"Tuan, mohon maaf Marcus mengganggu kesibukan Tuan Devin."
Devin Chayton berusaha bernapas normal, seolah sejak tadi berada di ruangan tenang dan duduk santai bersama pialang. Napas memburu seperti ini, memang sulit dinormalkan dalam waktu cepat. Tapi Marcus tidak boleh mendengarnya melalui sambungan telepon atau dia akan curiga.
"Tidak, aku baru masuk ke toilet." Devin membuka kran dan membiarkan kucuran airnya terdengar oleh Marcus di sambungan telepon.
"Oh, maaf, Tuan Devin. Apakah pertemuan dengan pialang sudah selesai?"
"Belum," tukas Devin sembari mematikan kran. Dia mengendus jas hitam pekat yang sudah dikenakannya kembali, lalu melempar jaket kulit berdebunya ke keranjang di sudut toilet.
Besok pagi, semoga Liliana tidak lupa mencucinya. Sejak dia tak lagi bekerja di Mansion Batista, Devin memintanya merawat rumah tempat persembunyiannya, lima belas kilometer dari mansion. Liliana tentu saja sangat mengharapkan pekerjaan. Menikah adalah alasan yang disampaikannya pada Andrew Chaytan, agar bisa keluar dari Mansion Batista. Selebihnya, tetap menjadi pelayan Devin di luar mansion adalah janjinya atas jasa Devin menyelesaikan masalahnya dalam hitungan detik.
"Apa ada masalah di mansion?" tanya Devin curiga. Marcus tidak akan menelpon bila tidak ada informasi atau kejadian penting.
Devin berjalan tergesa menuju garasi. Membuka pintunya tanpa suara dan mendapati dua motornya ada di sana. Motor gunung untuk pekerjaan kecilnya, dan Harley untuk pekerjaan resminya--di Batista Corp.
"Hm, bila Tuan sudah selesai, saya sarankan segera kembali ke mansion."
"Ada apa, Marcus? Levin dan Daddy bertengkar?"
Marcus sejenak tidak bersuara. "Para pelayan sudah membersihkan ruangan dan merawat Tuan Levin. Tuan Andrew agak sesak napas, dan kami sudah memanggil dokter."
"What?"
"Entah bagaimana kejadiannya, Tuan Levin memecahkan kaca jendela ruangan Tuan Andrew. Dengan kepalanya."
Devin tercekat. Anak bodoh!
Argumen yang disampaikan Levin pada ayah mereka, pasti sudah membuat lelaki paruh baya itu murka.
***
Lima belas menit kemudian, Devin sudah memasuki halaman Mansion Batista. Marcus sudah menyuruh pelayan menunggu di garasi, hingga Devin tinggal melompat dari motornya dan menuju lantai dua.
Melewati ruang tengah, dilihatnya Levin sedang berbaring di sofa dengan dahi diperban. Dia tampak baik-baik saja, meski bajunya kusut masai. Dalam kondisi seperti itu, dia bisa dengan santainya menonton televisi seolah tidak terjadi apa-apa. Dia melirik sekilas ke arah Devin yang menegak badan di depan pintu, menatapnya dingin tanpa berkedip. Levin kembali memainkan remote televisi, memindah-mindah channel. Terlebih setelah dilihatnya kedua tangan kakaknya mengepal geram.
“Levin, apa yang …”
“Yang harus kau khawatirkan ayah, bukan aku.”
Seseorang turun dari tangga, membawa baskom. Linda, pelayan pribadi Andrew Chayton. Setiap anggota keluarga Chayton memiliki pelayan pribadi yang mengurus segala keperluan pribadi. Bila anggota keluarga Chayton sakit, mereka adalah orang yang paling sibuk dan pastinya paling lelah. Raut muka Linda sudah menunjukkan bagaimana kondisi majikannya. Kedua alis tebalnya bertemu, dan mukanya berkerut, menampakkan keriput wajah penanda usianya yang tak lagi muda. Devin mencegatnya sebelum melangkah meninggalkan ruangan.
