Share

03. Biaya Pernikahan

"Ya, Maya. Ibu mohon kamu bisa membantu Ibu untuk membiayai pesta pernikahan Aris dan Wulan," ucap Hani tanpa tahu malu.

"Bu, jangan seperti itu!" Aris mulai membuka suaranya, dia melihat sang istri menahan emosi.

Perkataan Hani seperti menggarami luka di hari Maya. Tidak cukupkah dengan menghadirkan madu di pernikahannya dan Aris? Sekarang ibu mertuanya ingin agar dia membiayai pernikahan mereka?

"Ibu ingat bagaimana pernikahanku dengan Mas Aris dulu? Pernikahan kami jauh dari kata mewah. Seharusnya, ibu tidak menyetujui syarat dari Wulan bila tidak memiliki uang untuk mewujudkannya," ujar Maya dengan berani.

Tidak akan Maya membiarkan Hani semena-mena pada dirinya. Rumah mendiang orang tuanya telah dijual saat awal menikah dulu. Hani beralasan Aris tidak memiliki pekerjaan yang tetap, hingga hasil menjual rumah dibutuhkan untuk membiayai hidup mereka sehari-hari.

"Tapi, Ibu tidak memiliki uang untuk biaya tersebut."

"Lalu, kenapa ibu ingin Mas Aris menikah lagi? Apa ibu siap harus membagi jatah bulanan ibu untuk adik maduku? Jangan ibu lupakan kalau Wulan juga berhak mendapatkan nafkah. Mas Aris harus dapat berlaku adil pada kami seperti janjinya padaku!" balas Maya.

Perkataan Maya membuat Hani tersentak. Selama ini, menantunya itu diam saja dengan pembagian yang tidak adil. Gaji Aris sebesar delapan juta, tetapi Maya hanya mendapatkan tiga juta. Hani sama sekali tidak membantu Maya untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Dia menganggap uang tiga juta adalah nominal yang besar.

Hani baru menyadari kalau dengan kedatangan Wulan akan menjadi masalah. Gaji Aris harus dia bagi lagi dengan Wulan. Tidak bisa lagi dia menguasai sebagian besar gaji anaknya itu.

"Itu akan Ibu pikirkan nanti, Ibu yakin Wulan tidak akan mempermasalahkan jatah bulan. Sekarang, yang menjadi masalah adalah biaya pernikahan Wulan dan Aris. Tolong kamu jual sawahmu di kampung, Maya!" pinta Hani menyingkirkan dulu permasalahan gaji Aris.

"Mengapa Ibu tidak menjual saja perhiasan simpanan Ibu? Atau Ibu bisa menggadaikan rumah ini?" usul Maya disertai dengan senyum di wajah.

Aris terbelalak dengan ucapan Maya, memang dia tidak menyetujui permintaan Hani yang ingin Maya menjual sawahnya. Akan tetapi, tidak mungkin Hani rela menjual perhiasan atau menggadaikan rumah.

"Jangan sembarangan kamu, Maya. Ibu tidak mau perhiasan Ibu dijual apalagi menggadaikan rumah!"

"Ibu tidak mau berkorban untuk pernikahan kedua Mas Aris, bukan? Apalagi aku yang harus menerima madu? Membagi kasih sayang suamiku pada orang lain. Seharusnya, ibu berpikir sebelum memintaku menjual harta bendaku untuk kepentingan Mas Aris! Jadi, aku minta jangan melibatkan aku lagi dalam hal ini," ujar Maya, kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar.

"Maya! Berani kamu membantah perkataan ibu! Dasar menantu tidak tahu diri!" Terdengar umpatan sang ibu mertua.

Maya tidak memedulikan hal itu, hatinya sudah sakit dengan semua permasalahan yang terjadi. Dicap mandul oleh ibu mertuanya. Suaminya, Aris tidak bisa menolak permintaan ibunya, hingga membuat dirinya sangat sedih.

Keheningan melanda ketika Maya pergi ke kamar. Pikiran berkecamuk dalam pikiran Aris. Sungguh tega bila dia membebankan pernikahan pada Maya. Aris berpikir untuk mendapatkan solusi untuk biaya penikahannya.

"Bagaimana ini, Aris? Maya tidak mau membantu untuk meringankan beban kita. Kenapa dia tidak mau menjual sawah warisannya?" Hani kebingungan dengan penolakan Maya.

