***
Mas Rafa menatapku lekat. "Benar apa yang Andin katakan Zahra?" tanya Mas Rafa kepadaku. Kepalaku menggeleng menjawab pertanyaannya. Mas Rafa tak percaya pada kebohongan yang Andin katakan, kan?
"Benar Mas, masa aku bohong? Aku jujur dengan perkataanku, Mas," ucap Andin. Dia merengek di depan Mas Rafa.
Dahiku berkerut melihat tingkahnya. Kenapa semakin berani si Andin ini? Tak memandangku dia.
"Zahra tolong jangan menyakiti Andin. Bagaimanapun juga dia istri Mas juga. Kamu tentu tidak lupa kan akan janjimu pada Hendri?"
"Astagfirullah, Mas! Andin berbohong. Mana mungkin aku menyakiti Andin. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku saja bingung kenapa Andin memfitnahku begini," Aku mencoba membela diri.
"Andin tadi Mbak memintamu baik-baik. Lalu kenapa kamu berkata yang tidak-tidak pada Mas Rafa?" Aku mengalihkan tatapan mataku pada Andin. Demi apapun Andin berubah. Sifat aslinya kini terlihat jelas.
Aku pun tak yakin kesedihan yang Andin tunjukan adalah karena kehilangan Hendri. Andin hanya pura-pura demi mendapatkan perhatian Mas Rafa sepenuhnya. Aku tak bisa diam saja. Aku tak akan membiarkan Mas Rafa terpengaruh oleh Andin.
"Mas, aku minta ke Andin untuk tidur sendiri dulu malam ini karena Naura merindukanmu, Mas. Setiap malam anak kita mencari keberadaan kamu. Aku bisa apa selain memintamu tidur di kamar kita malam ini agar Naura bahagia?"
Mas Rafa tampak tenang mendengar penjelasanku. Sedih aku melihat reaksinya itu. Naura adalah anak kesayangannya. Sekalipun ia tak ingin mengecewakan buah hati kami itu. Namun, lihat lah sekarang, Mas Rafa terlihat biasa saja mendengar Naura sedih kehilangan dirinya.
"Kamu tenangkan saja Naura, Dek. Mas belum bisa tidur di kamar kalian sekarang. Andin masih membutuhkan kehadiran Mas,"
Ya Tuhan... Aku tidak salah dengar kan? Mas Rafa baru saja mengabaikan perasaan Naura.
"Tapi, Mas ... "
"Tidak ada tapi-tapi, Zahra! Mas tidak suka dibantah!" ujarnya.
Sejujurnya dari dulu Mas Rafa memang selalu mendahulukan urusan Andin dibanding diriku kala Hendri meminta tolong padanya. Namun, aku tak menyangka perasaan Naura pun Mas Rafa abaikan hanya demi menyenangkan hati istri barunya itu.
"Mas Rafa berubah,"
"Jangan bicara sembarangan, Zahra. Mas tidak berubah, Mas membela Andin karena Mas paham gimana kondisinya!"
Dari caramu bicara saja kamu berubah Mas! Bagaimana mungkin kamu menyangkalnya? Namun, baik lah, aku terima semua perlakuanmu ini demi Naura, Mas.
Aku mengangguk singkat. Lalu menoleh pada Andin. "Sekarang aku tahu sifat aslimu, Andin. Kamu hanya pelakor yang terlanjur aku izinkan masuk ke dalam rumah tanggaku!" ujarku pada perempuan itu.Jujur, aku menyesali semua keputusanku hari itu. Aku menyesal menerima Andin sebagai maduku. Namun, semua sudah terlanjur. Aku tak bisa kembali pada masa lalu.
"Zahra!" Mas Rafa meninggikan suaranya. Untuk pertama kali selama pernikahan kami dia melakukan itu. Hatiku sakit karena Mas Rafa tak memikirkan perasaanku.
Andin tersenyum penuh kemenangan. Tangannya mengapit lengan Mas Rafa penuh kepemilikan. Membuatku semaikin yakin dia bukan wanita baik-baik seperti yang selama ia dia tunjukan.
"Mas tidak perlu marah pada Mbak Zahra. Kasihan dia," ucap Andin penuh drama. Seolah dia bersungguh-sungguh dalam membelaku. Hal itu membuat Mas Rafa mengusap rambutnya sambil tersenyum. "Mas minta maaf," ucapnya bukan kepadaku, tetapi pada Andin. Keduanya sama-sama tersenyum setelah itu.
