"Tuan, mohon maaf Marcus mengganggu kesibukan Tuan Devin."
Devin Chayton berusaha bernapas normal, seolah sejak tadi berada di ruangan tenang dan duduk santai bersama pialang. Napas memburu seperti ini, memang sulit dinormalkan dalam waktu cepat. Tapi Marcus tidak boleh mendengarnya melalui sambungan telepon atau dia akan curiga.
"Tidak, aku baru masuk ke toilet." Devin membuka kran dan membiarkan kucuran airnya terdengar oleh Marcus di sambungan telepon.
"Oh, maaf, Tuan Devin. Apakah pertemuan dengan pialang sudah selesai?"
"Belum," tukas Devin sembari mematikan kran. Dia mengendus jas hitam pekat yang sudah dikenakannya kembali, lalu melempar jaket kulit berdebunya ke keranjang di sudut toilet.
Besok pagi, semoga Liliana tidak lupa mencucinya. Sejak dia tak lagi bekerja di Mansion Batista, Devin memintanya merawat rumah tempat persembunyiannya, lima belas kilometer dari mansion. Liliana tentu saja sangat mengharapkan pekerjaan. Menikah adalah alasan yang disampaikannya pada Andrew Chaytan, agar bisa keluar dari Mansion Batista. Selebihnya, tetap menjadi pelayan Devin di luar mansion adalah janjinya atas jasa Devin menyelesaikan masalahnya dalam hitungan detik.
"Apa ada masalah di mansion?" tanya Devin curiga. Marcus tidak akan menelpon bila tidak ada informasi atau kejadian penting.
Devin berjalan tergesa menuju garasi. Membuka pintunya tanpa suara dan mendapati dua motornya ada di sana. Motor gunung untuk pekerjaan kecilnya, dan Harley untuk pekerjaan resminya--di Batista Corp.
"Hm, bila Tuan sudah selesai, saya sarankan segera kembali ke mansion."
"Ada apa, Marcus? Levin dan Daddy bertengkar?"
Marcus sejenak tidak bersuara. "Para pelayan sudah membersihkan ruangan dan merawat Tuan Levin. Tuan Andrew agak sesak napas, dan kami sudah memanggil dokter."
"What?"
"Entah bagaimana kejadiannya, Tuan Levin memecahkan kaca jendela ruangan Tuan Andrew. Dengan kepalanya."
Devin tercekat. Anak bodoh!
Argumen yang disampaikan Levin pada ayah mereka, pasti sudah membuat lelaki paruh baya itu murka.
***
Lima belas menit kemudian, Devin sudah memasuki halaman Mansion Batista. Marcus sudah menyuruh pelayan menunggu di garasi, hingga Devin tinggal melompat dari motornya dan menuju lantai dua.
Melewati ruang tengah, dilihatnya Levin sedang berbaring di sofa dengan dahi diperban. Dia tampak baik-baik saja, meski bajunya kusut masai. Dalam kondisi seperti itu, dia bisa dengan santainya menonton televisi seolah tidak terjadi apa-apa. Dia melirik sekilas ke arah Devin yang menegak badan di depan pintu, menatapnya dingin tanpa berkedip. Levin kembali memainkan remote televisi, memindah-mindah channel. Terlebih setelah dilihatnya kedua tangan kakaknya mengepal geram.
“Levin, apa yang …”
“Yang harus kau khawatirkan ayah, bukan aku.”
Seseorang turun dari tangga, membawa baskom. Linda, pelayan pribadi Andrew Chayton. Setiap anggota keluarga Chayton memiliki pelayan pribadi yang mengurus segala keperluan pribadi. Bila anggota keluarga Chayton sakit, mereka adalah orang yang paling sibuk dan pastinya paling lelah. Raut muka Linda sudah menunjukkan bagaimana kondisi majikannya. Kedua alis tebalnya bertemu, dan mukanya berkerut, menampakkan keriput wajah penanda usianya yang tak lagi muda. Devin mencegatnya sebelum melangkah meninggalkan ruangan.
“Bagaimana ayah?”
