Tarno yang telah merantau ke luar negeri selama lima tahun berencana memberikan kejutan untuk istrinya, Susanti, dengan pulang ke rumah tanpa memberi kabar sebelumnya. Dia bahkan menyiapkan sebuah hadiah berupa kalung berbandul hati dengan inisial namanya dan istrinya. Namun niatnya untuk memberikan kejutan justru malah berbalik membuatnya lebih terkejut. Tarno melihat Susanti dan Joko -sahabat yang dipercayainya untuk menjaga istrinya selama dia pergi- berada di kasurnya tanpa sehelai benang apa pun. Bagaimanakah reaksi Tarno menghadapi perselingkuhan istri dan sahabatnya? Yuk ikuti kisah selengkapnya...
View MoreTarno sedang dalam perjalanan ke rumahnya saat ini dengan mengendarai mobil avanza hitam yang sengaja disewanya untuk perjalanan pulang. Dilihatnya lagi kalung yang sengaja dipesannya sebagai hadiah kejutan untuk istrinya, Susanti. Kalung berbandul hati dengan ukiran T&S, inisial Tarno dan Susanti sudah diukir di belakang bandulnya.
Lelaki berambut cepak, dengan beberapa helai uban yang mulai muncul itu tampak senyum-senyum sendiri membayangkan reaksi Susanti saat melihatnya pulang nanti. Ibu dari dua anaknya pasti akan sangat terkejut saat melihat Tarno masuk ke rumah dengan menyerahkan kalung kejutannya.
Tarno memang sengaja tidak memberitahu Susanti perihal kepulangannya untuk memberi kejutan pada wanita yang dicintainya itu. Lima tahun sudah Tarno merantau ke negeri orang untuk mencari uang demi merenovasi rumahnya. Susanti selalu mengeluh, rumahnya harus segera direnovasi karena setiap kali hujan atapnya selalu bocor sehingga lantainya yang masih terbuat dari tanah kerap kali becek. Awalnya Tarno hanya mengiyakan keluhan Susanti dan berjanji akan segera merenovasi rumah. Namun janji hanyalah janji, sampai dua tahun berlalu rumah tetap tidak direnovasi dan kondisinya semakin memprihatinkan.
Atap yang terbuat dari esbes semakin besar lubangnya sehingga setiap hujan air yang masuk semakin banyak. Setiap kali hujan deras rumah Tarno lebih mirip kebanjiran daripada disebut kebocoran.
Karena tak tahan, Susanti mengutarakan niatnya kepada Tarno supaya diizinkan kerja di luar negeri sebagai TKW agar bisa mengumpulkan uang untuk merenovasi rumah. Sebagai lelaki sejati, harga diri Tarno serasa diusik saat Susanti mengatakan keinginannya untuk menjadi TKW. Dia tidak rela jika wanita yang dicintainya harus bersusah payah bekerja sehingga setelah berpikir selama dua hari tiga malam akhirnya Tarno memutuskan bahwa dirinyalah yang akan berangkat ke luar negeri.
Sebelum berangkat, Tarno menitipkan Susanti pada Joko, sahabat yang dipercayainya untuk menjaga istrinya selama dirinya bekerja di luar negeri. Tarno khawatir jika terjadi sesuatu pada Susanti selama dirinya tidak ada. Apalagi saat itu anaknya yang kedua masih berumur setahun dan jauh dari sanak saudara. Tarno takut bila terjadi sesuatu saat dia tidak ada. Karena itu Tarno sudah berpesan pada Susanti untuk meminta tolong pada Joko butuh bantuan atau pertolongan.
Selama di luar negeri, Tarno selalu menanyakan pada Joko apakah Susanti baik-baik saja atau apakah ada tanda-tanda bahwa Susanti selingkuh darinya. Selama ini Joko selalu memberikan jawaban bahwa semuanya baik-baik saja dan dalam kondisi aman terkendali sehingga Tarno merasa lega, tidak pernah curiga sedikit pun.