“Bagaimana ayah?”
“Baru saja muntah, Tuan. Sekarang sedang bersama dokter Bella.”
Devin bergegas menaiki tangga. Sembari memastikan bahwa kostum yang dipakainya, adalah kostum yang sama dengan saat dia meninggalkan mansion. Di ujung tangga paling atas, dia menunduk dan menyadari bahwa sepatunya adalah sepatu kets yang berlumpur di bagian ujungnya.
“Sial, kenapa aku lupa menggantinya? Karena terburu setelah ditelpon Marcus.”
Devin kembali turun dari tangga, melintasi Levin dan menuju kamarnya. Levin hanya meliriknya sekilas, menyamankan posisinya dan kembali mengubah-ubah channel televisi. Tidak ada satupun channel yang menarik baginya, karena meski bersikap cuek, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata penuh amarah ayahnya tadi. Bantahan atas tuduhan ayahnya, membuat lelaki itu mencengkeram kerahnya dan tanpa sadar membenturkan kepalanya ke kaca.
Levin tak hendak melawan. Hanya kemarahan yang sama membuatnya kemudian meninggalkan ayahnya yang membeliak, tak percaya dengan gerakan cepat yang dilakukannya. Dan itu membuat kaca jendela berkeping-keping dan kening Levin tergores. Meski yang lebih pedih dari itu semua adalah luka di hati Levin.
Devin kembali dengan cepat, dan kini hanya mengenakan sandal. Dia bergegas naik tangga, tak sempat memperhatikan Levin yang perlahan terduduk. Tiba-tiba menyadari ada yang aneh dengan kakaknya.
Perlahan Devin membuka pintu kamar ayahnya yang terbuka separuh. Dokter Bella Artwater adalah anak dari dokter keluarga mereka, dokter Cleve Artwater. Dia baru saja lulus kedokteran hewan. Berada di sini dalam kondisi darurat, pastinya dokter Cleve berhalangan hadir.
“Dad, bagaimana dia?” tanya Devin pada dokter Bella yang langsung berdiri dari duduknya ketika melihat si sulung memasuki ruangan. Dia mengenakan dress hijau lumut yang dibalutnya dengan jas putih.
“Dia hanya sesak napas. Tapi asmanya tidak kambuh.”
Devin duduk di sebelah ayahnya dengan hati-hati. Menggenggam tangan keriput yang bertumpuk di dada ayahnya, yang naik turun dengan teratur. Membuat Devin bernapas lega.
“Aku harus segera kembali. Papa sedang sibuk di rumah sakit, ada kecelakaan di jalur 34. Kurasa aku harus membantunya.” Dokter Bella membereskan peralatannya dan menyodorkan secarik kertas. “Aku hanya bisa menulis resep, karena di tasku hanya ada obat untuk kuda dan sapi. Maaf.”
Devin mengangkat sudut bibirnya. “Terima kasih. Maafkan Marcus. Dia hanya bisa menghubungi dokter Artwater. Artwater mana saja,”
Dokter Bella tersenyum. “Asalkan jangan David Artwater. Dia tidak bisa bangkit dari kubur.”
Dokter Bella menepuk bahu Devin, lalu meninggalkan ruangan. Mereka teman bermain sejak kecil. Bella Artwater kerap diajak ayahnya bila Andrew Chayton kambuh penyakit asmanya. Dan teman bermainnya adalah Devin, karena mereka sama-sama menyukai kucing. Bella lebih tua tiga tahun dari Devin, membuat Devin merasa mempunyai kakak perempuan yang perhatian padanya.
