Share

Bab 110

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-11-12 19:10:44

“Kamu mau kemana?”

Nada mendesak dalam suara anak buahnya yang menelpon tadi membuat Pandu memutuskan menyusul ke sana.

Tanpa dia sadari sang ayah  sedang menunggu di ruang tengah apartemennya. Sang  ayah duduk dengan tenang berhadapan dengan satu cangkir kopi.

“Papa?”tanya Pandu seolah tak percaya ayahnya sudah ada di sini. Sejak kapan? “Aku tidak tahu papa datang, maaf.”

Lalu melangkah mendekat.

“Aku memang sengaja tidak ingin menganggumu, kata bu Titin kamu terlihat suntuk,” kata laki-laki paruh baya itu sambil menyeruput kopinya.

“Papa datang karena bu Titin menghubungi Papa?” tanya Pandu sambil menyipitkan mata pada wanita paruh baya yang baru saja menghidangkan kue kering di depan sang papa.

Apa bu Titin mengira sang ayah akan membela Sekar seperti yang dilakukannya pada Alisya? Bodoh sekali.  Meski sang ayah terlihat tidak keberatan saat dia menikahi Sekar, tapi dia juga tidak mendukung wanita itu seperti y
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Roroh Siti Rochmah
trnyta mmlihara srigala si pandu ini, yg dibela mati2an klopun mlkkn kslhn patal
goodnovel comment avatar
Roroh Siti Rochmah
sakitkan aplg klo smpe tahu klo byinya yg sekar kndung bukn ankny psti mkin2 sakit tuh
goodnovel comment avatar
Noor Arnilan
Cerita tak habis kurang minat follow
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 111

    “Nyonya sudah pulang dari tadi tuan,” kata bu Titin begitu wanita itu membukakan pintu untuk Pandu. Pandu menatap wanita itu dengan datar, membuat bu Titin menunduk dalam. “Maksud saya jam setengah sepuluh tadi,” lanjutnya lagi meski Pandu tidak bertanya. Dan ini sudah lewat jam dua belas malam memang. Sekar pasti juga sudah tidur bukankah memang tidak baik ibu hamil tidur terlalu malam. Pandu hanya mengangguk sekilas lalu melangkah masuk dan dia tertegun saat melihat Sekar ada di sana, duduk di kursi ruang keluarga dengan televisi besar yang menontonnya. “Nyonya dari tadi sudah menunggu tuan,” kata bu Titin dengan sopan, tapi malah membuat Pandu tak suka. “Bu Titin sudah bisa istirahat,” kata Pandu. “Maaf merepotkan.” Bu Titin yang tahu Pandu sedang mengusirnya secara halus segera beranjak ke pintu belakang dan menuju apartemen sebelah tempat dia dan para pembantu yang lain tinggal. “Tidurlah kita bicara besok,” tanpa menunggu jawaban Sekar, Pandu masuk ke dalam kamarnya dan m

    Last Updated : 2024-11-13
  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 112

    “Kamu sengaja melakukannya?” tanya Pandu dengan pandangan marah, dia menghela napas dalam berusaha meredakan api yang ada dalam dadanya. Sekar butuh pertolongan. Segera. “Minta siapkan mobil!” perintah Pandu pada Bu Titin yang berdiri dengan wajah ketakutan di belakangnya. Wanita itu langsung berlari keluar. Pemandangan yang ada di hadapannya cukup mengiris hati, Sekar terduduk di lantai dengan darah yang membasahi baju bawahanya, dengan banyak barang yang berserakan di lantai dan tepat di bawah kaki Sekar ada sebuah botol parfum yang tergeletak mengenaskan, dia yakin botol itu salah satu korban yang dilempar Sekar semalam melihat ada sisi yang pecah di sana. Bau kosmetik pecah yang bercampur membuat Pandu tahu Sekar tadi malam melampiaskan semua amarahnya dengan brutal, dan tempat tidur pun tak luput dari sasaran. Dia menduga Sekar menginjak botol itu dan terpeleset jatuh terduduk. Entah jatuhnya disenga

    Last Updated : 2024-11-13
  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 113

