Maya termenung memikirkan malam yang dilewati oleh Aris dan Wulan. Tidak ada yang memikirkan perasaannya, perempuan itu merasa dirinya sangat bodoh karena membiarkan suaminya menikah lagi.
Malam itu Maya lewati dengan sedih, berbaring di tempat tidur dengan perasaan gelisah. Maya tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Perasaannya sungguh tidak terkira. Bayang-bayang Aris bertukar peluh dengan perempuan lain terus menghantui Maya. Sanggupkah dia ikhlas dengan semua yang terjadi? Penyesalan terus menghantuinya. "Semoga saja, Aris menepati janjinya dengan berlaku adil. Akan tetapi, aku tetap tidak sanggup melihat Mas Aris bersama Wulan," gumam Maya sambil berusaha memejamkan matanya. "Maya, kamu belum tidur?" ucap sebuah suara dari luar kamarnya. "Belum! Aku belum tidur, Bu. Ada apa?" Perlahan Maya berjalan menuju daun pintu. Terlihat wajah sang ibu mertua tanpa senyum. "Ibu hanya ingin memberitahukanmu. Jangan tidur terlalu malam! Besok, kita harus memasak enak untuk menyambut kedatangan Wulan," ujar Hani dengan senyum. Maya menghela napas, dia tidak habis pikir dengan sang ibu mertua. Perempuan paruh baya yang tidak pernah menyukainya itu sangat senang dengan Wulan. Tidak tahu hal yang diucapkannya sangat menyakiti hati Maya. "Kalau Ibu memang ingin menyambut maduku itu, silakan, Bu. Akan tetapi, aku tidak bisa membantu Ibu. Aku tidak memiliki tenaga untuk memasak. Sudah cukup lelah dengan menghadiri pesta pernikahan antara Wulan dan Mas Aris!" balas Maya dengan tegas. "Memangnya apa sih yang kamu lakukan? Padahal kamu tidak berkontribusi apa pun pada pesta pernikahan Aris!" tukas Hani kesal dengan penolakan Maya. "Aku sibuk menata hati, Bu. Semua orang tahu kalau aku bersedih, mungkin hanya Ibu yang tidak mempedulikan perasaanku," ujar Maya. Tidak peduli dengan semua sikap Hani, Maya menyuarakan isi hatinya. Dia sudah lelah dengan semua hal yang direncanakan oleh Hani. Bukan tanpa sebab Hani memilihkan madu untuknya. Pasti, mertuanya itu sangat senang telah mencapai hal yang dia inginkan. "Kamu sudah menyetujui Aris menikah lagi, kan? Jadi, jangan membicarakan hal yang tidak penting! Kamu juga tidak tahu perasaan Ibu yang menginginkan seorang cucu. Di saat semua orang telah melihat cucu mereka lahir, Ibu hanya bisa mendambakannya," ucap Hani membuat hati Maya berdenyut. Satu hal yang belum bisa dia lakukan yaitu memberikan anak bagi Aris. Berbagai cara sudah dia tempuh selama lima tahun ini. Akan tetapi, hasilnya nihil. Belum ada janin yang berkembang dari rahimnya. Setiap pertanyaan orang tentang anak hanya dia jawab dengan senyuman. Hingga Hani menghadirkan orang lain di pernikahannya. Ingin sekali dia mencegah poligami yang dilakukan Aris, tetapi dia tidak kuasa. "Terus saja Ibu menyudutkanku, kita lihat saja nanti madu pahit yang Ibu bawa itu akan mewujudkan keinginan Ibu atau tidak," balas Maya. "Jangan bicara sembarangan, Wulan sudah pernah melahirkan seorang anak. Itu adalah jaminan bahwa dia adalah wanita yang subur. Tidak seperti kamu!" Perkataan Hani bagai pisau yang menancap di ulu hatinya. "Sudah cukup perdebatan kita, Bu. Intinya, aku tidak bisa menyambut Wulan besok. Aku ingin beristirahat dan menata hatiku. Jadi, silakan Ibu menyiapkan semua hal yang Ibu inginkan. Aku ingin istirahat, Bu," ucap Maya tidak ingin memancing perdebatan lebih jauh lagi. Maya menutup pintu