"Maya, Kenalkan! Ini Wulan yang akan menjadi adik madumu," ucap Hani tersenyum pada sang menantu.
Bagai petir di siang bolong, Maya terkejut melihat sang mertua datang bersama wanita yang akan menjadi adik madunya. Dia tidak menyangka Hani benar-benar melaksanakan hal yang diucapkannya. "Tapi, Bu, aku dan Mas Aris masih berusaha untuk melakukan program hamil. Mengapa ibu melakukan ini padaku?" balas Maya dengan tatapan sendu. Hani tidak mempedulikan ucapan Maya, dia mengajak calon menantunya untuk masuk ke rumahnya. Wulan yang berjalan di samping Hani melewati Maya dengan menyunggingkan senyum pada calon kakak madunya. "Mana Aris? Pasti dia sudah pulang kerja." Aris yang sedang menikmati kopi dan pisang goreng buatan Maya terperangah. Dia menghampiri sang ibu yang sumringah melihat Aris. "Sini, Aris. Kamu pasti masih ingat dengan Wulan, bukan? Dia adalah anak dari Bude Murni, sepupu jauhmu. Dia yang akan menjadi istri keduamu, kau setuju, kan?" Pandangan Aris tertuju pada wanita cantik di samping ibunya. Tentu saja dia masih ingat dengan Wulan. Janda beranak satu yang baru saja bercerai dari sang suami. Keluarga besar mereka cukup ramai membicarakan Wulan. "Mas!" panggil Maya memutus lamunan Aris. Kilat kecemburuan tercetak di mata Maya, dia kesal Aris menatap Wulan dengan tatapan tertarik. Tidak pernah dia membayangkan memiliki madu yang dipilih langsung oleh ibu mertua. Aris menoleh canggung pada sang istri. Pria itu tampak merasa bersalah dengan Wulan. "Maaf, Bu. Aku sangat mencintai Maya. Tidak mungkin aku menduakannya," ujar Aris pada sang ibu. Hani memandang sendu putra satu-satunya itu. Maya gelisah karena Hani pasti akan memulai drama. Setiap kali Aris menolak permintaan Hani pasti ibu mertuanya itu akan memasang wajah sedih. "Kamu tega pada ibu, Nak. Ibu sudah tua dan ingin sekali menimang cucu. Apa kamu tidak mau berbakti pada Ibu yang telah membesarkanmu seorang diri? Tidakkah kau mau membahagiakan Ibu?" ujar Hana dengan wajah memelas. Maya memutar bola matanya, dia sudah paham dengan sifat Hani. Lima tahun menikah dengan Aris membuatnya sangat hafal tabiat sang mertua. Belum lagi, Aris selalu luluh dengan air mata sang Ibu menjadikan Maya semakin kesal dengan sang suami yang tidak berpendirian. "Bukan seperti itu, Bu. Aku tidak mau mengkhianati Maya. Dia telah menemaniku hingga aku sukses seperti ini. Bahkan, dia rela mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk mengikuti program hamil. Harusnya, kita dapat bersabar menunggu sampai Maya hamil!" ucap Aris. Perkataan Aris melegakan hati Maya, dia kira Aris akan langsung menyetujui permintaan Hani. Setidaknya, Aris masih memiliki hati dengan memahami perasaan Maya. "Alah! Maya itu hanya seorang guru, tidak masalah bila berhenti dari pekerjaannya. Toh, keuangan kalian sudah lebih baik dari sebelumnya. Sekarang, Ibu tanya mana hasil dari program hamil itu? Tidak ada bukan? Satu tahun sudah kalian melakukan program hamil tidak kunjung membuahkan hasil. Berapa juta lagi yang akan kalian habiskan untuk hal tidak berguna itu. Jangan-jangan memang benar perkataan orang lain! Maya itu mandul!" Hani menatap Maya dengan sinis. Hati Maya mencelos ketika Hani mengatakan hal itu. Selama ini, Hani tidak pernah menghina Maya dengan sebutan mandul. Selama ini, mertuanya itu hanya selalu menanyakan kapan dia hamil. Dari awal menikah dengan Aris, Hani memang terlihat tidak menyukai Maya. Perempuan itu berusaha mengambil hati Hani, tetapi gagal karena Maya tidak dapat mengabulkan keinginan Hani untuk memberinya cucu. "Bu, jangan mengatakan hal buruk seperti itu! Aku tidak suka ibu menghina Maya!" bentak Aris "Kamu itu selalu membela Maya, bahkan kamu membentak ibumu sendiri. Mungkin