    Kulitnya yang kemerahan bulu matanya yang lentik seperti Sekar. Hidungnya mancung dan rambutnya tebal tapi yang membuat Pandu mengernyit biingung adalah warna rambutnya yang... pirang. “Apa memang bayi yang baru lahir warna rambutnya seperti itu?” tanya Pandu pada perawat yang menemaninya. “Eh?” perawat itu menatap Pandu bingung dan sekilas mengamati rambut laki-laki itu yang hitam legam sama seperti orang Indonesia pada umumnya, dia lalu mengingat wanita yang melahirkan bayi ini. Sebuah pengertian marasuki otaknya. “Bayi tuan berambut pirang,” kata sang perawat lugas. “Tapi bagaimana rambutnya bisa seperti itu?” tanya Pandu bingung. Sang perawat yang sudah menduga sebelumnya ikut bingung saat menjawab laki-laki di sampingnya itu. “Bapak bisa bertanya lebih jauh pada dokter nantinya,” jawabnya tak ingin mengungkapkan dugaan yang ada di kepalanya. “Baiklah saya akan mengadzaninya dulu, boleh?” “Silahkan pak tapi ti

    Last Updated : 2024-11-14
  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 114

    Sekar kembali berulah. Wanita itu sudah sadar beberapa jam yang lalu dan dokter menyatakan kondisinya sudah stabil. “Maaf ibu memang itu bisa dilakukan tapi bayi ibu lahir premtur akan sangat bagus kalau minum asi dari ibu,” kata sang suster berusaha memberi pengertian pada ibu muda yang menatapnya dengan pandangan mengancam. Ini bukan pertama kalinya sang perawat menemukan seorang ibu yang tidak mau memberikan asinya pada anaknya sendiri, alasan tidak ingin betuk tubuhnya rusak adalah yang biasa terjadi tapi kali ini kondisi bayi itu sangat membutuhkan asi ibunya. “Aku tidak mau ya tidak mau! Berani sekali kamu memaksaku! Kamu kira kamu siapa!” bentak Sekar dengan kasar. Sang perawat menghela napas dengan jengkel. “Maaf ibu saya hanya ingin menjelaskan yang terbaik untuk-“ “Pergi!” belum juga selesai sang perawat menjelaskan Sekar sudah melempar gelas di nakas pada perawat itu, untung saja wanita itu bisa menghindar tepat

    Last Updated : 2024-11-14
  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 115

    “Ayo kita pulang mama yakin anak itu bukan anakmu, kamu tidak perlu mengorbankan diri seperti itu!” Pandu menghela napas menatap ibunya yang sudah bersedekap dengan wajah marah sejak tadi, seharusnya ibunya ikut saja pulang bersama sang ayah, tapi wanita yang melahirkannya itu malah ingin menemaninya. Pandu bukannya terharu sang mama melakukan hal itu, dia malah curiga akan ada permintaan ajaib sang ibu yang harus dia lakukan. Dan sungguh saat ini dia sudah sangat kelelahan untuk menghadapai para wanita rumit dalam keluarganya. “Kita belum melihat hasil test DNA itu,” kata Pandu. “Kamu tidak butakan, Nak. Bayi itu jelas tidak mirip denganmu bahkan saat membuka mata tadi mama lihat warna matanya biru bukan hitam.” Sang ibu melotot marah melihat anaknya yang bebal ini, untuk apa juga mengurusi wanita yang sudah berkhianat padanya bahkan melahirkan benih laki-laki lain.“Itu belum pasti, Ma. Lagi pula jika bukan aku y

    Last Updated : 2024-11-15
  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 116

    “Apa kamu sudah mengucapkan selamat untuk mantan suamimu yang sedang berbahagia itu?” tanya Pram dengan nada mengejek yang membuat Alisya gemas ingin menggeplak kepalanya. “Memangnya kamu mau menemani?” tantang Alisya. “Ogah kurang kerjaan banget,” jawab laki-laki itu ketus. “Ye gitu kok resek,” kesal Alisya. Dia lalu meneruskan membaca berita online yang tadi ditunjukkan oleh Pram. Banyak hakim dadakan di sana, usia pernikahan mereka bahkan belum genap enam bulan tapi Sekar sudah melahirkan. “Boleh kok kalau kamu juga mau komentar, katakan saja suamimu dp duluan ke gundiknya,” kata Pram sambil menyesap kopinya. Alisya terdiam, mencoba mencari tahu rasa yang muncul di hatinya, sakit. marah atau malah tidak peduli. Dia mencoba menelaah semuanya tapi sama sekali tidak ditemukannya rasa itu, rasa yang kini muncul di hatinya hanya kehampaan. Apa cintanya pada Pandu telah benar-benar padam? Tapi kenapa saat malam tiba

