Mata Aris menyipit mendengar ucapan Maya. Tersirat sesuatu ketika sang istri mengatakan pengandaian yagn menurutnya tidak masuk akal. Tentu saja Maya tidak mungkin mengatakan sesuatu tanpa membuktikan kebenarannya."Tadi, saat aku pergi bersama Putri, tidak sengaja aku melihat Wulan bersama seorang pria. Mereka menonton dan makan siang bersama. Aku merasa ada hubungan antara Wulan dengan pria itu," ucap Maya dengan hati-hati."Itu adalah bosnya Wulan, May. Dia sudah memberitahu pada Mas, kalau ingin menemani bosnya itu makan siang. Kamu tidak usah mengkhawatirkan keadaan Wulan. Hal itu sudah biasa terjadi, karyawan menemani bosnya makan siang. Mungkin berbeda dengan dirimu yang tidak mengetahui kebiasaan itu karena dulunya kamu adalah seorang guru," balas Aris berusaha untuk tetap tenang.Maya sudah menduga bahwa Aris tidak akan mempercayai perkataannya. Perempuan itu mengambil ponsel yang berada di tasnya. Dia memperlihatkan foto saat Wulan dicium oleh pria yang dikatakan oleh Aris a
"Apa yang kamu katakan pada Mas Aris, Mbak?" tanya Wulan ketika Maya sedang memasak sarapan pagi. "Aku tidak mengerti maksudmu, Wulan," jawab Maya sambil terus melanjukan acara memasaknya. Wulan menghentikan Maya yang masih tidak mempedulikannya. Dia membalik tubuh Maya, kemudian mendorongnya hingga mengenai dinding. Matanya menatap nyalang kakak madu yang tampak tidak mengerti dengan semua yang dilakukan perempuan di hadapannya. "Apa maumu, Wulan? Aku sedang memasak sarapan untuk kita, apa kamu ingin menggantikanku memasak?" balas Maya yang kesal dengan tingkah laku Wulan yang aneh. "Apa fitnah yang kamu katakan pada Mas Aris?" "Aku tidak pernah memfitnahmu, Wulan. Jangan bicara sembarangan, ya." "Kamu benar-benar perempuan tidak tahu diri ya, Mbak. Aku sudah dengan senang hati menjadi istri kedua dari Mas Aris. Berharap dapat diterima dengan baik oleh istri pertama seperti keluarga mereka menerimaku. Akan tetapi, kamu malah memfitnahku yang tidak-tidak!" ucap Wulan deng
Wulan yang wajahnya telah babak belur terdiam mendengar pertanyaan Hani. Dia takut Maya akan memberikan video ketika dia bermesraan dengan bosnya diperlihatkan pada Hani. Selama ini yang menjadi pegangan untuk dirinya adalah kebaikan Hani. Aris mungkin dapat mengabaikannya dan memilih bersikap tidak adil dengan tidur di kamar Maya terus menerus. Akan tetapi, dia tidak ingin kehilangan Hani yang sangat menyayanginya. Dari awal, dia telah menetapkan hati untuk tetap berada dalam keluarga ini apa pun yang terjadi. "Itu semua fitnah, Bu! Pasti Mbak Maya telah mengedit video sedemikian rupa hingga menyerupaiku. Jadi, did dapat mengatakan yang tidak-tidak pada Mas Aris! Aku tidak tahu apa kesalahanku pada Mbak Maya. Akan tetapi, dia berusaha mengusik rumah tangga yang baru saja ingin aku bina! Apa salahku, Bu?" Wulan memulai dramanya dengan bersikap seolah korban. "Jangan playing victim! Berani berbuat berarti kamu harus berani bertanggung jawab. Aku tidak ingin memiliki madu yang ti