Ya Tuhan, aku mengusap dada yang terlanjur sesak. Mas Rafa seharusnya meminta maaf kepadaku. Bukan pada Andin yang penuh drama.
"Kamu keterlaluan, Mas!" ujarku tak suka. Mas Rafa kembali mengalihkan tatapan matanya kepadaku. Ia menghela napas dengan berat, seolah lelah menghadapi sikapku. "Di sini aku yang terluka. Kenapa Mas meminta maaf padanya?" tanyaku sambil menggelengkan kepala.
"Jujur aku menyesal mengizinkan Mas menikah dengan perempuan murahan ini. Aku tak yakin dia sedih Hendri meninggal. Aku justru percaya dia senang karena dengan begitu kalian bisa menikah!"
Kulihat Andin menggelengkan kepalanya. "Astaga Mbak Zahra, tega sekali Mbak memfitnahku," ucapnya dengan suara yang lirih. Dulu, aku akan percaya Andin sedang terluka, tetapi sekarang tidak. Dia penuh dengan tipu muslihat. Dasar wanita jahat! Mulai sekarang aku tak menyukainya karena dia membuat Mas Rafa berubah hingga membiarkan Naura merindukan ayahnya.
Sungguh ini bukan hanya karena aku cemburu, tapi karena aku benar-benar kesal lantaran baru tahu sifat Andin yang sebenarnya.
"Iya, jangan memfitnah Andin begitu, Zahra. Andin memang sedih kehilangan adikku. Tak seperti kamu yang biasa saja!" ujar Mas Rafa membela Andin. Suami yang selama ini selalu bersikap baik padaku itu kini menuduhku.
"Sudah lah jangan ganggu Andin. Aku tidak ingin dia sedih lagi,"
"Mas sudah gila! Belum juga setengah tahun Andin menjadi maduku, tapi Mas sudah berubah. Mas tidak bisa bersikap adil padaku dan Naura!"
"Dan semua itu gara-gara Andin!"
"Diam! Andin tidak bersalah. Jangan menuduhnya seperti itu." Mas Rafa lagi-lagi membela perempuan itu. Aku mengepalkan tanganku erat. Sungguh, tak ada maksud ingin bertengkar seperti ini pagi-pagi begini. Aku hanya ingin Mas Rafa menemani Naura nanti malam. Namun, semua menjadi runyam karena Andin bersikap menyebalkan.
"Ibu, ada apa? Kenapa Ayah membentak Ibu sejak tadi?"
Tiba-tiba suara Naura terdengar di antara pertengkaran kami. Bergegas aku menghampirinya.
"Tidak apa-apa, Sayang. Ayo!" ajakku tak ingin Naura mendengar apapun lagi. Lebih baik aku hentikan pertengkaran ini daripada Naura melihat ayahnya yang berubah karena perempuan lain.
.
.