    Last Updated : 2024-11-15
  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 117

    “Nyonya minum vitaminya dulu, ini dibeli khusus oleh tuan di luar negeri agar nyonya cepat sembuh,” kata Bu Titin, tangannya terulur memberikan satu butir pil berwarna bening. Sekar menerimanya dengan senyum lebar di bibirnya. “Mas Pandu belum datang, Bu?” tanyanya. “Tuan harus ke kantor, jadi tidak sempat mampir kemari,” kata bu Titin dengan ketengangan seperti biasa. “Tadi malam dia juga tidak datang,” jawab Sekar dengan kesal. Bu Titin terdiam tak tahu apa yang harus dia katakan karena sejak kemarin Pandu memang tak menampakkan batang hidungnya. Dia yang  sejak kemarin menjaga Sekar tanpa ada yang menggantikan, sebenarnya sebagai kepala rumah tangga di rumah Pandu, bu Titin bisa meminta salah satu asisten rumah tangga menunggui Sekar di sini, tapi Pandu sudah berpesan kalau dia sendiri yang harus menjaga sang nyonya.Bukannya dia mengeluh menjaga istri tercinta Pandu, tapi usianya yang tak lagi muda membuatnya cepat lelah dan Sekar

    Last Updated : 2024-11-16
  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   BAB 118

    ‘Nyonya memaksa melihat bayinya tuan.’ Pandu sudah menduga ini akan terjadi, bukan karena wanita itu ingin tahu seperti apa anaknya layaknya ibu-ibu lain yang baru saja melahirkan tapi Pandu curiga ada tujuan lain wanita itu. Sekar memang belum tahu kalau bayinya sangat berbeda dari mereka, memang cepat atau lambat wanita itu akan tahu tapi tentu saja tidak sekarang, sebelum Pandu menyiapkan semua. “Lalu bagaimana tindakan pihak rumah sakit?” “Seperti yang tuan minta mereka melarang dengan alasan kesehatan bayi tak memungkinkan, tapi nyonya mengamuk dan sempat membuatnya hampir pingsan.” Wow! Sepertinya dia harus segera menjalankan rencananya. Begitu sambungan dengan anak buahnya di rumah sakit terputus, Pandu langsung menghubungi pengacaranya. “Apa sudah siap semuanya?” tanyanya setelah mengucap salam. “Bagus lakukan apa yang aku pinta.” Senyum lega menghiasi wajah Pandu, dia meraih jasnya dan melangkah keluar kantor dan menu

    Last Updated : 2024-11-16

Latest chapter

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 178

    "Aku tahu aku tidak berhak mengatakan ini tapi aku tahu kamu bukan orang yang ceroboh."Suara Pandu membuat Alisya menoleh, laki-laki itu juga sedang menatapnya dengan tatapan yang dalam yang mampu membuat dada Alisya berdebar kencang. "Mas terlihat tidak suka jika aku menerima jabatan baru itu?" Alisya berusaha bersikap tenang yang tentu saja sangat sulit dia dapatkan di bawah tatapan Pandu.Seperti yang dia katakan, Pandu sama sekali tak berhak untuk berkomentar, tapi tentu saja, laki-laki itu tak mungkin berkomentar sembarangan tanpa alasan."Bukan tak suka." Pandu menghentikan ucapannya dan menatap Alisya dengan khawatir."Aku hanya tidak ingin kamu mengabaikan Bisma, aku tahu kamu pasti akan menolak jika aku memberikan uang meski dengan alasan untuk Bisma. Lagi pula apa kamu tidak merasa ini terlalu cepat, Fahri dan ayahnya mungkin saja menerima di depan pak Amin tapi dunia bisnis sangat penuh dengan tipu muslihat, aku tak mau kamu menjadi korbannya." Lahir dan besar di keluar

