"Mas, kamu harusnya bisa mengatur Mbak Maya agar tidak semena-mena padaku. Tidak mungkin aku bisa mengatur keuangan sekaligus mengerjakan pekerjaan rumah," ujar Wulan masih mendumal."Kamu sendiri yang ingin mengambil jatah Maya. Jangan salahkan Maya bila dia tidak ingin melakukan pekerjaan rumah. Aku berangkat sekarang karena sudah hampir telat bila aku jalan jam tujuh," balas Aris.Nasi goreng buatan Maya telah tandas begitu saja. Aris yakin setelah ini, Maya tidak mungkin dengan suka rela memasak untuknya. Mata Maya menyorotkan kekecewaan yang mendalam. Janji berlaku adil pada Maya dan Wulan tidak dapat ditepatinya. Cintanya memang pada Maya, tetapi dia terhasut dengan ucapan Hani dengan memberikan uang gaji sepenuhnya pada istri keduanya."Ini semua salah Ibu! Bila aku tidak menuruti perkataan Ibu, pasti Maya tidak akan marah seperti itu!" ujar Aris menyalahkan ibunya."Lho, kamu sendiri yang mengikuti permintaan Ibu. Jangan malah menyalahkan Ibu seperti ini! Ibu menyuruhmu melak
"Bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin Mas Aris bersikap adil! Bahkan, keuangan rumah tangga dipegang oleh Wulan. Padahal, mereka baru menikah satu hari. Hal ini membuat batinku tersiksa, Put. Aku tidak sanggup bertahan dengan semua ini. Aku sangat ingin bercerita dengan Mas Rendra, tetapi hal itu tidak mungkin karena dia pasti akan langsung pulang dari tugasnya di Kalimantan. Aku tidak ingin membuatnya khawatir," ungkap Maya menceritakan kegelisahannya. "Lalu, apa yang kamu inginkan? Kamu tidak ingin berpisah padahal Aris sudah bersikap tidak adil. Akan tetapi, bila terus bertahan kamu juga tidak sanggup. Bila kau menceritakan perihal rumah tanggamu pada Mas Rendra. Aku yakin dia memintamu untuk segera mengurus perpisahan dengan suamimu," balas Putri yang sedikit banyak telah mengetahui sifat Rendra. Rendra sangat menyayangi Maya, adik satu-satunya. Bila Rendra mengetahui Maya telah disia-siakan begitu saja. Pasti pria itu sangat marah dan memberikan pelajaran pada adik iparnya. N
"Begitukah menurutmu?" tanya Putri gemas sekali pada ucapan Wulan. "Ya, memang seperti itulah seharusnya. Akan tetapi, kita lihat saja nanti apakah Mas Aris dapat menjalani kehidupan poligami ini dengan baik. Yang pasti, aku akan melakukan semua cara untuk mempertahankan pernikahanku. Tidak mungkin aku menyerah begitu saja pada wanita yang baru saja datang di kehidupan kami," jawab Maya masih berharap Aris bersikap adil pada dirinya. "Bila dia dapat bersikap adil aku dapat memaklumi sikapmu yang masih ingin mempertahankannya. Akan tetapi, bila kamu terus mengalami hal yang membuatmu kembali kecewa. Aku rasa, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan," balas Putri. "Yah begitulah, terkadang aku hanya tidak tahan dengan tajamnya mulut orang lain. Apa lagi, jika orang itu adalah mertuaku sendiri. Rasanya begitu sakit mendengar semua ucapan Aris," ujar Maya mengungkapkan kegelisahannya. "Aku tahu benar Bu Hani. Sangat disayangkan dia menjadi mertuamu, tetapi ya sudahla. Kamu harus me