“Baru saja muntah, Tuan. Sekarang sedang bersama dokter Bella.”
Devin bergegas menaiki tangga. Sembari memastikan bahwa kostum yang dipakainya, adalah kostum yang sama dengan saat dia meninggalkan mansion. Di ujung tangga paling atas, dia menunduk dan menyadari bahwa sepatunya adalah sepatu kets yang berlumpur di bagian ujungnya.
“Sial, kenapa aku lupa menggantinya? Karena terburu setelah ditelpon Marcus.”
Devin kembali turun dari tangga, melintasi Levin dan menuju kamarnya. Levin hanya meliriknya sekilas, menyamankan posisinya dan kembali mengubah-ubah channel televisi. Tidak ada satupun channel yang menarik baginya, karena meski bersikap cuek, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata penuh amarah ayahnya tadi. Bantahan atas tuduhan ayahnya, membuat lelaki itu mencengkeram kerahnya dan tanpa sadar membenturkan kepalanya ke kaca.
Levin tak hendak melawan. Hanya kemarahan yang sama membuatnya kemudian meninggalkan ayahnya yang membeliak, tak percaya dengan gerakan cepat yang dilakukannya. Dan itu membuat kaca jendela berkeping-keping dan kening Levin tergores. Meski yang lebih pedih dari itu semua adalah luka di hati Levin.
Devin kembali dengan cepat, dan kini hanya mengenakan sandal. Dia bergegas naik tangga, tak sempat memperhatikan Levin yang perlahan terduduk. Tiba-tiba menyadari ada yang aneh dengan kakaknya.
Perlahan Devin membuka pintu kamar ayahnya yang terbuka separuh. Dokter Bella Artwater adalah anak dari dokter keluarga mereka, dokter Cleve Artwater. Dia baru saja lulus kedokteran hewan. Berada di sini dalam kondisi darurat, pastinya dokter Cleve berhalangan hadir.
“Dad, bagaimana dia?” tanya Devin pada dokter Bella yang langsung berdiri dari duduknya ketika melihat si sulung memasuki ruangan. Dia mengenakan dress hijau lumut yang dibalutnya dengan jas putih.
“Dia hanya sesak napas. Tapi asmanya tidak kambuh.”
Devin duduk di sebelah ayahnya dengan hati-hati. Menggenggam tangan keriput yang bertumpuk di dada ayahnya, yang naik turun dengan teratur. Membuat Devin bernapas lega.
“Aku harus segera kembali. Papa sedang sibuk di rumah sakit, ada kecelakaan di jalur 34. Kurasa aku harus membantunya.” Dokter Bella membereskan peralatannya dan menyodorkan secarik kertas. “Aku hanya bisa menulis resep, karena di tasku hanya ada obat untuk kuda dan sapi. Maaf.”
Devin mengangkat sudut bibirnya. “Terima kasih. Maafkan Marcus. Dia hanya bisa menghubungi dokter Artwater. Artwater mana saja,”
Dokter Bella tersenyum. “Asalkan jangan David Artwater. Dia tidak bisa bangkit dari kubur.”
Dokter Bella menepuk bahu Devin, lalu meninggalkan ruangan. Mereka teman bermain sejak kecil. Bella Artwater kerap diajak ayahnya bila Andrew Chayton kambuh penyakit asmanya. Dan teman bermainnya adalah Devin, karena mereka sama-sama menyukai kucing. Bella lebih tua tiga tahun dari Devin, membuat Devin merasa mempunyai kakak perempuan yang perhatian padanya.
Levin melongokkan kepala dari balik pintu, tapi kemudian menarik badannya lagi ketika Bella menuju ke arahnya. Wajah tirus dengan bibir tajam itu tak pernah lelah diburunya untuk jatuh dalam dekapan. Namun tentu saja Bella Artwarter bukan perempuan gampangan yang mudah terpikat oleh anak muda kaya raya. Lagipula, baginya Levin hanya anak kecil yang suka bermain-main, tidak akan pernah serius.
