"Tentu saja aku tidak akan mengubah perasaan cintaku padamu, aku sangat mencintaimu, Sayang," jawab Aris. Terdengar keraguan di setiap ucapan Aris. Maya tidak bisa menjamin setiap perkataan pria yang telah menemaninya selama lima tahun. Ketakutannya menjadi nyata, ucapan Aris hanya sekadar untuk menenangkan dirinya. Maya mengangguk, kemudian mengurai pelukan mereka. Sepertinya, hanya menunggu waktu perasaan Aris padanya akan berubah. Dia harus tegar menghadapi semua hal yang terjadi. Di sisi lain, Aris memandanginya dengan penuh tanya. Raut wajah Maya seolah tidak percaya dengan semua ucapannya. "Kamu percaya padaku, kan?" "Ya, Mas. Aku percaya padamu, biar bagaimana pun. Yang kamu cintai adalah aku, bukan Wulan. Namun, aku memahami dilema yang kau alami. Aku ikhlas bila harus berbagi dengan Wulan. Ini semua adalah konsekuensi poligami yang kamu berikan padaku," ujar Maya. Tidak ingin membuat sang suami merasa semakin bersalah, dia memilih untuk membereskan semua barangny
Maya tersentak dengan ucapan Hani. Dia menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedari tadi mendengar ucapan Maya. Meneguhkan hatinya sendiri, Maya tercengang tidak ingin menambah kegaduhan dengan bertengkar dengan Hani. Tanpa mempedulikan ucapan Hani, perempuan itu beranjak pergi. Hani mengikuti dari belakang, dia ingin sekali berbicara dengan Maya sedari tadi. "Hei, dasar menantu tidak tahu diri. Ibu sedang berbicara denganmu!" hardik Hani. Tidak mendapatkan balasan atas ucapannya yang cukup menyayat hati, membuat Hani penasaran dengan perasaan Maya. Istri pertama dari putranya itu menunjukkan bahwa tidak ada kebahagiaan yang menyertainya ketika mendengar Wulan mengandung. Pastinya, Maya iri dengan kehamilan Wulan dan Hani ingin mencegah semua hal yang mungkin terjadi. "Apa sebenarnya mau Ibu?" tanya Maya menghadap pada sang mertua. "Tanpa Ibu beritahukan padamu, seharusnya kamu tahu keinginan Ibu, Maya!" jawab Hani dengan wajah yang menantang. "Aku sama sekali tidak mengerti uc
Aris tidak menjawab pertanyaan Maya, dia mengalihkan pembicaraan ketika Maya mempertanyaakan tentang perasaannya. "Perasaanku tetap sama padamu, hanya saja ada setitik perubahan yang terjadi. Aku harap kamu dapat mengerti kalau saat ini ada Wulan yang harus aku jaga," ucap Aris menolak menjawab pertanyaan Maya. "Begitukah? Semakin lama, aku semakin sadar kalau kamu tidak dapat berlaku adil pada kami berdua," balas Maya terus mengatakan tentang keadilan. "Sebaiknya, kamu tidur, May. Aku tidak ingin kamu terus memikirkan hal negatif. Untuk hal yang tadi kita perdebatkan, aku akan tetap mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membantu Wulan. Uang gaji akan berasal dariku, tanpa mengganggu nafkah yang aku berikan. Aku rasa itu sudah keputusan yang cukup adil," ujar Aris. "Baiklah kalau itu maumu, Mas. Aku juga tidak mungkin memaksa Wulan untuk membantuku membereskan rumah." Perubahan dalam diri Aris nyatanya sangat membuat Maya bersedih. "Oh iya, sebelum asisten rumah tangga dat
"Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini berakhir, jadi jangan bicara sembarangan seperti itu Maya!" balas Aris. "Tapi, mengapa kamu hanya memberikan aku uang segini. Terus saja kamu bersikap tidak adil seperti ini, Mas! Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu kembali seperti dulu?" Maya mulai menangis karena tidak tahan dengan semua perbuatan Aris. Hati Aris terenyuh dengan kekecewaan yang ditampilkan oleh Maya. Terlihat sekali kalau istri pertamanya itu sudah lama memendam semua kekecewaan yang tertanam di dadanya. "Kamu tahu kalau tidak akan pernah bisa memberikan Aris keturunan Maya! Jadi, lebih baik tetap bersikap seperti biasa, jangan pernah menuntut pada anakku. Sudah syukur kamu mendapatkan nafkah dari anakku! Berharap terlalu berlebihan akan membuatmu sakit hati!" Bukan Aris yang membalas ucapan Maya melainkan Hani. Perkataan ibu mertua yang sejak awal tidak menyukainya itu, tentu menambah sakit di hati Maya. Apakah dia tidak memiliki hak untuk menuntut apa
"Bukan maksudku mengatakan hal itu, Maya. Semua yang aku katakan demi rumah tangga kita. Aku sudah merindukan tangisan bayi di rumah ini. Kamu pasti tahu rasanya ditanya setiap saat oleh orang lain kapan memiliki momongan," ucap Aris. Maya termenung mendengarkan ucapan Aris. Selama ini memang kerap kali orang yang melihatnya selalu saja bertanya kapan memiliki seorang anak. Bahkan, ketika suaminya memutuskan poligami, tidak ada yang bersimpati padanya.Hanya sahabat terdekatnya yaitu Putri, yang bersimpati padanya. Semua temannya mencemooh dirinya di belakang karena merasa perlakuan Aris memang pantas didapatkan oleh Maya.Pertanyaan kapan memiliki anak selalu terngiang di telinga Maya. Ketika dia memutuskan resign pun, beberapa orang malah mencemoohnya karena berhenti bekerja dengan alasan ingin memiliki anak. Semua itu membuat Maya sadar sedikit sekali teman yang tulis padanya."Aku tahu semua perasaan itu, Mas. Namun, bukan berarti kamu terus membela Wulan yang membuatku harus men
"Kita lihat saja nanti, Mas. Aku yakin akan ada menerimaku sebagai karyawan. Walaupun dulu aku bekerja sebagai guru. Aku berharap dapat beralih profesi!" ujar Maya.Aris mengatakan hal menohok dengan mempertanyakan kemampuan Maya. Perempuan itu menganggap sang suami tidak mempercayai bahwa Maya dapat kembali bekerja. Bukan tanpa alasan, Maya menginginkan kembali bekerja. Nafkah dari Aris sebesar lima ratus ribu tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhannya. Mungkin cukup bila Maya tidak menanggung biaya makan empat orang dewasa yang berada dalam rumah yang dia tinggali. Memang setelah perdebatan tentang biaya listrik dan air, Wulan membayar semua pengeluaran karena merasa malu dengan ucapan Maya. Akan tetapi, biaya makan tetap ditanggung oleh Maya.Yang menjadi masalah adalah keinginan ibu mertuanya yang menginginkan masakan enak setiap hari. Bila lauk yang tersaji tidak sesuai dengan seleranya, Hani akan marah dan menuduh Maya tidak mengelola uang dengan baik. Padahal, di mana wanita ya
Tidak ingin larut dalam kesedihannya terlalu lama, Maya menghubungi sahabatnya, Putri. Dia menepis semua kekhawatirannya tentang keberadaan Gilang. Pria yang dari dulu mengatakan cinta, tetapi selalu ditolak oleh Maya. Sebenarnya, ada setitik penyesalan menolak pria sebaik Gilang. Namun, dia hanya dapat menganggap Gilang sebagai kakak. Tumbuh bersama dengan Putri membuatnya terbiasa dengan kehadiran Gilang. Tentunya tidak dapat dia memandang Gilang sebagai seorang pria. Hari ini, dia akan bertemu dengan Putri di perusahaan milik keluarganya. Selain tidak bisa menganggap Gilang sebagai seorang pria. Keluarga Putri membuat Maya selalu merasa rendah diri. Dia merupakan anak yatim piatu yang hanya memiliki Rendra sebagai keluarganya. Itu pun, Rendra sedang bertugas di Kalimantan. Tidak ada yang dapat membela dan menjadi sandaran Maya. Perempuan itu akan berusaha bangkit, tidak terus menerus meratapi nasibnya sebagai istri yang telah dipoligami oleh suaminya. Bertahan dengan cintanya pa