Maya bertekad untuk memberitahukan hal yang dilihat pada Hani. Entah reaksi apabyang akan diberikan oleh mertuanya. Maya tidak ingin Aris semakin terjerat dengan Wulan. Perempuan yang ternyata tidak dapat menjaga dirinya sama sekali.Tidak mungkin pria yang bepergian bersama Wulan merupakan rekan kerja atau client Wulan. Tentu saja, Maya tidak bodoh dengan tetap diam atas ketidaksetiaan Wulan. Dia ingin Hani membuka mata kalau madu pilihannya adalah seorang wanita yang tidak pantas bersanding dengan Aris. Ketika sampai di rumah, Maya disambut oleh Hani yang memasang wajah menyebalkan. Wanita paruh baya itu kesal dengan Maya yang keluar dari rumah seharian.“Dari mana saja, kamu?” tanya Hani melipat tangan di depan dadanya.“Maafkan aku karena pergi terlalu lama, Bu. Akan tetapi, aku ingin menenangkan diriku dengan bertemu dengan sahabatku,” jawab Maya mulai berani menjawab pertanyaan Hani.Bila hal ini terjadi di masa lampau ketika tidak ada Wulan dalam rumah tangganya. Maya tidak a
"Terserah, Tante saja. Aku yakin, Mas Aris tidak akan menceraikanku. Walaupun ada seribu Wulan pun, aku tahu suamiku hanya mencintaiku. Mas Aris melakukannya poligami untuk berbakti pada Ibu," ujar Maya menatap Hani sendu. "Ya, kita akan tahu semuanya ketika Aris datang nanti!" balas Utami tidak ingin kalah dengan Maya. Maya lelah berdebat dengan Utami dan sang ibu mertua. Perempuan itu memilih pergi dari hadapan kedua wanita paruh baya yang selalu memojokkannya. "Eh, kamu mau ke mana? Masak dulu untuk makan malam kita," perintah Hani pada sang menantu. "Memangnya Ibu sudah membeli bahan masakan? Kalau belum, lebih baik minta menantu kesayangan Ibu untuk memasak." Tanpa menunggu jawaban dari Hani, Maya melangkahkan kakinya pergi menuju kamar. Enggan rasanya membahas tentang kelakuan Wulan di luar sana. Pasti, Hani ataupun Utami tidak akan mempercayai perkataan Maya. Perempuan itu memutuskan untuk merebahkan tubuh dan menunggu kepulangan Aris. Terngiang ucapan sahabatnya tent
Aris mendesah mendengar ucapan Utami. Selalu saja, Utami meminta bantuannya. Memang, kejadian yang dialami oleh tantenya itu di luar kehendak mereka semua. Utami ditinggalkan oleh suaminya karena pria itu mengkhianatinya. "Berapa uang yang diperlukan untuk biaya kuliah Elsa?" tanya Aris. "Sepuluh juta, Ris," jawab Utami sumringah. Keponakannya itu memang selalu dapat diandalkan. Semenjak suaminya memutuskan untuk pergi dengan wanita lain. Utama banting tulang untuk membiayai Elsa. Namun, tentu saja biaya yang semakin mahal membuatnya kewalahan. "Nanti, aku akan transfer untuk uang kuliah Elsa. Tante harus lebih baik lagi dalam mengatur keuangan," ujar Aris. "Ris, memangnya kamu ada uang? Bukannya, uang gajimu saja tidak cukup untuk memberikan nafkah untuk Maya?" Hani keheranan dengan Aris yang dengan mudah akan memberikan uang pada Utami. Memang Utami adalah adiknya, dulu ketika bekerja untuk menghidupi dirinya dan Aris. Hani selalu membawa Aris agar menunggu di rumah Utami. Ol
Mata Aris menyipit mendengar ucapan Maya. Tersirat sesuatu ketika sang istri mengatakan pengandaian yagn menurutnya tidak masuk akal. Tentu saja Maya tidak mungkin mengatakan sesuatu tanpa membuktikan kebenarannya."Tadi, saat aku pergi bersama Putri, tidak sengaja aku melihat Wulan bersama seorang pria. Mereka menonton dan makan siang bersama. Aku merasa ada hubungan antara Wulan dengan pria itu," ucap Maya dengan hati-hati."Itu adalah bosnya Wulan, May. Dia sudah memberitahu pada Mas, kalau ingin menemani bosnya itu makan siang. Kamu tidak usah mengkhawatirkan keadaan Wulan. Hal itu sudah biasa terjadi, karyawan menemani bosnya makan siang. Mungkin berbeda dengan dirimu yang tidak mengetahui kebiasaan itu karena dulunya kamu adalah seorang guru," balas Aris berusaha untuk tetap tenang.Maya sudah menduga bahwa Aris tidak akan mempercayai perkataannya. Perempuan itu mengambil ponsel yang berada di tasnya. Dia memperlihatkan foto saat Wulan dicium oleh pria yang dikatakan oleh Aris a