Bersambung.Jangan lupa dukung aku dengan klik subscribe dan tinggalkan komentar ya kak. Makasihhhh
***Hari-hari bagai neraka bagiku setelah itu. Mas Rafa terus-terusan berada di sisi Andin apapun yang dia lakukan. Aku masih membiarkannya.Sampai akhirnya sikap Andin benar-benar mengujiku di pagi ini saat kami sedang sarapan. Andin berani menyakiti Naura, putriku. Wanita tak tahu diri itu menyalahkan Naura karena Naura tak sengaja menumpahkan air minum ke bajunya. "Anak kurang ajar! Kamu tidak punya mata?" bentaknya hingga membuat aku segera meraih Naura dan menyembunyikannya di belakangku. Sungguh, Naura tak sengaja menumpahkannya hingga baju Andin basah. Naura hanya ingin memberikannya pada Andin yang tersedak. Entah pura-pura tersedak demi mendapatkan perhatian Mas Rafa atau bagaimana aku pun tak paham. Namun, sikap baik putriku berimbas menyakiti diri sendiri seperti ini. "Andin jangan keterlaluan, Nau tidak sengaja," tegurku masih dengan nada suara yang sederhana. Namun, perempuan yang pernah menjadi adik iparku itu tampak tidak terima. Ia menatapku tajam. "Mbak jangan be
***Aku tak ingin semua masalah ini menjadi tanda tanya bagiku. Akan aku cari kebenaran tentang hubungan Mas Rafa dan maduku itu sebelum menikah agar aku dapat mengambil langkah. Sungguh aku bukan perempuan yang sabar dengan segala keadaan ini. Siapa kira-kira yang dapat aku tanyai soal ini? "Ibu?" Mertuaku kah? Namun, aku menggelengkan kepala. Daripada bertanya pada Ibu lebih baik aku menggeledah kamar Andin yang saat ini ditempatinya bersama Mas Rafa. Bergegas aku ke sana hingga melupakan Naura. "Ibu mau ke mana?" tanya anak semata wayangku itu. Aku pun menyadari keberadaannya yang masih ada di ruang makan. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Sejak tadi Naura ketakutan karena melihat pertengkaran kami. Aku pun menghampiri. "Maafkan Ibu yang melupakanmu, Nau. Ayo ikut Ibu ke kamar. Kamu istirahat dulu di sana, Ibu ada urusan sebentar." Lantas aku segera menggandeng tangannya. "Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyanya. Aku bingung harus menjawab apa. Namun, tiba-tiba aku mengingat sesu
***Andin si madu yang mendadak menjadi ratu di rumahku ternyata benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Mas Rafa sebelum mereka menikah. Mas Rafa juga mengkhianati adik kesayangannya yang sakit-sakitan. Sungguh biadab! Aku tak tahan mendapati kenyataan ini. Namun, jikalau aku meninggalkan rumah ini selamanya, maka aku akan dinyatakan kalah. Aku tidak mau itu terjadi. "Andin!" Sore hari setelah Andin mengakui perbuatannya dengan Mas Rafa, aku pergi dari rumah. Bukan minggat, tapi aku menemui mertuaku. Ingin mengadukan semua perbuatan Mas Rafa selama ini kepadanya. Memang aku sempat menangis, tetapi lebih baik aku mencari dukungan dari Ibu mertuaku. Paling tidak ia bisa memarahi Mas Rafa. "Ada apa dengan Andin, Zahra?" tanya Ibu dengan dahi yang berkerut dalam. Airmataku jatuh lagi. Lelah rasanya hati ini menerima kenyataan tentang perbuatan Mas Rafa. "Dia telah lama berselingkuh dengan Mas Rafa, Bu," terangku sembari pecahnya tangis ini. Hati perempuan mana yang tak sakit s
***Sesampainya di apartemen Sabrina aku tak bisa menumpahkan airmataku karena ada Naura di antara kami berdua. Sekadar informasi, Sabrina sudah lama menjanda sejak suaminya pergi untuk selamanya. Ia belum berminat untuk menikah lagi karena merasa belum ada yang cocok dengannya. "Kenapa wajahmu murung, Zahra?" tanya Sabrina kepadaku saat sudah lebih dari Lima menit kami duduk di ruang tamu. Aku meliriknya, lalu melirik Naura. Sabrina seperti mengerti keinginanku. Ia mendekati Naura lalu memintanya untuk bermain di kamar saja. "Ada boneka beruang tante yang besar di sana. Coba Nau lihat," ucapnya merayu Naura. Dengan cepat putriku meninggalkan kami berdua. "Ada apa?" Sabrina kembali bertanya. Kini airmata yang tadi sempat aku bendung terjatuh juga. "Mas Rafa selingkuh, Sab," isakku. "Selingkuh bagaimana maksudmu, Zahra? Rafa