"Kau mau menjenguk ayahmu?" tanya Bella tanpa menatap ke arah mata sendu si Jangkung Levin, yang pantang menyerah merayunya.
"Kurasa aku korbannya malam ini. Apa aku harus simpati pada Andrew Chayton?" Levin menundukkan kepala agar perban di kepalanya sejajar dengan kepala Bella.
Bella melirik Levin sekilas, lalu berlalu menuruni tangga. "Dia ayah kandungmu."
"Hei, kau harus datang besok untuk merawat kepalaku," ucap Levin mengejar Bella menuruni tangga, mengurungkan niat hendak menguping pembicaraan ayahnya dengan Devin. Bella lebih menantang untuk dirayunya, meski seperti biasa wanita itu selalu bisa menghindarinya.
Bella sudah sampai di anak tangga terakhir saat Levin berhasil menjangkau lengannya. Tarikan kuat tangan Levin membuat tubuh Bella oleng dan Levin dengan sigap menangkap tubuhnya sebelum dokter itu membentur pegangan tangga.
Senyum kemenangan Levin mengembang sempurna di wajahnya. Terlebih ketika Bella spontan mencengkeram bajunya, menahan diri agar tidak terjauh.
"Levin!"
Baik Levin dan Bella yang berada dalam dekapannya, menoleh ke atas. Devin berdiri di tepi pagar tangga.
"Dad mau bicara dengan kita, berdua."
Suara mendebam mengejutkan Marcus. Kepala pelayan itu baru saja hendak menutup garasi ketika telinganya mendadak menjadi pekak. Sejenak dia terdiam, dan ketika pikirannya bekerja, dia pun hanya geleng-geleng kepala. Pasti Levin Chayton demikian marahnya hingga membanting pintu kamar tidurnya. Kebiasaan yang sudah sangat dihapal oleh seluruh pelayan Mansion. Lelaki itu sangat mudah menundukkan wanita, tapi tak pernah bisa memenangkan hati ayahnya. Sikap egois dan tak sabarannya, sungguh bertentangan dengan Devin Chayton. Devin adalah warisan Andrew. Sedangkan Levin adalah cetakan Sabrina Brice. Marcus tidak bisa membayangkan bila suatu ketika Sabrina Brice muncul di Mansion Batista. Pasti Levin akan berlindung di ketiak ibunya. Bukan hal yang mustahil,
Matahari sebentar lagi terbit ketika Devin memasuki dapur. mencuci muka dan tangan di wastafel. Dua orang pelayan sedang sibuk memasak menyiapkan makan pagi. “Devin, dari mana saja kamu?” Devin merasa tubuhnya membeku mendengar suara berat di belakangnya. Dibiarkannya air dari kran mengalir membasahi jemarinya. Entah kenapa, kali ini dia ingin membersihkan tangan sebersih-bersihnya. Rasanya sabun cuci tangan tak sanggup membersihkan noda dosa di tangannya. Dosa? Sepertinya kata itu tak pernah terlintas di kepalanya. Dia tidak pernah mendapatkan nasehat kebaikan di rumah. Dia dibesarkan dalam instruksi ayah bersuara berat pada pelayan. Bahkan dosa yang dilakukan ibunya adalah sebuah buku catatan wajib yang harus dibacanya setiap hari, agar kebencian pada wanita itu tertanam dan berakar seumur hidupnya.
Sarapan pagi Andrew Chayton tanpa kehadiran kedua anaknya. Lelaki dengan uban di pelipis kanan dan kiri itu hanya menatap piring kosong di depannya. Tangannya memegang tepi meja. Marcus yang berada di dekatnya, sibuk mengawasi pelayan yang menghantarkan piring demi piring. Agenda makan keluarga Chayton adalah agenda yang nyaris sakral bagi Andrew. Harus dilalui dengan doa khusuk bersama, tanpa ada percakapan sia-sia hingga makan selesai. Terkadang, Andrew mengundang beberapa teman dekatnya, hanya sekedar untuk menjalin hubungan baik dan mengenalkan pada kedua anaknya. Marcus punya catatan khusus siapa saja yang pernah diundang untuk makan bersama. Karena Andrew terkadang bertanya padanya, siapa saja temannya yang belum diundang. Di lain waktu, Andrew sesekali mengundang semua pelayannya untuk makan bersama di meja makan.