dengan pelan, dia tetap tidak bisa bersikap sinis pada sang mertua. Biar bagaimana pun, Hani adalah Ibu dari suaminya. Sudah sepatutnya dia bersikap baik pada Hani. Perempuan itu berjalan menuju ranjangnya yang dingin. Ingatannya berputar pada saat Aris melamarnya. Sang Kakak yang tinggal di desa saat itu tidak begitu menyukai Aris. Kakaknya yang bernama Rendra, kini sedang merantau ke daerah Kalimantan untuk bekerja. Maya tidak berani mengatakan tentang pernikahan kedua Aris. Dia takut Rendra marah dan memintanya untuk bercerai. Meskipun, hatinya sangat sakit dengan keputusan Aris yang tetap menikah dengan Wulan, Maya masih mencintai sang suami. Dia berharap mendapatkan sebuah keajaiban, ingin sekali Maya merasakan nikmatnya masa kehamilan. "Andaikan, kamu lekas hadir di rahimku, Nak. Aku mungkin tidak akan merasakan sakitnya di poligami," gumam Maya sambil mengelus perutnya. *** Di sebuah kamar hotel, seorang wanita menggunakan pakaian tipis menyambut sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wanita itu adalah Wulan yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan Aris. Aris tidak tergoda melihat Wulan yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Pikirannya masih tertuju pada Maya yang terlihat sedih melepaskan kepergiannya bersama Wulan. Tega sekali dia menduakan Maya. Janjinya untuk membahagiakan sang pujaan hati rasanya hanya di lisan saja. Dia tidak dapat menunjukkan wajahnya bila Rendra —Kakak Maya— mengetahui adiknya di poligami. 'Benarkah hal yang aku lakukan ini, Tuhan? Aku tahu Maya pasti sangat sedih di madu. Akan tetapi, aku tidak dapat menolak keinginan ibuku,' batin Aris. Melihat reaksi Aris yang biasa saja, Wulan berinisiatif untuk menggoda sang suami. "Mas! Apa kamu tidak ingin melakukannya? Kita harus memenuhi permintaan Ibu untuk memberikan cucu untuknya." Wulan meraba tubuh Aris yang dapat dia jangkau. Tentu saja sebagai pria normal, Aris tergoda dengan sentuhan yang diberikan oleh istri keduanya itu. "Mas, aku ini sudah menjadi istrimu. Aku juga halal untukmu. Jangan memikirkan orang lain ketika kita sedang bersama," ucap Wulan yang mengetahui pikiran Aris tertuju pada Maya. Aris yang sudah terangs*ng dengan hal yang dilakukan oleh Wulan akhirnya melakukan aktivitas panasnya dengan janda beranak satu yang telah menjadi istrinya. Wulan menyeringai setelah mendapatkan hal yang dia inginkan. "Aku mencintaimu, Mas Aris. Akan aku pastikan hanya akulah istrimu ke depannya." Senyum licik Wulan tersungging, dia memikirkan berbagai cara untuk menyingkirkan Maya. Semua hal itu sudah dia rencanakan tepat ketika Hani memintanya untuk menjadi istri kedua Aris. Wulan bukan wanita bodoh yang ingin terus menjadi istri kedua. Semua orang pasti ingin menjadi satu-satunya bagi pria yang dia cintai. Tidak terkecuali dengan Wulan. "Aku pasti akan menjadi istri satu-satunya bagimu, Mas," ujar Wulan sambil memeluk Aris yang sudah lebih dahulu menuju alam mimpi. *** Bersambung. Terima kasih telah membaca. Ikuti terus kisah Aris, Maya, dan Wulan, ya.Maya sama sekali tidak membantu Hani mempersiapkan kedatangan Wulan. Perlakuan Hani cukup membuatnya sakit hati. Tidak mungkin dia dengan senang hati menyambut madu pahit pilihan mertuanya itu."Lihat saja, nanti! Ibu akan mengadukan sikapmu ini pada Aris. Dia pasti akan membela Ibu!" ucap Hani ketika Maya tidak membantunya