Bu Atik meletakkan barang belanjaannya yang berat dan tergopoh-gopoh mencari Alisya di dapur. “Mbak Alisya!” Untung saja wanita itu tidak sedang mengiris sesuatu dengan pisau dan melukai dirinya, karena suara bu Atik ternyata mampu membuatnya melompat kaget. “Hehe maaf, mbak nggak sengaja,” kata wanita itu yang langsung buru-buru mengambilkan minum untuk Alisya. “Ada apa bu?” tanya Alisya setelah menandaskan isi gelas dan meletakkannya di wastafel. “Mbak tahu nggak?” “Enggak,” jawab Alisya enteng. “Ih mbak Alisya pasti marah sama saya,” kata Bu Atik. Alisya memang memperlakukan aisten rumah tangganya itu seperti saudaranya sendiri, jadi wanita paruh baya itu juga tak sungkan bicara dengan Alisya termasuk apa yang terjadi di kampung ini, hal yang tentu saja jarang Alisya ketahui karena dia lebih sering ada di rumah jika tidak ke kantor. Alisya menghela napas, padahal jawabannya tadi tidak ketus meski terk
Pandu tak tahu perasaan macam apa yang sekarang menghinggapinya, seharusnya dia lega ketika sudah lepas dari Alisya. Akan tetapi sekarang dadanya terasa sangat sesak apalagi mengingat apa yang dia lakukan pada mantan istrinya itu, bahkan sepanjang matanya melihat semua nampak suram seolah semua cahaya telah mati. “Dia terlihat bahagia,” gumamnya pelan memperhatikan foto yang sengaja dikirimkan anak buahnya. Pandu memang berjanji tidak menemui Alisya secara langsung dan memaksanya kembali padanya, tapi bukan berarti dia melepas Alisya begitu saja. Wanita itu berhak mendapatkan kehidupan yang layak setelah pemderitaan panjang yang dia rasakan dan sialnya penyebab penderitaan itu salah satunya adalah dirinya. Pandu memang melepas ikatannya tapi akan terus memastikan dia bahagia. Setidaknya itulah salah satu keinginan Alisya yang dituruti oleh Pandu untuk meredam rasa bersalahnya. Pandu menghela napas dan menyimpan ke
“Kamu mau kemana?” Nada mendesak dalam suara anak buahnya yang menelpon tadi membuat Pandu memutuskan menyusul ke sana.Tanpa dia sadari sang ayah sedang menunggu di ruang tengah apartemennya. Sang ayah duduk dengan tenang berhadapan dengan satu cangkir kopi. “Papa?”tanya Pandu seolah tak percaya ayahnya sudah ada di sini. Sejak kapan? “Aku tidak tahu papa datang, maaf.” Lalu melangkah mendekat. “Aku memang sengaja tidak ingin menganggumu, kata bu Titin kamu terlihat suntuk,” kata laki-laki paruh baya itu sambil menyeruput kopinya. “Papa datang karena bu Titin menghubungi Papa?” tanya Pandu sambil menyipitkan mata pada wanita paruh baya yang baru saja menghidangkan kue kering di depan sang papa. Apa bu Titin mengira sang ayah akan membela Sekar seperti yang dilakukannya pada Alisya? Bodoh sekali. Meski sang ayah terlihat tidak keberatan saat dia menikahi Sekar, tapi dia juga tidak mendukung wanita itu seperti y