Devin mondar mandir di kamarnya yang sudah dirapikan oleh Irene. Irene seorang pelayan yang sudah bekerja di Mansion Batista lebih dari sepuluh tahun. Dia pelayan kepercayaan Marcus. Bekerja penuh waktu di Mansion Batista, karena dia tidak lagi punya keluarga yang harus diurusnya. Sebagian pelayan Batista memang wanita-wanita yang sudah menjanda atau tidak punya anak. Hanya beberapa pelayan muda yang biasanya mengambil pekerjaan paruh waktu dan tidak menginap. Devin bersyukur, Amanda alias Beverly ditemukan oleh Irene dan Sabrina. Sabrina adalah sepupu Irene yang bekerja paruh waktu. Dia punya suami dan anak yang tinggal tidak jauh dari Batista. Saat menemukan Amanda di depan gerbang, Sabrina sedang diantar oleh Irene ke pintu gerbang, untuk pulang. Mereka berdebat antara menolong atau membiarkan Amanda. Akhirnya Sabrina terpaksa menginap semalam. Untung saja
Marcus melirik Irene. Wanita separuh baya itu sangat hafal tabiat anak majikannya. Semakin dilarang, dia justru akan semakin melawan. Beda dengan Devin yang penurut, bahkan pada anjuran pelayan. Seperti dugaan Marcus, larangan Irene membuat Levin justru melangkah lebar menuju ruang kerja ayahnya, yang terletak di bawah kamar tidur Andrew Chayton. Marcus melirik Irene, memintanya membantu Devin di kamarnya. Amanda pasti membutuhkan bantuan. Sementera Marcus mengikuti langkah Levin menemui ayahnya. Lelaki muda itu, membuat Marcus selalu keheranan. Seolah dia mempunyai memory yang sangat pendek. Kejadian kaca jendela pecah itu, bila Devin yang mengalami, akan membuatnya mengurung diri di dalam kamar selama sepekan. Tak hendak menyahut bila ayahnya memanggil. Namun tidak bagi Levin. Meski seluruh pelayan begitu khawa
Satu demi satu, pelayan Mansion Batista memasuki ruang kerja Andrew Chayton. Setiap akhir bulan, dokter Cleve Artwater selalu datang untuk memeriksa kondisi kesehatan keluarga besar Mansion Batista. Kali ini dia datang bersama dokter Bella Artwater, putrinya. Beberapa pelayan senior yang mengetahui masa kecil Bella, sangat senang melihat gadis cantik itu kini sudah menjadi dokter. Namun sayang, mereka tidak bisa meminta diperiksa Bella. Karena Bella adalah dokter hewan. Dia hanya memeriksa kuda dan sapi di peternakan milik Andrew Chayton. “Aku ingin diperiksa dokter Bella,” ucap Marcus sembari menoleh ke arah dokter Bella yang sedang mempersiapkan beberapa peralatan medisnya. “Kau mau disuntik seperti kuda?” gurau dr Cleve. “Kadar gula darahmu bisa turun dengan cepat. Hari ini, naik 400. Sudah kubilang kan, tidak
Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci. Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper. "Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang." "Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu." Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kuse
Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya. Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan. Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.
