***
Alhamdulillah urusan ruko dan segala sisanya sudah selesai aku urus bersama Mas Arlan Dua minggu yang lalu. Kini aku hanya perlu menunggu Dua minggu lagi untuk pembukaan toko kueku pertama kalinya.
Aku bahagia sebab semua berjalan dengan lancar. Hanya saja, beberapa hari ini ada yang mengganggu pikiranku. Ini masih tentang Andin dan teman lelakinya yang lagi-lagi tak sengaja tertangkap oleh penglihatanku.
“Kenapa kamu terus melamun, Ra?”
Ngomong-ngomong saat ini aku sedang bersama Sabrina. Sahabat karibku itu menemaniku belanja kebutuhan toko setelah Mas Arlan membuatkan list.
“Begini Sab, beberapa hari lalu aku nggak sengaja melihat Andin bersama lelaki lain. Aku penasaran siapa dia,” ungkapku pada Sabrina.
“Lelaki lain? Siapa itu?”
“Aku nggak tahu, tapi dia lelaki yang sama dengan yang aku lihat Dua atau Tiga minggu yang lalu. Hanya saja aku sempat melupakannya karena sibuk dengan
***Aku bergegas masuk ke rumah bersama Naura begitu turun dari mobil. “Ibu ada apa?” tanya putriku yang terlihat heran menyaksikan emosi tertahan di wajah ibunya.“Tidak apa-apa. Kita tunggu Ayah pulang ya. Ibu akan mengakhiri penderitaan kita hari ini!”Naura tak begitu paham dengan maksudku, akan tetapi ia menganggukan kepalanya juga.Gadis kecilku itu sudah berganti pakaian saat sebuah mobil terdengar memasuki halaman. Aku bergegas ke depan, berharap itu Mas Rafa. Namun, harapanku sirna saat yang aku lihat adalah Andin, si maduku yang durhaka.Dengan senyum remehnya wanita itu masuk ke rumah, menghampiriku yang kini memandang rendah dirinya.“Semangat sekali Mbak Zahra,” kekeh si madu.“Pasti menunggu Mas Rafa,”“Iya! Kenapa kamu sudah pulang kerja jam segini?” tegurku.“Ya iyalah bisa pulang kapan saja, kan selingkuhanku bosku sendiri,” balasnya
***Aku pikir aku akan menang dari Andin. Namun, ternyata akal liciknya masih jauh untuk aku lampaui."Mas, Andin berbohong! Aku tidak pernah selingkuh dengan Mas Arlan!""Mas Arlan? Hebat kamu sekarang, Zahra! Sudah berani bertutur manis dengan lelaki itu. Jangan mentang-mentang aku menikahi Andin terus kamu bisa kembali pada mantan!" bentak Mas Rafa sambil menunjuk wajahku. Kasar sekali. Demi apapun, dituduh oleh Andin saja hatiku sangat sakit, ditambah sekarang Mas Rafa tak mempercayai ucapanku."Aku nggak mungkin kembali pada Mas Arlan. Kami saja baru bertemu lagi, Mas. Tolong percaya aku! Di sini Andin yang berselingkuh. Dia ingin mengadu domba kita berdua!""Masih menyangkal kamu Mbak Zahra? Buktinya ada di ponselku ini," sahut Andin. "Dan, kalau memang aku yang selingkuh mana buktinya? Tunjukan pada Mas Rafa," tantangnya."Aku memang tak memiliki bukti perselingkuhanmu, Andin, tapi beberapa kali aku melihatmu j
***Perhatian Andin beralih pada Naura. Begitu juga denganku dan Mas Rafa."Naura, jawab tante Andin dengan jujur!" ujar wanita itu. "Apakah ibumu sering bertemu dengan Om Arlan akhir-akhir ini?" tanyanya.Jantungku berdegup kencang mendengar itu. Pupil mataku pun melebar.Benar saja! Naura mengangguk, mengiakan pertanyaan Andin."Apa?" teriak Mas Rafa. " Ibumu pernah bertemu dengan Arlan sebelum ini, Naura?" tanyanya dengan suara yang kencang. Membuat tubuh kecil Naura menciut ketakutan. Naura mengangguk. "I-iya Ayah," cicitnya. Lalu ia berlari kembali ke kamar kami.Api amarah berkubang di wajah Mas Rafa setelah itu."Mas aku bisa jelaskan. Mas salah paham,""Apalagi yang mau kamu jelaskan Mbak? Tadi Mbak sendiri yang bilang Naura akan berkata jujur. Jawabannya tentu mewakili perbuatan Mbak selama ini di belakang Mas Rafa," ucap Andin sambil tersenyum sinis."Sudah Mas, ceraika
***Acara pembukaan toko kueku untuk pertama kalinya sukses diselengarakan hari ini. Aku senang sekali karena launching perdana banyak yang datang."Kayaknya akan laris manis toko kuemu, Ra," ucap Mas Arlan kala kami sedang beres-beres. Entahlah, dia baik sekali sampai sudi membantuku hingga selesai.Aku tersenyum lebar setelah murung selama Dua minggu terakhir. "Aamiin. Semoga saja ya Mas. Lumayan