“Nyonya sudah pulang dari tadi tuan,” kata bu Titin begitu wanita itu membukakan pintu untuk Pandu. Pandu menatap wanita itu dengan datar, membuat bu Titin menunduk dalam. “Maksud saya jam setengah sepuluh tadi,” lanjutnya lagi meski Pandu tidak bertanya. Dan ini sudah lewat jam dua belas malam memang. Sekar pasti juga sudah tidur bukankah memang tidak baik ibu hamil tidur terlalu malam. Pandu hanya mengangguk sekilas lalu melangkah masuk dan dia tertegun saat melihat Sekar ada di sana, duduk di kursi ruang keluarga dengan televisi besar yang menontonnya. “Nyonya dari tadi sudah menunggu tuan,” kata bu Titin dengan sopan, tapi malah membuat Pandu tak suka. “Bu Titin sudah bisa istirahat,” kata Pandu. “Maaf merepotkan.” Bu Titin yang tahu Pandu sedang mengusirnya secara halus segera beranjak ke pintu belakang dan menuju apartemen sebelah tempat dia dan para pembantu yang lain tinggal. “Tidurlah kita bicara besok,” tanpa menunggu jawaban Sekar, Pandu masuk ke dalam kamarnya dan m
“Kamu sengaja melakukannya?” tanya Pandu dengan pandangan marah, dia menghela napas dalam berusaha meredakan api yang ada dalam dadanya. Sekar butuh pertolongan. Segera. “Minta siapkan mobil!” perintah Pandu pada Bu Titin yang berdiri dengan wajah ketakutan di belakangnya. Wanita itu langsung berlari keluar. Pemandangan yang ada di hadapannya cukup mengiris hati, Sekar terduduk di lantai dengan darah yang membasahi baju bawahanya, dengan banyak barang yang berserakan di lantai dan tepat di bawah kaki Sekar ada sebuah botol parfum yang tergeletak mengenaskan, dia yakin botol itu salah satu korban yang dilempar Sekar semalam melihat ada sisi yang pecah di sana. Bau kosmetik pecah yang bercampur membuat Pandu tahu Sekar tadi malam melampiaskan semua amarahnya dengan brutal, dan tempat tidur pun tak luput dari sasaran. Dia menduga Sekar menginjak botol itu dan terpeleset jatuh terduduk. Entah jatuhnya disenga
Kulitnya yang kemerahan bulu matanya yang lentik seperti Sekar. Hidungnya mancung dan rambutnya tebal tapi yang membuat Pandu mengernyit biingung adalah warna rambutnya yang... pirang. “Apa memang bayi yang baru lahir warna rambutnya seperti itu?” tanya Pandu pada perawat yang menemaninya. “Eh?” perawat itu menatap Pandu bingung dan sekilas mengamati rambut laki-laki itu yang hitam legam sama seperti orang Indonesia pada umumnya, dia lalu mengingat wanita yang melahirkan bayi ini. Sebuah pengertian marasuki otaknya. “Bayi tuan berambut pirang,” kata sang perawat lugas. “Tapi bagaimana rambutnya bisa seperti itu?” tanya Pandu bingung. Sang perawat yang sudah menduga sebelumnya ikut bingung saat menjawab laki-laki di sampingnya itu. “Bapak bisa bertanya lebih jauh pada dokter nantinya,” jawabnya tak ingin mengungkapkan dugaan yang ada di kepalanya. “Baiklah saya akan mengadzaninya dulu, boleh?” “Silahkan pak tapi ti
Sekar kembali berulah. Wanita itu sudah sadar beberapa jam yang lalu dan dokter menyatakan kondisinya sudah stabil. “Maaf ibu memang itu bisa dilakukan tapi bayi ibu lahir premtur akan sangat bagus kalau minum asi dari ibu,” kata sang suster berusaha memberi pengertian pada ibu muda yang menatapnya dengan pandangan mengancam. Ini bukan pertama kalinya sang perawat menemukan seorang ibu yang tidak mau memberikan asinya pada anaknya sendiri, alasan tidak ingin betuk tubuhnya rusak adalah yang biasa terjadi tapi kali ini kondisi bayi itu sangat membutuhkan asi ibunya. “Aku tidak mau ya tidak mau! Berani sekali kamu memaksaku! Kamu kira kamu siapa!” bentak Sekar dengan kasar. Sang perawat menghela napas dengan jengkel. “Maaf ibu saya hanya ingin menjelaskan yang terbaik untuk-“ “Pergi!” belum juga selesai sang perawat menjelaskan Sekar sudah melempar gelas di nakas pada perawat itu, untung saja wanita itu bisa menghindar tepat