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 177

    "Ups maaf, sepertinya papa menganggu."Alisya buru-buru menyelesaikan kunyahannya. Astaga. Seharusnya tadi dia menolak keras Pandu yang ingin menyuapinya, dia sudah sembuh hanya tinggal sedikit pusing dan lemas. "Ma...ma!" jerit Bisma tak terima saat sang kakek ingin membawa anak itu keluar. "Biar Bisma sama saya, Pa," kata Alisya meminta putranya."Asip yang kamu berikan habis jadi papa bawa dia kemari."Alisya mengangguk dia bisa menduganya."Terima kasih, Pa. Sudah menjaga Bisma.""Sama-sama, Nak. Papa dan mama senang bisa menjaga Bisma."Rengekan Bisma yang terlihat sangat kehausan membuat laki-laki paruh baya itu tersenyum dan berpamitan menunggu di luar.Alisya menatap Pandu yang masih anteng duduk di tempatnya. "Apa mas sudah tanya pada dokter aku boleh menyusui Bisma apa tidak?" tanyanya. "Oh iya, aku lupa bilang, kamu boleh menyusui Bisma, obat yang kamu minum tidak berpengaruh padanya." Alisya mengangguk, menunggu sampai Pandu berdiri dan keluar api sepertinya laki-lak

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 176

    "Mas pulang saja, di sini pasi tidak nyaman," kata Alisya yang melihat Pandu masih duduk dengan tablet di tanganya, laki-laki itu memang tak banyak bicara setelah bulek Par meninggalkan mereka tadi. Pandu meletakkan tabletnya dan mendekati Alisya, dia lalu mengambil botol air mineral dan memberikannya pada Alisya. "Aku tidak ingin minum," kata wanita itu dengan nada protes. "Kata dokter kamu harus banyak minum kalau mau cepat sembuh." "Susah kalau bolak balik ke kamar mandi," bantah wanita itu. "Aku akan menggendongmu ke kamar mandi tenang saja," Alisya menghela napas lalu menerima air itu dan meminumnya sedikit. "Aku serius, mas. Aku tidak masalh di sini sendiri ada suster yang bisa aku panggil kalau butuh bantuan, lagi pula aku takut Bisma nangis dan kasihan papa dan mama." Pandu malah menarik kursi di samping ranjang Alisya dan duduk di sana. "Kenapa kamu hobi sekali mengusirku, ini bukan di rumahmu tidak akan ada tetangga yang usil, lagi pula seperti kata bulek aku akan be

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 175

    Pandu sudah mendengar kasus itu tapi tentu saja dia sama sekali tidak bisa membantu sama sekali. Kekhawatiran menguasai hatinya sejak mendengar kasus itu, meski sekretarisnya bilang semuanya bisa teratasi dengan baik tapi tetap saja dia sangat khawatir pada ibu dari anaknya itu. Entah  apa yang dilakukan Alisya, sehingga wanita itu terus saja bercokol dalam benak Pandu, sehari saja tak bertemu membuat lagi-lagi itu dilanda kegelisahan. Apa ini normal? Ayahnya bahkan mengatakan dia seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Mungkin memang benar, saat ini dia bisa merasakan jantungnya berdebar saat berhadapan dengan Alisya bahkan ikut tersenyum saat wanita itu tersenyum. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan sedikit mengalihkan pikiran Pandu dari keinginan untuk menemui Alisya juga putranya. “Pak ada telepon dari ibu Sasti, apa bapak mau menerimanya?” Suara sang sekretaris terdengar dari interkom di depannya

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 174

    “Apa aku bisa mempercayai ucapanmu sekarang?” tanya Sasti dengan penuh intimidasi. Alisya yang ada di ruangan yang sama langsung membeku mendengar ledakan kemarahan Sasti, dia tahu Sasti wanita yang dingin dan bertangan besi, tapi tidak pernah melihat wanita itu semarah sekarang ini. “Aku awalnya juga tidak percaya tapi semakin aku menyangkalnya semakin banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan beliau,” kata Fahri dengan frustasi. Sasti terduduk di kursinya dia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. “Kenapa?” tanyanya dengan kekecewaan yang tidak dia tutup-tutupi. “Karena beliau merasa dialah yang pantas ada di posisi puncak.” “Lalu kenapa dia tidak mengambilnya, merebutnya dan bersaing sehat jika dia merasa punya kemampuan.” Fahri hanya menunduk diam tak sanggup menjawab cercaan Sasti karena dia sendiri memang tidak tahu alasannya. “Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu juga berpikir hal yang sama?” tanya Sasti tajam. Fahri langsung mengangkat wajahnya dan menatap

