Pintu kamar terbuka dan Sekar masuk dengan senyuman manisnya. “Mas mau makan apa biar aku siapkan?” Pandu menatap istrinya dengan seksama. Ini masih pagi dan Sekar masih dalam masa hukumannya tidak boleh pergi sesuka hatinya, tapi sekarang wanita itu sudah tampil cantik dengan dandanan yang bisa dibilang berlebihan untuk pagi hari dan... di rumah saja. “Kamu mau kemana?” tanyanya. “Oh ini. tidak kemana-mana, aku hanya ingin menyenangkan suamiku,” kata wanita itu dengan kedua tangan yang sudah melingkari pinggang Pandu dan kepala yang rebah di dada bidangnya. Setelah apa yang terjadi tadi malam dan bahkan wanita itu mengusirnya dari kamar mereka, bukankah aneh Sekar bersikap seperti ini. “Apa yang kamu inginkan?” tanya Pandu langsung dia sudah hapal sifat Sekar yang akan bermanis-manis dengannya jika ada yang diinginkan, setelah semalam Pandu dengan tegas mengatakan tidak lagi mengijinkan wanita itu mengikuti arisan konyol
Yang ditunggu Alisya akhirnya datang juga. “Pos!” Alisya mengerutkan kening saat terdengar suara tukang pos di depan teras rumahnya, dia tidak sedang menunggu pesanan online memlalui pos, pun dia tidak ingat punya teman yang akan mengirim barang lewat pos. “Iya pak?” “Ibu Alisya?” “iya saya sendiri.” “Ini surat untuk anda, tolong di tanda tangani bukti terimanya.” Senyum masam langsungtersungging di bibir Alisya begitu petugas pos meninggalkan rumahnya. ada yang menggores di hatinya. Air mata tiba-tiba saja mengaliri pipinya tapi dengan cepat dia mengusapnya. Ini memang tidak mudah tapi ini jalan terbaik untuknya. Banyak hal yang akan berubah dengan datangnya surat ini, dan Alisya harus siap menghadapinya. Dia tahu urusan seperti ini sangat mudah untuk Pandu, Alisya bahkan tak perlu untuk datang ke pengadilan tapi surat itu sudah datang. Alisya memasukkan kembali surat dalam amplop berlogo pengadilan agama itu, dan menyimpannya di kamar. Dia berusaha tersenyum, meski tak
Baru sekarang Alisya merasa sangat letih menghadapi ini semua. “Wah kelihatannya enak, ayo Al. bagi juga buatku,” kata Laras dengan antusias. Ada lima kotak makanan kiriman Pandu. Apa ini bentuk syukuran untuk perceraian mereka? Alisya menggeleng, Pandu tak mungkin sekeji itu. “Yuk aku bantu bawakan kita makan di ruanganmu saja,” kata Laras setelah Alisya memintanya memberikan satu pada sang resepsionis yang diterima dengan suka cita. Makan siang mewah dan gratis lagi siapa juga yang tidak suka. “Kenapa kamu tidak suka makan siangnya? Masih ngidam lalapan di depan?” tanya Laras yang bingung Alisya tidak terlihat senang dengan makanan yang diberikan suaminya, bahkan wanita itu terlihat kebingungan. “Bukan begitu,” kata Alisya dengan nada mengambang. “Kenapa mas Pandu mengirim makanan?” tanyanya seperti pada dirinya sendiri.“Aduh si eneng mah, itu namanya perhatian, nggak semua suami perhatian s