"Mas! Aku memiliki kabar yang sangat mengembirakan untuk kita semua!" ujar Wulan dengan wajah penuh sumringah.Aris yang sedang menikmati sarapan ditemani oleh Maya sontak menoleh melihat istri keduanya. Wanita itu menyodorkan sebuah benda pipih yang sangat familiar. Mata Maya melebar ketika melihat benda telah berada di tangan Aris. Dua bulan setelah pertengkaran Maya dan Wulan, keduanya sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Tidak ada adu mulut atau lirikan sinis dari keduanya. Namun, tetap saja terjadi perang dingin merebut perhatian sang suami.Maya menunjukkan kebolehannya dengan memasak makanan yang disukai oleh Aris. Berbeda dengan Wulan yang mengandalkan kecantikannya. Wanita itu memang sudah janda, tetapi soal kecantikan tentunya sebanding dengan Maya. Belum lagi umur Wulan yang terbilang lebih muda dibandingkan dengan Maya."Ada apa Wulan?" ucap Hani ikut penasaran dengan hal yang ingin diberitahukan oleh Wulan."Kamu hamil?" tanya Aris yang bangkit dari tempat duduknya,
"Aku ingin pindah ke kamar utama karena kamar yang aku tempati saat ini tidak terlalu luas. Jadi, ruang gerakku terbatas. Kamu tahu 'kan kalau aku sedang hamil. Jadi, aku butuh kamar yang lebih luas dari kamarku saat ini," ucap Wulan dengan wajah penuh senyuman.Maya menatap sendu Aris yang menunggu jawabannya. Perempuan itu tahu tidak ada yang berpihak pada saat ini. Aris yang notabenenya merupakan suami yang sangat mencintainya, saat ini tampak sangat gembira dengan kabar kehamilan Wulan. Napas Maya terasa sesak karena tidak dapat menolak permintaan madunya. Ketiga orang menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Mereka menunggu keputusan Maya terkait permintaan Wulan yang dirasa sangat mengganggu."Aku terserah pada Mas Aris, lima tahun aku menempati kamar utama di rumah ini. Sebagai sesama perempuan pasti kamu mengetahui perasaanku. Jadi, aku serahkan semua keputusan pada Mas Aris," balas Maya dengan tenang. Semua mata tertuju pada Aris, tentu saja Maya menginginkan Aris menol
"Kalau kamu tidak ikhlas, tidak perlu melakukannya, Mbak!" tukas Wulan memotong ucapan Maya. Mata Maya menyipit mendengar ucapan Wulan, dia bahkan belum mengatakan apa pun untuk menjawab pertanyaan Aris. Sang suami dan mertua menggeleng ketika mendengar ucapan Wulan. Wajah wanita itu sudah menunjukkan kalau dia tidak enak dengan istri pertama Aris. Selama beberapa Minggu melakukan gencatan senjata, tidak ada pembicaraan antara kedua orang itu. Mereka saling menghindari satu sama lain untuk mencegah terjadinya pertengkaran. Kini, Wulan merasa dia atas angin karena telah memiliki hal yang belum bisa diwujudkan oleh Maya. Ditatap sedemikian rupa oleh Hani dan Aris membuat Maya sadar kalau mereka menunggunya untuk mengalah. Kembali, Maya menatap mata Aris untuk meyakinkan dirinya. Tidak ada lagi tatapan mendamba dari Aris, cinta yang selama ini dia gaungkan seolah hilang begitu saja. "Aku mohon kamu dapat mempertimbangkan kehadiran anakku, Maya. Aku tahu kamu adalah wanita yang
"Tentu saja aku tidak akan mengubah perasaan cintaku padamu, aku sangat mencintaimu, Sayang," jawab Aris. Terdengar keraguan di setiap ucapan Aris. Maya tidak bisa menjamin setiap perkataan pria yang telah menemaninya selama lima tahun. Ketakutannya menjadi nyata, ucapan Aris hanya sekadar untuk menenangkan dirinya. Maya mengangguk, kemudian mengurai pelukan mereka. Sepertinya, hanya menunggu waktu perasaan Aris padanya akan berubah. Dia harus tegar menghadapi semua hal yang terjadi. Di sisi lain, Aris memandanginya dengan penuh tanya. Raut wajah Maya seolah tidak percaya dengan semua ucapannya. "Kamu percaya padaku, kan?" "Ya, Mas. Aku percaya padamu, biar bagaimana pun. Yang kamu cintai adalah aku, bukan Wulan. Namun, aku memahami dilema yang kau alami. Aku ikhlas bila harus berbagi dengan Wulan. Ini semua adalah konsekuensi poligami yang kamu berikan padaku," ujar Maya. Tidak ingin membuat sang suami merasa semakin bersalah, dia memilih untuk membereskan semua barangny