“Ayo kita pulang mama yakin anak itu bukan anakmu, kamu tidak perlu mengorbankan diri seperti itu!” Pandu menghela napas menatap ibunya yang sudah bersedekap dengan wajah marah sejak tadi, seharusnya ibunya ikut saja pulang bersama sang ayah, tapi wanita yang melahirkannya itu malah ingin menemaninya. Pandu bukannya terharu sang mama melakukan hal itu, dia malah curiga akan ada permintaan ajaib sang ibu yang harus dia lakukan. Dan sungguh saat ini dia sudah sangat kelelahan untuk menghadapai para wanita rumit dalam keluarganya. “Kita belum melihat hasil test DNA itu,” kata Pandu. “Kamu tidak butakan, Nak. Bayi itu jelas tidak mirip denganmu bahkan saat membuka mata tadi mama lihat warna matanya biru bukan hitam.” Sang ibu melotot marah melihat anaknya yang bebal ini, untuk apa juga mengurusi wanita yang sudah berkhianat padanya bahkan melahirkan benih laki-laki lain.“Itu belum pasti, Ma. Lagi pula jika bukan aku y
Beberapa kali Pram menengok Arlojinya dengan gelisah. Ini sudah hampir jam sepuluh malam, dia lalu menengok ponselnya tidak ada pesan sama sekali. Kemana dia? Padahal Pram sudah ada di rumah tepatnya di ruang kerjanya sejak selesai makan malam, malam ini dia makan sendiri di meja makan besar itu. Laras belum kembali sejak minta izin meninggalkan kantor lebih cepat tadi siang. Dan Clara wanita yang katanya baru sembuh dari sakit itu menghilang entah kemana, bahkan dia juga tidak mengatakan apapun pada para pembantu. “Tuan, nyonya sudah pulang.” Pram menghela napas lega. “Baiklah terima kasih, Bi. Tolong siapkan makanan untuknya dan juga susu hangat dia pasti sangat lelah.” “Ehm... tuan. Tapi nyonya sama sekali tidak makan setelah jam tujuh malam, biasanya hanya makan buah saja itupun kalau benar-benar lapar.” “Apa maksudmu dia pemakan segala, bahkan kami pernah makan nasi goreng di pinggir jalan
Clara tak ingin seperti ini. Dia mencintai Pram. Belum pernah dia memiliki rasa cinta seperti pada laki-laki itu. Tapi dia juga realistis, dia tentu saja memilih ayah Pram yang lebih royal padanya dan memanjakannya dengan kasih sayang. Pram memang sesekali mengajaknya jalan tapi tak sekalipun memberikan barang-barang mahal, apalagi waktu itu sang papa butuh suntikan dana dan ayah Pram mau memberikannya asalkan mereka menikah. Clara tak punya pilihan lain, ayah Pram memang masih tampan meski sudah berumur. Clara tentu saja tak menolak, tapi lambat laun dia sadar kalau cintanya hanya untuk Pram seorang dan dia bertekad akan mengejarnya tak peduli kalau statusnya saat itu ibu tiri laki-laki yang dia cintai. “Kenapa kamu membuatnya mati lebih cepat! Seharusnya kamu memastikan dulu isi surat wasiatnya!” “Kenapa papa menyalahkan aku, surat wasiatnya semula aku menerima dua puluh lima persen kekayaannya tapi dia mengubahnya, dan pengacara itu sama sekali tidak bisa diandalkan, harusnya
