***
Hari-hari bagai neraka bagiku setelah itu. Mas Rafa terus-terusan berada di sisi Andin apapun yang dia lakukan.
Aku masih membiarkannya.
Sampai akhirnya sikap Andin benar-benar mengujiku di pagi ini saat kami sedang sarapan. Andin berani menyakiti Naura, putriku. Wanita tak tahu diri itu menyalahkan Naura karena Naura tak sengaja menumpahkan air minum ke bajunya.
"Anak kurang ajar! Kamu tidak punya mata?" bentaknya hingga membuat aku segera meraih Naura dan menyembunyikannya di belakangku.
Sungguh, Naura tak sengaja menumpahkannya hingga baju Andin basah. Naura hanya ingin memberikannya pada Andin yang tersedak. Entah pura-pura tersedak demi mendapatkan perhatian Mas Rafa atau bagaimana aku pun tak paham. Namun, sikap baik putriku berimbas menyakiti diri sendiri seperti ini.
"Andin jangan keterlaluan, Nau tidak sengaja," tegurku masih dengan nada suara yang sederhana.
Namun, perempuan yang pernah menjadi adik iparku itu tampak tidak terima. Ia menatapku tajam. "Mbak jangan bela anak itu! Dia harus diajari!" bentaknya.
Aku terperangah mendengarnya. Memangnya Naura harus diajari apa olehnya? Yang harus diajari justru Andin sendiri. Perilakunya semakin hari semakin tak menyenangkan hati. "Kamu ngaca, Ndin! Kamu yang harus diajari karena bersikap kurang ajar begini padaku. Kamu juga keterlaluan sampai memarahi anakku yang mencoba bersikap baik padamu. Jangan mentang-mentang aku diam saja, kamu bisa seenaknya di rumah ini!" Pada akhirnya aku meluapkan emosi yang selama ini kupendam sendiri demi keharmonisan keluarga yang pernah aku impikan.
Namun, sekarang tidak lagi. Andin perlu ditegur agar tak semena-mena dalam rumah tangga ini. Bagaimanapun juga dia harus tahu bahwa aku istri pertama suaminya. Dan, dia hanya seorang madu yang mendapat belas kasih dariku hingga bisa berada di rumah ini. "Aku sudah sangat bersabar, Andin. Kubiarkan kamu menginjak harga diriku sebagai istri pertama Mas Rafa, tapi tak akan kubiarkan kamu menyakiti putriku. Camkan itu!" tegasku.
Tiba-tiba saja Andin menangis. Ditinggalkannya piring berisi nasi yang tadi ada di depannya, lalu berlari menghampiri Mas Rafa yang sejak tadi hanya diam membiarkan pertengkaran kami. Dia jiga diam saja saat Andin membentak Naura, putrinya tercinta.
"Mas, lihat betapa kejamnya sikap Mbak Zahra padaku. Dia benar-benar benci sama aku, Mas," rengek wanita itu.
"Apa maksudmu, Andin? Kau yang bersalah karena menyakiti Naura,"
"Aku hanya mencoba mengajarinya, Mbak Zahra! Aku tidak menyakitinya. Mbak Zahra terlalu berlebihan." Maduku menimpali. Kepalaku menggeleng mendengar ucapannya itu. Kulirik Mas Rafa yang kini ikut mengabaikan piring berisi nasi di depannya. Suami bersama kami itu tampak menghela napas dengan berat. Ia lantas melabuhkan tatapannya padaku, lalu pada Naura yang ketakutan di belakangku. "Andin benar, dia hanya sedang mengajari Naura, Zahra," ucapnya setelah kembali menatapku.
Astagfirullah ... Aku tak salah mendengar, kan? Kejadian Andin membentak Naura berada tepat di depan matanya. Namun, lihat lah pembelaan yang dia berikan untuk Andin itu! Kepalaku menggeleng berkali-kali, sedih bercampur kecewa hati ini melihat sikap Mas Rafa yang kian berubah.
Dulu dia tak pernah sampai seperti ini. Dia yang paling menyayangi Naura. Dia juga masih peduli padaku meski kerap kali mendatangi Andin demi Handri.
"Mas, tega sekali kamu membenarkan tingkah Andin yang terang-terangan menyakiti hati putrimu," ucapku.