Maya tersentak dengan ucapan Hani. Dia menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedari tadi mendengar ucapan Maya. Meneguhkan hatinya sendiri, Maya tercengang tidak ingin menambah kegaduhan dengan bertengkar dengan Hani. Tanpa mempedulikan ucapan Hani, perempuan itu beranjak pergi. Hani mengikuti dari belakang, dia ingin sekali berbicara dengan Maya sedari tadi. "Hei, dasar menantu tidak tahu diri. Ibu sedang berbicara denganmu!" hardik Hani. Tidak mendapatkan balasan atas ucapannya yang cukup menyayat hati, membuat Hani penasaran dengan perasaan Maya. Istri pertama dari putranya itu menunjukkan bahwa tidak ada kebahagiaan yang menyertainya ketika mendengar Wulan mengandung. Pastinya, Maya iri dengan kehamilan Wulan dan Hani ingin mencegah semua hal yang mungkin terjadi. "Apa sebenarnya mau Ibu?" tanya Maya menghadap pada sang mertua. "Tanpa Ibu beritahukan padamu, seharusnya kamu tahu keinginan Ibu, Maya!" jawab Hani dengan wajah yang menantang. "Aku sama sekali tidak mengerti uc
"Jadi, Maya hamil?"Suara Hani bergema di ruang tamu yang sepi. Aris duduk di kursi, pandangannya lurus ke depan, namun hatinya seolah terguncang oleh kabar yang baru saja dia dengar. Dia tak bisa mempercayai bahwa Maya—wanita yang pernah ia cintai dan gagal dia pertahankan—sekarang sedang mengandung anak dari Gilang."Iya, Bu. Maya akan punya anak," Aris menjawab lirih, menundukkan kepalanya.Hani yang duduk di sampingnya terdiam sesaat, mencoba memahami perasaan anaknya. Ia tahu, kabar ini bukan hal yang mudah diterima oleh Aris. Bagaimanapun, meski mereka telah lama berpisah, Maya masih meninggalkan jejak yang mendalam di hati Aris. Kini, kenyataan bahwa Maya akan menjadi ibu dari anak pria lain mungkin terasa seperti pukulan telak bagi Aris."Aris," kata Hani lembut, "kamu harus kuat. Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Maya sudah memilih jalan hidupnya, dan kita harus menghormatinya. Apapun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan."Aris mengangguk pelan, meskipun di dalam
Pagi itu, udara terasa hangat dan tenang di rumah Gilang dan Nissa. Maya sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara pisau yang bergerak cepat di atas talenan mengiringi aktivitas paginya. Dia tersenyum sambil memikirkan hari-harinya bersama Gilang, terutama bulan madu mereka yang penuh kebahagiaan dan tawa. Gilang, dengan segala cinta dan perhatian, selalu membuat Maya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu perubahan besar yang Gilang inginkan. Suatu malam setelah mereka kembali dari bulan madu, di atas ranjang mereka yang nyaman, Gilang memeluk Maya erat dan berbisik, “Sayang, aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku ingin kamu lebih fokus pada kita, keluarga yang akan kita bangun.”Maya tertegun sesaat, menatap Gilang. "Apa kamu benar-benar menginginkannya, Gilang?"“Iya,” jawab Gilang dengan penuh keyakinan. “Aku ingin kamu tidak perlu lagi pusing dengan pekerjaan. Biarkan aku yang menafkahi kita. Kamu bisa beristirahat dan meni