Mobil Avanza hitam sudah memasuki gapura yang menjadi batas antar kota. Tarno sudah sampai di kotanya. Tak terasa perjalanan tinggal tiga puluh menit lagi. Tarno merasa sudah tidak sabar ingin cepat sampai ke rumahnya.
Selain membelikan kalung untuk Susanti, Tarno juga membelikan istrinya beberapa barang yang pernah dipesan Susanti sebelumnya. Tarno membelikan banyak mainan dan pakaian bagus untuk kedua putrinya. Tarno juga sudah menyiapkan hadiah untuk Joko, sebagai ucapan terima kasih karena sudah menjaga istrinya selama lima tahun terakhir. Dibelikannya sahabatnya kaos jersey dari klub sepak bola favoritnya dan sepasang sepatu untuk olah raga.
Tarno memberi tahu pak supir arah menuju rumahnya. Senyum tak henti terkembang di wajahnya.
“Belok kanan, Pak. Nanti kalau ada belokan lagi ganti belok kiri,” ucap Tarno pada pak supir yang tengah sibuk mengemudi.
“Stop disini dulu Pak. Aku mau ngasih kejutan buat istriku dulu.” Tarno menghentikan mobil yang dinaikinya di depan rumah tetangganya.
Tarno sengaja memarkir mobilnya di rumah tetangganya yang berjarak dua rumah dari rumahnya agar kejutan berjalan sempurna. Jika mendengar mobil berhenti di depan rumahnya maka Susanti akan mendengarnya dan penasaran untuk melihat siapa yang datang, sehingga rencana untuk memberi kejutan akan gagal.
Tarno berjalan dengan membawa kalung yang disimpan dalam saku. Senyumnya masih terkembang membayangkan ekspresi kaget di wajah istrinya saat melihatnya nanti.
Hari masih pagi saat Tarno sampai, masih sekitar pukul 10.00 pagi. Tarno memang berangkat dari bandara sejak sebelum subuh agar tidak kesiangan sampai rumah. Dia sengaja memilih waktu anak-anaknya masih sekolah agar bisa menghabiskan waktu romantis bersama istrinya tanpa gangguan siapa pun, termasuk kedua putrinya sebelum mereka pulang sekolah.
Tinggal beberapa langkah sebelum Tarno tiba di depan rumahnya. Rumah yang beratap esbes itu telah menghilang berganti dengan rumah bercat hijau dengan atap genteng. Rumahnya juga sudah memiliki teras yang sudah dikeramik sekarang. Tarno tersenyum puas, usahanya untuk merantau ke negeri orang sudah membuahkan hasil.
Tarno sudah di halaman rumahnya sekarang. Dia berhenti sejenak untuk melihat rumahnya yang kini sudah berubah banyak dari yang diingatnya sebelum berangkat ke luar negeri. Saat melihat sekeliling, dilihatnya sebuah motor ninja yang tampak mengkilap terparkir di depan rumahnya. Motor yang masih tampak baru karena bodinya masih mulus dan nomer pelatnya yang bahkan belum tergores sama sekali. Tarno bertanya-tanya dalam hati, motor milik siapakah gerangan.
Tarno segera masuk ke rumah untuk melihat siapa yang datang. Pintu rumah tidak terkunci dan hanya ditutup biasa. Tarno melepas sepatunya dan menaruhnya di depan pintu saat melihat sepasang sandal lelaki yang teronggok manis di samping pintu. Rumah Tarno yang beralaskan tanah kini sudah berganti dengan keramik warna putih sehingga perlu melepas alas kaki saat akan masuk rumah.
Tarno segera membuka pintu dan masuk ke rumah. Ruang tamu dalam keadaan kosong dan tidak ada siapa pun disana. Lantas sandal milik siapa yang ada di depan pintu tadi. Lalu motor siapa terparkir di halaman rumahnya. Tamu yang dicari Tarno ternyata tidak ada di ruang tamu.