“Jadi kamu sudah diceraikan sekarang.” Alisya yang baru saja dari kamar mandi terkejut saat mendapati seseorang berdiri di balik pintu seperti sedang menunggunya. Dia tak yakin wanita ini berbicara dengannya, mereka memang satu kantor tapi bisa dibilang tidak pernah bertegur sapa. Laras bilang wanita ini salah satu marketing, pantas saja Alisya tidak begitu kenal, karena biasanya lebih banyak kepala marketing sendiri yang berhubungan dengannya. “Mbak bicara dengan saya?” tanya Alisya sedikit bingung, kenapa orang yang tak begitu dia kenal membicarakan masalah pribadinya dan sengaja menunggunya pula. “Ckk ternyata kamu lemot juga,” kata wanita itu kesal. “Tapi maklum sih kamu baru saja bercerai pasti sangat sedih. Yang sabar ya,” lanjut wanita itu tapi entah mengapa Alisya tak melihat nada empati dalam ucapannya. “Kamu bisa bercerita padaku untuk mengurangi bebanmu.” Wanita itu tiba-tiba tersenyum dan merentangkan kedua tangannya, siap memeluk Alisya. Tapi Alisya bukannya meneri
Pandu tak jua mengangkat panggilannya. Alisya sudah membuka blokirannya dan menghubungi laki-laki itu meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. “Kemana sih ini orang, aku hanya butuh lima menit waktunya tidak lebih,” gerutunya dengan kesal. Sekali lagi dicobanya melakukan panggilan, tapi tidak diangkat juga, apa Pandu sengaja melakukan semua ini padanya. Melepasnya pergi tapi sekaligus menggenggamnya dengan erat. Kadang dia tergoda untuk pergi dan menghilang dari kota ini, tapi dia punya ikatan yang sangat erat dengan kota ini, kenangan akan ayah dan ibunya ada di kota ini. Pun keduanya dimakamkan di kota ini, meski berbeda desa dengan tempat tinggal Alisya sekarang. Alisya tak ingin kemanapun tapi dia juga tidak ingin terbelenggu pada Pandu. Dia tidak masalah jika harus menjadi ayah sekaligus ibu untuk anak-anaknya, dia akan melindungi anak-anaknya itu dari ayah kandungnya sendiri.Sangat jelas dala
Bohong jika Alisya bilang baik-baik saja melihat itu semua."Apa yang kamu lakukan?" tanya Alisya terkejut saat Pram mengeluarkan ponsel mahalnya dan membidik dua orang itu. "Mengabadikan momen indah," kata laki-laki itu dengan senyum miring. Alisya mengangkat bahunya acuh. "Mungkin dia teman atau saudaranya," katanya tak terlalu menganggap serius kehadiran Sekar dan laki-laki itu. "Memang kamu mau manggil aku sayang?" "Apa!" "Sudah jelas nggak mau bukan, aku tahu bukannya kamu nggak curiga tapi nggak peduli." Alisya menghela napas dalam. "Aku hanya ingin hidup tenang." "Aku juga tapi tidak akan melewatkan jika ada tontonan seru, anggap saja hiburan," kata Pram yang masih serius memfokuskan ponsel mahalnya pada objek yang sedang dia bidik. "Nggak percuma kamu beli ponsel mahal kameranya bisa digunakan," ejek Alisya. Pram melotot tak suka dengan kalimat temanya itu tapi memutuskan tak peduli lagi. "Dari pada nganggu aku lebih baik kamu pikirkan apa yang aku katakan tadi," k
"Ingatlah, Lis. Perkataan dan perbuatan yang baik akan menimbulkan kebaikan pula." TIba-tiba saja kata-kata yang sering ayahnya ucapkan bertahun-tahun yang lalu kembali terngiang di telinganya. Alisya memejamkan mata dan sedikit mendorong tubuh Pandu yang memeluknya. Laki-laki itu terlihat kecewa, Alisya malah mendorongnya, tapi tentu saja dia juga tak bisa memaksa. Mereka bukan lagi suami istri yang bebas berpelukan setiap saat. "Sebenarnya apa tujuan mas datang kemari?" tanya Alisya setelah menghela napas berusaha menumpuk rasa sabar.Satu pertanyaan menggelitik benak Alisya. Apa Pandu sudah tahu istri tersayangnya itu punya selingkuhan dan karena itu memberi perhatian lebih padanya. Laki-laki itu berbuat baik padanya karena sedang patah hati, dan tidak ada jaminan kalau Sekar tidak akan kembali pada Pandu dan laki-laki itu menerimanya. "Meminta maaf padamu atas semua kesalahanku." "Kesalahan yang mana?" tanya Alisya. Laki-laki itu menghela napas dan menatap Alisya den