Laras menatap rantang yang dia bawa. Dia sengaja masak daging dan juga ayam hari ini. Sejujurnya dia sama sekali tak tahu apa makanan kesukaannya. Lebih dari seperempat abad dia mengenalnya tapi mereka bahkan bisa dibilang orang asing dalam satu rumah. Ini akan canggung, tentu saja. Laras tidak pernah bersikap baik pada ayahnya seumur hidupnya pun demikian dengan sang ayah. Yang dia ingat dari sosok itu hanya bentakan dan pukulan, tak ada yang lain. Tapi hari ini dia mau menyempatkan diri untuk menjenguk serta membawakan makanan. Bukan karena dia memaafkannya atau ingin minta maaf karena laki-laki itu harus terlibat masalah seperti ini. Laras tidak bersalah dia selalu menekankan hal itu pada dirinya sendiri. Ini salah ayahnya sendiri kenapa begitu lancang meminta uang pada mertuanya, kenapa ayahnya begitu tak tahu malu melakukan itu semua. Padahal uang milyaran yang diberikan Pram saja sudah dia berikan semua. Laras tahu meski kecil dalam hati kecilnya dia masih menyayang
Pram menatap Alisya yang makan dengan tenang. “Tumben suamimu membiarkanmu lepas seperti ini.” Alisya tak menanggapi dia mengaduk jusnya dan menyerutnya dengan tenang, Clara sudah pergi sepuluh menit yang lalu tak tahan dengan sikap dingin Alisya dan juga sikap Laras yang menganggap wanita itu tak ada di sana. Hanya Pram yang masih sesekali berbicara dengannya, meski itu juga seolah terpaksa, wanita itu merajuk. Pram tahu itu tapi dia tidak wajib membujuknya, tentu saja jadi yang dia lakukan adalah meneruskan makan siang mereka dengan tenang. Baik Laras maupun Alisya seperti tak peduli dengan kepergian Clara, hanya saja saat Laras pergi ke kamar mandi Pram tidak tahan dalam keadaan seperti ini, hubungan keduanya sangat baik dan hangat tentu saja Pram tak ingin membuat masalah dengan Alisya. Karena bagaimanapun dia menyayangi wanita itu. Alisya melambaikan tangan pada pelayan yang lewat dan memesan dua mangkuk ice cream strawberry dan setelah pelayan menghidangkannya dia memberika
“Aku suka caramu membuat format laporan simple dan praktis, aku minta kamu melakukan hal yang sama untuk laporan yang masuk siang ini.” Ini pengalaman pertamanya bekerja dengan Pram, ternyata suaminya itu sangat teliti dan perfecsionis, untung saja Laras bukan tipe orang yang menye-menye bahkan tadi Pram menegurnya dengan keras saat membuat kesalahan tapi tak segan memuji jika pekerjaan Laras memuaskan. Pram di kantor dan di rumah sangat berbeda, Laras tak tahu dia lebih menyukai versi suaminya yang mana, tapi yang jelas Laras sangat tidak menyukai suaminya saat ada di dekat wanita ini. “Pram apa semua baik-baik saja? kamu sepertinya sangat sibuk apa perlu aku juga bekerja di sini?” Laras langsung mengangkat kepalanya dan menatap Clara yang tiba-tiba datang lalu memeluk Pram seolah mereka sepasang kekasih. Pram yang tak enak hati langsung melepaskan pelukan Clara tapi wanita itu sepertinya urat malunya sudah putus bahkan beberapa karyawan yang melintas sempat menoleh pada ruangan
Pram tahu kalau sang istri ingin sekali pergi dari tempat ini secepatnya, tapi dia tidak akan membiarkan hal itu. Pram tak perlu obat tidur untuk membuat sang istri tidur lelap. Kekenyangan adalah obat tidur paling mujarab untuk Laras, Pram bahkan yakin istrinya itu tidak akan bangun meski ada gempa saat sudah tidur. Hidup bersama dalam satu atap beberapa bulan ini membuat Pram tahu sekali kebiasaan istrinya itu. Setelah yakin Laras tertidur Pram masuk ke kamar bibi yang ditempati wanita itu, bukan masalah jika kamar itu terkunci, Pram tahu dimana letak kunci cadangannya. “Wah kamu benar-benar seperti beruang yang sedang hibernasi,” gumam Pram yang melihat Laras sudah pulas padahal baru saja mereka berdebat. Perlahan dia mengangkat tubuh sang istri dan memindahkannya ke kamar utama, benar dugaannya jangankan terbangun saat dipindahkan terganggu saja tidak. “Astaga benar-benar kamu ini,” kata Pram sambil menggeleng