Sebulan kemudian, persiapan pernikahan berjalan dengan cepat. Maya dan Gilang sudah tidak sabar untuk menghalalkan hubungan mereka. Gilang memastikan segala sesuatu tertangani dengan baik, dari dekorasi hingga undangan. Ia ingin hari pernikahannya menjadi momen terbaik dalam hidup mereka.Maya sendiri sibuk dengan persiapan pribadi, memilih gaun dan merencanakan acara bersama sahabat-sahabatnya, termasuk Putri yang selalu setia mendampinginya. Dalam hati, Maya merasa bahagia, meskipun ada rasa takut yang kadang muncul. Bagaimana jika pernikahan ini tidak berjalan sesuai harapan? Bagaimana jika masa lalunya kembali menghantui?Namun, setiap kali rasa khawatir itu muncul, Gilang selalu ada untuk menenangkannya. “Percayalah, Maya. Kita akan bahagia. Ini adalah awal baru untuk kita.”Hari pernikahan semakin dekat, dan semua orang sibuk dengan persiapan. Maya sering kali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, baik di kantor maupun dalam persiapan acara, tetapi itu membuatnya merasa lebih tena
Matahari bersinar cerah ketika Maya tiba di rumah Nissa, perasaan gugup menghiasi langkahnya. Meski hubungan mereka sudah lebih baik, tetap saja, restu dari calon mertuanya adalah langkah besar yang harus ia lewati. Gilang, yang berjalan di sampingnya, meraih tangan Maya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan. “Tenang saja, Maya,” bisik Gilang seraya tersenyum. “Ibu pasti akan merestui kita. Aku yakin.” Maya mengangguk perlahan, meskipun kegelisahan itu masih ada. Dia tahu, restu dari Nissa adalah kunci utama untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hubungannya dengan Gilang. Restu yang selama ini belum sepenuhnya ia dapatkan. Ketika mereka masuk, Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman ramah terulas di wajahnya, namun Maya tetap bisa merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Nissa memang lebih bersikap terbuka belakangan ini, tetapi masalah masa lalu Maya sebagai seorang janda masih menyisakan sedikit kekhawatiran dalam benak ibu Gilang. “Du
"Ibu akan memberitahukannya setelah waktunya tepat" ucap Nissa.Nissa meminta Maya dan Gilang untuk bersabar. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk menerima Maya. Oleh karena itu, Nissa masih meminta waktu untuk berpikir tentang restu untuk Maya dan Gilang. Akhirnya, Maya dan Gilang mencoba untuk bersabar. Hingga ada seseorang yang kembali mengusik ketenangan Maya.Langit senja terlihat suram ketika Aris berdiri di depan pintu kontrakan Maya. Dengan napas tertahan, dia menekan bel pintu, berharap Maya akan menerimanya kembali. Meski banyak hal yang telah terjadi, Aris masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Dia tahu betul hubungannya dengan Wulan berakhir tragis, dan kini, pikirannya kembali teringat pada Maya—wanita yang pernah dia cintai dan biarkan pergi. Pintu terbuka perlahan, dan Maya berdiri di sana, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aris?" tanyanya, suaranya terdengar datar, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. Aris m
Wulan duduk di atas ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap keluar jendela. Hujan deras mengguyur kota, seolah mencerminkan kekosongan di dalam hatinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Kandungannya yang dulu menjadi harapan kini telah tiada. Semua telah lenyap, meninggalkannya dalam kehampaan yang menyakitkan.Pintu kamar perlahan terbuka. Pandu melangkah masuk, wajahnya tampak tegang dan penuh dengan penyesalan. Wulan menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Pandu yang muram."Pandu..." suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Pandu mendekat, berdiri di sisi ranjang, namun ia tidak segera bicara. Hanya keheningan yang terjalin di antara mereka. Tatapan penuh luka di mata Wulan membuat dada Pandu terasa sesak."Aku tidak tahu harus berkata apa," Pandu akhirnya memecah kesunyian, suaranya rendah dan berat. "Aku... sangat menyesal."Wulan menundukkan kepala, mencoba menahan tangis yang sudah tak terhitung jumlahnya. "Kita semua melakukan kesalahan, Pandu," katanya lirih. "Aku ta