Dia melihat sekeliling ruangan. Rumah itu benar-benar sudah berubah total. Kursi sofa berwarna coklat mengisi sudut ruang tamu. Di depan sofa tampak televisi flat yang cukup besar, jauh berbeda dengan televisi yang dimilikinya dulu sebelum merantau. Hanya televisi tabung ukuran 22 inch yang layarnya hilang separo.
Tarno berjalan pelan menuju belakang rumahnya untuk mencari istrinya. Mungkin dia sedang di belakang dengan tamu pemilik motor yang terparkir di halaman rumah.
Saat melewati kamar tidurnya, Tarno mendengar suara tawa dari dalam. Suara tawa Susanti dan seorang lelaki yang terasa tidak asing di telinganya. Tarno mendekat ke kamar dan telinganya di dekatkan ke pintu agar bisa mendengar suara dari dalam lebih jelas.
“Iihh ... geli loh Mas, jauh-jauh sana.” Suara Susanti terdengar sangat manja.
“Geli tapi kamu suka kan. Tarno mana punya yang seperti ini,” sahut suara lelaki di samping Susanti.
“Apaan sih, bahas lelaki itu.”
Deg. Hati Tarno terasa sakit saat mendengar kata-kata Susanti barusan. Lelaki itu, katanya. Kenapa istrinya memanggilnya dengan sebutan lelaki itu.
“Oh iya, Tarno sudah kirim uang belum sayang?” kali ini suara lelaki yang terdengar.
Tarno sangat kenal dengan suara lelaki yang didengarnya barusan. Namun dia tidak mau berburuk sangka sebelum melihatnya sendiri. Sebenarnya dia sangat ingin mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar untuk melihat secara langsung. Namun dia urung dan ingin mendengarkan lagi apa yang sedang mereka bicarakan.
“Belum. Nanti kalau sudah dikirim pasti kukabari Mas. Jangan khawatir, buat cicilan si merah kan?”
“Iya sayang. Kamu kok pinter banget sih.”
“Iya donk. Kalau nggak pinter mana bisa aku bohongin Mas Tarno buat nerusin kontrak kerjanya dan jangan pulang dulu. Kalau dia pulang mana bisa kamu beli si merah yang sekarang terparkir di depan rumah.”
“Bener Dek. Kamu memang pintar sekali sayangku. Terus rayu Tarno supaya jangan pulang dulu sampai cicilan si merah lunas. Yah dua tahun lagi lah lunas. Selama itu kita juga bisa bersama terus kayak sekarang. Aku senang kamu pun terpuaskan hahahahha.” Suara lelaki itu terdengar sangat bangga saat mengatakannya.
Kuping Tarno sangat panas mendengar percakapan dua insan berlawanan jenis yang ada di dalam kamarnya sekarang. Amarahnya menggelegak laksana magma yang siap dimuntahkan seperti letusan gunung berapi. Napasnya memburu dan dadanya naik turun menandakan emosinya sedang di puncak sekarang.
Tarno bersiap masuk ke kamar untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dia menyiapkan diri untuk melihat sesuatu yang terburuk. Diaturnya napasnya yang tidak terkendali sekarang karena menahan amarah. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya pelan untuk meredakan emosinya. Dilakukannya hal itu berulang-ulang sampai akhirnya dia merasa cukup tenang.
Setelah merasa cukup tenang, Tarno membuka pintu kamarnya dengan pelan. Dilihatnya dua orang yang sangat dikenalnya dalam satu selimut dan tidak berpakaian sedang berpelukan diatas ranjangnya. Keduanya tampak kaget saat melihat pintu terbuka dan Tarno muncul setelahnya.
Meskipun sudah menyiapkan diri untuk hal yang terburuk, nyatanya Tarno tetap tidak kuat melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Bibirnya kelu dan netranya mengembun. Kedua orang itu sedang sibuk mencari pakaian masing-masing yang berserakan di lantai. Lalu memakainya dengan tergesa-gesa. Tarno hanya bisa menutup mata dan menarik nafas dalam untuk menguatkan dirinya.