"Kamu harus berlaku adil pada kami, Mas! Kamu sudah berjanji sebelum menikahi mantan adik iparku ini!"
"Kalau begini ceritanya sungguh aku menyesal menyetujui permintaan Hendri. Aku ... "
"Sejak kapan kamu berani membantah ucapanku, Zahra?" potong Mas Rafa.
Entah sejak kapan emosiku merangkak naik ke atas ubun-ubun. Namun, aku benar-benar marah pada Mas Rafa. Memang benar selama ini aku bersikap lunak padanya. Menjadi istri yang luar biasa sabarnya menghadapi segala kekonyolannya yang selalu membela Andin.
"Sejak Mas berubah menjadi orang lain!" teriakku tak tahan lagi. "Dulu Mas tidak seperti ini padaku dan Naura. Mas menyayangi kami. Mas perhatian dan penuh kasih sayang. Tapi, sekarang? Kami kehilangan sosok Mas yang penyayang dan perhatian sejak Andin masuk ke rumah ini. Kenapa, Mas?" tanyaku.
Sempat kulirik Andin yang berada tepat di sebelah Mas Rafa. Bibirnya tersenyum culas. "Lihat Mas dia tersenyum! Senang melihat aku dan Naura seperti ini!" tunjukku pada Andin. Namun, saat Mas Rafa menoleh, senyum culas Andin berganti sendu. Matanya menatap sedih padaku, seolah apa yang aku tuduhkan tidak lah benar.
Tck! Mas Rafa mendecakan lidahnya. Ia menatap tajam ke arahku. "Keterlaluan kamu Zahra! Andin tidak seperti yang kamu tuduhkan. Dia perempuan baik-baik," bentaknya.
Aku menggeleng. "Andin tak sebaik itu Mas! Andin jahat dan licik. Dia perempuan kurang ajar yang mencoba merusak rumah tangga kita!" balasku.
"Zahra! Kamu tidak bosan menuduh istriku terus?"
Jantung ini seperti ada yang menikam mendengar Mas Rafa berbicara seperti itu, seolah aku juga bukan istrinya. Demi apapun, Andin benar-benar telah mencuci otak Mas Rafa. Dia mengubah Mas Rafa sepenuhnya.
"Andin, ayo pergi dari sini. Mas sudah tidak selera menyantap makanan ini."
"Mas!" Aku mencoba menghentikan Mas Rafa yang menarik tangan Andin pergi dari ruang makan. "Jangan begini, Mas. Kita bicarakan semuanya baik-baik! Mas harus adil padaku dan Naura," pintaku. Namun, Mas Rafa tidak peduli. Ia mengabaikan panggilan dan permohonanku. Hal itu sungguh membuatku hancur.
Selama menikah baru kali ini Mas Rafa memperlakukanku seburuk ini. Dia bahkan tak peduli pada airmataku yang terus mengalir. "Apa dugaanku tentang kalian benar, Mas? Kalian memiliki hubungan spesial sebelum Hendri meninggal." Jujur aku tak suka berburuk sangka. Namun, sikap Mas Rafa yang selalu melindungi Andin seolah menjawab semuanya.
Mas Rafa selalu membela Andin hingga membuat Andin sebagai madu semakin di depan. Dan, aku istri pertamanya semakin terbelakang.
.
.
Bersambung.
***Aku tak ingin semua masalah ini menjadi tanda tanya bagiku. Akan aku cari kebenaran tentang hubungan Mas Rafa dan maduku itu sebelum menikah agar aku dapat mengambil langkah. Sungguh aku bukan perempuan yang sabar dengan segala keadaan ini. Siapa kira-kira yang dapat aku tanyai soal ini? "Ibu?" Mertuaku kah? Namun, aku menggelengkan kepala. Daripada bertanya pada Ibu lebih baik aku menggeledah kamar Andin yang saat ini ditempatinya bersama Mas Rafa. Bergegas aku ke sana hingga melupakan Naura. "Ibu mau ke mana?" tanya anak semata wayangku itu. Aku pun menyadari keberadaannya yang masih ada di ruang makan. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Sejak tadi Naura ketakutan karena melihat pertengkaran kami. Aku pun menghampiri. "Maafkan Ibu yang melupakanmu, Nau. Ayo ikut Ibu ke kamar. Kamu istirahat dulu di sana, Ibu ada urusan sebentar." Lantas aku segera menggandeng tangannya. "Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyanya. Aku bingung harus menjawab apa. Namun, tiba-tiba aku mengingat sesu
***Andin si madu yang mendadak menjadi ratu di rumahku ternyata benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Mas Rafa sebelum mereka menikah. Mas Rafa juga mengkhianati adik kesayangannya yang sakit-sakitan. Sungguh biadab! Aku tak tahan mendapati kenyataan ini. Namun, jikalau aku meninggalkan rumah ini selamanya, maka aku akan dinyatakan kalah. Aku tidak mau itu terjadi. "Andin!" Sore hari setelah Andin mengakui perbuatannya dengan Mas Rafa, aku pergi dari rumah. Bukan minggat, tapi aku menemui mertuaku. Ingin mengadukan semua perbuatan Mas Rafa selama ini kepadanya. Memang aku sempat menangis, tetapi lebih baik aku mencari dukungan dari Ibu mertuaku. Paling tidak ia bisa memarahi Mas Rafa. "Ada apa dengan Andin, Zahra?" tanya Ibu dengan dahi yang berkerut dalam. Airmataku jatuh lagi. Lelah rasanya hati ini menerima kenyataan tentang perbuatan Mas Rafa. "Dia telah lama berselingkuh dengan Mas Rafa, Bu," terangku sembari pecahnya tangis ini. Hati perempuan mana yang tak sakit s
***Sesampainya di apartemen Sabrina aku tak bisa menumpahkan airmataku karena ada Naura di antara kami berdua. Sekadar informasi, Sabrina sudah lama menjanda sejak suaminya pergi untuk selamanya. Ia belum berminat untuk menikah lagi karena merasa belum ada yang cocok dengannya. "Kenapa wajahmu murung, Zahra?" tanya Sabrina kepadaku saat sudah lebih dari Lima menit kami duduk di ruang tamu. Aku meliriknya, lalu melirik Naura. Sabrina seperti mengerti keinginanku. Ia mendekati Naura lalu memintanya untuk bermain di kamar saja. "Ada boneka beruang tante yang besar di sana. Coba Nau lihat," ucapnya merayu Naura. Dengan cepat putriku meninggalkan kami berdua. "Ada apa?" Sabrina kembali bertanya. Kini airmata yang tadi sempat aku bendung terjatuh juga. "Mas Rafa selingkuh, Sab," isakku. "Selingkuh bagaimana maksudmu, Zahra? Rafa belum puas juga punya istri Dua?" Aku menggelengkan kepala. "Mas Rafa sudah lama selingkuh dengan Andin, Sab," terangku dengan airmata yang semakin mengali
***Andin salah bila berpikir aku bertahan untuk menerima luka darinya atau Mas Rafa. Aku sekalian ingin membuktikan bahwa dia tak bisa berbuat seenaknya di rumah ini. Selamanya yang akan menjadi ratu adalah diriku. Bukan Andin meski ia berhasil membuai Mas Rafa dalam godaannya. "Masak apa kamu hari ini, Dek?" Aku menghentikan kegiatanku yang sedang menata masakan di atas meja saat mendengar suara lelaki yang telah menggores luka di hatiku itu. Kepalan tanganku menunjukan bahwa diriku sedang berusaha menahan amarah. Ingat, aku sudah memutuskan untuk memberi Mas Rafa kesempatan. "Masak tumis pakis kesukaanmu, Mas. Ada ikan goreng juga," jawabku sembari menoleh padanya. Senyum di bibirku penuh paksa andai Mas Rafa tahu, tapi sepertinya ia tidak peduli. "Kamu masih marah soal pagi tadi?" Pertanyaan Mas Rafa membuatku terkejut. Apa dia menyesal memperlakukan kami secara tidak adil? "Mas minta