memang Ibu ditakdirkan untuk meninggal tanpa pernah menimang cucu!" balas Hani. Wulan mengelus punggung Hani yang menitikkan air mata. Dia mencoba untuk menenangkan Hani. Hal itu, menjadi perhatian bagi Maya. "Bu, jangan pernah mengucapkan hal seperti itu. Tidak baik. Wulan yakin Ibu akan sehat dan menimang cucu yang Ibu dambakan. Mas, bila kamu memang tidak setuju aku menjadi istri keduamu tidak apa-apa. Aku mengerti kalau Mas Aris pasti sangat mencintai Mbak Maya. Aku datang ke sini hanya untuk memenuhi keinginan Ibu," ucap Wulan dengan lembut. "Sudahlah Wulan, tidak perlu kau mengatakan hal itu. Aris memang tidak menyayangi ibunya sendiri, dia tidak ingin mewujudkan keinginan ibu untuk memiliki seorang cucu." Masih dengan menangis, Hani mengatakan sesuatu yang membuat Aris iba. "Bukan seperti itu maksudku, Bu. Tolong jangan menangis lagi, Aris tidak mau Ibu bersedih," ujar Aris merasa bersalah karena telah membentak sang ibu. Maya tidak dapat mengatakan apa pun. Dia memang belum bisa membahagiakan mertua dan suaminya dengan menghadirkan seorang anak. Akan tetapi, dia tidak terima bila harus memiliki madu. Perempuan berkulit kuning langsat itu tidak ingin membagi cinta sang suami dengan wanita lain. Tidak ada jaminan Aris bisa berlaku adil bila memiliki dua istri. Selama ini, Maya saja harus bersaing dengan Hani untuk mendapatkan perhatian sang suami. Bagaimana nasib Maya bila harus menerima madu pahit dari sang mertua? "Kalau begitu, Ibu ingin kau menikahi Wulan. Dia itu adalah janda yang sudah memiliki anak. Dapat dipastikan kalau rahimnya subur. Tidak ada salahnya kau menikahi janda. Lagi pula, anak Wulan juga diasuh oleh neneknya. Jadi, kau tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut," ucap Hani. "Untuk menikah lagi, tentu Aris harus meminta izin dari Maya. Jadi, semuanya tergantung dengan jawaban dari Maya. Maukah dia bersedia mengizinkan aku untuk menikah lagi?" Semua mata tertuju pada Maya yang sedari tadi mendengarkan perdebatan antara Aris dan Hani. Hatinya bimbang dengan semua yang terjadi dalam hidupnya. Menjadi perempuan yang dianggap mandul adalah suatu hal yang menyakitkan. "Maya, Ibu mohon izinkan Aris untuk menikah lagi. Kamu telah berusaha selama lima tahun untuk mendapatkan seorang anak, tetapi tidak membuahkan hasil. Tolong Ibu yang sudah mendambangan seorang cucu. Ibu yakin Aris dapat berlaku adil padamu. Bukankah, surga jaminannya bila kamu ikhlas dimadu?" Mendadak Hani bersikap baik dan memohon pada Maya. Aris yang berada di sampingnya seolah menunggu jawaban yang akan dilontarkan oleh sang istri. Wulan yang duduk bersebrangan dengannya menatap Maya dengan pandangan penuh harap. Pikiran Maya berkecamuk, dia tidak ingin di madu. Akan tetapi, dia tidak ingin terus ditekan untuk memiliki seorang anak. Jujur saja, itu menjadi beban tersendiri baginya. Dengan menatap tiga orang yang menunggu jawabannya, Maya menetapkan hatinya untuk mengabulkan permintaan sang mertua. "Aku akan mengizinkan Mas Aris untuk menikah lagi. Akan tetapi, aku memiliki sebuah syarat yang harus dipenuhi!" Hani tersenyum mendengar jawaban Maya. "Apa syarat yang kamu inginkan, Maya?""Pernikahan Mas Aris harus dilakukan secara siri!" Semua orang yang ada dalam ruangan terkejut mendengar persyaratan yang diucapkan Maya. Pasalnya, tidak terpikirkan Maya meminta hal tersebut. Hani berpikir keras dengan syarat yang diajukan oleh Maya. Bila Wulan hanya dinikahi secara siri, tentu saja sang cucu tidak akan mudah mendapatkan warisan. Walaupun belum ada harta benda yang dimiliki Aris, Hani ingin masa depan cucunya terjamin. "Tidak bisa seperti itu, Maya. Pernikahan mereka harus sah dan tercatat di negara. Oleh karena itu, Aris meminta izin untuk menikah lagi! Bagaimana nasib cucuku bila Wulan memiliki anak nanti?" ujar Hani. "Walaupun menikah secara siri, Mas Aris harus meminta izin dariku, Bu. Lagi pula, belum tentu Wulan akan langsung hamil, bukan?" balas Maya yang mulai berani membantah perkatan sang mertua. Selama ini, Maya selalu diam dan menuruti perkataan Hani. Wanita itu menghormati Hani sebagai ibu dari sang suami, hingga tidak ingin membuat masalah de