"Bukankah aku sudah transfer kemarin?" bantah Levin di sambungan telepon."Itu untuk penyelidikan dalam kota Tuan Chayton. Dan kami menemukan petunjuk bahwa Bella Artwater pergi ke luar negeri."Levin terdiam. Ke luar negeri pasti membutuhkan lebih banyak lagi dana. Tidak hanya untuk melacak, tapi juga untuk membawa Bella pulang. Sedangkan dia tidak punya lagi uang simpanan. Beberapa orang yang dikerahkannya selalu meminta uang tambahan bila penyelidikan semakin berlanjut karena menemukan bukti baru.Levin tak ingin melibatkan polisi. Melaporkan istrinya telah menghilang di kantor polisi hanya akan mempermalukannya karena status mereka belum tercatat resmi di negara. Apalagi Cleve tak lagi menghendaki Bella bersama Levin. Hanya karena kesalahan yang menurutnya sangat sepele. Toh dia biasa meladeni wanita-wanita peng
“Kau adalah satu-satunya orang yang tahu kalau aku sudah menikah.”Bella tercekat. Menatap Devin yang juga menatapnya dengan wajah berseri-seri dan pipi bersemu merah. Kepuasan dan kebahagian terpancar jelas di wajahnya. Mereka duduk berhadapan, di sebuah cafe dengan pemandangan menara Eiffel yang berselimut senja. Devin memintanya menunggu di sini, dan baru muncul dua jam kemudian.Pasti Devin masih menyelesaikan permainannya yang terhenti karena kedatangan Bella. Sementara Bella menanti di cafe, setelah mendapat pesan dari Devin untuk menunggunya di sana. Pesan yang dikirimkannya satu menit setelah lelaki itu menutup pintu rumahnya dan meninggalkan Bella berdiri di seberang rumahnya seperti perempuan bodoh.“Siapa dia?”“Istr
“Anda tidak akan percaya, Devin Chayton ada di Paris.” Bella tercekat, ludahnya terasa tertahan di kerongkongannya. Bagaimana mungkin Devin bisa ada di kota romantis itu? Kota idamannya yang akan dikunjunginya dengan lelaki pujaannya, Devin. “Bagaimana kau bisa menemukannya?” tanya Bella di sambungan telepon. Tangannya terasa gemetar dan dadanya serasa meledak, ketika mendengar kabar dari Detektif yang disewanya. Untuk mendapatkan Devin kembali, dia nekad melakukan apa saja, bahkan mengeluarkan uang tabungannya. Dia harus mendapatkan cinta Devin karena pada Levin dia tak lagi punya harapan. Meski sudah menyerahkan jiwa raganya pada bungsu Chayton, lelaki itu itu masih saja haus dan mereguknya dari wanita lain. Seolah Bella tak pernah bisa memuaskannya. Padahal setiap malam Bella selalu
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Andrew merasa hidup seorang diri. Makan malamnya sejak kepergian Devin, hanya ditemani Marcus. Dia meminta Marcus duduk di sebelahnya, bukan untuk melayaninya makan, tapi untuk makam malam bersamanya.“Sebentar lagi Tuan Levin pasti datang,” hibur Marcus, melihat gurat kecewa di wajah majikannya. Sudah hampir tengah malam, Levin belum juga memberi kabar apakah akan pulang ke Batista atau tidak. Sejak kepergok Marcus di cafe milik Bella, Marcus belum melihat Levin memasuki Batista hampir dua hari. Lelaki itu pasti disibukkan dengan memohon maaf pada Bella Artwater.Dan Andrew tak pernah menyebut nama Levin semenjak surat dari Devin datang. Lelaki sebaya Marcus itu diliputi kerinduan pada anak sulungnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kadang tanpa sadar dia menanyakan pada Marcus apakah Devin sudah pula
Andrew meremas surat di tangannya. Dadanya terasa berat, sepertinya sesak napasnya akan kambuh. Marcus yang berada di sebelahnya, sudah melihat gelagat majikannya. Napas Andrew mulai pendek dan berat.“Saya ambilkan obat, Tuan?”Andrew menggeleng. Dia lalu melemparkan surat yang sudah diremasnya ke lantai. Marcus hanya melirik gumpalan kertas itu jatuh tak berdaya. Masih bagus Andrew tidak merobeknya, jadi dia bisa menyimpan surat itu nanti. Biasanya Andrew akan mencari surat itu lagi bila hati dan kepalanya sudah dingin.“Mana Levin?”Marcus menelan ludah. Pertanyaan tentang Levin adalah soal yang paling sulit untuk dijawab. Marcus tidak ingin anak itu menjadi sasaran kemarahan ayahnya lagi. Lagipula dengan dimarahi, tidak akan membuat Levin menj