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 173

    “Ma...ma,” rengek Bisma minta digendong saat Alisya sudah rapi. Rencana mengajukan cuti hari ini batal sudah saat telepon dari Dara membuatnya mau tak mau harus datang ke kantor. “Sayang, Bisma sama mbak Rani dan nenek dulu ya, Nak,” kata Alisya sambil memeluk anaknya yang gembul itu. Bahkan untuk menggendong Bisma pun Alisya tak punya tenaga, kepalanya begitu pusing dan wajahnya pucat, efek dari tidak tidur semalam. Tapi mau tak mau dia harus tetap ke kantor, tidak mungkin dia lepas tangan begitu saja karena sejak awal dia yang bertanggung jawab untuk hal itu. “Kamu yakin mau pergi ke kantor, Lis. Dengan wajah seperti itu, apa tidak bisa ijin saja,” tanya bulek dia terlihat sangat khawatir pada Alisya. “Ada sedikit masalah di kantor, saya harus ke sana.” “Oalah, Lis, memangnya tak ada orang lain yang bisa gantikan?” “Ini masalah tanggung jawab saya bulek jadi tak bisa diwakilkan,” kata Alisya berusaha m

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 172

    Alisya menatap tak percaya setelah membaca dokumen yang diberikan Pandu padanya, dia sampai butuh membaca beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. “Mas sudah memverifikasi laporan ini?” tanya Alisya pada Pandu. Setelah mereka piknik di alun-alun kota, Pram harus pulang terlebih dahulu karena ada panggilan dari ayahnya, dia hanya bilang pada Alisya kalau nanti malam akan menghubungi lagi, dan itu dikatakan tanpa sepengetahuan Pandu, artinya akan ada hal serius yang ingin dibicarakan laki-laki itu. “Aku tidak akan memberikan padamu kalau belum membuktikannya sendiri.” “Kenapa mas mencari tahu tentang hal ini? apa karena kerja sama dengan galeri mas waktu itu?” tanya Alisya yang masih belum percaya kalau Pandu memiliki minat pada barang-barang seni. Selama mereka hidup bersama hal itu tidak terlihat sama sekali, rumah tempat mereka tinggal dulu Alisyalah yang menatanya dan laki-laki itu sama sekali tidak protes. “Salah satunya.” 

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 171

    Tak mudah jalan bersama dua orang laki-laki dewasa yang siap saling tonjok satu sama lain setiap saat. “Ayo Al, sudah mulai panas,” kata Pandu sedikit kesal melihat interaksi Alisya dan Pram. Suasana alun-alun kota memang mulai ramai, banyak orang yang berdatangan dan menikmati kebersamaan dengan keluarga mereka, para pedagang kaki lima di pinggir alun-alun juga tak mau ketinggalan. Secara umum  suasananya memang menyenangkan tapi tentu saja tidak untuk Pandu yang lebih memilih berhenti dan menunggu Alisya. “Kamu bawa tikar?” tanya Pram pada Alisya saat mereka memutuskan untuk memilih satu sudut yang lapang untuk duduk. “Ada dalam tas.” Pram membuka tas bekal yang dibawa Alisya dan mendapati tikar kecil di dalamnya. Duduk di atas tikar yang barusan dia gelar lalu tanpa permisi membuka tas bekal Alisya dan mencomot satu roti isi yang ada di sana. “Astaga Pram kamu bahkan tidak cuci tangan,” omel Alisya ya

  • Maaf, Aku Bukan Wanita Lemah   Bab 170

    Bisma menangis kencang tapi Alisya malah tersenyum geli. “Tunggu ya, mama siapin Asip buat kamu dulu, anak mama yang ganteng tenang dulu ya,” kata Alisya kalem. Seperti mengerti ucapan sang mama, bayi mungil itu menatap Alisya yang membawa asi beku untuk dipanaskan sambil sesekali sesegukan. Lucu sekali. Setelah suhunya dirasa cukup, Alisya memberikannya pada Bisma dan anak itu menerimanya dengan tak sabar.“Makasih ya, nak sudah menyelamatkan mama dari papamu tadi malam,” kata Alisya sambil mengelus rambut Bisma yang begitu lembut. Secara keseluruhan wajah anaknya memang mengcopi wajah Pandu, bisa dibilang Bisma hanya numpang tumbuh di rahimnya saja. Tentu saja hal itu membuat Pandu ataupun keluarganya yang dulu sempat meragukan anak yang dia kandung tidak perlu melakukan test DNA. Ini hari libur untuk Alisya dan dia berencana mengajak Bisma untuk jalan-jalan bukan jalan yang jauh sih hanya ke alun-alun kota, tapi

DMCA.com Protection Status