Alisya tidak akan pernah tahu dia akan menyaksikan momen langka ini. Pandu menangis haru dan itu karena janin dalam kandungannya. “Mereka sangat indah,” bisikan itu membuat Alisya menoleh pada laki-laki di samping. Sifat pemaksa sepertinya memang sudah ada dalam DNA Pandu, meski mereka sudah resmi berpisah dan dengan tegas Alisya menolak keinginan laki-laki itu untuk pergi ke dokter, nyatanya lagi-lagi Alisya kalah dan hanya bisa menurut supaya tidak terjadi perdebatan yang akan membuatnya makin kelelahan dan di sinilah mereka sekarang di sebuah klinik bersalin yang tak jauh dari tempat tinggal Alisya. Entah apa yang dilakukan Pandu, meski mereka mendaftar tiba-tiba, tapi namanya dipanggil terlebih dahulu membuat Alisya tak enak hati pada pasien lain yang pastinya telah lama antri di sana. Begitu masuk ruang periksa lagi-lagi Alisya yang meminta Pandu tetap diluar tak diindahkan oleh laki-laki itu dengan alasan kalau dia ingin memastikan perkembangan janin dalam perut Alisy
“Turunlah.” Pram membukakan pintu mobil untuk Laras. Dengan tubuh yang masih bergetar, Laras turun dari mobil. Dia tadi bahkan berpikir Pram sengaja bunuh diri dengan mengajaknya, laki-laki itu bagai kesetanan mengemudikan mobil mahalnya. Entah berapa kali umpatan yang mereka terima dari pengendara lainnya. Tangan Laras masih berpegang pada badan mobil saat pandangannya jatuh pada apa yang tersaji di depannya. Rumah ini sangat indah, meski tak sebesar rumah kediaman utama keluarga suaminya, tapi pemandangan yang ditawarkan sangat menyejukkan mata. Laras terpesona. Bunyi gemericik air yang mengalir menambah indah suasana, dia seolah diseret ke jaman dahulu kala saat semua orang bebas minum air langsung dari sungai. “Ini rumah siapa?” Laras menoleh pada Pram yang hanya diam menatap rumah di depannya. “Bukankah kamu harusnya tahu.” “Tahu apa?” tanya Laras sambil berjuang untuk tetap tegak berdiri, kakinya masih gemetar tapi dia tidak akan sudi meperlihatkan kelemahannya ini pada
Air mata mengalir setelah dia menutup pintu taksi.Betapapun kerasnya dia berusaha tegar, tapi Laras hanya manusia biasa. Dia juga bisa merasakan sakit melihat suaminya bersama wanita lain.Bodoh!Tak henti-hentinya Laras memaki dirinya sendiri karena telah jatuh terpelosok pada lubang ini.Laras tahu sesekali sopir taksi yang dia tumpangi menatap padanya, tapi dia sedang tak peduli pada sekelilingnya. Laras hanya ingin mengungkapkan sakit hatinya kali ini, benar hanya untuk kali ini saja dia membiarkan dirinya menangis untuk Pram.Puas menangis, Laras memalingkan wajah menatap sepanjang jalan yang dia lalui, bukan pemandangan indah memang tapi cukup untuk sedikit mengalihkan perhatiannya sampai...“Sialan! Mbak baik-baik saja?”Mobil tiba-tiba saja oleng ke samping lalu berhenti dengan bunyi deci