Laras tak bisa tidur malam ini, bahkan setelah meminum pil pereda nyeri. Padahal badannya sakit semua serasa baru dipukuli orang satu kampung.Tapi...Perutnya lapar dan itu berbahaya. Karena Laras tidak suka kelaparan. Tapi kali ini dia akan bertahan di dalam kamar ini. Dia tidak pernah kembali kekamar utama dan memilih tidur di kamar bibi, agak sempit memang dan tentu saja fasilitasnya tidak seperti kamar utama, tapi tentu saja kamar ini lebih baik dari kontrakan Laras dan ibunya dulu paling tidak kasurnya sangat empuk dan atapnya tidak bocor dan yangpaling penting... tempat tidurnya kecil. Pram tidak akan mau tidur di sini. Bukan Laras terlalu percaya diri kalau sekarang Pram memang mau tidur dengannya. Laki-laki itu sendiri yang mengatakan, terutama setelah kejadian tadi. Sayangnya perutnya benar-benar tak bisa kompromi, dengan kesal Laras bangun dan mengendap masuk ke dapur, dia tidak tahu apa masih ada sisa bahan makanan atau tidak. “Sabar ya, Sayang. Kita cari dulu,” ka
"Apa kamu bermaksud ingin menggodaku." Laras berbalik untung saja dia tidak refleks menyiramkan air yang dia pegang pada Pram. "Apa maksudmu dengan menggoda, aku sedang minum?" Pram tersenyum miring dan menatap Laras dari atas ke bawah terang-terangan, Laras yang mengikuti arah pandangan Pram langsung sadar kalau sekarang dia hanya menggunakan baju tidur kurang bahan. "Sialan! Mau aku colok matamu," jawab Laras ketus. Laras meletakkan gelasnya dengan kasar dan buru-buru lari ke kamar sial kenapa dia bisa lupa. Tapi Pram tak membiarkan sang istri untuk pergi dari hadapannya. "Siapa yang menyuruhmu pergi, kamu harus tanggung jawab." "Apa maksudmu?" tanya Laras sambil menelan ludah. "Tentu saja karena membuat aku menginginkanmu," kata Pram sambil tersenyum jahil. Laki-laki itu menarik tangan sang istri kuat. Kalah tenaga, Laras teerhuyung ke depan dan jatuh tepat dipelukan suaminya. "Lepas! ini pelecehan!" "Hahaha... kamu lupa kita suami istri bahkan aku berhak m
"Percaya diri sekali aku. Pram tidak akan masuk ke kamar ini, kami tidak perlu pura-pura di sini." Laras memilih baju-baju yang tergantung di sana, bukan seleranya memang tapi dia tidak mungkin memakai baju yang tadi untuk tidur. Lagi pula ada selimut, dia bisa menggulung tubuhnya seperti kepompong dan tidur nyenyak sampai pagi. Laras mengangguk itu rencana yang sangat bagus menurutnya. Dia segeraa mengambil satu baju asal saja, dan membawanya ke kamar mandi saat keluar dari kamar mandi Laras langsung berlari ke atas ranjang dan menggulung dirinya dengan selimut tebal, tapi tak lama dia kembali membuka selimut itu karena panas dan pengap, akhirnya dia hanya menutupi tubuhnya dengan selimut meski masih kepanasan tapi dia harus bisa bertahan, menurunkan suhu ruangan menjadi pilihannya. Laras menunggu dengan tegang di dalam kamar, dia memang sudah mengunci pintu kamar ini khawatir Pram tiba-tiba masuk dan melihatnya yang sedang berpakaian tak layak. Sampai jauh malam Laras sama se