Levin melongokkan kepala dari balik pintu, tapi kemudian menarik badannya lagi ketika Bella menuju ke arahnya. Wajah tirus dengan bibir tajam itu tak pernah lelah diburunya untuk jatuh dalam dekapan. Namun tentu saja Bella Artwarter bukan perempuan gampangan yang mudah terpikat oleh anak muda kaya raya. Lagipula, baginya Levin hanya anak kecil yang suka bermain-main, tidak akan pernah serius.
"Kau mau menjenguk ayahmu?" tanya Bella tanpa menatap ke arah mata sendu si Jangkung Levin, yang pantang menyerah merayunya.
"Kurasa aku korbannya malam ini. Apa aku harus simpati pada Andrew Chayton?" Levin menundukkan kepala agar perban di kepalanya sejajar dengan kepala Bella.
Bella melirik Levin sekilas, lalu berlalu menuruni tangga. "Dia ayah kandungmu."
"Hei, kau harus datang besok untuk merawat kepalaku," ucap Levin mengejar Bella menuruni tangga, mengurungkan niat hendak menguping pembicaraan ayahnya dengan Devin. Bella lebih menantang untuk dirayunya, meski seperti biasa wanita itu selalu bisa menghindarinya.
Bella sudah sampai di anak tangga terakhir saat Levin berhasil menjangkau lengannya. Tarikan kuat tangan Levin membuat tubuh Bella oleng dan Levin dengan sigap menangkap tubuhnya sebelum dokter itu membentur pegangan tangga.
Senyum kemenangan Levin mengembang sempurna di wajahnya. Terlebih ketika Bella spontan mencengkeram bajunya, menahan diri agar tidak terjauh.
"Levin!"
Baik Levin dan Bella yang berada dalam dekapannya, menoleh ke atas. Devin berdiri di tepi pagar tangga.
"Dad mau bicara dengan kita, berdua."
Suara mendebam mengejutkan Marcus. Kepala pelayan itu baru saja hendak menutup garasi ketika telinganya mendadak menjadi pekak. Sejenak dia terdiam, dan ketika pikirannya bekerja, dia pun hanya geleng-geleng kepala. Pasti Levin Chayton demikian marahnya hingga membanting pintu kamar tidurnya. Kebiasaan yang sudah sangat dihapal oleh seluruh pelayan Mansion. Lelaki itu sangat mudah menundukkan wanita, tapi tak pernah bisa memenangkan hati ayahnya. Sikap egois dan tak sabarannya, sungguh bertentangan dengan Devin Chayton. Devin adalah warisan Andrew. Sedangkan Levin adalah cetakan Sabrina Brice. Marcus tidak bisa membayangkan bila suatu ketika Sabrina Brice muncul di Mansion Batista. Pasti Levin akan berlindung di ketiak ibunya. Bukan hal yang mustahil,
Matahari sebentar lagi terbit ketika Devin memasuki dapur. mencuci muka dan tangan di wastafel. Dua orang pelayan sedang sibuk memasak menyiapkan makan pagi. “Devin, dari mana saja kamu?” Devin merasa tubuhnya membeku mendengar suara berat di belakangnya. Dibiarkannya air dari kran mengalir membasahi jemarinya. Entah kenapa, kali ini dia ingin membersihkan tangan sebersih-bersihnya. Rasanya sabun cuci tangan tak sanggup membersihkan noda dosa di tangannya. Dosa? Sepertinya kata itu tak pernah terlintas di kepalanya. Dia tidak pernah mendapatkan nasehat kebaikan di rumah. Dia dibesarkan dalam instruksi ayah bersuara berat pada pelayan. Bahkan dosa yang dilakukan ibunya adalah sebuah buku catatan wajib yang harus dibacanya setiap hari, agar kebencian pada wanita itu tertanam dan berakar seumur hidupnya.