"Ada apa lagi, Mas?" Maya sudah cukup mendengarkan berbagai ucapan yang menyakiti hatinya. Tidak ingin berdebat lebih jauh lagi, dia sudah memilih untuk pergi terlebih dahulu. Aris memandang Maya tampak tak rela istrinya kembali bekerja. Memberikan uang nafkah yang sepantasnya pun, Aris belum bisa karena cicilannya di kantor masih lama. "Biar Mas mengantarkanmu, hari ini," ujar Aris berdiri hendak menyusul Maya. "Lho, Mas biasanya mengantarkanku. Tidak bisa seenaknya membiarkanku pergi sendiri, dong, Mas!" tukas Wulan tidak terima Maya diantarkan oleh sang suami. "Kita bisa berangkat bersama, Wulan. Jangan mempersulit hal yang mudah!" Aris mulai memberikan perhatian kecil pada Maya. Tentunya, hal itu tidak disukai oleh Wulan. "Aku tidak suka kalau Mbak Maya ikut bersama di mobil. Lagi pula, kita tidak tahu Mbak Maya akan melamar di mana!" "Sudah, Mas. Aku ditunggu oleh Putri. Kebetulan dia sudah hampir sampai. Tidak perlu kamu mengantarkanku. Cukup antar Wulan saja, tida
"Jadi, Maya hamil?"Suara Hani bergema di ruang tamu yang sepi. Aris duduk di kursi, pandangannya lurus ke depan, namun hatinya seolah terguncang oleh kabar yang baru saja dia dengar. Dia tak bisa mempercayai bahwa Maya—wanita yang pernah ia cintai dan gagal dia pertahankan—sekarang sedang mengandung anak dari Gilang."Iya, Bu. Maya akan punya anak," Aris menjawab lirih, menundukkan kepalanya.Hani yang duduk di sampingnya terdiam sesaat, mencoba memahami perasaan anaknya. Ia tahu, kabar ini bukan hal yang mudah diterima oleh Aris. Bagaimanapun, meski mereka telah lama berpisah, Maya masih meninggalkan jejak yang mendalam di hati Aris. Kini, kenyataan bahwa Maya akan menjadi ibu dari anak pria lain mungkin terasa seperti pukulan telak bagi Aris."Aris," kata Hani lembut, "kamu harus kuat. Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Maya sudah memilih jalan hidupnya, dan kita harus menghormatinya. Apapun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan."Aris mengangguk pelan, meskipun di dalam
Pagi itu, udara terasa hangat dan tenang di rumah Gilang dan Nissa. Maya sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara pisau yang bergerak cepat di atas talenan mengiringi aktivitas paginya. Dia tersenyum sambil memikirkan hari-harinya bersama Gilang, terutama bulan madu mereka yang penuh kebahagiaan dan tawa. Gilang, dengan segala cinta dan perhatian, selalu membuat Maya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu perubahan besar yang Gilang inginkan. Suatu malam setelah mereka kembali dari bulan madu, di atas ranjang mereka yang nyaman, Gilang memeluk Maya erat dan berbisik, “Sayang, aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku ingin kamu lebih fokus pada kita, keluarga yang akan kita bangun.”Maya tertegun sesaat, menatap Gilang. "Apa kamu benar-benar menginginkannya, Gilang?"“Iya,” jawab Gilang dengan penuh keyakinan. “Aku ingin kamu tidak perlu lagi pusing dengan pekerjaan. Biarkan aku yang menafkahi kita. Kamu bisa beristirahat dan meni
