"Ya, Maya. Ibu mohon kamu bisa membantu Ibu untuk membiayai pesta pernikahan Aris dan Wulan," ucap Hani tanpa tahu malu.
"Bu, jangan seperti itu!" Aris mulai membuka suaranya, dia melihat sang istri menahan emosi. Perkataan Hani seperti menggarami luka di hari Maya. Tidak cukupkah dengan menghadirkan madu di pernikahannya dan Aris? Sekarang ibu mertuanya ingin agar dia membiayai pernikahan mereka? "Ibu ingat bagaimana pernikahanku dengan Mas Aris dulu? Pernikahan kami jauh dari kata mewah. Seharusnya, ibu tidak menyetujui syarat dari Wulan bila tidak memiliki uang untuk mewujudkannya," ujar Maya dengan berani. Tidak akan Maya membiarkan Hani semena-mena pada dirinya. Rumah mendiang orang tuanya telah dijual saat awal menikah dulu. Hani beralasan Aris tidak memiliki pekerjaan yang tetap, hingga hasil menjual rumah dibutuhkan untuk membiayai hidup mereka sehari-hari. "Tapi, Ibu tidak memiliki uang untuk biaya tersebut." "Lalu, kenapa ibu ingin Mas Aris menikah lagi? Apa ibu siap harus membagi jatah bulanan ibu untuk adik maduku? Jangan ibu lupakan kalau Wulan juga berhak mendapatkan nafkah. Mas Aris harus dapat berlaku adil pada kami seperti janjinya padaku!" balas Maya. Perkataan Maya membuat Hani tersentak. Selama ini, menantunya itu diam saja dengan pembagian yang tidak adil. Gaji Aris sebesar delapan juta, tetapi Maya hanya mendapatkan tiga juta. Hani sama sekali tidak membantu Maya untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Dia menganggap uang tiga juta adalah nominal yang besar. Hani baru menyadari kalau dengan kedatangan Wulan akan menjadi masalah. Gaji Aris harus dia bagi lagi dengan Wulan. Tidak bisa lagi dia menguasai sebagian besar gaji anaknya itu. "Itu akan Ibu pikirkan nanti, Ibu yakin Wulan tidak akan mempermasalahkan jatah bulan. Sekarang, yang menjadi masalah adalah biaya pernikahan Wulan dan Aris. Tolong kamu jual sawahmu di kampung, Maya!" pinta Hani menyingkirkan dulu permasalahan gaji Aris. "Mengapa Ibu tidak menjual saja perhiasan simpanan Ibu? Atau Ibu bisa menggadaikan rumah ini?" usul Maya disertai dengan senyum di wajah. Aris terbelalak dengan ucapan Maya, memang dia tidak menyetujui permintaan Hani yang ingin Maya menjual sawahnya. Akan tetapi, tidak mungkin Hani rela menjual perhiasan atau menggadaikan rumah. "Jangan sembarangan kamu, Maya. Ibu tidak mau perhiasan Ibu dijual apalagi menggadaikan rumah!" "Ibu tidak mau berkorban untuk pernikahan kedua Mas Aris, bukan? Apalagi aku yang harus menerima madu? Membagi kasih sayang suamiku pada orang lain. Seharusnya, ibu berpikir sebelum memintaku menjual harta bendaku untuk kepentingan Mas Aris! Jadi, aku minta jangan melibatkan aku lagi dalam hal ini," ujar Maya, kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar. "Maya! Berani kamu membantah perkataan ibu! Dasar menantu tidak tahu diri!" Terdengar umpatan sang ibu mertua. Maya tidak memedulikan hal itu, hatinya sudah sakit dengan semua permasalahan yang terjadi. Dicap mandul oleh ibu mertuanya. Suaminya, Aris tidak bisa menolak permintaan ibunya, hingga membuat dirinya sangat sedih. Keheningan melanda ketika Maya pergi ke kamar. Pikiran berkecamuk dalam pikiran Aris. Sungguh tega bila dia membebankan pernikahan pada Maya. Aris berpikir untuk mendapatkan solusi untuk biaya penikahannya. "Bagaimana ini, Aris? Maya tidak mau membantu untuk meringankan beban kita. Kenapa dia tidak mau menjual sawah warisannya?" Hani kebingungan dengan penolakan Maya. "Bu, sudahlah. Apa ibu tega pada Maya? Hatinya pasti sakit untuk sekadar mengizinkanku menikah lagi. Biarlah aku meminjam uang di kantor. Pasti dengan mudah di ACC mengingat aku tidak pernah meminjam uang," ucap Aris. "Tapi, kalau kamu meminjam uang di kantor gajimu pasti akan dipotong, bukan?" "Tentu, Bu. Tiap bulan pasti