sama sekali."Ya, Bu. Lihat saja, nanti! Aku pastikan Mas Aris tidak akan marah dengan sikapku," ujar Maya sambil berlalu dari hadapan Hani yang menatapnya tidak suka. Siang hari, Wulan dan Aris pulang, wajah Wulan sangat sumringah. Hani menyambutnya dengan senyum mengembang. Dia tahu rencana yang telah disusunnya pasti berhasil. Setelah ini, dia akan mempengaruhi Aris untuk menceraikan Maya yang menurutnya tidak berguna. "Assalamualaikum," ucap Wulan dan Aris berbarengan. "Waalaikumsalam. Wah, pengantin baru sudah datang! Ibu lihat kalian sangat sumringah, pasti malam pertamanya berhasil," balas Hani dengan senyum penuh arti. Maya menatap Wulan dan Aris dengan
"Jangan memberitahukan pada Mas Rendra kalau aku menikah lagi, May," ucap Aris. Pria itu tercengang karena ikatan batin antara Maya dan Rendra tampaknya begitu kuat. Terbukti saat Maya bersedih, Rendra langsung menghubungi sang adik. Maya hanya diam tidak membalas ucapan Aris.Tidak pernah terpikirkan oleh Maya untuk mengadukan nasibnya pada sang kakak. Perempuan itu berusaha untuk menerima semua hal yang terjadi. Tidak dapat dipungkiri bila hatinya sangat sakit. Akan tetapi, dia sendiri yang telah menyetujui pernikahan Aris dan Wulan.Maya mengangkat panggilan ponsel yang sedari tadi telah menunggu. Suara bariton menyapanya dari seberang."Assalamualaikum, Halo May. Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rendra.Pertanyaan Rendra sontak membuatnya bersedih. Bila ditanya tentang keadaannya, dia sangat ingin menjawab dengan jujur. Sontak Maya melirik Rendra yang menatapnya dengan cemas."Ya, aku baik-baik saja. Mas Rendra, apa kabar? Bagaimana pekerjaan di sana?" jawab May
"Tidak! Aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu, Maya. Kuharap kamu tetap bersabar dan tinggal bersama dengan Wulan. Gajiku tidak mungkin cukup untuk menyewa sebuah rumah apalagi membeli rumah. Aku masih memiliki harga diri dan tidak akan membiarkanmu pulang ke rumah orang tuamu," ujar Aris ketika mendengar ucapan Maya. "Tetapi, aku berhak mendapatkan ketenangan. Dengan meminta aku seatap dengan Ibu saja sudah membuatku tidak nyaman, sekarang kamu memintaku untuk seatap dengan maduku. Entah terbuat dari apa hatimu, Mas," balas Maya dengan wajah sendu. "Nanti, bila Mas naik gaji. Mas akan menyewa sebuah rumah untukmu agar kamu merasakan kenyamanan. Untuk saat ini, aku tidak akan bisa mengabulkan permintaanmu," tukas Aris. Maya diam tidak membalas perkataan Aris. Padahal, dia sudah memberikan solusi yang paling masuk akal. Aris dengan semua harga dirinya menolak membiarkan Maya kembali ke rumahnya. Pria itu membiarkan hari Maya terus terluka, tanpa mengobatinya. Mungkin benar, sudah
"Sudahlah, Bu. Jangan ribut seperti ini. Aku akan makan nanti, silakan Ibu dan Wulan makan terlebih dahulu," ucap Aris tidak ingin kedua wanita yang paling disayanginya itu saling bertengkar."Bukan Ibu yang salah, Maya sudah mulai membantah perkataan Ibu. Seharusnya, kamu bisa menegurnya dan memberitahukannya bila hal yang dilakukannya itu salah! Jangan selalu membantah perkataan Ibu bila tetap ingin berada di rumah ini," balas Hani pada sang putra.Dari dulu, entah mengapa Hani sangat tidak menyukai Maya. Sejak awal berpacaran dengan Aris, tidak ada satu pun dari Maya yang membuat Hani menerima menantunya itu. Ditambah, Maya merupakan seorang yatim piatu yang hanya memiliki seorang kakak. Selain itu, Maya tidak dapat mengambil hati Hani walau telah melakukan semua cara. Bahkan, dia mengundurkan diri dari pekerjaan karena hasutan Hani pada sang suami yang mengatakan kalau dengan bekerja membuat Maya tidak kunjung hamil.Pada kenyataannya, setelah dia berhenti kerja. Hani selalu meng