Sarapan pagi Andrew Chayton tanpa kehadiran kedua anaknya. Lelaki dengan uban di pelipis kanan dan kiri itu hanya menatap piring kosong di depannya. Tangannya memegang tepi meja. Marcus yang berada di dekatnya, sibuk mengawasi pelayan yang menghantarkan piring demi piring. Agenda makan keluarga Chayton adalah agenda yang nyaris sakral bagi Andrew. Harus dilalui dengan doa khusuk bersama, tanpa ada percakapan sia-sia hingga makan selesai. Terkadang, Andrew mengundang beberapa teman dekatnya, hanya sekedar untuk menjalin hubungan baik dan mengenalkan pada kedua anaknya. Marcus punya catatan khusus siapa saja yang pernah diundang untuk makan bersama. Karena Andrew terkadang bertanya padanya, siapa saja temannya yang belum diundang. Di lain waktu, Andrew sesekali mengundang semua pelayannya untuk makan bersama di meja makan.
Devin mondar mandir di kamarnya yang sudah dirapikan oleh Irene. Irene seorang pelayan yang sudah bekerja di Mansion Batista lebih dari sepuluh tahun. Dia pelayan kepercayaan Marcus. Bekerja penuh waktu di Mansion Batista, karena dia tidak lagi punya keluarga yang harus diurusnya. Sebagian pelayan Batista memang wanita-wanita yang sudah menjanda atau tidak punya anak. Hanya beberapa pelayan muda yang biasanya mengambil pekerjaan paruh waktu dan tidak menginap. Devin bersyukur, Amanda alias Beverly ditemukan oleh Irene dan Sabrina. Sabrina adalah sepupu Irene yang bekerja paruh waktu. Dia punya suami dan anak yang tinggal tidak jauh dari Batista. Saat menemukan Amanda di depan gerbang, Sabrina sedang diantar oleh Irene ke pintu gerbang, untuk pulang. Mereka berdebat antara menolong atau membiarkan Amanda. Akhirnya Sabrina terpaksa menginap semalam. Untung saja
Marcus melirik Irene. Wanita separuh baya itu sangat hafal tabiat anak majikannya. Semakin dilarang, dia justru akan semakin melawan. Beda dengan Devin yang penurut, bahkan pada anjuran pelayan. Seperti dugaan Marcus, larangan Irene membuat Levin justru melangkah lebar menuju ruang kerja ayahnya, yang terletak di bawah kamar tidur Andrew Chayton. Marcus melirik Irene, memintanya membantu Devin di kamarnya. Amanda pasti membutuhkan bantuan. Sementera Marcus mengikuti langkah Levin menemui ayahnya. Lelaki muda itu, membuat Marcus selalu keheranan. Seolah dia mempunyai memory yang sangat pendek. Kejadian kaca jendela pecah itu, bila Devin yang mengalami, akan membuatnya mengurung diri di dalam kamar selama sepekan. Tak hendak menyahut bila ayahnya memanggil. Namun tidak bagi Levin. Meski seluruh pelayan begitu khawa
Satu demi satu, pelayan Mansion Batista memasuki ruang kerja Andrew Chayton. Setiap akhir bulan, dokter Cleve Artwater selalu datang untuk memeriksa kondisi kesehatan keluarga besar Mansion Batista. Kali ini dia datang bersama dokter Bella Artwater, putrinya. Beberapa pelayan senior yang mengetahui masa kecil Bella, sangat senang melihat gadis cantik itu kini sudah menjadi dokter. Namun sayang, mereka tidak bisa meminta diperiksa Bella. Karena Bella adalah dokter hewan. Dia hanya memeriksa kuda dan sapi di peternakan milik Andrew Chayton. “Aku ingin diperiksa dokter Bella,” ucap Marcus sembari menoleh ke arah dokter Bella yang sedang mempersiapkan beberapa peralatan medisnya. “Kau mau disuntik seperti kuda?” gurau dr Cleve. “Kadar gula darahmu bisa turun dengan cepat. Hari ini, naik 400. Sudah kubilang kan, tidak
Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci. Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper. "Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang." "Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu." Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kuse
Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya. Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan. Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.