"Apa yang kamu katakan pada Mas Aris, Mbak?" tanya Wulan ketika Maya sedang memasak sarapan pagi. "Aku tidak mengerti maksudmu, Wulan," jawab Maya sambil terus melanjukan acara memasaknya. Wulan menghentikan Maya yang masih tidak mempedulikannya. Dia membalik tubuh Maya, kemudian mendorongnya hingga mengenai dinding. Matanya menatap nyalang kakak madu yang tampak tidak mengerti dengan semua yang dilakukan perempuan di hadapannya. "Apa maumu, Wulan? Aku sedang memasak sarapan untuk kita, apa kamu ingin menggantikanku memasak?" balas Maya yang kesal dengan tingkah laku Wulan yang aneh. "Apa fitnah yang kamu katakan pada Mas Aris?" "Aku tidak pernah memfitnahmu, Wulan. Jangan bicara sembarangan, ya." "Kamu benar-benar perempuan tidak tahu diri ya, Mbak. Aku sudah dengan senang hati menjadi istri kedua dari Mas Aris. Berharap dapat diterima dengan baik oleh istri pertama seperti keluarga mereka menerimaku. Akan tetapi, kamu malah memfitnahku yang tidak-tidak!" ucap Wulan deng
"Jadi, Maya hamil?"Suara Hani bergema di ruang tamu yang sepi. Aris duduk di kursi, pandangannya lurus ke depan, namun hatinya seolah terguncang oleh kabar yang baru saja dia dengar. Dia tak bisa mempercayai bahwa Maya—wanita yang pernah ia cintai dan gagal dia pertahankan—sekarang sedang mengandung anak dari Gilang."Iya, Bu. Maya akan punya anak," Aris menjawab lirih, menundukkan kepalanya.Hani yang duduk di sampingnya terdiam sesaat, mencoba memahami perasaan anaknya. Ia tahu, kabar ini bukan hal yang mudah diterima oleh Aris. Bagaimanapun, meski mereka telah lama berpisah, Maya masih meninggalkan jejak yang mendalam di hati Aris. Kini, kenyataan bahwa Maya akan menjadi ibu dari anak pria lain mungkin terasa seperti pukulan telak bagi Aris."Aris," kata Hani lembut, "kamu harus kuat. Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Maya sudah memilih jalan hidupnya, dan kita harus menghormatinya. Apapun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan."Aris mengangguk pelan, meskipun di dalam
Pagi itu, udara terasa hangat dan tenang di rumah Gilang dan Nissa. Maya sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara pisau yang bergerak cepat di atas talenan mengiringi aktivitas paginya. Dia tersenyum sambil memikirkan hari-harinya bersama Gilang, terutama bulan madu mereka yang penuh kebahagiaan dan tawa. Gilang, dengan segala cinta dan perhatian, selalu membuat Maya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu perubahan besar yang Gilang inginkan. Suatu malam setelah mereka kembali dari bulan madu, di atas ranjang mereka yang nyaman, Gilang memeluk Maya erat dan berbisik, “Sayang, aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku ingin kamu lebih fokus pada kita, keluarga yang akan kita bangun.”Maya tertegun sesaat, menatap Gilang. "Apa kamu benar-benar menginginkannya, Gilang?"“Iya,” jawab Gilang dengan penuh keyakinan. “Aku ingin kamu tidak perlu lagi pusing dengan pekerjaan. Biarkan aku yang menafkahi kita. Kamu bisa beristirahat dan meni