belum puas juga punya istri Dua?" Aku menggelengkan kepala. "Mas Rafa sudah lama selingkuh dengan Andin, Sab," terangku dengan airmata yang semakin mengali
***Andin salah bila berpikir aku bertahan untuk menerima luka darinya atau Mas Rafa. Aku sekalian ingin membuktikan bahwa dia tak bisa berbuat seenaknya di rumah ini. Selamanya yang akan menjadi ratu adalah diriku. Bukan Andin meski ia berhasil membuai Mas Rafa dalam godaannya. "Masak apa kamu hari ini, Dek?" Aku menghentikan kegiatanku yang sedang menata masakan di atas meja saat mendengar suara lelaki yang telah menggores luka di hatiku itu. Kepalan tanganku menunjukan bahwa diriku sedang berusaha menahan amarah. Ingat, aku sudah memutuskan untuk memberi Mas Rafa kesempatan. "Masak tumis pakis kesukaanmu, Mas. Ada ikan goreng juga," jawabku sembari menoleh padanya. Senyum di bibirku penuh paksa andai Mas Rafa tahu, tapi sepertinya ia tidak peduli. "Kamu masih marah soal pagi tadi?" Pertanyaan Mas Rafa membuatku terkejut. Apa dia menyesal memperlakukan kami secara tidak adil? "Mas minta maaf ya. Mas khilaf," ucapnya. Lega perasaan ini mendengar penyesalan itu dari hatinya. "
***Aku pandangi wajah Naura yang sedang tertidur lelap. Dalam hati terbesit penyesalan atas apa yang terjadi dalam keluarga kecil kami ini."Kasihan kamu, Nak. Ayahmu bukan lagi kesatria seperti dulu. Dia pecundang yang telah membohongi kita selama ini,""Maafkan Ibu ya, karena tak mampu menjaga Ayah."Airmata mungkin mengering, tetapi sesak di dada tak kunjung reda. Duri yang Mas Rafa tancapkan diam-diam seolah selalu memberi peringatan padaku atas perilaku kejamnya."Ibu janji akan berada di sisi Ayah selama bisa membuatmu bahagia, Nau," bisikku. Sakit memang dikhianati, tetapi berpisah dengan Mas Rafa bukan pilihan yang tepat.Aku harus bertahan.Kurebahkan tubuh ini di sisi Naura, lalu berusaha ikut memejamkan mata. Namun, sulit bagiku untuk menjemput kantuk. Rumah tangga yang aku anggap baik-baik saja harus hancur dalam sekejap karena orang ketiga. Memang benar kini Andin telah menjadi istri M
***Sabtu pagi aku sudah siap dengan gamis panjang dan jilbab segiempat yang menutup dada. Hari ini Sabrina mengajakku bertemu temannya sesuai janji.Bersama Naura aku menuju apartemen Sabrina. Kami sengaja datang lebih awal agar Sabrina tak menunggu lama. Urusan rumah tangga juga bukan aku yang urus diwaktu weekend ini, tetapi tugas Andin. Memang maduku itu belum keluar kamar bersama Mas Rafa sepagian ini, tetapi aku tidak peduli.Kebetulan Sabrina juga sudah menawari untuk sarapan bersama di apartemennya."Serius betul kamu, Ra," ucap Sabrina saat melihat aku antusias sekali ingin membuka toke kue."Tentu. Aku ingin membuktikan pada Mas Rafa dan maduku itu bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa uang mereka, Sab," balasku."Aku yakin toko kuemu akan sukses, Ra. Temanku ini jago dalam mengelola tokonya. Kamu bisa belajar banyak darinya nanti,"Aku senang sekali mendengar Sabrina berkata seperti itu. "Aa
***Toko kue bernuansa manis itu menjadi tempat untuk kami bertemu dengan kenalan Sabrina. "Sab, nggak nyangka kamu punya kenalan yang suka bikin kue," Aku terkekeh sembari menunggu teman Sabrina. "Kenapa memangnya? Kamu kalau lihat orangnya bisa salah tingkah loh, Ra. Orangnya... " balas Sabrina menggodaku. Namun, belum tuntad godaannya itu aku sudah lebih dulu memotongnya. "Ssttt! Apa-apaan kamu ngomong begitu, Sab! Kenapa aku harus salah tingkah." Kepalaku menggeleng di depan Sabrina. "Siapa tahu kan," kekeh sahabatku itu. Kembali aku gelengkan kepala. "Kamu pikir aku sama seperti Mas Rafa? Suka se..." "Zahra!" ujar Sabrina menghentikan ucapanku. Pupil mataku membesar. Dalam sekekab aku menoleh pada Naura yang duduk tepat di sampingku itu. Segera aku membengkap mulutku. "Astaga! Hampir saja," ucapku. Naura tampak penasaran. Beruntung suara seseorang yang datang menyapa mengalihkan semuanya. "Halo, maaf membuat kalian menunggu terlalu lama," ucapnya. Aku, Sabrina dan Naura s