Ternyata aku hanya tameng untuk mereka.Betapa lucu hidup ini, dulu dia sekuat tenaga untuk tidak jatuh cinta pada seorang laki-laki. Menolak semua cinta yang datang mendekatinya, seharusnya dia tetap berpegang pada prinsipnya dan tidak membiarkan siapapun mengenalkan cinta padanya. Hidupnya mungkin memang akan terasa hampa tapi setidaknya dia tidak akan mengalami yang namanya patah hati. Laras tidak siap untuk itu, dia patah disaat dia berpikir utuh hidup dengan keluarga baru. “Apa kamu akan ke kantor?”Laras menatap datar kedua manusia yang langsung memisahkan diri, senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi dia memilih menutup mata. Dia bukan bertahan demi harta atau cinta, dia bertahan untuk keadilan yang harus dia perjuangkan. Sakit memang, tapi dia berusaha keras mematikan hatinya. Sup ayam yang dia masak tadi terasa pahit di lidahnya, tapi Laras tak peduli dia butuh makan, mungkin besok-besok dia tak akan mau lagi memasak. “Tidak, aku akan mengantar Clara ke dokter,” kata Pra
Laras terbangun di pagi hari dengan semangat yang baru. Pagi ini memang mendung, tapi tak membuat suasana hatinya muram seperti sebelumnya. Berita yang dia dengar malam tadi tanpa sengaja membuatnya optimis pelaku pembunuhan ayah mertuanya akan segera tertangkap. Bukan ayahnya tentu saja, Laras sangat yakin akan hal itu. Polisi yang tadi malam datang ke rumah ini mengatakan kalau tidak ada pembelian racun oleh ayah Laras, dan Pram meminta penyelidikan ulang kenapa ayahnya bisa minum racun itu. Setidaknya ada harapan, ayahnya akan terbebas dari tuduhan itu. Dia ingin berterima kasih secara layak pada Pram dengan cara memasakkan makanan kesukaan laki-laki itu, dia bahkan melupakan fakta kalau ibu tiri Pram sangat rajin membuatkan sarapan untuk Pram dan rasanya tentu saja jauh lebih enak dari pada buatannya. “Clara belum bangun?” tanya Laras pada salah satu pembantu yang biasa membantu Clara membuat sarapan. “Belum, nyonya.” Laras tahu di belakangnya para pembantu rumah ini juga
“Kamu yakin akan membiarkannya? Kamu tahu ucapannya itu cukup masuk akal. Dan yang lebih penting dia tidak bersalah.” Pram masih mondar-mandir di ruang kerjanya, ini hari terakhir dia akan ada di sini, setelah ini dia akan memimpin kantor pusat perusahaan keluarganya. Menggantikan sang ayah. Sedangkan Aris sang asisten sekaligus sahabatnya, hanya duduk diam menatap laki-laki itu datar.Pram pikir dia masih akan lama menggantikan sang ayah. Meski terkenal playboy dan suka kawin cerai sang ayah adalah pembisnis yang sangat handal, dia merasa belum banyak belajar dari sang ayah. Kesedihan ini, bukan hanya karena sang ayah yang membagikan semua pengetahuannya padanya, tapi karena beberapa bulan terakhir ini mereka terlibat perang dingin dan itu semua karena wanita. Pram tidak habis pikir kenapa dia bisa setolol itu, biasanya dia yang mengendalikan para gadis yang mengejarnya, dia merasa sudah sangat tahu bagaimana cara mengatasi mereka, tapi lagi-lagi dia salah. Clara adalah anomali
"Apa menurutmu itu tidak aneh?"Alisya menatap Laras dengan seksama, dia memang sengaja datang berkunjung ke kediaman Pram selain untuk memberi dukungan dan bela sungkawa pada sahabatnya itu juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pertemuan terakhir Alisya dengan pasangan itu, dia merasa sangat optimis hubungan keduanya akan semakin membaik meski dulu dia tidak yakin kalau keduanya saling mencintai seperti yang mereka katakan. Akan tetapi dengan peristiwa ini hubungan kedua sahabatnya itu berada di ujung tanduk, sebagai sahabat Alisya tentu ingin kalau hubungan keduanya akan bahagia. "Memang sih ada yang aneh menurutku," gumam Alisya. "Tapi yang terpenting sekaraang kita harus bisa memecaahkan kenapa ayah Pram minum racun di rumah ayahmu, apa kamu sudah bertemu dengan ayahmu? apa dia mengatakan ada orang lain di sana atau-" "Atau apa?" tanya Laras karena Alisya langsung terdiam dan berpikir keras. "Atau sebenarnya racun itu digunakan oleh seseorang untuk membunuh ayahmu, ta