“Mas, ini tidak seperti dugaanmu,” kata Susanti yang tengah sibuk mengancingkan dasternya.
“Benar, No. Ini semua salah paham. Tidak seperti yang kamu lihat,” sahut lelaki yang tengah memakai celana panjangnya. Celana dalamnya masih teronggok di lantai tidak jauh dari tempat Tarno berdiri sekarang.
“Kutunggu kalian di ruang tamu,” jawab Tarno singkat.
Lelaki berambut cepak itu berjalan ke luar kamar menuju ruang tamu. Diusapnya setitik air di sudut matanya dengan ujung tangannya yang kasar karena kerja keras selama ini. Kulit Tarno memang lebih bersih daripada sebelum berangkat keluar negeri karena dia bekerja di dalam ruangan. Tidak seperti sebelumnya yang harus berpanas-panasan di bawah terik matahari yang menyengat dan membakar kulitnya langsung selama di sawah.
Kedua orang yang selama ini dipercayainya ternyata menusuknya dari belakang. Tarno benar-benar tidak menyangka keduanya tega melakukan ini padanya. Rencana untuk memberikan kejutan pada istrinya gagal, justru kini dia yang mendapatkan kejutan yang luar biasa dari istri dan sahabatnya sendiri.
Dokter yang rambutnya sudah memutih sebagian itu tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama sambil memandang Lastri dengan tatapan serius. Lalu pandangannya berpindah ke layar monitor, wajahnya tampak mengernyit sesaat lalu tersenyum hangat pada Lastri, “Selamat ya, Bu Lastri, Anda hamil. Saat ini usia janin sudah 10 minggu. Sepertinya bayinya kembar dilihat dari kantung kehamilan yang ada dua ini.”“K-kembar, Dok?” tanya Lastri tidak percaya. Perasaan cemas yang menderanya langsung hilang berubah menjadi rasa senang yang tidak terkira saat mendengar ada dua janin di dalam rahimnya. Ia menatap Tarno yang terlihat kaget juga saat mendengar penjelasan dokter.“Iya, karena masih kecil jadi belum terlihat jelas. Tapi ada dua kantung yang terlihat di sini, jadi kemungkinan besar bayinya kembar. Nah untuk lebih jelasnya nanti USG lagi saat kandungan lebih besar lagi.”Mata Lastri berkaca-kaca mendengar penjelasan Dokter mengenai
“Dek ... Ada apa?” Tarno mengetuk pintu dengan panik setelah mendengar teriakan Lastri dari dalam kamar mandi.Tidak ada jawaban dari Lastri. Merasa panik dan penasaran, Tarno mendekatkan kepala ke pintu. Mencoba mencari tahu apa yang terjadi di dalam kamar mandi. Isak tangis Lastri terdengar lirih dari dalam kamar mandi, membuat Tarno yang berada di luar tambah cemas.“Dek ... Buka pintunya. Kamu kenapa? Apakah ada yang sakit?” Tarno mengetuk pintu semakin keras setelah mendengar tangisan Lastri. Takut terjadi sesuatu pada Lastri di dalam, ia bersiap untuk mendobrak pintu kamar mandi. Saat berancang-ancang untuk mendobrak, daun pintu terbuka perlahan.Lastri keluar dari kamar mandi dengan kepala menunduk. Sementara tangan kirinya sibuk menghapus sisa-sisa air mata di pipi.“Dek, apa yang terjadi? Kamu sakit? Kita ke rumah sakit sekarang ya,” tanya Tarno cemas. Dipandanginya mata Lastri yang sembap sehabis menangis.