"Bu, sudahlah. Apa ibu tega pada Maya? Hatinya pasti sakit untuk sekadar mengizinkanku menikah lagi. Biarlah aku meminjam uang di kantor. Pasti dengan mudah di ACC mengingat aku tidak pernah meminjam uang," ucap Aris.

"Tapi, kalau kamu meminjam uang di kantor gajimu pasti akan dipotong, bukan?"

"Tentu, Bu. Tiap bulan pasti gajiku akan dipotong untuk membayar pinjaman tersebut," balas Aris dengan dahi yang berkerut.

"Berarti jatah Ibu akan berkurang lagi! Apa tidak ada solusi lain selain meminjam uang di kantor?"

Hani tidak ingin uang yang diberikan oleh sang anak berkurang. Belum lagi, dia harus membaginya lagi dengan Wulan. Pasti akan semakin sedikit uang yang diterima oleh Hani.

"Apa ibu mau menjual perhiasan Ibu atau menggadaikan sertifikat rumah ini?"

Wajah Hani langsung memucat, dia tidak ingin harta benda yang dimilikinya habis begitu saja. Dari dulu, Hani memang sangat culas. Dia tidak pernah mau mengeluarkan uangnya, apalagi untuk biaya pernikahan Aris.

"Tidak! Ibu tidak bisa menjual perhiasan Ibu apalagi menggadaikan sertifikat rumah!" balas Hani dengan tegas.

"Kalau ibu yang menyarankan aku untuk menikah saja tidak mau membiayai pernikahan. Bagaimana dengan Maya yang tersakiti dengan hadirnya Wulan? Sebagai sesama wanita ibu pasti memahaminya," ujar Aris.

Poligami tidak ada dalam kamus hidup Aris. Meskipun, tadi dia sempat terpesona dengan Wulan, tetapi pria itu hanya mencintai sang istri. Sekarang, dia malah terbebani dengan biaya pernikahan mewah yang diinginkan Wulan.

"Lalu, kita harus bagaimana Aris? Ibu tidak memiliki simpanan uang sama sekali," tukas Hani.

"Ke mana sebenarnya uang yang aku berikan selama ini. Bukankah biaya kebutuhan rumah berasal dari jatah bulanan Maya?"

"Kata siapa? Ibu ikut membantu, kok. Terkadang ibu membeli bahan makanan untuk memasak!" bantah sang ibu.

Bantahan Hani tidak membuat Aris simpati. Dia mengetahui dengan jelas kalau Maya menutupi kebutuhan hidup mereka dengan mengandalkan jatah bulanan dari dirinya.

"Baiklah, kalau memang Ibu tidak memiliki uang. Tidak ada pilihan lain, aku harus bertanggung jawab karena ini adalah pernikahanku sendiri. Aku akan meminjam uang di kantor. Jadi, masalah biaya dapat teratasi," ujar Aris.

"Ya sudah kalau begitu, tapi Ibu minta jatah bulanan untuk Ibu harus tetap lebih besar dibandingkan kedua istrimu." Hani menyerah dan menerima keputusan Aris.

"Kita lihat saja, nanti, Bu. Aku akan membicarakan dahulu dengan Maya." Aris bangkit dari duduknya, dia hendak menyusul sang istri yang sudah lebih dahulu menuju kamar.

"Tidak bisa seperti itu! Kamu harus mendiskusikannya dengan Ibu!" tukas Hani.

Aris tetap melenggang meninggalkan Hani yang masih mendumal tidak jelas. Dia ingin pembagian uang gaji Aris tetap seperti biasa. Bagiannya harus lebih besar dibandingkan istri Aris.

Sesampainya di kamar, Aris melihat Maya tidur memunggunginya. Pria itu bergegas naik ke ranjang untuk mendekati sang istri. Isak tangis terdengar ketika Aris berada tepat di belakang Maya.

"Maya, maafkan aku. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menolak permintaan Ibu," ucap Aris dengan lembut.

"Seharusnya kamu bisa menolak untuk menikahi Wulan, tetapi kamu tidak membantah perkataan Ibu sama sekali. Jangan-jangan, kamu memang memiliki niat untuk menikah lagi!"

"Tidak! Aku sama sekali tidak ada niat untuk menikah lagi. Aku mencintaimu, Maya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai," ungkap Aris sambil membalikkan tubuh Maya agar mereka saling bertatapan.

"Berjanjilah untuk bersikap adil padaku, Mas!" pinta Maya.

"Ya, Maya. Aku berjanji akan bersikap adil padamu dan Wulan," balas Aris.

Maya menatap Aris dengan sendu. 'Semoga saja kau menepati janjimu, Mas!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status