Devin tak melepas sedetik pun tangan istrinya. Meski Beverly berjanji untuk tidak melepaskan diri, namun kini Devin bukan lagi orang yang sama dengan dua puluh empat jam sebelumnya. Kini mereka sama-sama tahu bahwa pasangan mereka adalah orang yang diberi tugas untuk membunuh pasangannya.Bukan hal yang mudah bagi keduanya kini untuk membangun rasa saling percaya, meski setelah semua rahasia itu terbongkar, napas dan kulit mereka menyatu berbalur peluh. Baik Devin maupun Beverly tak hendak menanyakan apakah masih ada cinta di dada mereka masing-masing setelah apa yang terjadi. Bahwa mereka telah saling mengejar untuk saling membunuh–demi sebuah tugas dari organisasi tempat mereka bernaung.Kapal yang ditumpangi keduanya sudah memasuki perairan lepas dan mereka kini bebas hendak pergi ke manapun. Meski yakin para polisi pasti akan memburu bahkan mungkin me
Wajah Andrew mengerut, menampakkan usianya yang semakin renta. Ditambah dengan kemarahan yang tampak berusaha ditahannya. Napasnya tak lagi sesak, tapi semua orang bisa melihat lelaki yang masih tampak gagah di usianya itu, mengepal kedua tangan hingga gemetar. Marcus menarik lengan Levin, menyuruhnya menyingkir, masuk ke dalam kamar. Semula Levin menolak. Dia ingin menikmati momen di mana akhirnya Devin berhasil membuat Andrew Chayton murka. Selama ini, hanya Levin yang selalu berulah, membuat Mansion Batista berkali-kali heboh, kisruh dan pusing tujuh keliling. Kini giliran Devin, begitu mudahnya terkuak di depan semua orang. Dan tanpa ada yang bersangkutan hadir untuk membela diri. “Sejak kapan kau tahu, Irene? Apa yang sudah mereka lakukan?” tanya Andrew, sembari melangkah mendekati Irene, mengesampingk
Mansion Batista bangun sebelum waktunya. Para pelayan dikumpulkan di halaman oleh polisi, dan Irene menjadi orang yang paling sibuk. Semua pelayan diinterogasi, membuat suasana dini hari menjadi sangat kacau, karena mereka terpaksa dibangunkan oleh suara tembakan.Andrew berada di ruang kerjanya, mengenakan piyama. Duduk di kursi dengan kening berkerut. Polisi telah mengganggu istirahatnya, dan itu artinya harus ada harga yang harus dibayar. Mereka telah masuk dengan paksa dan membuat Andrew benar-benar marah.Komisaris berdiri di hadapannya dengan beberapa anak buahnya.“Kalian telah mengusik mansionku, tanpa seijinku!” sergah Andrew dengan nada meninggi, dan Marcus terpaksa menyentuh bahu majikannya, berusaha agar Andrew lebih tenang. Bagaimana tidak, Komisaris baru pengganti Komisaris Ho
“Berapa orang yang diperlukan untuk menangkap Devin Chayton?” gumam Devin, sembari merunduk di balik sebongkah batu. Cahaya senter tak satupun mengenainya. Para pengejar telah melewatinya, membuat Devin bisa beristirahat sejenak. Namun tak lama kemudian, terdengar langkah mendekat. Devin mengintip dari balik batu, dan dia mengenali gestur dalam kegelapan–yang rupanya ketinggalan jauh dari teman-temannya. Saat gestur itu mendekat, Devin langsung melompat dan menyergapnya. Mereka berdua jatuh terguling-guling, dan semakin terguling-guling karena ternyata berada di lereng bahu sungai. Seingat Devin, sungai ini sudah lama kering karena hulunya sudah dibuntu. Orang yang berhasil ditangkapnya, hanya mengerang kesakitan dalam pelukannya saat mereka akhirnya terbanting dan sama-sama terkapar di dasar sungai yang dipenuhi daun kering.