Sebulan kemudian, persiapan pernikahan berjalan dengan cepat. Maya dan Gilang sudah tidak sabar untuk menghalalkan hubungan mereka. Gilang memastikan segala sesuatu tertangani dengan baik, dari dekorasi hingga undangan. Ia ingin hari pernikahannya menjadi momen terbaik dalam hidup mereka.Maya sendiri sibuk dengan persiapan pribadi, memilih gaun dan merencanakan acara bersama sahabat-sahabatnya, termasuk Putri yang selalu setia mendampinginya. Dalam hati, Maya merasa bahagia, meskipun ada rasa takut yang kadang muncul. Bagaimana jika pernikahan ini tidak berjalan sesuai harapan? Bagaimana jika masa lalunya kembali menghantui?Namun, setiap kali rasa khawatir itu muncul, Gilang selalu ada untuk menenangkannya. “Percayalah, Maya. Kita akan bahagia. Ini adalah awal baru untuk kita.”Hari pernikahan semakin dekat, dan semua orang sibuk dengan persiapan. Maya sering kali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, baik di kantor maupun dalam persiapan acara, tetapi itu membuatnya merasa lebih tena
Matahari bersinar cerah ketika Maya tiba di rumah Nissa, perasaan gugup menghiasi langkahnya. Meski hubungan mereka sudah lebih baik, tetap saja, restu dari calon mertuanya adalah langkah besar yang harus ia lewati. Gilang, yang berjalan di sampingnya, meraih tangan Maya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan. “Tenang saja, Maya,” bisik Gilang seraya tersenyum. “Ibu pasti akan merestui kita. Aku yakin.” Maya mengangguk perlahan, meskipun kegelisahan itu masih ada. Dia tahu, restu dari Nissa adalah kunci utama untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hubungannya dengan Gilang. Restu yang selama ini belum sepenuhnya ia dapatkan. Ketika mereka masuk, Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman ramah terulas di wajahnya, namun Maya tetap bisa merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Nissa memang lebih bersikap terbuka belakangan ini, tetapi masalah masa lalu Maya sebagai seorang janda masih menyisakan sedikit kekhawatiran dalam benak ibu Gilang. “Du
"Ibu akan memberitahukannya setelah waktunya tepat" ucap Nissa.Nissa meminta Maya dan Gilang untuk bersabar. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk menerima Maya. Oleh karena itu, Nissa masih meminta waktu untuk berpikir tentang restu untuk Maya dan Gilang. Akhirnya, Maya dan Gilang mencoba untuk bersabar. Hingga ada seseorang yang kembali mengusik ketenangan Maya.Langit senja terlihat suram ketika Aris berdiri di depan pintu kontrakan Maya. Dengan napas tertahan, dia menekan bel pintu, berharap Maya akan menerimanya kembali. Meski banyak hal yang telah terjadi, Aris masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Dia tahu betul hubungannya dengan Wulan berakhir tragis, dan kini, pikirannya kembali teringat pada Maya—wanita yang pernah dia cintai dan biarkan pergi. Pintu terbuka perlahan, dan Maya berdiri di sana, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aris?" tanyanya, suaranya terdengar datar, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. Aris m
Wulan duduk di atas ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap keluar jendela. Hujan deras mengguyur kota, seolah mencerminkan kekosongan di dalam hatinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Kandungannya yang dulu menjadi harapan kini telah tiada. Semua telah lenyap, meninggalkannya dalam kehampaan yang menyakitkan.Pintu kamar perlahan terbuka. Pandu melangkah masuk, wajahnya tampak tegang dan penuh dengan penyesalan. Wulan menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Pandu yang muram."Pandu..." suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Pandu mendekat, berdiri di sisi ranjang, namun ia tidak segera bicara. Hanya keheningan yang terjalin di antara mereka. Tatapan penuh luka di mata Wulan membuat dada Pandu terasa sesak."Aku tidak tahu harus berkata apa," Pandu akhirnya memecah kesunyian, suaranya rendah dan berat. "Aku... sangat menyesal."Wulan menundukkan kepala, mencoba menahan tangis yang sudah tak terhitung jumlahnya. "Kita semua melakukan kesalahan, Pandu," katanya lirih. "Aku ta
Wulan duduk terpaku di ranjang rumah sakit, tangannya memeluk erat perutnya yang kosong. Air matanya mengalir deras, seolah tidak pernah akan berhenti. Di dalam tubuhnya, bayi yang selama enam bulan ia kandung kini tidak lagi bernyawa. Tidak ada lagi denyut kehidupan yang dulu selalu ia rasakan setiap hari.Seorang perawat masuk ke kamar dan memberikan kabar yang sudah ia tahu sejak tadi, namun masih terlalu menyakitkan untuk didengar lagi. “Maaf, Bu Wulan... Kami sudah berusaha, tapi bayinya tidak bisa diselamatkan. Kondisinya terlalu lemah setelah pendarahan hebat tadi.”Wulan hanya mengangguk lemah, tidak ada tenaga untuk berkata apa-apa. Hatinya hancur, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Bayangan masa depan bersama anaknya, yang ia yakini bisa menjadi harapan satu-satunya di tengah kekacauan hidupnya, kini lenyap seketika.Tidak lama setelah perawat keluar, kedua orang tuanya, Sari dan Arif, datang dengan wajah tegang. Sari langsung menghampiri Wulan dan menatap putrinya dengan
"Sudah cukup, Wulan!" Aris berdiri tegak di hadapan istrinya, wajahnya memerah karena amarah yang selama ini dipendam. Dia tidak bisa lagi menahan kemarahan setelah semua yang terjadi. "Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi. Kamu harus pergi dari rumah ini sekarang juga."Wulan terdiam, tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Aris. Mata gelapnya membelalak, hatinya berdegup kencang. "Aris... kamu tidak serius, kan?"Aris menggelengkan kepalanya. "Aku sangat serius. Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku bodoh tidak menyadari semua kebohonganmu? Aku sudah cukup bersabar, tapi tidak ada yang tersisa lagi. Aku menceraikanmu, Wulan. Sekarang!"Wulan tersentak mendengar kata-kata tajam itu. Bibirnya bergetar, air mata mulai menetes dari sudut matanya. "Aris, jangan... Kumohon... Jangan lakukan ini." Suaranya penuh dengan kepanikan."Aku sudah katakan, ini sudah selesai." Aris menatap Wulan dengan dingin. "Kita hanya menikah secara siri, dan aku tidak ingin melanjutkan hubung
Aris duduk di ruang tamu dengan wajah tegang. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja ia ketahui. Ponsel Wulan yang selalu berdering di tengah malam, telepon dari Pandu yang disembunyikan, dan semua tanda-tanda yang ia abaikan selama ini. Semua mulai masuk akal sekarang.Wulan duduk di sofa seberang, wajahnya pucat pasi. Dia tahu saat ini adalah akhir dari kebohongannya, tapi dia tetap mencoba bertahan.“Aku tidak bisa lagi menutup mata, Wulan,” kata Aris dingin, nadanya penuh kepahitan. “Sudah cukup. Aku sudah tahu semuanya.”Wulan memandang Aris dengan mata berair, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semua kebohongan dan sandiwara yang dia jalani selama ini runtuh dengan cepat. Dia mencoba mencari cara untuk membela diri, tetapi tak ada lagi yang bisa disangkal.“Pandu adalah ayah dari anak yang kamu kandung, kan?” Aris akhirnya menembak dengan pertanyaan langsung. Suaranya begitu tajam, membuat Wulan menunduk tanpa bisa berkata-kata.“K