"Ya, Maya. Ibu mohon kamu bisa membantu Ibu untuk membiayai pesta pernikahan Aris dan Wulan," ucap Hani tanpa tahu malu. "Bu, jangan seperti itu!" Aris mulai membuka suaranya, dia melihat sang istri menahan emosi. Perkataan Hani seperti menggarami luka di hari Maya. Tidak cukupkah dengan menghadirkan madu di pernikahannya dan Aris? Sekarang ibu mertuanya ingin agar dia membiayai pernikahan mereka? "Ibu ingat bagaimana pernikahanku dengan Mas Aris dulu? Pernikahan kami jauh dari kata mewah. Seharusnya, ibu tidak menyetujui syarat dari Wulan bila tidak memiliki uang untuk mewujudkannya," ujar Maya dengan berani. Tidak akan Maya membiarkan Hani semena-mena pada dirinya. Rumah mendiang orang tuanya telah dijual saat awal menikah dulu. Hani beralasan Aris tidak memiliki pekerjaan yang tetap, hingga hasil menjual rumah dibutuhkan untuk membiayai hidup mereka sehari-hari. "Tapi, Ibu tidak memiliki uang untuk biaya tersebut." "Lalu, kenapa ibu ingin Mas Aris menikah lagi? Apa
"Jadi, dari mana kamu mendapatkan uang untuk membiayai pernikahan yang diminta Wulan?" tanya Maya keesokan harinya. "Aku akan meminjam uang di kantor," jawab Aris dengan pelan. "Meminjam uang di kantor? Lalu, gajimu akan dikurangi untuk membayar cicilan, Mas?" Maya sangat tidak menyetujui hal ini. Maya berpikir Hani akan merelakan emas atau menggadaikan rumah untuk biaya pernikahan Aris. Hani yang meminta Aris untuk menikah lagi. Seharusnya, dia yang bertanggung jawab untuk menanggung biaya pernikahan Aris dan Wulan. "Ya, bisa dikatakan seperti itu," balas Aris tidak menatap wajah Maya. "Aku tidak mau dikurangi jatah bulanan karena pinjamanmu. Sebenarnya, jatah tiga juta perbulan hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita. Bagaimana bisa kamu ingin meminjam uang di kantor!" "Habis mau bagaimana lagi? Tidak ada yang dapat Mas lakukan selain meminjam uang di kantor. Ibu tidak mau menjual perhiasannya atau menggadaikan rumah, Maya," jelas Aris pada sang istri. "Ini semua t
'Kenapa hatiku tetap sakit setiap melihat Aris dan Wulan?' ucap Maya dalam hati. Pesta pernikahan berjalan dengan lancar, Maya terus berusaha untuk menerima pernikahan kedua. Bagaimana pun juga itu adalah risiko yang harus dia tanggung karena mengizinkan Aris menikah lagi. Saat ini, Maya dan Hani akan pulang ke rumah mereka. Keluarga Wulan menginap di hotel tempat Aris mengadakan resepsi. Begitu pun dengan Aris dan Wulan yang akan melakukan malam pertama di hotel tersebut. Aris menghampiri Maya yang menunggu mobil untuk mengantarkannya ke rumah. "Maya, aku harap kamu dapat ikhlas menerima Wulan sebagai madumu. Ini semua aku lakukan bukan karena aku mencintainya. Aku menikahi Wulan semata untuk mewujudkan keinginan Ibu," ucap Aris. "Bagaimana bila Wulan tidak kunjung hamil sepertiku? Apa kamu akan menikah lagi?" tanya Maya dengan wajah sendu. "Tentu tidak! Aku tidak mungkin akan menikah lagi. Cukup sekali aku menduakanmu. Berdoa saja aku segera memiliki keturunan dengan