uangnya untuk Naura besar nanti," balasku.Mas Arlan mengangguk. Kulihat tatapan matanya agak berbeda. Membuatku melayangkan tanya. "Kenapa, Mas?" Dahiku berkerut dalam karena penasaran."Maaf sebelumnya Zahra, kenapa suamimu tidak ada di tempat ini sejak tadi?"Aku tersentak. "Mas Rafa?" tanyaku."Dia sedang ada urusan pekerjaan, Mas. Nggak bisa datang."Sengaja aku tak ingin memperpanjang obrolan itu."Urusan pekerjaan kayaknya lebih penting darimu ya, Ra. Lihat Arlan dong, dia
***"Apalagi yang mau kamu lakukan, Ndin?" tanyaku pada wanita itu.Andin semakin memperlihatkan senyum sinisnya. "Kasihan kamu Mbak Zahra. Kalau aku jadi kamu mending minta cerai saja," katanya.Mudah sekali mengucapkan hal yang paling dibenci Allah itu."Aku bukan dirimu Ndin yang dengan mudahnya meninggalkan Hendri demi Mas Rafa. Sadar kamu, Andin! Allah nggak tidur!""Nggak usah bawa-bawa nama Tuhan, Mbak," ucapnya tak ingin dinasihati.Astagfirullah. Madu macam apa yang Engkau titipkan di rumah ini ya Allah. Aku tak sanggup lagi menghadapi kelicikannya. Maafkan aku jika mulut atau tangan ini sampai menyakitinya juga."Pergilah Ndin, aku sedang tak ingin berdebat denganmu.""Mbak Zahra takut? Di mana keberanian Mbak Dua minggu yang lalu? Bukankah Mbak mengancam akan memberitahu Mas Rafa tentangku?" bisik Andin. Mungkin dia taku
***Masih kutunggu jawaban Mas Rafa atas peemintaan Andin. Namun, lelaki itu belum juga mengambil keputusan.Aku tak bisa diam saja. Sudah saatnya bergerak maju. Aku yakin Andin diam-diam memiliki masalah yang pelik hingga sampai ingin mendorongku pergi seperti ini.Dua hari setelah kejadian itu Andin benar-benar uring-uringan. Dia sering muntah dan memiliki perasaan yang berantakan. Akhirnya aku menghubungi Sabrina, meminta sahabatku itu stay kalau-kalau Andin semakin bertingkah aneh."Sekarang Andin sedang hamil," ucapku pada Sabrina ketika kami sedang berada di toko kueku. "Setiap hari dia marah-marah," Aku melanjutkan."Anak Rafa?""Itu juga yang ingin aku ketahui, Sab. Apakah yang dikandungnya adalah anak Mas Rafa atau anak selingkuhannya,""Andin juga memaksa Mas Rafa untuk menceraikanku,""Apa?" Sabrina membola. Kepalaku mengangguk mengiakan itu."Waahhh ada yang men
***Satu hal yang tak bisa aku lupakan dari percakapan tadi sore adalah ucapan terima kasih Mas Rafa karena menurutnya aku telah bersikap pengertian.Sakit sekali hati ini, Tuhan. Bukan aku memberinya pengertian dan mengalah untuk Andin, tapi aku hanya ingin berhenti mempersulit hidupku sendiri dengan terus tinggal di rumah ini.Aku pun merasa khawatir akan keadaan Naura. Takut Andin melampiaskan kekesalannya pada putri semata wayangku itu."Baiklah, jadi kamu sudah siap, Ra?" tanya Sabrina.Hanya untuk informasi, setelah Mas Rafa selesai dengan apa yang ingin dia bicarakan, aku buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Sabrina.Di sini airmataku akhirnya tumpah. "Aku sudah siap, Sab. Tolong bantu aku membalas rasa sakit hatiku pada Andin dan Mas Rafa. Aku sudah cukup memberi mereka waktu untuk meminta maaf dan merenungi kesalahan mereka," ucapku.Masih dalam jaringan telepon kami bersahut kata. Dapa
***"Ibu!" ujar Naura saat aku baru saja memutuskan panggilan telepon dengan Sabrina.Untunglah tak ada lagi sisa airmata di pipi. "Kenapa, Nak?" tanyaku.Naura menghampiri. Tiba-tiba ia berbisik sesuatu. Aku terkejut. Pupil mataku melebar mendengar itu. "Maksudmu tante Andin marah pada seseorang yang ada di telepon?" tanyaku mengulang bisikannya.Sambil memeluk boneka barbie miliknya itu Naura mengangguk."Dan dia bilang Mas ini anakmu?"Sekali lagi Naura mengiakan dengan anggukan kepala. "Apa artinya itu, Bu?" tanyanya. Tentu saja dia tak akan mengerti, tapi aku sudah pasti memahami.Mampus kamu Andin! Aku hanya perlu mencari bukti, setelah itu kamu yang akan aku depak dari rumah ini."Bu, apa artinya? Naura penasaran!" desak Naura membuatku sadar dari lamunan."Bukan apa-apa. Jangan bilang ke Ayah ya!""Tapi kenapa Bu?""Pokoknya jangan bilang k