Aris membuktikan ucapannya, dia ingin bermalam dengan sang istri. Wulan tidak bisa mengubah keputusan suaminya itu. Ada perasaan bersalah dalam hati Aris bila dia berubah pikiran. Tidak mungkin dia terus menyakiti hati Maya. Pada malam hari, Aris ingin menyalurkan hasratnya pada sang istri, tetapi Maya tidak menginginkan hal tersebut. Dia memutuskan untuk menghindar dari Aris. Namun, Aris mengatakan suatu hal yang membuat Maya tersentak. "Kamu ingin terus menghindar dariku? Padahal kamu tahu kalau menolak keinginan suami utnuk berhubungan akan mendapatkan laknat malaikat di sepanjang malam," ucap Aris sudah kehilangan kesabaran. Tidak mungkin dia pindah ke kamar Wulan untuk sekadar menuntaskan nafsunya, setega itukah Aris pada istrinya sendiri. Walau tidak ada cinta dalam dirinya untuk istri keduanya itu, dia tidak ingin terus menyakiti Maya. Akan tetapi, pria itu sadar kalau telah berjanji akan bersikap adil pada kedua istrinya. Maya menatap tajam Aris ketika pria itu menguacapak
"Jadi, apa yang dapat kamu lakukan Wulan?" tanya Aris kesal dengan pernyataan istri keduanya. "Aku tidak mungkin melakukan pekerjaan rumah. Mas tahu bukan kalau di rumahku saja aku dilayani dengan pelayan. Jadi, aku ingin Mas juga menyiapkan hal tersebut. Lagi pula, aku bukan pengangguran seperti Mbak Maya," ujar Wulan dengan sombong. Menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta membuat Wulan sangat congkak. Berbeda dengan Maya yang merupakan seorang rumah tangga, Wulan merasa dirinya lebih dibandingkan dengan Maya. Belum lagi, kenyataan bahwa Wulan telah memiliki anak dari pernikahannya yang terdahulu. Rumor tentang Maya yang tidak dapat memiliki seorang anak sudah bukan hal baru bagi keluarga besar mereka. Hadirnya Wulan ditengah ucapan Hani yang menginginkan seorang cucu membuat rumah tangga Maya berada di ujung tanduk. "Mengapa tidak mungkin? Dulu ketika aku bekerja, aku tetap melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Jangan karena kau bekerja lalu menginginkanku unt
"Katakan sekali lagi, apa yang kau lakukan!" tegas Maya dengan membulatkan mata.Aris meringis melihat kilat amarah di mata Maya. Wulan memaksanya memberikan nafkah padanya. Tadinya, dia ingin memberikan sebagian pada Maya, tetapi istri mudanya itu meyakinkan Aris kalau Wulan dapat mengelola keuangan dengan baik. Dengan mudah, Aris luluh tanpa mempertimbangkan akibatnya. Dia memberikan gajinya pada Wulan ketika keduanya menghabiskan malam pertama mereka. Entah apa yang ada dipikiran Aris, dia seolah terhipnotis dengan semua ucapan Wulan."Aku sudah memberikan jatah bulan ini pada Wulan, May," ucap Aris. Maya menaikkan alisnya, baru beberapa hari mendua Aris sudah berlaku tidak adil padanya. "Apa kamu ingat janjimu ketika meminta untuk menikah lagi, Mas? " tanya Maya."Ya, tentu aku mengingat setiap perkataanku, May," jawab Aris dengan pelan.Janji hanyalah janji, dia tidak dapat memenuhi semua ucapannya. Baru saja menikah, dia sudah memperlakukan Maya dengan tidak adil. Pria itu ter
"Mas, kamu harusnya bisa mengatur Mbak Maya agar tidak semena-mena padaku. Tidak mungkin aku bisa mengatur keuangan sekaligus mengerjakan pekerjaan rumah," ujar Wulan masih mendumal."Kamu sendiri yang ingin mengambil jatah Maya. Jangan salahkan Maya bila dia tidak ingin melakukan pekerjaan rumah. Aku berangkat sekarang karena sudah hampir telat bila aku jalan jam tujuh," balas Aris.Nasi goreng buatan Maya telah tandas begitu saja. Aris yakin setelah ini, Maya tidak mungkin dengan suka rela memasak untuknya. Mata Maya menyorotkan kekecewaan yang mendalam. Janji berlaku adil pada Maya dan Wulan tidak dapat ditepatinya. Cintanya memang pada Maya, tetapi dia terhasut dengan ucapan Hani dengan memberikan uang gaji sepenuhnya pada istri keduanya."Ini semua salah Ibu! Bila aku tidak menuruti perkataan Ibu, pasti Maya tidak akan marah seperti itu!" ujar Aris menyalahkan ibunya."Lho, kamu sendiri yang mengikuti permintaan Ibu. Jangan malah menyalahkan Ibu seperti ini! Ibu menyuruhmu melak
"Jadi, Maya hamil?"Suara Hani bergema di ruang tamu yang sepi. Aris duduk di kursi, pandangannya lurus ke depan, namun hatinya seolah terguncang oleh kabar yang baru saja dia dengar. Dia tak bisa mempercayai bahwa Maya—wanita yang pernah ia cintai dan gagal dia pertahankan—sekarang sedang mengandung anak dari Gilang."Iya, Bu. Maya akan punya anak," Aris menjawab lirih, menundukkan kepalanya.Hani yang duduk di sampingnya terdiam sesaat, mencoba memahami perasaan anaknya. Ia tahu, kabar ini bukan hal yang mudah diterima oleh Aris. Bagaimanapun, meski mereka telah lama berpisah, Maya masih meninggalkan jejak yang mendalam di hati Aris. Kini, kenyataan bahwa Maya akan menjadi ibu dari anak pria lain mungkin terasa seperti pukulan telak bagi Aris."Aris," kata Hani lembut, "kamu harus kuat. Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Maya sudah memilih jalan hidupnya, dan kita harus menghormatinya. Apapun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan."Aris mengangguk pelan, meskipun di dalam
Pagi itu, udara terasa hangat dan tenang di rumah Gilang dan Nissa. Maya sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara pisau yang bergerak cepat di atas talenan mengiringi aktivitas paginya. Dia tersenyum sambil memikirkan hari-harinya bersama Gilang, terutama bulan madu mereka yang penuh kebahagiaan dan tawa. Gilang, dengan segala cinta dan perhatian, selalu membuat Maya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu perubahan besar yang Gilang inginkan. Suatu malam setelah mereka kembali dari bulan madu, di atas ranjang mereka yang nyaman, Gilang memeluk Maya erat dan berbisik, “Sayang, aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku ingin kamu lebih fokus pada kita, keluarga yang akan kita bangun.”Maya tertegun sesaat, menatap Gilang. "Apa kamu benar-benar menginginkannya, Gilang?"“Iya,” jawab Gilang dengan penuh keyakinan. “Aku ingin kamu tidak perlu lagi pusing dengan pekerjaan. Biarkan aku yang menafkahi kita. Kamu bisa beristirahat dan meni
Sebulan kemudian, persiapan pernikahan berjalan dengan cepat. Maya dan Gilang sudah tidak sabar untuk menghalalkan hubungan mereka. Gilang memastikan segala sesuatu tertangani dengan baik, dari dekorasi hingga undangan. Ia ingin hari pernikahannya menjadi momen terbaik dalam hidup mereka.Maya sendiri sibuk dengan persiapan pribadi, memilih gaun dan merencanakan acara bersama sahabat-sahabatnya, termasuk Putri yang selalu setia mendampinginya. Dalam hati, Maya merasa bahagia, meskipun ada rasa takut yang kadang muncul. Bagaimana jika pernikahan ini tidak berjalan sesuai harapan? Bagaimana jika masa lalunya kembali menghantui?Namun, setiap kali rasa khawatir itu muncul, Gilang selalu ada untuk menenangkannya. “Percayalah, Maya. Kita akan bahagia. Ini adalah awal baru untuk kita.”Hari pernikahan semakin dekat, dan semua orang sibuk dengan persiapan. Maya sering kali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, baik di kantor maupun dalam persiapan acara, tetapi itu membuatnya merasa lebih tena
Matahari bersinar cerah ketika Maya tiba di rumah Nissa, perasaan gugup menghiasi langkahnya. Meski hubungan mereka sudah lebih baik, tetap saja, restu dari calon mertuanya adalah langkah besar yang harus ia lewati. Gilang, yang berjalan di sampingnya, meraih tangan Maya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan. “Tenang saja, Maya,” bisik Gilang seraya tersenyum. “Ibu pasti akan merestui kita. Aku yakin.” Maya mengangguk perlahan, meskipun kegelisahan itu masih ada. Dia tahu, restu dari Nissa adalah kunci utama untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hubungannya dengan Gilang. Restu yang selama ini belum sepenuhnya ia dapatkan. Ketika mereka masuk, Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman ramah terulas di wajahnya, namun Maya tetap bisa merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Nissa memang lebih bersikap terbuka belakangan ini, tetapi masalah masa lalu Maya sebagai seorang janda masih menyisakan sedikit kekhawatiran dalam benak ibu Gilang. “Du
"Ibu akan memberitahukannya setelah waktunya tepat" ucap Nissa.Nissa meminta Maya dan Gilang untuk bersabar. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk menerima Maya. Oleh karena itu, Nissa masih meminta waktu untuk berpikir tentang restu untuk Maya dan Gilang. Akhirnya, Maya dan Gilang mencoba untuk bersabar. Hingga ada seseorang yang kembali mengusik ketenangan Maya.Langit senja terlihat suram ketika Aris berdiri di depan pintu kontrakan Maya. Dengan napas tertahan, dia menekan bel pintu, berharap Maya akan menerimanya kembali. Meski banyak hal yang telah terjadi, Aris masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Dia tahu betul hubungannya dengan Wulan berakhir tragis, dan kini, pikirannya kembali teringat pada Maya—wanita yang pernah dia cintai dan biarkan pergi. Pintu terbuka perlahan, dan Maya berdiri di sana, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aris?" tanyanya, suaranya terdengar datar, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. Aris m
Wulan duduk di atas ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap keluar jendela. Hujan deras mengguyur kota, seolah mencerminkan kekosongan di dalam hatinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Kandungannya yang dulu menjadi harapan kini telah tiada. Semua telah lenyap, meninggalkannya dalam kehampaan yang menyakitkan.Pintu kamar perlahan terbuka. Pandu melangkah masuk, wajahnya tampak tegang dan penuh dengan penyesalan. Wulan menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Pandu yang muram."Pandu..." suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Pandu mendekat, berdiri di sisi ranjang, namun ia tidak segera bicara. Hanya keheningan yang terjalin di antara mereka. Tatapan penuh luka di mata Wulan membuat dada Pandu terasa sesak."Aku tidak tahu harus berkata apa," Pandu akhirnya memecah kesunyian, suaranya rendah dan berat. "Aku... sangat menyesal."Wulan menundukkan kepala, mencoba menahan tangis yang sudah tak terhitung jumlahnya. "Kita semua melakukan kesalahan, Pandu," katanya lirih. "Aku ta