gajiku akan dipotong untuk membayar pinjaman tersebut," balas Aris dengan dahi yang berkerut. "Berarti jatah Ibu akan berkurang lagi! Apa tidak ada solusi lain selain meminjam uang di kantor?" Hani tidak ingin uang yang diberikan oleh sang anak berkurang. Belum lagi, dia harus membaginya lagi dengan Wulan. Pasti akan semakin sedikit uang yang diterima oleh Hani. "Apa ibu mau menjual perhiasan Ibu atau menggadaikan sertifikat rumah ini?" Wajah Hani langsung memucat, dia tidak ingin harta benda yang dimilikinya habis begitu saja. Dari dulu, Hani memang sangat culas. Dia tidak pernah mau mengeluarkan uangnya, apalagi untuk biaya pernikahan Aris. "Tidak! Ibu tidak bisa menjual perhiasan Ibu apalagi menggadaikan sertifikat rumah!" balas Hani dengan tegas. "Kalau ibu yang menyarankan aku untuk menikah saja tidak mau membiayai pernikahan. Bagaimana dengan Maya yang tersakiti dengan hadirnya Wulan? Sebagai sesama wanita ibu pasti memahaminya," ujar Aris. Poligami tidak ada dalam kamus hidup Aris. Meskipun, tadi dia sempat terpesona dengan Wulan, tetapi pria itu hanya mencintai sang istri. Sekarang, dia malah terbebani dengan biaya pernikahan mewah yang diinginkan Wulan. "Lalu, kita harus bagaimana Aris? Ibu tidak memiliki simpanan uang sama sekali," tukas Hani. "Ke mana sebenarnya uang yang aku berikan selama ini. Bukankah biaya kebutuhan rumah berasal dari jatah bulanan Maya?" "Kata siapa? Ibu ikut membantu, kok. Terkadang ibu membeli bahan makanan untuk memasak!" bantah sang ibu. Bantahan Hani tidak membuat Aris simpati. Dia mengetahui dengan jelas kalau Maya menutupi kebutuhan hidup mereka dengan mengandalkan jatah bulanan dari dirinya. "Baiklah, kalau memang Ibu tidak memiliki uang. Tidak ada pilihan lain, aku harus bertanggung jawab karena ini adalah pernikahanku sendiri. Aku akan meminjam uang di kantor. Jadi, masalah biaya dapat teratasi," ujar Aris. "Ya sudah kalau begitu, tapi Ibu minta jatah bulanan untuk Ibu harus tetap lebih besar dibandingkan kedua istrimu." Hani menyerah dan menerima keputusan Aris. "Kita lihat saja, nanti, Bu. Aku akan membicarakan dahulu dengan Maya." Aris bangkit dari duduknya, dia hendak menyusul sang istri yang sudah lebih dahulu menuju kamar. "Tidak bisa seperti itu! Kamu harus mendiskusikannya dengan Ibu!" tukas Hani. Aris tetap melenggang meninggalkan Hani yang masih mendumal tidak jelas. Dia ingin pembagian uang gaji Aris tetap seperti biasa. Bagiannya harus lebih besar dibandingkan istri Aris. Sesampainya di kamar, Aris melihat Maya tidur memunggunginya. Pria itu bergegas naik ke ranjang untuk mendekati sang istri. Isak tangis terdengar ketika Aris berada tepat di belakang Maya. "Maya, maafkan aku. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menolak permintaan Ibu," ucap Aris dengan lembut. "Seharusnya kamu bisa menolak untuk menikahi Wulan, tetapi kamu tidak membantah perkataan Ibu sama sekali. Jangan-jangan, kamu memang memiliki niat untuk menikah lagi!" "Tidak! Aku sama sekali tidak ada niat untuk menikah lagi. Aku mencintaimu, Maya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai," ungkap Aris sambil membalikkan tubuh Maya agar mereka saling bertatapan. "Berjanjilah untuk bersikap adil padaku, Mas!" pinta Maya. "Ya, Maya. Aku berjanji akan bersikap adil padamu dan Wulan," balas Aris. Maya menatap Aris dengan sendu. 'Semoga saja kau menepati janjimu, Mas!'"Jadi, dari mana kamu mendapatkan uang untuk membiayai pernikahan yang diminta Wulan?" tanya Maya keesokan harinya. "Aku akan meminjam uang di kantor," jawab Aris dengan pelan. "Meminjam uang di kantor? Lalu, gajimu akan dikurangi untuk membayar cicilan, Mas?" Maya sangat tidak menyetujui hal ini. Maya berpikir Hani akan merelakan emas atau menggadaikan rumah untuk biaya pernikahan Aris. Hani yang meminta Aris untuk menikah lagi. Seharusnya, dia yang bertanggung jawab untuk menanggung biaya pernikahan Aris dan Wulan. "Ya, bisa dikatakan seperti itu," balas Aris tidak menatap wajah Maya. "Aku tidak mau dikurangi jatah bulanan karena pinjamanmu. Sebenarnya, jatah tiga juta perbulan hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita. Bagaimana bisa kamu ingin meminjam uang di kantor!" "Habis mau bagaimana lagi? Tidak ada yang dapat Mas lakukan selain meminjam uang di kantor. Ibu tidak mau menjual perhiasannya atau menggadaikan rumah, Maya," jelas Aris pada sang istri. "Ini semua t
'Kenapa hatiku tetap sakit setiap melihat Aris dan Wulan?' ucap Maya dalam hati. Pesta pernikahan berjalan dengan lancar, Maya terus berusaha untuk menerima pernikahan kedua. Bagaimana pun juga itu adalah risiko yang harus dia tanggung karena mengizinkan Aris menikah lagi. Saat ini, Maya dan Hani akan pulang ke rumah mereka. Keluarga Wulan menginap di hotel tempat Aris mengadakan resepsi. Begitu pun dengan Aris dan Wulan yang akan melakukan malam pertama di hotel tersebut. Aris menghampiri Maya yang menunggu mobil untuk mengantarkannya ke rumah. "Maya, aku harap kamu dapat ikhlas menerima Wulan sebagai madumu. Ini semua aku lakukan bukan karena aku mencintainya. Aku menikahi Wulan semata untuk mewujudkan keinginan Ibu," ucap Aris. "Bagaimana bila Wulan tidak kunjung hamil sepertiku? Apa kamu akan menikah lagi?" tanya Maya dengan wajah sendu. "Tentu tidak! Aku tidak mungkin akan menikah lagi. Cukup sekali aku menduakanmu. Berdoa saja aku segera memiliki keturunan dengan
Maya termenung memikirkan malam yang dilewati oleh Aris dan Wulan. Tidak ada yang memikirkan perasaannya, perempuan itu merasa dirinya sangat bodoh karena membiarkan suaminya menikah lagi. Malam itu Maya lewati dengan sedih, berbaring di tempat tidur dengan perasaan gelisah. Maya tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Perasaannya sungguh tidak terkira. Bayang-bayang Aris bertukar peluh dengan perempuan lain terus menghantui Maya. Sanggupkah dia ikhlas dengan semua yang terjadi? Penyesalan terus menghantuinya. "Semoga saja, Aris menepati janjinya dengan berlaku adil. Akan tetapi, aku tetap tidak sanggup melihat Mas Aris bersama Wulan," gumam Maya sambil berusaha memejamkan matanya. "Maya, kamu belum tidur?" ucap sebuah suara dari luar kamarnya. "Belum! Aku belum tidur, Bu. Ada apa?" Perlahan Maya berjalan menuju daun pintu. Terlihat wajah sang ibu mertua tanpa senyum. "Ibu hanya ingin memberitahukanmu. Jangan tidur terlalu malam! Besok, kita harus memasak enak untuk
Maya sama sekali tidak membantu Hani mempersiapkan kedatangan Wulan. Perlakuan Hani cukup membuatnya sakit hati. Tidak mungkin dia dengan senang hati menyambut madu pahit pilihan mertuanya itu."Lihat saja, nanti! Ibu akan mengadukan sikapmu ini pada Aris. Dia pasti akan membela Ibu!" ucap Hani ketika Maya tidak membantunya sama sekali."Ya, Bu. Lihat saja, nanti! Aku pastikan Mas Aris tidak akan marah dengan sikapku," ujar Maya sambil berlalu dari hadapan Hani yang menatapnya tidak suka. Siang hari, Wulan dan Aris pulang, wajah Wulan sangat sumringah. Hani menyambutnya dengan senyum mengembang. Dia tahu rencana yang telah disusunnya pasti berhasil. Setelah ini, dia akan mempengaruhi Aris untuk menceraikan Maya yang menurutnya tidak berguna. "Assalamualaikum," ucap Wulan dan Aris berbarengan. "Waalaikumsalam. Wah, pengantin baru sudah datang! Ibu lihat kalian sangat sumringah, pasti malam pertamanya berhasil," balas Hani dengan senyum penuh arti. Maya menatap Wulan dan Aris dengan
"Jangan memberitahukan pada Mas Rendra kalau aku menikah lagi, May," ucap Aris. Pria itu tercengang karena ikatan batin antara Maya dan Rendra tampaknya begitu kuat. Terbukti saat Maya bersedih, Rendra langsung menghubungi sang adik. Maya hanya diam tidak membalas ucapan Aris.Tidak pernah terpikirkan oleh Maya untuk mengadukan nasibnya pada sang kakak. Perempuan itu berusaha untuk menerima semua hal yang terjadi. Tidak dapat dipungkiri bila hatinya sangat sakit. Akan tetapi, dia sendiri yang telah menyetujui pernikahan Aris dan Wulan.Maya mengangkat panggilan ponsel yang sedari tadi telah menunggu. Suara bariton menyapanya dari seberang."Assalamualaikum, Halo May. Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rendra.Pertanyaan Rendra sontak membuatnya bersedih. Bila ditanya tentang keadaannya, dia sangat ingin menjawab dengan jujur. Sontak Maya melirik Rendra yang menatapnya dengan cemas."Ya, aku baik-baik saja. Mas Rendra, apa kabar? Bagaimana pekerjaan di sana?" jawab May
"Tidak! Aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu, Maya. Kuharap kamu tetap bersabar dan tinggal bersama dengan Wulan. Gajiku tidak mungkin cukup untuk menyewa sebuah rumah apalagi membeli rumah. Aku masih memiliki harga diri dan tidak akan membiarkanmu pulang ke rumah orang tuamu," ujar Aris ketika mendengar ucapan Maya. "Tetapi, aku berhak mendapatkan ketenangan. Dengan meminta aku seatap dengan Ibu saja sudah membuatku tidak nyaman, sekarang kamu memintaku untuk seatap dengan maduku. Entah terbuat dari apa hatimu, Mas," balas Maya dengan wajah sendu. "Nanti, bila Mas naik gaji. Mas akan menyewa sebuah rumah untukmu agar kamu merasakan kenyamanan. Untuk saat ini, aku tidak akan bisa mengabulkan permintaanmu," tukas Aris. Maya diam tidak membalas perkataan Aris. Padahal, dia sudah memberikan solusi yang paling masuk akal. Aris dengan semua harga dirinya menolak membiarkan Maya kembali ke rumahnya. Pria itu membiarkan hari Maya terus terluka, tanpa mengobatinya. Mungkin benar, sudah
"Sudahlah, Bu. Jangan ribut seperti ini. Aku akan makan nanti, silakan Ibu dan Wulan makan terlebih dahulu," ucap Aris tidak ingin kedua wanita yang paling disayanginya itu saling bertengkar."Bukan Ibu yang salah, Maya sudah mulai membantah perkataan Ibu. Seharusnya, kamu bisa menegurnya dan memberitahukannya bila hal yang dilakukannya itu salah! Jangan selalu membantah perkataan Ibu bila tetap ingin berada di rumah ini," balas Hani pada sang putra.Dari dulu, entah mengapa Hani sangat tidak menyukai Maya. Sejak awal berpacaran dengan Aris, tidak ada satu pun dari Maya yang membuat Hani menerima menantunya itu. Ditambah, Maya merupakan seorang yatim piatu yang hanya memiliki seorang kakak. Selain itu, Maya tidak dapat mengambil hati Hani walau telah melakukan semua cara. Bahkan, dia mengundurkan diri dari pekerjaan karena hasutan Hani pada sang suami yang mengatakan kalau dengan bekerja membuat Maya tidak kunjung hamil.Pada kenyataannya, setelah dia berhenti kerja. Hani selalu meng
Aris membuktikan ucapannya, dia ingin bermalam dengan sang istri. Wulan tidak bisa mengubah keputusan suaminya itu. Ada perasaan bersalah dalam hati Aris bila dia berubah pikiran. Tidak mungkin dia terus menyakiti hati Maya. Pada malam hari, Aris ingin menyalurkan hasratnya pada sang istri, tetapi Maya tidak menginginkan hal tersebut. Dia memutuskan untuk menghindar dari Aris. Namun, Aris mengatakan suatu hal yang membuat Maya tersentak. "Kamu ingin terus menghindar dariku? Padahal kamu tahu kalau menolak keinginan suami utnuk berhubungan akan mendapatkan laknat malaikat di sepanjang malam," ucap Aris sudah kehilangan kesabaran. Tidak mungkin dia pindah ke kamar Wulan untuk sekadar menuntaskan nafsunya, setega itukah Aris pada istrinya sendiri. Walau tidak ada cinta dalam dirinya untuk istri keduanya itu, dia tidak ingin terus menyakiti Maya. Akan tetapi, pria itu sadar kalau telah berjanji akan bersikap adil pada kedua istrinya. Maya menatap tajam Aris ketika pria itu menguacapak