Sebulan kemudian, persiapan pernikahan berjalan dengan cepat. Maya dan Gilang sudah tidak sabar untuk menghalalkan hubungan mereka. Gilang memastikan segala sesuatu tertangani dengan baik, dari dekorasi hingga undangan. Ia ingin hari pernikahannya menjadi momen terbaik dalam hidup mereka.Maya sendiri sibuk dengan persiapan pribadi, memilih gaun dan merencanakan acara bersama sahabat-sahabatnya, termasuk Putri yang selalu setia mendampinginya. Dalam hati, Maya merasa bahagia, meskipun ada rasa takut yang kadang muncul. Bagaimana jika pernikahan ini tidak berjalan sesuai harapan? Bagaimana jika masa lalunya kembali menghantui?Namun, setiap kali rasa khawatir itu muncul, Gilang selalu ada untuk menenangkannya. “Percayalah, Maya. Kita akan bahagia. Ini adalah awal baru untuk kita.”Hari pernikahan semakin dekat, dan semua orang sibuk dengan persiapan. Maya sering kali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, baik di kantor maupun dalam persiapan acara, tetapi itu membuatnya merasa lebih tena
Matahari bersinar cerah ketika Maya tiba di rumah Nissa, perasaan gugup menghiasi langkahnya. Meski hubungan mereka sudah lebih baik, tetap saja, restu dari calon mertuanya adalah langkah besar yang harus ia lewati. Gilang, yang berjalan di sampingnya, meraih tangan Maya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan. “Tenang saja, Maya,” bisik Gilang seraya tersenyum. “Ibu pasti akan merestui kita. Aku yakin.” Maya mengangguk perlahan, meskipun kegelisahan itu masih ada. Dia tahu, restu dari Nissa adalah kunci utama untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hubungannya dengan Gilang. Restu yang selama ini belum sepenuhnya ia dapatkan. Ketika mereka masuk, Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman ramah terulas di wajahnya, namun Maya tetap bisa merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Nissa memang lebih bersikap terbuka belakangan ini, tetapi masalah masa lalu Maya sebagai seorang janda masih menyisakan sedikit kekhawatiran dalam benak ibu Gilang. “Du
"Ibu akan memberitahukannya setelah waktunya tepat" ucap Nissa.Nissa meminta Maya dan Gilang untuk bersabar. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk menerima Maya. Oleh karena itu, Nissa masih meminta waktu untuk berpikir tentang restu untuk Maya dan Gilang. Akhirnya, Maya dan Gilang mencoba untuk bersabar. Hingga ada seseorang yang kembali mengusik ketenangan Maya.Langit senja terlihat suram ketika Aris berdiri di depan pintu kontrakan Maya. Dengan napas tertahan, dia menekan bel pintu, berharap Maya akan menerimanya kembali. Meski banyak hal yang telah terjadi, Aris masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Dia tahu betul hubungannya dengan Wulan berakhir tragis, dan kini, pikirannya kembali teringat pada Maya—wanita yang pernah dia cintai dan biarkan pergi. Pintu terbuka perlahan, dan Maya berdiri di sana, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aris?" tanyanya, suaranya terdengar datar, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. Aris m
Wulan duduk di atas ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap keluar jendela. Hujan deras mengguyur kota, seolah mencerminkan kekosongan di dalam hatinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Kandungannya yang dulu menjadi harapan kini telah tiada. Semua telah lenyap, meninggalkannya dalam kehampaan yang menyakitkan.Pintu kamar perlahan terbuka. Pandu melangkah masuk, wajahnya tampak tegang dan penuh dengan penyesalan. Wulan menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Pandu yang muram."Pandu..." suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Pandu mendekat, berdiri di sisi ranjang, namun ia tidak segera bicara. Hanya keheningan yang terjalin di antara mereka. Tatapan penuh luka di mata Wulan membuat dada Pandu terasa sesak."Aku tidak tahu harus berkata apa," Pandu akhirnya memecah kesunyian, suaranya rendah dan berat. "Aku... sangat menyesal."Wulan menundukkan kepala, mencoba menahan tangis yang sudah tak terhitung jumlahnya. "Kita semua melakukan kesalahan, Pandu," katanya lirih. "Aku ta
Wulan duduk terpaku di ranjang rumah sakit, tangannya memeluk erat perutnya yang kosong. Air matanya mengalir deras, seolah tidak pernah akan berhenti. Di dalam tubuhnya, bayi yang selama enam bulan ia kandung kini tidak lagi bernyawa. Tidak ada lagi denyut kehidupan yang dulu selalu ia rasakan setiap hari.Seorang perawat masuk ke kamar dan memberikan kabar yang sudah ia tahu sejak tadi, namun masih terlalu menyakitkan untuk didengar lagi. “Maaf, Bu Wulan... Kami sudah berusaha, tapi bayinya tidak bisa diselamatkan. Kondisinya terlalu lemah setelah pendarahan hebat tadi.”Wulan hanya mengangguk lemah, tidak ada tenaga untuk berkata apa-apa. Hatinya hancur, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Bayangan masa depan bersama anaknya, yang ia yakini bisa menjadi harapan satu-satunya di tengah kekacauan hidupnya, kini lenyap seketika.Tidak lama setelah perawat keluar, kedua orang tuanya, Sari dan Arif, datang dengan wajah tegang. Sari langsung menghampiri Wulan dan menatap putrinya dengan
"Sudah cukup, Wulan!" Aris berdiri tegak di hadapan istrinya, wajahnya memerah karena amarah yang selama ini dipendam. Dia tidak bisa lagi menahan kemarahan setelah semua yang terjadi. "Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi. Kamu harus pergi dari rumah ini sekarang juga."Wulan terdiam, tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Aris. Mata gelapnya membelalak, hatinya berdegup kencang. "Aris... kamu tidak serius, kan?"Aris menggelengkan kepalanya. "Aku sangat serius. Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku bodoh tidak menyadari semua kebohonganmu? Aku sudah cukup bersabar, tapi tidak ada yang tersisa lagi. Aku menceraikanmu, Wulan. Sekarang!"Wulan tersentak mendengar kata-kata tajam itu. Bibirnya bergetar, air mata mulai menetes dari sudut matanya. "Aris, jangan... Kumohon... Jangan lakukan ini." Suaranya penuh dengan kepanikan."Aku sudah katakan, ini sudah selesai." Aris menatap Wulan dengan dingin. "Kita hanya menikah secara siri, dan aku tidak ingin melanjutkan hubung
Aris duduk di ruang tamu dengan wajah tegang. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja ia ketahui. Ponsel Wulan yang selalu berdering di tengah malam, telepon dari Pandu yang disembunyikan, dan semua tanda-tanda yang ia abaikan selama ini. Semua mulai masuk akal sekarang.Wulan duduk di sofa seberang, wajahnya pucat pasi. Dia tahu saat ini adalah akhir dari kebohongannya, tapi dia tetap mencoba bertahan.“Aku tidak bisa lagi menutup mata, Wulan,” kata Aris dingin, nadanya penuh kepahitan. “Sudah cukup. Aku sudah tahu semuanya.”Wulan memandang Aris dengan mata berair, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semua kebohongan dan sandiwara yang dia jalani selama ini runtuh dengan cepat. Dia mencoba mencari cara untuk membela diri, tetapi tak ada lagi yang bisa disangkal.“Pandu adalah ayah dari anak yang kamu kandung, kan?” Aris akhirnya menembak dengan pertanyaan langsung. Suaranya begitu tajam, membuat Wulan menunduk tanpa bisa berkata-kata.“K