Dila menangis sesenggukan di pelukan Susanti. Menenangkan diri setelah keluar dari kantor polisi. Wajahnya tampak ketakutan dan pucat. Dengan tubuh gemetar, gadis kecil itu berjalan perlahan keluar dari kantor polisi. Andaikan Susanti tidak sigap menangkap, Dila pasti sudah ambruk ke lantai karena masih merasa kaget setelah diinterogasi polisi.Sesuai dengan janji sebelumnya, Lastri mencabut laporan segera setelah selesai berbicara dengan Susanti. Lastri menanyakan semua hal yang selalu menjadi pertanyaan di hatinya pada Susanti. Dengan terbata-bata Susanti menjawab semua pertanyaan yang diajukan Lastri secara jujur. Alasan ia menyuruh Dila untuk mencuri dan awal mula tercetusnya hal tersebut serta hal penting lainnya.Sebelum masuk ke kantor polisi untuk mencabut laporan, Lastri membuat kesepakatan dengan Susanti agar tidak mengulangi perbuatan ini lagi. Meminta uang secara tidak jujur, dengan alasan anak-anak. Padahal uang tersebut digunakan untuk kebutuhan yang lain
Setelah memarkirkan mobil, Tarno segera mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Susanti. Telepon tersambung tapi tidak diangkat. Tarno tidak menyerah dan mencoba mengirim pesan.[Aku sudah sampai ke lokasi yang kamu kirimkan, tapi malah tiba di kantor polisi. Benarkah ini? Kamu tidak keliru kan?]Tarno memastikan sekali lagi lokasi yang dikirimkan Susanti sudah benar. Lama menunggu masih belum ada balasan dari Susanti. Karena bosan ia akhirnya memutuskan turun dari mobil dan berjalan sambil melihat sekitar. Pandangannya terhenti pada sesosok yang sangat dikenalinya.Susanti dan Lastri sedang duduk di kursi di depan kantor polisi tampak membicarakan sesuatu yang serius. Dengan langkah cepat hampir berlari, Tarno mendatangi Lastri dan Susanti.“Sayang, kamu ke mana saja selama ini? Kenapa tidak pernah mengabariku? Apakah kamu tidak tahu betapa khawatirnya aku?” berondong Tarno setelah sampai di dekat Lastri dengan nafas menderu. Ia hampir kehab
Kepergian Lastri yang tidak meninggalkan kabar sama sekali membuat Tarno semakin cemas dan khawatir. Ia takut jika terjadi apa-apa dengan wanita yang sangat dicintainya itu. Ia panik dan gelisah, tidak bisa berpikir dengan jernih sehingga bingung harus melakukan apa. Setiap saat ia terus menerus memandang ponsel, berharap ada kabar dari Lastri.Karena takut jika Lastri akan menelepon atau mengabari sewaktu-waktu, Tarno membawa ponsel itu ke mana pun ia pergi. Bahkan saat ke kamar mandi sekalipun. Begitu pula saat tidur, ponsel itu terus digenggam dengan erat di tangan.Sudah dua hari Lastri pergi meninggalkan rumah. Tarno tampak kusut dan awut-awutan. Bahkan ia memakai sandal yang berbeda saat berangkat ke toko hari ini. Puluhan pesan sudah ia kirimkan, tapi tetap tidak ada balasan dari Lastri. Ia juga tidak menyerah dan terus menerus menghubungi nomor Lastri meskipun tetap tidak diangkat sampai sekarang.“Kok kusut banget, Pak? Ada masalah di rumah?&rdquo