"Ini tidak adil! Pasti ada yang salah!" Laras membeku ditempatnya saat melihat Clara yang biasanya anggun dan sombong kini memakinya dengan kalimat yang bahkan tidak pernah dia bayangkan keluar dari mulut wanita berpendidikan, bukan hanya dirinya bahkan wanita itu berusaha menyerang pengacara berwajah masam yang tadi membacakan surat wasiat mertuanya. Sungguh dia sama sekali tak menyangka kalau sang mertua akan melakukan ini semua. Semua hartanya memang jatuh ke tangan Pram sebagai ahli waris utama keluarga ini memang, tapi sebagai istri sah ayah Pram, mungkin Clara berharap dia juga mendapat warisan juga meski tak sebanyak Pram, tapi ternyata dia sama sekali tidak mendapatkan apapun selain diperbolehkan tinggal di rumah ini seperti biasa dan mendapat uang saku bulanan sebesar lima puluh juta sebulan. Bagi Laras mungkin jumlah itu lebih dari cukup bahkan dia bisa menabung uang itu untuk membeli rumah di pinggir kota dan memulai usaha, tapi Clara yang biasa hidup hedon tentu uang
“Apa memang mereka sengaja melakukannya?” Menunggu momen yang tepat untuk memperlihatkan kalau mereka adalah pasangan yang serasi di depannya. Laras tahu kalau selamanya Pram dan Clara tak mungkin bisa bersatu, tapi zaman sekarang apapun bisa dilakukan demi sebuah tujuan yang ingin dicapai. Bahkan menggoda anak tirinya sendiri. Clara jelas menyadari kehadiran Laras, dia bahkan dengan tidak tahu malunya menempelkan bagian depan tubuhnya pada lengan Pram. Rasa cemburu berubah menjadi jijik, jika memang mereka saling menginginkan dia akan dengan senang hati mengundurkan diri, rasa cintanya pada Pram belum terlalu dalam jadi dia tidak akan butuh usaha keras untuk melupakan laki-laki itu. Dia tidak sudi dijadikan tameng untuk dua orang ini berbuat sesukanya. Laras berjalan tenang menuju dapur mengambil peralatan makan untuk dirinya sendiri, dan mulai makan dalam diam seolah dua mahluk di depannya itu tidak ada di sana
“Untuk apa kamu nekad datang kemari.” Dingin dan menusuk, itulah kata pertama yang didengar dari mulut sang suami setelah seharian ini jiwa dan raganya lelah dihajar kenyataan. Acara pengajian sang mertua baru saja usai dan para kerabat yang datang sudah meninggalkan rumah ini, ada memang beberapa yang tetap tinggal tapi tentu saja sudah masuk kamar yang telah disediakan. Laras bahkan tak tahu sebanyak apa kamar di rumah ini, tapi tentu saja itu sama sekali tidak penting untuknya karena Clara sudah mengatur semuanya, sangat detail dan mewah seperti pesta yang biasa Laras hadiri di rumah ini dulu, seolah kali ini juga acara biasa seperti yang biasa ada.Beberapa kerabat yang dulu dia tahu mencibir Clara karena lebih memilih ayah Pram dari pada Pram yang tunangannya sendiri, kini seolah berdiri terdepan untuk menguatkan wanita itu, bahkan dia melihat Pram memeluk Clara untuk menenangkannya. Laras tahu seharusnya dia tidak merasa marah atau sakit hati, mungkin saja Pram tak tega meli