Maya termenung memikirkan malam yang dilewati oleh Aris dan Wulan. Tidak ada yang memikirkan perasaannya, perempuan itu merasa dirinya sangat bodoh karena membiarkan suaminya menikah lagi. Malam itu Maya lewati dengan sedih, berbaring di tempat tidur dengan perasaan gelisah. Maya tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Perasaannya sungguh tidak terkira. Bayang-bayang Aris bertukar peluh dengan perempuan lain terus menghantui Maya. Sanggupkah dia ikhlas dengan semua yang terjadi? Penyesalan terus menghantuinya. "Semoga saja, Aris menepati janjinya dengan berlaku adil. Akan tetapi, aku tetap tidak sanggup melihat Mas Aris bersama Wulan," gumam Maya sambil berusaha memejamkan matanya. "Maya, kamu belum tidur?" ucap sebuah suara dari luar kamarnya. "Belum! Aku belum tidur, Bu. Ada apa?" Perlahan Maya berjalan menuju daun pintu. Terlihat wajah sang ibu mertua tanpa senyum. "Ibu hanya ingin memberitahukanmu. Jangan tidur terlalu malam! Besok, kita harus memasak enak untuk
Maya sama sekali tidak membantu Hani mempersiapkan kedatangan Wulan. Perlakuan Hani cukup membuatnya sakit hati. Tidak mungkin dia dengan senang hati menyambut madu pahit pilihan mertuanya itu."Lihat saja, nanti! Ibu akan mengadukan sikapmu ini pada Aris. Dia pasti akan membela Ibu!" ucap Hani ketika Maya tidak membantunya sama sekali."Ya, Bu. Lihat saja, nanti! Aku pastikan Mas Aris tidak akan marah dengan sikapku," ujar Maya sambil berlalu dari hadapan Hani yang menatapnya tidak suka. Siang hari, Wulan dan Aris pulang, wajah Wulan sangat sumringah. Hani menyambutnya dengan senyum mengembang. Dia tahu rencana yang telah disusunnya pasti berhasil. Setelah ini, dia akan mempengaruhi Aris untuk menceraikan Maya yang menurutnya tidak berguna. "Assalamualaikum," ucap Wulan dan Aris berbarengan. "Waalaikumsalam. Wah, pengantin baru sudah datang! Ibu lihat kalian sangat sumringah, pasti malam pertamanya berhasil," balas Hani dengan senyum penuh arti. Maya menatap Wulan dan Aris dengan
"Jangan memberitahukan pada Mas Rendra kalau aku menikah lagi, May," ucap Aris. Pria itu tercengang karena ikatan batin antara Maya dan Rendra tampaknya begitu kuat. Terbukti saat Maya bersedih, Rendra langsung menghubungi sang adik. Maya hanya diam tidak membalas ucapan Aris.Tidak pernah terpikirkan oleh Maya untuk mengadukan nasibnya pada sang kakak. Perempuan itu berusaha untuk menerima semua hal yang terjadi. Tidak dapat dipungkiri bila hatinya sangat sakit. Akan tetapi, dia sendiri yang telah menyetujui pernikahan Aris dan Wulan.Maya mengangkat panggilan ponsel yang sedari tadi telah menunggu. Suara bariton menyapanya dari seberang."Assalamualaikum, Halo May. Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rendra.Pertanyaan Rendra sontak membuatnya bersedih. Bila ditanya tentang keadaannya, dia sangat ingin menjawab dengan jujur. Sontak Maya melirik Rendra yang menatapnya dengan cemas."Ya, aku baik-baik saja. Mas Rendra, apa kabar? Bagaimana pekerjaan di sana?" jawab May
"Tidak! Aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu, Maya. Kuharap kamu tetap bersabar dan tinggal bersama dengan Wulan. Gajiku tidak mungkin cukup untuk menyewa sebuah rumah apalagi membeli rumah. Aku masih memiliki harga diri dan tidak akan membiarkanmu pulang ke rumah orang tuamu," ujar Aris ketika mendengar ucapan Maya. "Tetapi, aku berhak mendapatkan ketenangan. Dengan meminta aku seatap dengan Ibu saja sudah membuatku tidak nyaman, sekarang kamu memintaku untuk seatap dengan maduku. Entah terbuat dari apa hatimu, Mas," balas Maya dengan wajah sendu. "Nanti, bila Mas naik gaji. Mas akan menyewa sebuah rumah untukmu agar kamu merasakan kenyamanan. Untuk saat ini, aku tidak akan bisa mengabulkan permintaanmu," tukas Aris. Maya diam tidak membalas perkataan Aris. Padahal, dia sudah memberikan solusi yang paling masuk akal. Aris dengan semua harga dirinya menolak membiarkan Maya kembali ke rumahnya. Pria itu membiarkan hari Maya terus terluka, tanpa mengobatinya. Mungkin benar, sudah