Sebenarnya banyak hal yang ingin Tarno tanyakan pada Dila mengenai masalah pencurian uang yang telah dilakukannya tersebut. Namun, melihat putri sulungnya masih menangis terus sepanjang perjalanan pulang, hal itu membuat Tarno terpaksa menahan keinginannya tersebut. Ia hanya sempat menanyakan dua hal yang dijawab dengan jawaban kurang jelas dan tidak bisa dipahami karena dijawab sambil menangis.Akhirnya Tarno memutuskan untuk diam dan menunggu Dila menenangkan diri terlebih dulu. Setelah menangis hampir sejam, Dila terlihat mulai tenang dan berhenti menangis. Dari kaca depan, Tarno bisa melihat Dila sibuk melihat pemandangan di luar sambil menyeka sisa air mata yang mengalir di pipi. Sesekali suara isak tangis masih terdengar lirih di telinga Tarno.“Dil,” panggil Tarno pelan tapi masih cukup terdengar.Dila yang sudah berhenti menangis langsung menangis lagi saat mendengar panggilan Tarno. Membuat Tarno urung bertanya lagi. Sampai mereka tiba di de
Sesuai perkataannya di mobil tadi, Lastri memanggil Dila dan Dinda untuk berkumpul di ruang tamu untuk membicarakan sesuatu yang membuat Tarno sangat penasaran dari tadi.Setelah semua berkumpul, Lastri tidak segera memulai pembicaraan dan malah diam sembari memperhatikan Dila dengan tatapan tajam. Membuat gadis kecil itu jadi salah tingkah dan menunduk, tidak berani membalas tatapan Lastri.Sepertinya Dila sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan Lastri. Ia terus menunduk sambil memainkan kedua tangan yang ditaruh di atas paha. Kakinya digoyang-goyangkan untuk mengurangi rasa gelisah dan rasa cemas yang menyerangnya.“Dek, apa yang ingin kamu bicarakan? Katanya ada hal penting yang mau kau tunjukkan padaku. Kenapa harus mengajak anak-anak juga?” bisik Tarno ke telinga Lastri.Ia pikir Lastri tidak serius saat mengatakan akan mengajak anak-anak untuk berbicara. Ternyata dugaannya keliru, Lastri benar-benar serius dengan perkataannya. Membu
Lastri bertekad untuk mencari bukti dan menyelidiki masalah uang yang selalu berkurang setiap kali Dila dan Dinda menginap di rumahnya. Saat anak-anak berkunjung, ia memindah letak penyimpanan uang di tempat yang lain. Ia juga mengamati pergerakan Dila dan Dinda, ke mana pun mereka berdua pergi tak luput dari perhatiannya.Tidak ada yang aneh yang bisa ditemukan. Dila dan Dinda bersikap seperti biasanya. Malah Lastri yang terlihat aneh karena selalu memperhatikan mereka berdua. Dan anehnya saat setor uang ke bank keesokan harinya, uang tetap berkurang.“Lihat, Mas. Uangnya berkurang lima ratus ribu setelah anak-anak menginap kemarin. Padahal minggu sebelumnya tidak.” Lastri memberitahukan masalah itu pada Tarno sekali lagi untuk membuktikan kecurigaannya.“Masa sih, Dek. Kamu salah ngitung mungkin.” Tarno melihat kertas setruk dari bank dan membandingkan dengan catatan kecil yang ditulis Lastri. Selisih lima ratus ribu, sesuai ucapan Last
“Apakah Kamu butuh sesuatu? Atau sudah lapar?” tanya Lastri sambil berjalan mendekat pada Dila.“Eh ... Aku baru saja dari kamar mandi,” jawab Dila dengan gugup. Ia berbalik untuk melihat Lastri yang tengah tersenyum menatapnya.“Aku mau ke kamar dulu,” imbuh Dila lirih.Tidak ingin berlama-lama berdua saja dengan Lastri, Dila segera berjalan menuju kamar yang ditempatinya karena Lastri tidak mengatakan apa pun setelahnya.Lastri hanya mengangguk sambil tersenyum dan membatin dalam hati, “Apakah Dila masih marah padaku? Kenapa dia tidak mau menatap mataku saat berbicara denganku.”“Sepertinya wanita itu tidak melihatku keluar dari kamarnya. Buktinya dia diam saja, tidak mengatakan apa pun tadi. Atau ada sesuatu yang direncanakannya?” pikir Dila sambil berjalan dengan cepat.Ternyata hal yang ditakutkan Dila tidak terjadi. Lastri tidak membahas atau menanyakan apa pun mengenai ia yan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments