Pembicaraan sudah selesai dan akan dilanjutkan di lain waktu bersama Arlan. Sabrina yang sedang menyetir mobil menoleh padaku sejenak. "Benar, Ra. Kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng. Entah kenapa hatiku semakin yakin kalau pria itu belum bisa melepaskan masa lalu kami berdua. Aku menjadi ragu untuk melanjutkan semua ini. Khawatir masa lalu menghalangi bisnisku nanti. Namun, kata Arlan dia akan serius membantuku. "Arlan pernah patah hati, Ra. Dia pernah mencintai Satu wanita, tapi wanita itu memilih menikah dengan lelaki lain," Sabrina mengedikan bahunya. "A-apa?" Aku terkejut dibuatnya. "Maksudku siapa wanita itu? Kamu kenal?" tanyaku mengulangi kata yang lebih pantas. "Sayangnya Arlan tidak sudi memberitahuku," kekeh Sabrina. Aku pun mengembuskan napas dengan lega. Entah kenapa rasanya akan tidak nyaman bila masa laluku bersama Arlan diketahui oleh Sabrina. "Ka
***Seperti biasa, rumah bukan lagi tempat pulang ternyaman sejak Mas Rafa menikahi Andin. Namun, jika bukan kembali ke sini, ke mana lagi aku harus membawa Naura. Menjawab pertanyaannya tentang sikap Ayahnya yang berubah saja aku belum mampu, apalagi saat dia bertanya kenapa kami mendadak harus pindah.“Nau, langsung mandi ya!”“Iya, Bu.” Naura menyahuti.Sementara itu, aku masuk ke dapur, memeriksa apakah hari ini Andin memasak makanan atau tidak.“Sesuai dugaanku, Andin yang malas tidak memasak makanan apapun untuk Mas Rafa,” ucapku sembari geleng-geleng kepala.“Hebatnya, Mas Rafa sama sekali nggak protes! Coba kalau aku yang nggak masak, pasti banyak sekali ceramahnya,”Aku berdecak membandingkan sikap Mas Rafa terhadapku dan Andin. Sungguh berbeda.“Jangan-jangan mereka baru makan seharian ini?” Aku bertanya curiga. Benar-benar pemalas maduku itu ternyata.Tiba-tiba aku memikirkan sebuah ide. Senyum muncul di antara sudut bibirku. “Lihat saja apa yang akan aku lakukan padanya ma
***“Terima kasih, Mas,” ucapku pada Mas Rafa setelah kami menunaikan ibadah sholat bersama. Mas Rafa hanya mengangguk setelah mengulurkan tangannya kepadaku. Rasanya aku seperti kembali hidup melihatnya berada di sini bersama kami.Namun, tentu saja hal itu tidak bertahan lama.“Aku harus kembali menemui Andin. Jangan sampai dia sedih melihat kita bersama,” ucap suamiku yang kini hatinya telah terbagi itu.“Mas!” tegurku karena apa yang dia ucapkan dapat didengar oleh Naura. Bukannya bertaubat dan meminta maaf, Mas Rafa justru mendecakan lidahnya dengan kesal.Tanpa mau menunggu lama, Mas Rafa beranjak dari kamar kami demi menemui maduku yang dicintai olehnya itu.“Ayah!” panggil Naura. Miris. Dia pasti ingin ayahnya tetap di sini.“Ada apa?”“Mau pergi ke tante Andin lagi?” tanya putri semata wayang kami.Mas Rafa melirikku. Ia mengembuskan napas dengan berat sebelum menghampiri Naura. Lalu menganggukan kepala. “Tante Andin butuh Ayah. Kamu tidak apa-apa kan bersama Ibu lagi mala mi
***Mas Rafa mengalihkan perhatiannya pada lauk milik Andin. Sesekali ia melirikku. Semakin khawatir aku dibuatnya.“Mas!” desak Andin.Mas Rafa mengembuskan napas dengan berat. Hanya beberapa detik lagi jarinya menjangkau masakan spesial untuk maduku itu. Jantungku berdetak kencang akibat tak tahu harus melakukan apa.“Ibu, Naura sudah selesai!”Tiba-tiba suara Naura mengintrupsi kami semua. Hal itu membuat tangan Mas Rafa juga berhenti bergerak, menggantung tepat di atas ayam goreng milik Andin tersebut.Aku menganga sesaat, lalu dengan cepat menarik lauk spesial sambal cabe setan milik maduku.“Nau kalau sudah minum kamu kembali ke kamar ya! Ibu harus membereskan ini dulu,” perintahku pada Naura yang tadi menyelamatkanku dengan suaranya.Naura mengangguk. Ia minum lalu turun dari bangkunya. Melenggang pergi menuju kamar, meninggalkan kami bertiga.Aku mengembuskan napas dengan lega kala pintu kamar tertutup oleh putriku itu.“Mas!” ujar Andin karena tadi mata dan perhatian kami sem
***Setelah pintu kamar tertutup, aku membukanya lagi. Hanya sedikit untuk mengintip kejadian selanjutnya di meja makan, di mana Andin dan Mas Rafa masih ada di sana.“Aku heran kenapa Mas nggak percaya pada apa yang aku katakan!” Dapat aku dengar secara samar Andin berujar pada Mas Rafa. Masih tidak terima karena Mas Rafa lebih percaya padaku dari pada dirinya.“Andin tolong jangan membesarkan masalah, sudah untung Zahra mau memasak makan malam untuk kita,” bujuk lelaki itu.Kenapa aku percaya diri sekali Mas Rafa akan membelaku? Itu karena aku cukup mengenalnya. Seharian tidak makan masakan rumahan pasti membuatnya sedikit kesal. Dengan adanya aku yang memasakan makan malam, sudah pasti dia akan memihakku. Dia pasti cukup kesal dengan sikap Andin yang tak memperlakukannya dengan layak sebagai suami seharian ini.“Mas menyalahkan aku? Mas gila? Mbak Zahra yang mencoba menyakiti aku dengan