Wulan duduk terpaku di ranjang rumah sakit, tangannya memeluk erat perutnya yang kosong. Air matanya mengalir deras, seolah tidak pernah akan berhenti. Di dalam tubuhnya, bayi yang selama enam bulan ia kandung kini tidak lagi bernyawa. Tidak ada lagi denyut kehidupan yang dulu selalu ia rasakan setiap hari.Seorang perawat masuk ke kamar dan memberikan kabar yang sudah ia tahu sejak tadi, namun masih terlalu menyakitkan untuk didengar lagi. “Maaf, Bu Wulan... Kami sudah berusaha, tapi bayinya tidak bisa diselamatkan. Kondisinya terlalu lemah setelah pendarahan hebat tadi.”Wulan hanya mengangguk lemah, tidak ada tenaga untuk berkata apa-apa. Hatinya hancur, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Bayangan masa depan bersama anaknya, yang ia yakini bisa menjadi harapan satu-satunya di tengah kekacauan hidupnya, kini lenyap seketika.Tidak lama setelah perawat keluar, kedua orang tuanya, Sari dan Arif, datang dengan wajah tegang. Sari langsung menghampiri Wulan dan menatap putrinya dengan
"Sudah cukup, Wulan!" Aris berdiri tegak di hadapan istrinya, wajahnya memerah karena amarah yang selama ini dipendam. Dia tidak bisa lagi menahan kemarahan setelah semua yang terjadi. "Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi. Kamu harus pergi dari rumah ini sekarang juga."Wulan terdiam, tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Aris. Mata gelapnya membelalak, hatinya berdegup kencang. "Aris... kamu tidak serius, kan?"Aris menggelengkan kepalanya. "Aku sangat serius. Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku bodoh tidak menyadari semua kebohonganmu? Aku sudah cukup bersabar, tapi tidak ada yang tersisa lagi. Aku menceraikanmu, Wulan. Sekarang!"Wulan tersentak mendengar kata-kata tajam itu. Bibirnya bergetar, air mata mulai menetes dari sudut matanya. "Aris, jangan... Kumohon... Jangan lakukan ini." Suaranya penuh dengan kepanikan."Aku sudah katakan, ini sudah selesai." Aris menatap Wulan dengan dingin. "Kita hanya menikah secara siri, dan aku tidak ingin melanjutkan hubung
Aris duduk di ruang tamu dengan wajah tegang. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja ia ketahui. Ponsel Wulan yang selalu berdering di tengah malam, telepon dari Pandu yang disembunyikan, dan semua tanda-tanda yang ia abaikan selama ini. Semua mulai masuk akal sekarang.Wulan duduk di sofa seberang, wajahnya pucat pasi. Dia tahu saat ini adalah akhir dari kebohongannya, tapi dia tetap mencoba bertahan.“Aku tidak bisa lagi menutup mata, Wulan,” kata Aris dingin, nadanya penuh kepahitan. “Sudah cukup. Aku sudah tahu semuanya.”Wulan memandang Aris dengan mata berair, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semua kebohongan dan sandiwara yang dia jalani selama ini runtuh dengan cepat. Dia mencoba mencari cara untuk membela diri, tetapi tak ada lagi yang bisa disangkal.“Pandu adalah ayah dari anak yang kamu kandung, kan?” Aris akhirnya menembak dengan pertanyaan langsung. Suaranya begitu tajam, membuat Wulan menunduk tanpa bisa berkata-kata.“K