Wulan duduk terpaku di ranjang rumah sakit, tangannya memeluk erat perutnya yang kosong. Air matanya mengalir deras, seolah tidak pernah akan berhenti. Di dalam tubuhnya, bayi yang selama enam bulan ia kandung kini tidak lagi bernyawa. Tidak ada lagi denyut kehidupan yang dulu selalu ia rasakan setiap hari.Seorang perawat masuk ke kamar dan memberikan kabar yang sudah ia tahu sejak tadi, namun masih terlalu menyakitkan untuk didengar lagi. “Maaf, Bu Wulan... Kami sudah berusaha, tapi bayinya tidak bisa diselamatkan. Kondisinya terlalu lemah setelah pendarahan hebat tadi.”Wulan hanya mengangguk lemah, tidak ada tenaga untuk berkata apa-apa. Hatinya hancur, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Bayangan masa depan bersama anaknya, yang ia yakini bisa menjadi harapan satu-satunya di tengah kekacauan hidupnya, kini lenyap seketika.Tidak lama setelah perawat keluar, kedua orang tuanya, Sari dan Arif, datang dengan wajah tegang. Sari langsung menghampiri Wulan dan menatap putrinya dengan
"Sudah cukup, Wulan!" Aris berdiri tegak di hadapan istrinya, wajahnya memerah karena amarah yang selama ini dipendam. Dia tidak bisa lagi menahan kemarahan setelah semua yang terjadi. "Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi. Kamu harus pergi dari rumah ini sekarang juga."Wulan terdiam, tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Aris. Mata gelapnya membelalak, hatinya berdegup kencang. "Aris... kamu tidak serius, kan?"Aris menggelengkan kepalanya. "Aku sangat serius. Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku bodoh tidak menyadari semua kebohonganmu? Aku sudah cukup bersabar, tapi tidak ada yang tersisa lagi. Aku menceraikanmu, Wulan. Sekarang!"Wulan tersentak mendengar kata-kata tajam itu. Bibirnya bergetar, air mata mulai menetes dari sudut matanya. "Aris, jangan... Kumohon... Jangan lakukan ini." Suaranya penuh dengan kepanikan."Aku sudah katakan, ini sudah selesai." Aris menatap Wulan dengan dingin. "Kita hanya menikah secara siri, dan aku tidak ingin melanjutkan hubung
Aris duduk di ruang tamu dengan wajah tegang. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja ia ketahui. Ponsel Wulan yang selalu berdering di tengah malam, telepon dari Pandu yang disembunyikan, dan semua tanda-tanda yang ia abaikan selama ini. Semua mulai masuk akal sekarang.Wulan duduk di sofa seberang, wajahnya pucat pasi. Dia tahu saat ini adalah akhir dari kebohongannya, tapi dia tetap mencoba bertahan.“Aku tidak bisa lagi menutup mata, Wulan,” kata Aris dingin, nadanya penuh kepahitan. “Sudah cukup. Aku sudah tahu semuanya.”Wulan memandang Aris dengan mata berair, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semua kebohongan dan sandiwara yang dia jalani selama ini runtuh dengan cepat. Dia mencoba mencari cara untuk membela diri, tetapi tak ada lagi yang bisa disangkal.“Pandu adalah ayah dari anak yang kamu kandung, kan?” Aris akhirnya menembak dengan pertanyaan langsung. Suaranya begitu tajam, membuat Wulan menunduk tanpa bisa berkata-kata.“K