maaf ya. Mas khilaf," ucapnya. Lega perasaan ini mendengar penyesalan itu dari hatinya. "
***Aku pandangi wajah Naura yang sedang tertidur lelap. Dalam hati terbesit penyesalan atas apa yang terjadi dalam keluarga kecil kami ini."Kasihan kamu, Nak. Ayahmu bukan lagi kesatria seperti dulu. Dia pecundang yang telah membohongi kita selama ini,""Maafkan Ibu ya, karena tak mampu menjaga Ayah."Airmata mungkin mengering, tetapi sesak di dada tak kunjung reda. Duri yang Mas Rafa tancapkan diam-diam seolah selalu memberi peringatan padaku atas perilaku kejamnya."Ibu janji akan berada di sisi Ayah selama bisa membuatmu bahagia, Nau," bisikku. Sakit memang dikhianati, tetapi berpisah dengan Mas Rafa bukan pilihan yang tepat.Aku harus bertahan.Kurebahkan tubuh ini di sisi Naura, lalu berusaha ikut memejamkan mata. Namun, sulit bagiku untuk menjemput kantuk. Rumah tangga yang aku anggap baik-baik saja harus hancur dalam sekejap karena orang ketiga. Memang benar kini Andin telah menjadi istri M
***Sabtu pagi aku sudah siap dengan gamis panjang dan jilbab segiempat yang menutup dada. Hari ini Sabrina mengajakku bertemu temannya sesuai janji.Bersama Naura aku menuju apartemen Sabrina. Kami sengaja datang lebih awal agar Sabrina tak menunggu lama. Urusan rumah tangga juga bukan aku yang urus diwaktu weekend ini, tetapi tugas Andin. Memang maduku itu belum keluar kamar bersama Mas Rafa sepagian ini, tetapi aku tidak peduli.Kebetulan Sabrina juga sudah menawari untuk sarapan bersama di apartemennya."Serius betul kamu, Ra," ucap Sabrina saat melihat aku antusias sekali ingin membuka toke kue."Tentu. Aku ingin membuktikan pada Mas Rafa dan maduku itu bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa uang mereka, Sab," balasku."Aku yakin toko kuemu akan sukses, Ra. Temanku ini jago dalam mengelola tokonya. Kamu bisa belajar banyak darinya nanti,"Aku senang sekali mendengar Sabrina berkata seperti itu. "Aa
***Toko kue bernuansa manis itu menjadi tempat untuk kami bertemu dengan kenalan Sabrina. "Sab, nggak nyangka kamu punya kenalan yang suka bikin kue," Aku terkekeh sembari menunggu teman Sabrina. "Kenapa memangnya? Kamu kalau lihat orangnya bisa salah tingkah loh, Ra. Orangnya... " balas Sabrina menggodaku. Namun, belum tuntad godaannya itu aku sudah lebih dulu memotongnya. "Ssttt! Apa-apaan kamu ngomong begitu, Sab! Kenapa aku harus salah tingkah." Kepalaku menggeleng di depan Sabrina. "Siapa tahu kan," kekeh sahabatku itu. Kembali aku gelengkan kepala. "Kamu pikir aku sama seperti Mas Rafa? Suka se..." "Zahra!" ujar Sabrina menghentikan ucapanku. Pupil mataku membesar. Dalam sekekab aku menoleh pada Naura yang duduk tepat di sampingku itu. Segera aku membengkap mulutku. "Astaga! Hampir saja," ucapku. Naura tampak penasaran. Beruntung suara seseorang yang datang menyapa mengalihkan semuanya. "Halo, maaf membuat kalian menunggu terlalu lama," ucapnya. Aku, Sabrina dan Naura s
***"Sab, Arlan benar belum menikah?" Aku bertanya pada Sabrina ketika kami akhirnya meninggalkan toko kue lelaki itu. Pembicaraan sudah selesai dan akan dilanjutkan di lain waktu bersama Arlan. Sabrina yang sedang menyetir mobil menoleh padaku sejenak. "Benar, Ra. Kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng. Entah kenapa hatiku semakin yakin kalau pria itu belum bisa melepaskan masa lalu kami berdua. Aku menjadi ragu untuk melanjutkan semua ini. Khawatir masa lalu menghalangi bisnisku nanti. Namun, kata Arlan dia akan serius membantuku. "Arlan pernah patah hati, Ra. Dia pernah mencintai Satu wanita, tapi wanita itu memilih menikah dengan lelaki lain," Sabrina mengedikan bahunya. "A-apa?" Aku terkejut dibuatnya. "Maksudku siapa wanita itu? Kamu kenal?" tanyaku mengulangi kata yang lebih pantas. "Sayangnya Arlan tidak sudi memberitahuku," kekeh Sabrina. Aku pun mengembuskan napas dengan lega. Entah kenapa rasanya akan tidak nyaman bila masa laluku bersama Arlan diketahui oleh Sabrina. "Ka